Bulu mata nan lentik itu terbuka perlahan. Maniknya mengerjab pelan, menyesuaikan pendaran cahaya yang masuk ke dalam mata. Bau khas dari rumah sakit membuat Sinar pelan-pelan sadar, kalau dirinya masih berada di tempat yang sama.
“Sudah aktingnya?”
Manik Sinar membola seketika. Kembali, napasnya seolah tercekat saat mendengar suara pria yang sudah membuat hidupnya runyam.
Tapi, untuk apa pria itu di sini?
Sinar kembali mengerjab, memastikan lagi keberadaannya saat ini. Dan benar, ia masih berada di rumah sakit. Terbaring lemah, dan hal terakhir yang sempat tersemat di pikiran Sinar ialah, ia tengah menjenguk keponakan Bira di ruang VIP.
Sinar bangkit perlahan, posisi duduknya sedikit membungkuk malas. Terkesiap saat menatap wajah arogan, yang tengah duduk santai di sofa, tanpa melepas tatapan tajamnya pada Sinar.
“Hapemu dikunci, jadi, kami gak bisa menghubungi keluargamu.” ujar Pras dengan intonasi datarnya. “Bukannya aku gak mau menghubungi Bintang, tapi yang aku dengar … kalian sudah bercerai.”
Pras mengatakan semua hal itu dengan santai, tanpa terlihat sedikit bebanpun pada kedua manik mata yang menghunus tajam itu. Seolah tidak merasa berdosa karena telah membuat Sinar dan Bintang bercerai.
Sinar membuang wajah, kemanapun, asal tidak melihat Pras. Tangan kanannya kemudian terjatuh untuk mengelus perutnya yang masih rata. Berharap wajah anaknya tidak seperti Pras, karena dari mitos yang Sinar tahu, kalau jabang bayi nantinya akan berwajah mirip dengan orang yang dibenci oleh sang ibu.
“Kamu mau nginap di sini? Atau pulang?” tanya Pras kemudian.
“Bukan urusanmu.” akhirnya Sinar membuka suaranya dengan ketus. Masih tidak ingin melihat Pras.
“Oke.” Pras berdiri dengan mengancingkan jasnya. “Karena kamu sudah sadar, aku bisa pulang.”
“Apa kamu sudah puas sekarang? Ayahku sudah ditahan dan aku juga sudah cerai?” decih Sinar, tanpa mau menatap Pras.
“Aku gak ingat kalau kita pernah menghabiskan malam bersama, Nar. Jadi, kamu bisa simpulkan sendiri seperti apa jawabanku.”
Sinar meraup wajah frustasinya sejenak. Menyingkap selimut kemudian menurunkan kedua telapak kaki telanjangnya. Memakai flat shoesnya satu persatu lalu mengambil tas yang tergeletak di atas nakas.
Pras hanya memandang tiap gerakan ringkih gadis itu dengan teliti. Wajah yang masih terlihat pucat dan pandangan sayunya itu, masih saja tidak mau menatap Pras sedikitpun.
Sinar menghela pendek, menatap lurus ke arah pintu. Ia berjalan melewati Pras begitu saja. Tidak memalingkan dagu yang terangkat tinggi itu, sedikitpun untuk sekedar melihat pria itu.
Kesal karena merasa tidak dihargai. Pras mendahului Sinar, menutup pintu kamar, dan menguncinya.
“Ma-mau apa, kamu!” kaki Sinar beringsut mundur, mengangkat tas selempangnya sebatas dada dan memeluknya. “Aku teriak kalau kamu berani macam-macam.”
“Teriaklah, Nar.” Pras melangkah maju menghampiri Sinar tanpa gentar. Pria itu bahkan dengan berani mengukir seringai di wajahnya. “Ingat, kalau masa depan Jonas ada di tanganmu.”
Kaki Sinar sontak terpaku, tidak mampu lagi memundurkan langkahnya. Bahkan, bibir Sinar pun tidak mampu terbuka untuk mengucap kata.
“Jangan coba melawanku, membantahku ataupun menentangku.” kata Pras dengan mendorong dahi Sinar berkali-kali dengan telunjuknya. “Kamu itu, cuma perempuan lemah, yang bisanya hanya merusak rumah tangga orang lain. Mengandalkan wajah cantik dan kemolekan tubuh, untuk memikat laki-laki di luar sana.”
“Aku gak pernah ngerusak rumah tangga siapapun!” Sinar menjerit seketika dengan bibir bergetar. Emosinya bisa melonjak seketika karena hormon yang tidak menentu ditubuhnya. “Justru kamu itu yang—”
“Bintang.” potong Pras. “Kamu masih gak merasa bersalah dengan membuat Bintang dan Daya bercerai? Membuat anak mereka hidup di keluarga yang gak sempurna? Dan kamu senang, hidup di atas penderitaan seorang anak yang gak berdosa? Cuma karena satu kata yang namanya cinta? BULLSHIT!”
Bentakan Pras yang menggema di dalam ruang VIP itu, membuat tubuh Sinar merosot jatuh di lantai seketika. Semua ucapan yang dimuntahkan Pras, bagai belati yang menusuk dan merobek-robek jantungnya.
Sinar terisak, meratap perih, terduduk merasakan dinginnya ubin yang merasuk di tiap aliran nadi.
“Pergilah, Pras. Pergi!”
Pras berdecih menatap remeh. “Yang harusnya pergi, itu kamu. Aku sudah bayar ruangan ini, jadi, ruangan ini adalah milikku.”
Di sisa-sisa tenaganya yang tremor, Sinar berusaha bangkit. Meraih apapun yang bisa digunakan untuk menopang tubuh ringkihnya. Mengusap wajah yang masih saja basah, karena titik bening yang tidak kunjung berhenti menggenang.
Karma!
Sekarang, giliran Sinarlah yang akan membesarkan anak tanpa seorang suami. Anaknya kelak, akan hidup dalam keluarga yang tidak sempurna.
Ucapan Pras menyadarkannya akan sesuatu, bahwa bahagianya selama ini, berada diatas penderitaan wanita lain.
Sekali lagi, Sinar mencoba berdiri tegak. Mengumpulkan semua kepingan harga diri yang telah diinjak-injak oleh Pras. Memberanikan diri untuk melihat wajah yang menatapnya datar, masih tanpa ekspresi.
“Selamat,” ucap Sinar dengan sesegukan. Mengusap wajah beceknya dengan telapak tangan yang masih tampak tremor. “Karena, kamu juga sudah membuatku bercerai dan menjadikan anakku yang gak berdosa ini, nantinya tumbuh di keluarga yang juga gak sempurna.”
Pras tertohok seketika, saat mendengar kalimat tajam yang dimuntahkan Sinar. Tidak pernah menyangka, kalau gadis yang telah melewatinya saat ini, berani membalik ucapannya dengan telak.
Dengan mata sembabnya, Sinar berjalan gontai melewati koridor rumah sakit seorang diri. Tidak ingin lagi menoleh ke belakang. Berharap, tidak akan lagi dipertemukan dengan orang asing, yang bernama Prasetyo Sagara.
Jika ini karma yang harus ia terima, maka Sinar akan menjalaninya dengan lapang dada. Tidak akan lagi berharap dengan Bintang, meski hatinya menjerit, ingin menjalani kehamilan normal seperti wanita pada umumnya. Bersama sang suami yang sangat dicintainya.
Langkahnya terhenti, saat sudah berada di teras rumah sakit. Mengeluarkan ponsel, lalu membuka aplikasi transportasi online guna memesan taxi.
Sepanjang jalan, Sinar hanya terpekur memikirkan semua masalahnya. Dari kasus sang ayah, perceraianya, lalu ke depannya, Sinar akan membesarkan buah hatinya sebagai orang tua tunggal. Atau biasa disebut single mother.
Sinar menyadari kesalahannya. Masuk diantara rumah tangga seseorang dengan mengatasnamakan cinta, sungguhlah sebuah alasan klise. Yang salah, akan tetap salah. Tidak ada pembenaran apapun untuk hal itu.
Karma kini datang menubruknya, menghempasnya melebihi rasa sakit yang pernah Sinar torehkan kepada Daya dan putranya.
“Berhenti di minimarket depan aja, Pak.” pinta Sinar pada sang supir taxi online.
Malam ini, Sinar masih pulang ke apartemen. Ia masih tidak berminat untuk pulang ke rumah. Sinar khawatir, sang bunda akan curiga bila melihat wajahnya yang sembab di pagi hari, karena menangis semalaman. Seperti yang sudah-sudah.
Rasa lapar yang mendera perutnya, membuat Sinar tidak langsung pulang. Ia mampir sejenak di minimarket yang tidak jauh dari gedung apartemennya. Tiba-tiba saja, lidahnya sangat ingin mengunyah gulungan daging bercampur sayuran ditambah mayonaise dan saus pedas.
Namun sayangnya, setelah ia keluar dari taxi, Sinar tidak menemukan penjual kebab yang biasa mangkal di depan minimarket. Outlet yang biasanya terlihat ramai kini tutup.
Sungguh, Sinar membenci hormon kehamilan yang membuat dirinya cengeng seketika. Menangis dengan isakan pilu, hanya karena tidak bisa menyantap makanan khas dari Turki itu. Ingin rasanya menghubungi ayah dari bayi yang ada di dalam perutnya untuk menuntaskan rasa ngidamnya, namun, gengsinya pun terlalu tinggi untuk menghubungi Bintang.
“Sabar ya sayang, besok kita ke sini lagi.”
Alhasil, Sinar hanya mampu meneguk liur yang sudah terasa gersang. Mengusap tetes bening yang tidak berhenti luruh dari sudut mata, sembari terus mengelus perutnya. Dan ... Kembali pulang ke apartemen.
“Kamu baik-baik aja, Nar?” tanya Harsa setelah rapat redaksi pagi selesai. Gadis itu terlihat pucat dengan lingkaran hitam yang menggantung di bawah mata. “Kalau sakit, kamu bisa pulang dan istirahat.”Sinar menutup laptopnya lalu tersenyum menatap Harsa. “Saya sehat, Pak. Cuma kurang tidur.” jawabnya jujur. “Permisi.”Sinar perpamitan terlebih dahulu, keluar dari ruang rapat dengan memeluk laptop di depan dada. Duduk di meja kerjanya dan bersiap merangkum semua resume rapat dan mengirimkannya ke email redaksi Metro.“Nar, tolong gantiin Farah untuk rapat direksi di atas setengah jam lagi.” pinta Harsa yang baru saja menerima telepon dari direktur utama. “Farah gak masuk, dan sebentar lagi ada rapat kecil pemegang saham.”Namun, sejurus kemudian Harsa dengan cepat meralat ucapannya. “Sepertinya gak usah, Nar. biar saya minta anak iklan aja yang gantiin Farah. Kamu sebaiknya pula
Begitu pintu mobil ditutup dari luar, Pras membuka matanya perlahan. Menegakkan kepala dan membuang pandangan ke luar jendela. Ingatannya kembali berputar, akan rekaman pertemuan yang terjadi antara dirinya dan Daya, sekitar seminggu yang lalu di sebuah rooftop bar. “Aku baru dengar kalau kamu cerai dengan Bintang.” Pras memandang cinta pertamanya itu lamat-lamat. Wajah kalem keibuan dengan senyum khas yang begitu hangat, selalu mampu mencairkan hatinya dahulu kala. “Yaa, udah lama sih.” Daya menyematkan senyum manisnya. “Kamu, tumben ngajak ketemuan? Udah berapa lama yaa … kapan balik Singapur lagi?” ingatan Daya berputar di saat ia masih menjadi junior Pras di kampus saat itu. Dan pria itu tidak pernah lagi menemuinya, sejak Daya memberi Pras sebuah kartu undangan pernikahannya dengan Jagad, kakak Bintang. “Kenapa kamu cerai dengan Bintang, Day?” Pras tidak pernah berubah, ia selalu saja tidak bisa berbasa basi untuk mengungkapkan tujuannya. Pria itu juga t
Butuh dua kali Harsa men-dial nomor Pras, sampai sang pengacara itu mengangkat teleponnya. “Hmm.” Tidak ada kata sapaan yang terdengar dari ujung sana saat Pras sudah mengangkat telepon dari Harsa. Hanya sebuah gumaman angkuh yang pastinya menjengkelkan indera pendengaran. “Kamu memecat Sinar, Pras? tanpa berdiskusi terlebih dahulu denganku? dia itu sekretarisku.” Harsa tidak perlu berbicara formal dengan sang pemilik baru Metro Ibukota itu, karena ia sudah mengenal Pras sedari pria itu masih menjejakkan awal karirnya menjadi pengacara. “Aku pemilik Metro sekarang, Om. Dan, aku sudah bilang dari awal kalau akan merombak manajemen di sana dan sekred Om itu salah satunya.” “Pras.” Harsa meraup separuh wajahnya. “Nyari sekred yang bisa dibilang multitalenta dan gak pernah mengeluh seperti Sinar itu sekarang susah! Apalagi, dia sudah 3 tahun jadi sekred di Metro. Seluruh wartawan cabang sudah kenal akrab dan Sinar tahu past
Bagi Sinar, Bintang adalah sosok suami yang sempurna. Sangat bertanggung jawab, dan tidak segan membantunya dalam berbagai urusan rumah tangga. Rasa-rasanya, tidak ada yang tidak bisa Bintang lakukan. Pria itu, juga sangat lihai dalam memasak, bahkan, terkadang rasa masakan yang dibuatnya justru lebih nikmat daripada milik Sinar sendiri. Beruntung! Hanya satu kata itu yang bisa diungkap Sinar, saat bisa memiliki seorang suami seperti Bintang. Tapi kalau diselami lagi, ternyata tidak ada kesempurnaan di dunia ini. Dibalik itu semua, Sinar harus bisa merelakan sebagian besar waktu Bintang untuk putranya lalu pekerjaannya. Setelah semua selesai, barulah giliran Sinar mendapatkan waktu berdua dengan sang suami. Hal itu sudah berlangsung selama masa pernikahan mereka. Belum lagi, jika ibu Bintang yang memang sering sengaja mengadakan makan bersama, dan juga terang-terangan tidak mengajak Sinar di dalamnya. Sinar sudah cukup bersabar untuk m
Jelang siang, Sinar menelepon Bintang agar tidak perlu datang ke apartemannya. Wanita itu hendak pergi mengunjungi sang bunda di butiknya. Mungkin sudah waktunya bagi July mengetahui segalanya. Kalau Sinar sebenarnya sudah bercerai dengan Bintang. Sekaligus ingin meminta saran, tentang tawaran Bintang untuk menikah secara siri terlebih dahulu. “Kamu gak kerja? Jam segini sudah nongol di butik?” July merupakan seorang modiste* yang sudah merintis usahanya sejak lulus SMA. Berawal dari menerima jahitan di rumah, hingga kini memiliki dua buah ruko hasil keringatnya sendiri yang dinamai Julynisme House, atau sering disebut JH oleh para pelanggannya. “Aku dipecat,” kata Sinar merebahkan diri pada sofabed yang tersedia di ruang kerja sekaligus tempat istirahat bagi sang bunda. “Dipecat?” July membuka kacamatanya, membiarkan tergantung di dada lalu menghampiri Sinar. Duduk di samping putrinya, ditepi sofa. “Kamu bikin ulah? Ada salah apa?” “Metro gan
Setelah sepuluh menit Pras menunggu Sinar di ujung koridor yang mengarah ke toilet. Wanita itu tidak kunjung keluar, untuk menampakkan batang hidungnya.Karena Pras bukan pria penganut kata sabar, maka ia berinisiatif untuk menyusul Sinar. Melewati koridor, kemudian berbelok lalu tercengang.Dua pintu kamar toilet yang saling berdampingan itu terbuka semuanya. Pras berjalan perlahan untuk menengok ke dalam. Tidak ada tanda-tanda Sinar di sana.Shoot!Kembali dengan emosi yang bergejolak. Pras bertanya kepada salah seorang pramuniaga yang ada di sana.“Apa … ada pintu lagi di belakang ruko ini?” tanya Pras dengan mengarahkan telunjuknya ke belakang punggungnya.Sang pramuniaga tersebut ternganga takjub sejenak, menatap Pras.“Mbak!”“Eh, iya, ada, Mas. Pintu ke belakang.”“Di mana?”“Lorong ini lurus, belok kiri terus belok kanan, ada taman belakang, nah,
“Pesangonmu sudah ditransfer, Nar.”Chat dari salah satu staff keuangan di Metro, membuat Sinar buru-buru membuka aplikasi mobile bangking-nya. Melihat rincian mutasinya selama tiga hari terakhir.“Lumayan.” gumamnya namun dengan bibir yang mengerucut kemudian, memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia ambil dengan kondisi hamil seperti ini. Ikut membantu sang bunda di JH bukanlah passion Sinar sama sekali. Meskipun ia memiliki bakat dalam hal jahit-menjahit, namun Sinar enggan berurusan dengan itu semua. Sinar sama sekali tidak tertarik.Terlihat juga nama Bintang di sana, pria itu juga mentransfer sejumlah nominal yang tidak bisa dibilang sedikit sebenarnya. Sinar tidak akan menolak atau mentransfer kembali uang tersebut. Toh ada anak Bintang yang tengah ia kandung saat ini, jadi pria itu juga punya kewajiban untuk menafkahinya.Kembali Sinar berpikir tentang tawaran Bintang untuk menikah siri, dengan pria itu. Dan
Keesokan paginya, setelah melalui rutinitas subuh dengan mengeluarkan seluruh isi perut alias morning sickness seperti biasa. Raga Sinar terasa lebih ringan.Setelah mandi, ia memutuskan untuk membuat sarapan sederhana dan tidak lupa membuat dua loyang kecil cheesecake khusus untuk Bira, yang akan datang melihat apartemennya. Satu untuk di makan di tempat, dan satu lagi untuk dibawanya pulang nanti.Tepat setelah Sinar menyelesaikan sarapannya, yang hanya berbekal telur dadar dan nasi hangat ditambah kecap. Bel apartemennya berbunyi, sudah dipastikan bahwa Biralah yang datang untuk menemuinya.Senyum yang tadinya melengkung sempurna kini mendadak berubah datar. Bira tidak sendirian, ada Pras di sampingnya. Tapi, untuk apa pria itu juga datang ke tempatnya?“A—ku kira kamu sendirian, Bir.”“Laki-laki dan perempuan itu, gak baik berada di dalam satu ruang hanya berdua.” Pras mengambil alih jawaban Bira, lalu mas