“Menyentuh dia layaknya seorang istri, hmmm?” Dai tersenyum tipis
Usai meeting dengan investor, dia melangkah ke lantai paling atas, melewati pintu dengan lima tangga dan berada di taman atap gedung pencakar langit itu. Angin sejuk berhembus, memberikan sensasi sejuk dengan mata yang dimanjakan oleh pemandangan kota.
Sean khawatir dengan tingkah laku atasannya itu, jangankan sarapan, untuk menyentuh minuman kesukaannya saja sudah tidak.
“Tuan Dai?” Sean berdiri disampingnya, memandang pria yang tengah termenung dalam lamunannya itu
“Apa masih ada meeting?”
“Tidak, aku hanya bertanya-tanya tentang dirimu!”
“Kenapa?” mata Dai beralih untuk menatap Sean.
Sean memilih berdiri di depan atasannya, meskipun mereka sudah saling mengenal lama, ada batasan yang terkadang tidak bisa untuk Sean sentuh.
“Apa rencanamu untuk nona Richi?”
“Aku hanya perlu membantunya untuk membalaskan dendamnya kan?”
“Bagaimana kalau dia tidak mau?”
“Sudah kubilang, aku yang akan membunuhnya, dengan begitu! Tidak ada lagi rasa sakit yang dia tanggung untuk kebodohannya!”
“Kau berlebihan, hari ini dia menunggumu untuk pulang lagi!”
“A-apa?”
“Mona memberi kabar, dia tidak ingin sarapan karena tidak ada dirimu, dia juga tidak akan makan siang bahkan makan malam”
Pernikahan yang bermula oleh balas budi ini, entah mengapa tiba-tiba saja menjadi rumit bagi Daimaro. Dia tidak tertarik untuk jatuh cinta kepada wanita lain, baginya rasa sakit dari cinta hanya membuat harga dirinya menjadi rendah.
“Kita pulang sekarang!”
Sean mengikuti langkah atasannya itu. Butuh lima belas menit bagi mereka untuk sampai di rumah. Sean dengan tangkas selalu memberikan perlakukan terbaik untuk Dai, dia membuka pintu mobil dan atasannya itu sudah melompat masuk ke dalam istananya.
“Dimana dia?” Dai bertanya sembari terus berjalan
“Di kamarnya!” Mona menjawab
Langkah Dai sejalan dengan emosi di tumpuan kakinya. Dia tidak berencana untuk menjadi pria lembut yang membujuk wanita merajuk. Dia sudah lupa caranya menghangatkan wanita. Pintu kamar terbuka, matanya tidak mendapati keberadaan wanita itu.
“Mona bilang dia dikamarnya, dimana dia?”
Telinganya mendengar suara air, ia beralih masuk ke dalam kamar mandi. Richella tidak sengaja tergelincir di kamar mandi, dia mencoba untuk bangkit tangannya malah menyalakan shower, alhasil dia tersiram basah kuyup
Richell mengenakkan dress berbentuk kemeja sepanjang pahanya, warna putih dress itu menjadi transparan karena basah. Mata Dai secara pria langsung melihat bulatan kenyal yang menggantung dengan lembut, dann pinggang ramping milik Richelle.
“Dai? Kau sudah pulang?”
“Apa yang kau lakukan?”
“Ha? Ohh aku terpeleset dan….”
Daimaro mengambil handuk, dia melemparkan handuk itu tepat mengenai wajah Richelle, membuat Richelle mundur satu langkah ke belakang. Tangannya tergopoh-gopoh untuk menggapai handuk itu.
Bereskan dirimu, aku tunggu di luar!” ucap Dai
Dia langsung menghindari hawa panas itu, sungguh insting prianya tidak bisa menahan diri. Sudah lama dia tidak menjakan tubuhnya, meskpun terbesit dihatinya, kalau Richelle sudah pernah disentuh pria lain.
Rona wajah sendu dari Richelle sulit untuk hilang, perlakukan dingin Dai padanya membuat batinnya semakin terpukul. Untuk apa dia bersedian dinikahi, padahal kehangatan rumah tangga yang dia dambakan begitu sulit dia dapatkan.
Richelle mengenakkan kaos satin berwarna hitam, dan hotpants denim yang ia pilih tanpa fikir panjang. Dia keluar melewati daun pintu dan tersentak karena Daimaro masih bersender di dinding luar kamar
“Sudah?”
“Hmm!” Richelle tersenyum tipis
Daimaro kembali masuk ke dalam kamar, dia menunggu Richelle masuk dan menghela nafasnya panjang menyaksikan lenggokkan pantat wanita itu. Justru hotpants yang ketat, malah membuat bentukkan bokong Richelle semakin terlihat
“Aku dengar, kau tidak ingin makan kalau tidak bersamaku, apa itu benar?” Daimaro merasakan tenggorokkannya kering. Ketika siang seperti ini, dia malah tergoda dengan penampilan Richelle, yang entah sejak kapan tiba-tiba saja tubuh gadis itu terkesan menarik dimatanya.
“Iya!” Richelle menjawab lirih, dia tidak menyembunyikan situasi itu.
“Kenapa?”
“Aku bilang, untuk apa menikahiku kalau kau saja tidak menganggap ini adalah rumah tangga!”
“Aku sudah bilang, aku menikahimu untuk membantumu bangkit dan membalaskan dendam mu, kepada mereka yang sudah menyakitimu!”
“setelah itu, apa yang akan kau lakukan padaku?”
“Tergantung situasi, jika kau berhasil aku akan menceraikanmu setelahnya, jika kau tidak berhasil dan masih bersikeras untuk menyakiti dirimu, aku akan membantumu untuk membunuhmu!”
Rona wajah Richelle begitu tenang, untuk sejenak saja. Dia tengah memikirkan kalimat yang pantas dia balaskan, sesuatu yang layak untuk mengusik perasaan Daimaro. Pupil matanya berkaca-kaca, namun air mata itu tidak akan pernah ia keluarkan lagi.
“Aku hanya punya satu pilihan untuk itu!”
“Pilihan? “
“Aku akan membuatmu mencintaiku! Dengan begitu kau tidak akan menceraikanku ataupun membunuhku”
Richelle tersenyum licik, dia melangkah keluar tanpa sepeninggalan kata-kata yang berhasil membuat tulang rusu Daimaro terasa ngilu.
“Gadis bodoh! Tidak ada wanita yang berhasil membuat aku jatuh cinta lagi!”
Setelah makan malam, Richelle meluncur ke kamarnya sementara Dai berbelok ke mini bar nya. Mona melayani minumnya seperti biasa, gelas kaca yang tersusun rapi. Minuman alkohol dengan berbagai mereka dan rasa, harga yang fantastis tidak luput dari sana.
“Sudah cukup! Kau sepertinya hampir mabuk, tuan Dai!”
Daimaro berdecak, ia meneguk habis minuman terakhir dan melepaskan krah yang terasa mengganggu “Wanita itu, hah! Dia ingin membuat aku jatuh cinta padanya! Sombong sekali”
“Dia tidak tau apapun tentang masa lalu mu!”
“Lalu? Kau fikir aku tau masa lalunya?”
“Kau tau bagaimana kesulitan yang Richi alami, orang tuanya mati bukan tanpa sebab kan?”
Setiap kali malam tragis itu teringat oleh Daimaro, maka dia juga akan mengingat wajah pria brengsek yang sudah menghancurkan kehidupan kakaknya.
“Gadis bodoh itu hanya alat bagiku!”
Daimaro melangkah menaiki tangga, dia belum mabuk tapi tubuhnya yang terasa sangat hangat sudah meningkatkan hasratnya.
“Tuan! Sebaiknya jangan ke kamar mu karena…” Mona berhenti berbicara, Daimaro sudah tidak akan mendengarkan ucapannya lagi. Mona mengigit bibir bawahnya, meringis membayangkan apa yang akan terjadi kalau Daimaro bertemu dengan Richell dalam keadaan setengah mabuk.
Gagang pintu bercorak emas itu, dia tari turun ke bawah dan mata Dai langsung tertuju kepada gadis yang menelungkup di atas tempat tidur. Richelle tengah menikmati membaca majalah, sekedar menghibur dirinya.
Richelle mengangkat setengah kakinya di belakang, bermain-main dengan itu hingga dress tidurnya terangkat memperlihatkan pahanya. Dia terbenam ke dalam katalog tas branded yang tengah dia lihat di majalah, hingga nadinya terasa mengalir hangat karena tangan seorang pria meremas bokongnya.
“Kau ingin menjadi seorang istri kan? Maka biar kutunjukkan caraku memperlakukan seorang istri” Dai menyeringai padanya.
Richelle berulang kali menyiratkan tentang pernikahan yang sesungguhnya. Di benaknya, menaklukkan Daimiro, agar dia memiliki senjata yang tangguh. Ketika pria itu memberinya pilihan, sulit baginya untuk tidak memikirkan cara yang licik.Jiwanya berdesir menerima remasan halus di bagian bongkahan pinggulnya, dia menarik dirinya dan seketika aroma alkohol yang tidak terlalu kuat tercium dari tubuh Daimiro.“Dai? Kau mabuk?”“Sedikit! Aku masih sadar!” Daimiro menarik lengan Richelle, mempersempit jarak diantara mereka ketika tubuh Richelle harus condong ke arahnya. Mendekati aroma maskulin yang bercampur dengan parfum luxury, tidak ini juga sisa minuman yang menepi di sudut bibir Daimiro.“Katakan, kau siap aku gagahi?”“A-apa? Kenapa tiba-tiba?” Richelle tersentak. Awalnya dia hanya sekedar mengancam, hatinya belum bisa pulih dari luka itu.Semenjak Azam mewarnainya, mereka melakukan hubungan itu tiga kali lagi, dan setelah kehamilan dia dicampakkan. Azam selalu melakukan segalanya
Mona melirik ke langit-langit di atasnnya, helaan nafas dan senyuman menjadi satu. Dia merasa berhasil dengan rencananya, meskipun masih ada keraguan yang terbesit. Wisky terakhir ia telan dalam hitungan detik. Matanya sudah mulai lelah dengan rasa kantuk.“Honey? Jangan minum lagi, nanti mabuk!” suara suaminya yang sudah lama ia rindukan. Sean menghampirinya, memeluk tubuh istrinya dari belakang.Seperti biasa, Mona tidak akan langsung membalas hangat sentuhan Sean. Meskipun secara usia, Mona jauh lebih muda dari Sean, sulit baginya untuk menjadi gadis manja bagi pria itu.“Aku memasukkan pil perangsang ke dalam minuman tuan Dai!” Mona berucap“Kau mengerjainya? Kalau dia tau, bisa habis kita dimarahi tuan kasar itu!”“Mau bagaimana lagi, dia menikahi gadis malang itu, tapi tidak menyentuhnya layaknya seorang istri. Aku yang perih mendengar rengekkan Richelle memohon disentuh!”“Yah, semoga saja obat itu bekerja!”“Sepertinya sedang bekerja! Sebelum efeknya habis!”“Hmm, apa kau tid
Richelle tidak bisa bergerak bebas, dia tersentak ketika Mona menarik erat tali di pinggangnya. Gaun itu sangat ketat, apalagi di bagian pinggangnya. Belum lagi model belahan yang terbuka di punggungnya, memperlihatkan kulit mulut hingga pingganya.“Kenapa harus begini? Apa kau yakin ini hanya latihan, Mona?”“Iya, mau bagaimana lagi! Kau tidak bisa berjalan dengan postur tubuh tegap, kepala mu harus menatap pasti ke depan, pundakmu harus percaya diri, jangan berjalan dengan membungkuk!”Paru-parunya terasa sesak ketika dia bernafas, tidak ada celah baginya untuk lari dari situasi ini.“Berjalan lah sekarang, ke depan sana!” perintah MonaLirikkan matanya memastikan Richelle aman, meskipun dia menahan senyuman karena Richelle terlihat sangat risih dengan balutan gaun berwarna hitam itu.“Kaki ku sudah lelah!”“Kau tidak bisa menyerah Richi, waktumu hanya satu minggu. Selain mendidik postur tubuhmu, kau juga harus membaca semua buku itu, melatih caramu berbicara, dan…”“Dan apa?”“Aku
“Tuan? Apa sebaiknya kita beli bunga?” Sean melirik boss nya yang sedari tadi sepertinya tengah melamun. Dia cemas kalau masalah yang dikirkan Dai sebenarnya bukanlah masalah kantor, melainkan tentang gadis yang kini ada di rumah bossnya.“Bunga? Untuk apa?” Dai membalas lirik, keningnya mengkerut bingung. Dia tidak memiliki urusan dengan bunga, tapi asistennya itu malah membahas bunga.“Kau melukai perasaan nyonya tadi pagi, mungkin dia akan senang kalau kau berikan bunga!”Fikiran Diamiro sejak tadi memang teringat dengan gadi dirumahnya. Rasanya aneh untuk membayangkan hal itu, satu-satunya yang menggangu baginya adalah ekspresi Richella.“Aku tidak butuh bunga, dia juga tidak!”“Yah, mungkin saja kau sedang berfikir tentang dia?”Daimiro melonggarkan dasinya, dia tidak ingin larut dalam permasalahan ini. Ada banyak hal yang lebih penting untuk ia selesaikan “Kau sudah menyiapkan manajemen baru? Aku ingin mangatur ulang mereka semua!”“Sudah! Kapan kita rapat untuk ini?”“Tidak pe
Bodoh menjadi kata, yang tidak asing lagi bagi Richella. Hampir setiap manusia yang berpapasan dengannya, mengatakan hal yang sama. Memangnya kenapa?Apa salahnya yang tidak mampu mempertahankan harta orang tuanya? Apa salahnya juga begitu lemah setelah menyaksikan orang tuanya meninggal dengan cara yang tidak wajar. Dia hanya tidak bisa memupuk dendam, ketika dia besar dengan kerabatnya.“Kenapa diam?” Daimiro menurunkan pandangannya, dia melirik jemari Richelle yang meremas gaun. Pertanda gadis itu tengah menahan diri dan lain hal nya.Apa mungkin Daimiro terlalu bersikap keras. Tidak, dia memang tidak menginginkan cinta terjadi diantara mereka. Semua yang Diamiro butuhkan hanyalah membuat Richelle membalaskan dendamnya.Daimiro belum berfikir, sampai dimana dia akan terlibat dalam kehidupan gadis itu, yang pasti dia sudah memastikan kalau akhir dari semua ini adalah perceraian. Dia tidak tertarik bermain api jauh dari ini.“Kita turun ke bawah, dan makanlah! Sebelum kau yang ku ub
Richella sejujurnya tidak pernah benar-benar memahami, arti kenikmatan dalam percintaan. Dia hanya tau, jika prianya bahagia karena itu, dia akan lakukan. Pemikiran itulah yang menjebaknya, dan membuatnya menjadi semakin hina dimatanya sendiri.Daimiro menahan diri, tidak mungkin untuk dilanjutkan. Dia melepaskan bibir merekah milik Richella dengan gundah. Dia masih berharap untuk menghisap bibir itu dalam, tapi kalau diteruskan gadis itu bisa-bisa tidak berjalan esok pagi dibuatnya.“Pergilah sekarang! Aku tidak tau apa yang akan terjadi, kalau kau tetap disini!” Dai memperingatkan sekali lagiIris mata mereka saling beradu tatap, benda menegang dibawah sana yang tertempel di perutnya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan di benaknya. Iya, Diamiro pasti akan melahap habis dirinya kali ini. Lalu apa hatinya ingin pergi?Misi Richella adalah membuat Diamiro mencintainya, maka seluruh harta Daimiro akan menjadi miliknya. Balas dendam mungkin tujuan utamanya, tapi mendapatkan cinta Daimi
Tidak ada gunanya untuk menyingkir, menyadari ini akan menjadi malam yang canggung pun tidak lagi. Richella sudah terlanjur terbuai dengan sapuan lidah Diamiro, bahkan pria itu sudah membuat basah kedua belahannya, dan nafas mereka saling memburu.“Aku tidak bisa menahan lebih dari ini!” Daimiro mengangkat pinggulnya. Dia menjadikan tangan kirinya sebagai tumpuan “Buka lebih lebar, tidak akan sakit karena kau sudah melepaskan itu sejak lama!” ucapnyaMatanya membalas lekat tatapan dari iris mata gadis yang telentang di bawahnya. Pipi gadis itu merona, dan memberikan semangat berbeda untuk Daimiro. Sebuah alasan, yang memacu adrenalinnya hingga menjadi pria yang tangguh dan gagah malam ini.“Sudah?” Richelle bertanya, memastikan apakah renggang pahanya di bawah sana sudah cukup“Jangan pejamkan matamu, tatap aku!” Daimiro menuntut dengan tangan kanannya, menekan perlahan. Jemari Richella tanpa dikomandoi langsung meremas lengan atas Diamiro, keningnya meringis, sementara ia mengigit bi
Napas yang berhembus dengan lembut, perlahan menjadi tenang. Rongga dadanya terisi dengan baik, membuat seluruh aliran darahnya berjalan dengan lancar. Bisa dikatakan, itu adalah tidur ternyaman bagi Richella.Begitu kelopak matanya perlahan terbuka, dia sudah tidak mendapati keberadaan Daimiro di kamar. Tangannya sempat meraba-raba ke bagian samping. Sosok yang hendak dia cari sudah tidak disana, lebih tepatnya Daimiro memang sudah keluar dari kamar itu bahkan sebelum matahari terbit.Richella bangkit, sedikit menyelipkan kakinya. Tidak terasa pegal, tubuhnya sudah melewati rileksnya malam “Tidak seperih dulu! Bagaimana bisa? Apa itu yang namanya nikmat bercinta?” Richelle bergumam.Ia teringat dengan ucapan Daimiro, perihal membuat dirinya merasakan nikmat yang sesungguhnya. Rona wajahnya langsung merah padam. Dia dihangatkan oleh api unggun, yang tidak ada siapapun menikmati kehangatan itu, selain dirinya.“Arghhh!” dia terpekik malu, menutupi wajahnya dengan jari. Cinta?Tidak! Ti