I need sunshine to kiss me up every single morning, and it's you, Sinar Bhanuresmi.
— Prasetyo Sagara —
Hasrat pada pandangan pertama. Itulah hal pertama yang dirasakan oleh Pras, saat melihat Sinar datang ke kantor firma hukumnya.
“Siapa, perempuan yang ada di ruang Ashi sekarang, Lex?” Pras bertanya pada manajer partnernya di Firma Sagara, sembari terus melangkah menuju ruang kerjanya. Tiap ruangan yang ada di firmanya disekat oleh dinding kaca transparan, hal itu dilakukan agar tidak ada hal terselubung yang diperbuat antara para advokat dan klien mereka.
Lex menoleh sekilas dengan memicingkan mata. “Ibu Sinar Bhanuresmi, kemaren dia sempat menggugat cerai suaminya, tapi yang aku dengar, dia mau mencabut gugatannya dan rujuk.”
“Dia sudah menikah?”
“Don’t you ever think ‘bout it, Pras.”
Lex yang hapal dengan tabiat Pras, harus memperingatkan pria itu karena suami Sinar, bukanlah orang sembarangan. Lex sengaja tidak menyebutkan nama suami wanita itu, biarlah Pras, nantinya akan mengetahui sendiri.
Pras hanya menyematkan senyum tipis dan sejurus kemudian, keduanya berpisah, memasuki ruangan masing-masing.
Secara kepemilikan, Firma Sagara adalah milik Pras. Namun, karena Lex sudah bersama dirinya sejak awal pendirian kantor tersebut. Maka, Pras mengajak Lex untuk menjadi partner sekaligus sebagai capital contribution* bagi firmanya.
Sekitar satu jam kemudian, Pras memanggil Ashi agar segera ke ruangannya untuk membicarakan sesuatu.
“Klienmu, Sinar Bhanuresmi, aku minta semua data lengkapnya. Dan aku yang akan menangani kasusnya.”
“Tapi, Pak—”
Pras mengangkat tangan kanannya untuk menyela Ashi.
“Siapa suaminya? Dan kenapa dia mengajukan gugatan cerai? Satu lagi, kenapa tiba-tiba dia berniat untuk rujuk?”
Ashi mengeluarkan desisan diiringi tarikan napas dari mulutnya. Ini cuma kasus perceraian, kenapa pengacara kelas kakap seperti Pras, mau repot-repot turun tangan untuk menangani hal receh seperti ini, pikirnya. Pasti ada maksud di balik itu semua.
“Suami Bu Sinar ... Wakil Pemimpin Redaksi Network TV, Pak Bintang Galexia.” Ashi menarik napas sejenak, kemudian kembali melanjutkan penjelasannya. “Bu Sinar mengajukan gugatan karena sudah tidak ada kecocokan diantara mereka, tapi beliau tidak menyampaikan alasan untuk kembali rujuk.”
“Ah!” Ada sebuah keterkejutan saat Ashi menyebut nama Bintang, karena setahu Pras, istri Bintang adalah Daya bukan Sinar. Terlalu lama berada di Singapura, membuat dirinya jarang mendengar kabar tentang kehidupan pribadi kolega serta teman lamanya. “Jelaskan tentang ketidakcocokan yang dimaksud?”
“Kompleks, Pak. Dari masalah mertua, tidak adanya quality time, dan terakhir masalah wanita.”
“Baiklah.” Pras mengangguk paham dengan wajah datar. Biarlah nanti, ia cari tahu sendiri tentang Bintang dan Daya. “Kamu boleh pergi dan jangan lupa dengan yang aku minta tadi, e-mail segera.”
---
Pump heels setinggi 5 senti itu, menghentak begitu elegan ke dalam restoran. Menggaungkan bunyi seirama yang menggema, ketika Sinar melewati koridor sebuah restoran untuk menuju ruang VIP.
Ia ada janji temu dengan Ashi hari ini, perihal pencabutan gugatan cerainya. Tapi yang membuat heran adalah, Ashi meminta bertemu di ruang VIP sebuah restoran mewah. Padahal biasanya, mereka hanya bertemu di kafe biasa atau di Firma Sagara.
Sinar berucap terima kasih kepada pelayan yang telah mengantarkan, sekaligus membukakan pintu ruang VIP itu untuknya.
Mulutnya ternganga sejenak, berdiri statis beradu tatap dengan pria tampan berwajah antagonis, yang saat ini tengah berdiri mengancingkan jasnya, saat melihat Sinar ada di bibir pintu.
“Maaf, sepertinya saya salah ruang.” Sinar baru saja hendak membalik tubuhnya, namun ia kembali terdiam, saat mendengar ucapan pria itu.
“Ruangannya benar, silakan masuk.”
Ragu sebenarnya, tapi, kaki Sinar pada akhirnya melangkah maju. Pria itu mengulurkan tangan terlebih dahulu untuk memperkenalkan diri.
“Pras. Prasetyo Sagara.”
“Sinar Bhanuresmi,” kemudian Sinar duduk tanpa melepas pandangannya yang masih saja beradu dengan Pras. Dari nama belakangnya saja, Sinar sepertinya paham, siapa pria di depannya saat ini, yakni pemilik Firma Sagara. Tempat Ashi, pengacara yang mengurus perceraiannya bekerja. “Kemana, Mbak Ashi? Bukannya, saya seharusnya bertemu dengan beliau?”
Pras tidak menjawab. Ia menyodorkan sebuah berkas, yang telah Pras pelajari sebelumnya. “Aku, bukan orang yang suka basa-basi. Silakan baca, dan, karena aku tahu kamu pintar, berkas itu pasti bisa dengan cepat kamu pahami.”
Apa-apaan ini? Pria itu tidak mau repot-repot untuk berbicara formal dengannya. Padahal Sinar adalah klien di firmanya.
Sinar mengambil sebuah map berwarna cokelat yang disodorkan oleh Pras dalam diam. Tidak berucap sepatah katapun. Membaca dan meneliti lembar demi lembar, lalu, lama kelamaan deru napasnya melaju cepat.
“Apa maksudnya ini?”
“Perlu aku perjelas?” ekspresi Pras tidak terbaca, kemudian pria itu melanjutkan kalimatnya. “Itu, salinan dari laporan keuangan APBD, selama ayahmu menjabat sebagai Kabag Humas Pemprov*. Lihat sendirikan, ada beberapa penyelewengan yang ditandatangani oleh Pak Prabu?”
Sinar meneguk ludahnya yang gersang. Menggeleng tidak percaya dengan apa yang telah dibacanya saat ini.
“Terus, apa maksud dari semua ini?” tanyanya sekali lagi sembari mengembalikan berkas ke dalam amplop coklat dan menyodorkannya kepada Pras. “Apa tujuanmu?” Sinar bahkan sudah tidak ingin bersikap formal dengan Pras.
“Aku bisa menjebloskan ayahmu ke penjara, kalau dokumen itu sampai ke pihak berwenang.”
“Brengsek!” Sinar menggebrak meja tanpa ragu, namun Pras tetap tidak berekspresi, tetap tenang dengan wajah arogan. “Apa maumu? Kamu butuh uang? Mau memeras keluarga kami? Begitu?” decihnya penuh tatapan geram.
Pras tertawa pongah, mengejek sekaligus meremehkan. “Harta yang kupunya, bahkan jumlahnya berkali lipat dari milik keluarga kalian.”
“Gak usah bertele-tele! Langsung aja, apa maumu!”
“Jadi milikku!” seru Pras tidak berbasa-basi.
“Are you insane?” Sinar mengangkat tangan kirinya dan memperlihatkan cincin yang masih melingkar di jari manisnya. “I’m married.”
“So? I didn’t see the problem.”
Sinar menggeleng diikuti decakan berkali-kali. Pria seperti apa, yang sedang dihadapinya saat ini. Ekpresinya sangat datar dan tidak mudah untuk di tebak.
“Kamu benar-benar gila, kenapa gak cari cewek di luar sa—”
“Karena aku menginginkanmu!” sela Pras sembari mengarahkan telunjuknya ke arah Sinar. “Well, kita bisa mencobanya terlebih dahulu, satu malam—”
Cukup sudah!
Sinar kembali menggebrak meja dengan emosi yang memuncak. “Pasang indera pendengaranmu itu baik-baik, Pras. Aku sudah menikah da—”
“Dan kamu mengajukan gugatan cerai.” potong Pras dengan tatapan datar, pun intonasi bicaranya. “Apa Bintang gak bisa memuaskanmu di ranjang?”
Pria ini, benar-benar tidak bisa memfilter mulutnya ketika berbicara, pikir Sinar.
“Aku sudah mencabut gugatan itu, dan aku mau rujuk! Dan ini gak ada urusannya dengan masalah ranjang!”
“Boleh aku tahu alasannya?”
“Aku hamil, empat minggu.” intonasi Sinar sedikit melunak.
Detik itu juga, Pras mengumpat dalam hati. Namun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Kenapa hasratnya harus berurusan dengan wanita yang tengah hamil seperi ini.
“Well, it’s oke. Selalu ada yang pertama bukan? Aku memang gak pernah menghabiskan malam dengan perempuanya yang sedang hamil. Tapi, sepertinya itu menarik.”
Sinar kembali menggeleng, tidak habis pikir dengan semua yang ada di benak Pras. Tidak ingin menghabiskan waktu berlama-lama dengan pria itu, Sinar memundurkan kursinya lalu berdiri dengan menyampirkan tas di bahu.
“Pergilah,” ucap Pras dingin. “Dan bisa aku pastikan kalau besok … ayahmu akan langsung berada di bui.” imbuh Pras beranjak menghampiri Sinar yang saat ini tengah berdiri kaku.
Pria itu berhenti tepat di depan Sinar. Memberikan seringai tipis penuh kemenangan, saat melihat wajah Sinar yang tampak pias. Mulut Pras baru saja hendak terbuka, untuk mentertawakan ketidakberdayaan gadis itu.
Alih-alih sebuah tawa yang keluar dari mulutnya, Pras malah mengaduh keras. Menunduk sembari mengusap kaki kirinya yang baru saja terkena ujung pump heel milik gadis itu.
Yah, Sinar telah menendang tulang kering Pras dengan sekuat tenaga yang ia punya, di tengah kekesalannya yang memuncak.
“SINAR!”
Pras mengumpat, merasa diremehkan. Ini kali pertama, ada seorang wanita yang memperlakukannya dengan kasar. Itu artinya, Sinar telah menantangnya dan Pras pantang untuk ditantang, apalagi dengan mahkluk berjenis kelamin perempuan.
Sinar dengan berani menarik dasi Pras, mensejajarkan wajah pria itu dengan dirinya. “Hei, pengecut! apa kamu gak punya cara yang lebih gentle untuk menghadapi seseorang, sampai harus menyerangnya dari belakang? Lebih baik kamu kebiri aja tuh ulat bulu yang ada di balik celanamu, karena kamu gak pantes sama sekali disebut sebagai seorang laki-laki.”
Oh, sungguh Pras benar-benar merasa tertantang kalau seperti ini. “Ckckck, kamu itu, cuma belum tahu aja, bagaimana ulat buluku bisa membuatmu meracau nikmat saat kamu berada di bawahku.”
Satu tangan Sinar yang lain sudah melayang di udara untuk menampar Pras, namun, pria itu dengan gesit menangkapnya. “Aku suka perempuan yang agresif dan sedikit kasar, apalagi saat di atas ranjang bersamaku.”
“Kamu itu sakit!” maki Sinar.
“Dan, cuma kamu obatnya.” balas Pras dengan menyematkan seringai tipis di wajah tampannya.“Kamu GILA!”“Karenamu!”“Just go to fuckin hell!”“And I’ll bring you with me, then.”“You’re such an asshole!” jerit Sinar pada akhirnya. Ia sudah benar-benar jengah dengan Pras.“I bet, this asshole gonna make you scream my name, all night long. and you won’t regret it at all!”---
* Capital Contribution: partner yang memasukkan sumber daya atau materi keuangannya sendiri ke dalam perusahaan untuk meningkatkan modal ekuitas.
* Kabag Humas Pemprov: Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi.
“Sinar!”Harsa, Pemimpin Redaksi -pemred- dari Metro Ibukota, menghampiri wanita itu dengan tergesa. Metro merupakan perusahaan media cetak yang sudah cukup terkenal dan memiliki nama di ibukota.Sedangkan Sinar, merupakan sekretaris redaksi -sekred- yang sudah bekerja di Metro selama kurang lebih 3 tahunan. Ia cukup beruntung, karena tidak harus menghadapi regulasi tes yang menyita waktu, ketika melamar menjadi sekred yang seleksinya lumayan ketat. Hal itu dikarenakan, Harsa langsung mencatutnya dari staff iklan, untuk menggantikan sekred lama yang terpaksa berhenti, karena harus menikah dengan rekan satu kantor.“Butuh sesuatu, Pak?” tanya wanita cantik berusia 24 tahun yang selalu terlihat rapi dan sopan ketika berkerja.“Ayahmu, hari ini diperiksa pejabat berwenang, kamu sudah dengar?”Tangan Sinar mengepal erat. Wajahnya mengeras sekaligus memanas. Jantungnya seketika berdenyut ngilu, memikirkan satu nama.
“Pras?” tanya Bintang dengan penuh keterkejutan, “Maksudmu, Prasetyo Sagara? Pemilik Firma Sagara? Dia ada di Jakarta?”Sinar mengangguk. “Mas Bin, kenal sama Pras?” bertanya balik untuk lebih memastikan. Setelah pergi dengan memupuk amarah yang meluap-luap keluar dari kantor Pras. Sinar memesan taxi, pergi untuk menemui Bintang, sang suami yang tidak jadi ia gugat cerai."Ya."“Emang, harusnya dia di mana kalau gak di Jakarta?”“Singapur,” tukas Bintang. “Dia juga punya firma hukum di sana, dan biasanya, dia cuma beberapa bulan sekali baru pulang ke Jakarta, itupun pas weekend, cuma satu atau dua hari.”Sinar sudah menceritakan semua tentang perbuatan yang dilakukan Pras kepada Bintang. Praslah yang telah menyerahkan semua dokumen tentang penyelewengan APBD ke pihak berwenang. Dan, Sinar juga mengadu, kalau Pras akan membuat mereka bercerai segera mungkin.Bintang merai
Sinar melemparkan ponselnya dengan keras ke arah Bintang. Jika saja, kepala pria itu tidak langsung bergeser ke arah kiri, mungkin sisi wajah Bintang saat ini sudah lebam, terkena benda pipih dengan lebar 6,4 inchi itu.Ponsel tersebut berakhir membentur dinding, yang ada di belakang Bintang dengan keras. Kemudian jatuh terhempas retak, di lantai marmer begitu saja.“Kamu main-main sama aku, Mas? Aku sudah setuju untuk rujuk demi anak yang aku kandung, tapi sekarang, kamu malah cerain aku!” jerit Sinar, sudah tidak dapat lagi membendung gejolak yang akhirnya tumpah membanjiri pipinya. "Kamu mau balas dendam sama aku!"“Ini bukan mauku, Nar.” hela Bintang maju satu langkah untuk mendekati Sinar. Namun, gadis itu juga mundur satu langkah, untuk menghindari Bintang. “Perusahaanku akan bermsalah dan para karyawan juga akan kehilangan mata pencahariannya, kalau aku gak tanda tangan surat cerai itu.”“Kamu lebih menting
Bulu mata nan lentik itu terbuka perlahan. Maniknya mengerjab pelan, menyesuaikan pendaran cahaya yang masuk ke dalam mata. Bau khas dari rumah sakit membuat Sinar pelan-pelan sadar, kalau dirinya masih berada di tempat yang sama. “Sudah aktingnya?” Manik Sinar membola seketika. Kembali, napasnya seolah tercekat saat mendengar suara pria yang sudah membuat hidupnya runyam. Tapi, untuk apa pria itu di sini? Sinar kembali mengerjab, memastikan lagi keberadaannya saat ini. Dan benar, ia masih berada di rumah sakit. Terbaring lemah, dan hal terakhir yang sempat tersemat di pikiran Sinar ialah, ia tengah menjenguk keponakan Bira di ruang VIP. Sinar bangkit perlahan, posisi duduknya sedikit membungkuk malas. Terkesiap saat menatap wajah arogan, yang tengah duduk santai di sofa, tanpa melepas tatapan tajamnya pada Sinar. “Hapemu dikunci, jadi, kami gak bisa menghubungi keluargamu.” ujar Pras dengan intonasi datarnya. “Bukannya aku gak mau men
“Kamu baik-baik aja, Nar?” tanya Harsa setelah rapat redaksi pagi selesai. Gadis itu terlihat pucat dengan lingkaran hitam yang menggantung di bawah mata. “Kalau sakit, kamu bisa pulang dan istirahat.”Sinar menutup laptopnya lalu tersenyum menatap Harsa. “Saya sehat, Pak. Cuma kurang tidur.” jawabnya jujur. “Permisi.”Sinar perpamitan terlebih dahulu, keluar dari ruang rapat dengan memeluk laptop di depan dada. Duduk di meja kerjanya dan bersiap merangkum semua resume rapat dan mengirimkannya ke email redaksi Metro.“Nar, tolong gantiin Farah untuk rapat direksi di atas setengah jam lagi.” pinta Harsa yang baru saja menerima telepon dari direktur utama. “Farah gak masuk, dan sebentar lagi ada rapat kecil pemegang saham.”Namun, sejurus kemudian Harsa dengan cepat meralat ucapannya. “Sepertinya gak usah, Nar. biar saya minta anak iklan aja yang gantiin Farah. Kamu sebaiknya pula
Begitu pintu mobil ditutup dari luar, Pras membuka matanya perlahan. Menegakkan kepala dan membuang pandangan ke luar jendela. Ingatannya kembali berputar, akan rekaman pertemuan yang terjadi antara dirinya dan Daya, sekitar seminggu yang lalu di sebuah rooftop bar. “Aku baru dengar kalau kamu cerai dengan Bintang.” Pras memandang cinta pertamanya itu lamat-lamat. Wajah kalem keibuan dengan senyum khas yang begitu hangat, selalu mampu mencairkan hatinya dahulu kala. “Yaa, udah lama sih.” Daya menyematkan senyum manisnya. “Kamu, tumben ngajak ketemuan? Udah berapa lama yaa … kapan balik Singapur lagi?” ingatan Daya berputar di saat ia masih menjadi junior Pras di kampus saat itu. Dan pria itu tidak pernah lagi menemuinya, sejak Daya memberi Pras sebuah kartu undangan pernikahannya dengan Jagad, kakak Bintang. “Kenapa kamu cerai dengan Bintang, Day?” Pras tidak pernah berubah, ia selalu saja tidak bisa berbasa basi untuk mengungkapkan tujuannya. Pria itu juga t
Butuh dua kali Harsa men-dial nomor Pras, sampai sang pengacara itu mengangkat teleponnya. “Hmm.” Tidak ada kata sapaan yang terdengar dari ujung sana saat Pras sudah mengangkat telepon dari Harsa. Hanya sebuah gumaman angkuh yang pastinya menjengkelkan indera pendengaran. “Kamu memecat Sinar, Pras? tanpa berdiskusi terlebih dahulu denganku? dia itu sekretarisku.” Harsa tidak perlu berbicara formal dengan sang pemilik baru Metro Ibukota itu, karena ia sudah mengenal Pras sedari pria itu masih menjejakkan awal karirnya menjadi pengacara. “Aku pemilik Metro sekarang, Om. Dan, aku sudah bilang dari awal kalau akan merombak manajemen di sana dan sekred Om itu salah satunya.” “Pras.” Harsa meraup separuh wajahnya. “Nyari sekred yang bisa dibilang multitalenta dan gak pernah mengeluh seperti Sinar itu sekarang susah! Apalagi, dia sudah 3 tahun jadi sekred di Metro. Seluruh wartawan cabang sudah kenal akrab dan Sinar tahu past
Bagi Sinar, Bintang adalah sosok suami yang sempurna. Sangat bertanggung jawab, dan tidak segan membantunya dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasa-rasanya, tidak ada yang tidak bisa Bintang lakukan. Pria itu, juga sangat lihai dalam memasak, bahkan, terkadang rasa masakan yang dibuatnya justru lebih nikmat daripada milik Sinar sendiri. Beruntung! Hanya satu kata itu yang bisa diungkap Sinar, saat bisa memiliki seorang suami seperti Bintang. Tapi kalau diselami lagi, ternyata tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Dibalik itu semua, Sinar harus bisa merelakan sebagian besar waktu Bintang untuk putranya lalu pekerjaannya. Setelah semua selesai, barulah giliran Sinar mendapatkan waktu berdua dengan sang suami. Hal itu sudah berlangsung selama masa pernikahan mereka. Belum lagi, jika ibu Bintang yang memang sering sengaja mengadakan makan bersama, dan juga terang-terangan tidak mengajak Sinar di dalamnya. Sinar sudah cukup bersabar untuk m