Share

Selesai

Sinar melemparkan ponselnya dengan keras ke arah Bintang. Jika saja, kepala pria itu tidak langsung bergeser ke arah kiri, mungkin sisi wajah Bintang saat ini sudah lebam, terkena benda pipih dengan lebar 6,4 inchi itu.

Ponsel tersebut berakhir membentur dinding, yang ada di belakang Bintang dengan keras. Kemudian jatuh terhempas retak, di lantai marmer begitu saja.

“Kamu main-main sama aku, Mas? Aku sudah setuju untuk rujuk demi anak yang aku kandung, tapi sekarang, kamu malah cerain aku!” jerit Sinar, sudah tidak dapat lagi membendung gejolak yang akhirnya tumpah membanjiri pipinya. "Kamu mau balas dendam sama aku!"

“Ini bukan mauku, Nar.” hela Bintang maju satu langkah untuk mendekati Sinar. Namun, gadis itu juga mundur satu langkah, untuk menghindari Bintang. “Perusahaanku akan bermsalah dan para karyawan juga akan kehilangan mata pencahariannya, kalau aku gak tanda tangan surat cerai itu.”

“Kamu lebih mentingin karyawanmu dari pada aku sama anakmu?” sambar Sinar di detik selanjutnya. “Apa kamu gak mikirin gimana perasaanku, gimana anakmu nanti? kalau perusahaanmu bermasalah, kamu masih punya jabatan di Network untuk pegangan! Karyawanmu juga bisa nyari pekerjaan baru di luar sana!”

Bintang kembali berusaha untuk berjalan menghampiri Sinar.

“Berhenti di situ, Mas!” seru Sinar menunjuk Bintang dengan terisak. “Dari dulu, aku selalu diam, selalu mengalah, selalu dinomor duakan meski statusku sekarang adalah istri sahmu.”

“Sinar …”

“Mamamu pasti senang kalau dengar kita akhirnya cerai.”

“Jangan bawa-bawa, mama, Nar.”

Decihan yang keluar dari mulut Sinar tampak kentara. “Keluar dari apartemenku!” usirnya sembari mengusap semua bulir basah yang masih mengalir di wajahnya. Bibirnya pun masih bergetar dengan isakan yang tertahan sesak di dada.

Ayahnya ditahan dan kini, Sinar benar-benar sudah menjadi janda. Dan semua itu perbuatan dari satu orang yang bernama Pras.

Pada mulanya, Sinar mengajukan gugatan cerai karena sudah tidak tahan dengan sikap Inka. Ibu mertuanya itu, selalu ikut campur dan membandingkan Sinar dengan mantan istri Bintang. Belum lagi, Sinar selalu dituduh menjadi penyebab perceraian antara Bintang dan Daya.

Inka juga selalu mengungkit Sinar yang tidak kunjung hamil, padahal keduanya sudah menikah selama dua tahun. Lalu, untuk semua sakit hati yang dipendam sekian lama, amarah Sinar memuncak dan memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai.

Namun, di tengah jalan, pikiran Sinar berubah saat ia mengetahui kalau dirinya tengah hamil. Ia pun menyetujui permohonan Bintang agar rujuk dengannya.

Kemudian, inilah akhirnya, mereka bercerai karena pria asing bernama Pras. Pria itu tiba-tiba saja datang, dan menghempas semua mimpi indah Sinar yang baru saja hendak kembali dirajut bersama Bintang.

Sungguh, Sinar tidak mengerti, siapa Pras sebenarnya. Pria seperti apa yang sedang dihadapinya saat ini. Sebegitu berkuasanyakah seorang Prasetyo Sagara, hingga mampu membuat hidupnya jungkir balik hanya dalam jentikan jarinya.

“Nar …”

“Keluar aku bilang! Dan jangan pernah injakkan kakimu lagi di sini. Kita sudah cerai! Selesai.”

--

Dengan gontai, kepala Sinar tertunduk lesu berjalan di sepanjang koridor rumah sakit, menuju pintu keluar. Ia baru saja memeriksakan kembali kandungannya, karena khawatir dengan pikirannya yang stress belakangan ini. Dan, untunglah, semua baik-baik saja.

Berkali-kali Sinar menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan pasrah. Setelah hari itu, Sinar mengajukan cuti selama tiga hari. Ia hanya mendekam di dalam apartemen meratapi nasibnya seorang diri. Gadis itu hanya keluar untuk membeli ponsel baru. Menggantikan ponsel yang telah ia hempas dengan keras hingga membentur dinding untuk melempar Bintang.

Sinar hanya sesekali menelepon sang bunda, July, untuk bertukar kabar. Memastikan wanita yang telah melahirkannya itu dalam keadaan sehat, dan tidak terlalu tertekan karena sang suami sudah tidak lagi bersamanya.

Sinar belum mengatakan apapun pada July tentang perceraiannya dengan Bintang. Sang Bunda, hanya tahu, kalau Sinar telah berubah pikiran, tidak jadi bercerai, karena gadis itu tengah hamil.

Sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggil namanya, saat Sinar sudah berada di lobi rumah sakit. Dengan berat, Sinar mengangkat wajah, memutar sedikit kepalanya ke arah kiri.

“Sendiri? apa sama suami?”

Bira, sahabat Sinar yang menghampirinya itu, tampak celingukan menatap lurus pada lorong koridor yang baru saja ditinggalkan gadis itu. Mencari sosok yang dikenalnya tapi tak kunjung ada. Tatapannya kemudian turun melihat gadis itu, mengernyit.

“Wei, sendirian? kamu sakit?”

Sinar seakan terhenyak, jiwanya seolah ada dan tiada. Dan baru menyadari saat suara Bira sedikit menyentaknya.

“Sendiri.” Sinar ikut celingukan dan memiringkan tubuhnya. Maniknya berpencar untuk melihat dengan siapa Bira di rumah sakit. “Kamu sama siapa? Ngapain di sini?”

“Aku sendiri, mau jemput mami.” jawab Bira. "Kamu sendiri, ngapain?"

Mata Sinar mengerjab satu kali, tidak mengacuhkan pertanyaan Bira. “Tante Aida sakit?’

“Bukan mami, tapi Nando. Kena demam berdarah. Mau ikut jenguk, gak?” tawar Bira mengajak Sinar untuk menjenguk keponakannya.

Tanpa harus berpikir lagi, Sinar mengangguk, mengiyakan. Daripada ia harus pulang dan lagi-lagi menyendiri di apartemen untuk meratap. Lebih baik menerima tawaran Bira untuk menjenguk keponakan pria itu. Toh, Sinar sudah mengenal Aida dan ibu Nando, Viona, dengan baik.

Saat masih kuliah dulu, Sinar sempat beberapa kali diajak Bira ke rumah pria itu. Tidak hanya berdua, tapi ada beberapa teman lagi yang ikut bersamanya untuk mengerjakan tugas dari dosen mereka.

“Aku denger dari Pak Harsa, papimu mau nyalonin jadi gubernur ya, Bir?”

“Yoi,” jawabnya santai. “Makanya, aku rada kalem belakangan ini, demi pencitraan papi. Aku aja, sudah gak pernah pergi clubbing, diawasi ketat!”

Sinar terkekeh pelan, merasa senasib karena sudah tidak pernah pergi ke tempat hingar bingar yang penuh maksiat itu lagi. Semenjak menikah dengan Bintang, pria itu sama sekali tidak memperbolehkan Sinar untuk memasuki tempat tersebut. Apalagi sekarang, tidak mungkin kan kalau dirinya yang tengah hamil, pergi clubbing dan meliukkan tubuh di lantai dansa.

Sungguh hal yang sangat konyol! Meskipun, ada sudut terkecil di hatinya, yang ingi pergi ke sana untuk menghilangkat penat di kepala. Tapi, Sinar masih waras untuk tidak melakukan itu semua di tengah kehamilannya.

“Baguslah.” komentar Sinar. “Sudah waktunya kamu tobat dari semua perbuatan yang penuh maksiat itu.”

Tawa Bira seketika menggema di koridor rumah sakit. Buru-buru Sinar menghardiknya agar segera mengatup rapat mulut besarnya itu.

“Halaah, bilang aja, kamu juga kangen pengen clubbing.”

Sinar tidak menjawab. Ia hanya menghembuskan napas sembari kembali menundukkan kepala. Lalu tanpa terasa langkah kakinya berhenti, mengikuti terpakunya kaki Bira di depan pintu sebuah ruang VIP.

Viona, kakak perempuan Bira, segera meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Wanita itu mengkode Bira agar tidak berisik dan melirik Nando yang terbaring dengan lelap. Viona tampak terkejut melihat kedatangan Sinar. Ia lupa, kapan terakhir kali bertemu dengan gadis yang pernah membuat Bira patah hati, karena Sinar hanya menganggap adiknya itu, sebagai sahabat, tidak lebih.

Sejurus kemudian, ponsel Bira berbunyi. Pria itu berbalik dan kembali keluar untuk menerima panggilan terlebih dahulu

Sinar tersenyum, lalu menghampiri Aida dan Viona, yang duduk santai di sofa. Mencium punggung tangan Aida terlebih dahulu dengan takzim. “Apa kabar, Tan?”

“Tante, ya gini-gini aja, Nar. dari dulu.” jawab Aida. “Kamu sendiri apa kabar?”

“Sama kayak Tante, begini-gini aja.” balas Sinar dengan cengiran, masih berdiri canggung di depan Aida dan Viona.

“Kamu lagi di rumah sakit juga?” sambar Viona. “Tambah semok aja tuh badan.” sambungnya kemudian.

Sinar mengangguk dengan mencebik dramatis. “Gendut, maksudnya?”

Ketiga wanita berbeda generasi itu lantas terkekeh akrab. Tanpa sadar, sedari tadi, ada yang termangu di depan pintu kamar mandi melihat interaksi mereka.

“Loh, Mas, di sini juga?”

Celetukan Bira yang baru saja masuk melewati pintu, membuat Sinar memutar tubuh. Menatap Bira sebentar lalu pandangannya beralih kemana mata Bira tertuju.

Detik itu juga tubuh Sinar terpaku beku. Tatapannya langsung bersirobok tajam dengan pria yang sudah mengacaukan hidupnya dalam hitungan hari.

Mau apa orang itu di sini?

Mas?

Bira memanggil pria itu dengan sebutan ‘mas’? apa hubungan pria itu dengan keluarga besar Raja?

“Oh, ya, Nar. Kamu pasti belum kenal kan, Dia itu anak tante yang pertama, Masnya Bira sama Vio. Namanya Pras! Akhirnya setelah dibujuk ini itu, mau juga dia balik ke Jakarta ….”

Sederet penjelasan Aida yang panjang lebar itu, tidak lagi mampu ditampung oleh Sinar. Napasnya sudah tercekat di tenggorokan. Penglihatan gadis itu buram seketika, gelap. Dan ... sepersekon kemudian, tubuhnya sudah jatuh terkulai lemas. Sinar tidak sadarkan diri.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Dimpi
kasian juga sama sinar
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Halahh Pras mkin gencar deketin Sinar niih
goodnovel comment avatar
Susan Manies
gara2 cahaya aq mampir kesini thor,tp koq nama2 nya ga sm persis ya,cm nyrempet2 gitu,trs elo mn thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status