Share

Dipecat

“Kamu baik-baik aja, Nar?” tanya Harsa setelah rapat redaksi pagi selesai. Gadis itu terlihat pucat dengan lingkaran hitam yang menggantung di bawah mata. “Kalau sakit, kamu bisa pulang dan istirahat.”

Sinar menutup laptopnya lalu tersenyum menatap Harsa. “Saya sehat, Pak. Cuma kurang tidur.” jawabnya jujur. “Permisi.”

Sinar perpamitan terlebih dahulu, keluar dari ruang rapat dengan memeluk laptop di depan dada. Duduk di meja kerjanya dan bersiap merangkum semua resume rapat dan mengirimkannya ke email redaksi Metro.

“Nar, tolong gantiin Farah untuk rapat direksi di atas setengah jam lagi.” pinta Harsa yang baru saja menerima telepon dari direktur utama. “Farah gak masuk, dan sebentar lagi ada rapat kecil pemegang saham.”

Namun, sejurus kemudian Harsa dengan cepat meralat ucapannya. “Sepertinya gak usah, Nar. biar saya minta anak iklan aja yang gantiin Farah. Kamu sebaiknya pulang, istirahat.”

“Saya gak papa, Pak.” ucap Sinar sembari menepuk pelan pipinya berulang kali dengan kedua tangan.

Harsa menarik kursi di hadapan Sinar, duduk di sana. “Sebaiknya kamu ambil cuti lagi, Nar. kamu perlu menenangkan diri, dan pikirkan lagi rencana perceraianmu dengan Bintang.”

Detik itu juga, entah mengapa Sinar terisak dengan tangan yang terjatuh untuk mengusap perutnya. “Saya udah cerai, Pak.”

“Bukannya … terakhir saya ketemu Bintang, dia bilang kalau kalian akan rujuk, karena kamu sedang hamil.”

“Gak jadi.” isaknya mengambil dua lembar tisu dan mengusap semua lelehan bening yang terjatuh di wajah pucatnya. “Mas Bin yang nyerein saya, Pak.”

“Tapi, Nar …”

Harsa tidak melanjutkan lagi kalimatnya karena ponselnya kembali berdering dan sang direktur utama kembali meneleponnya.

Melihat itu, Sinar beranjak dari duduknya. “Saya ke atas dulu, Pak. Mau lihat persiapan rapatnya. Permisi.”

Harsa mengangguk, ikut beranjak namun dengan tujuan yang berbeda sembari berbicara dengan seseorang yang baru saja menghubunginya.

“Kamu sakit, Nar?” tanya Zain, direktur utama dari Metro Ibukota saat memasuki ruang meeting yang dikelilingi oleh dinding kaca. “Kalau sakit sebaiknya pulang dan istirahat, biar saya panggil anak iklan atau pemasaran yang bantu di sini.”

Sinar yang tengah memastikan semua perangkat yang akan digunakan di ruang meeting pun melempar senyum. “Padahal lipstik saya sudah merah loh, Pak. masa’ masih kelihatan pucat?” kelakarnya yang disambut kekehan oleh Zain.

“Bibirmu boleh merah, tapi kantung mata dan kulit pucatmu itu gak bisa bohong.” Zain menarik salah satu kursi besi yang tepat berhadapan dengan proyektor dan meletakkan bokongnya di sana.

“Farah sakit apa, Pak?” Sinar tidak ingin melanjutkan pembahasan mengenai dirinya. Karenanya, ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Diare!” seru Zain dengan gelengan juga diikuti kekehan.

“Owh.” bibir merah Sinar itu membulat penuh, mengangguk-angguk ikut prihatin. “Ini rapat apa sih, Pak? kalau rapat pemegang saham, kok gak ada woro-woro heboh gitu kayak biasanya.”

“Cuma silaturahmi kecil, pemilik saham yang baru mau lihat-lihat Metro, dan nantinya semua manajemen bakal di rombak sama beliau.”

“Eh, saya ke mana aja ya, sampai gak tahu beritanya.” Sinar memberi cengiran lebarnya pada Zain. Sungkan sebenarnya, karena sebagai salah satu sekretaris, belakangan ini ia justru tertinggal banyak mengenai isu perusahaan.

Namun, Zain memaklumi, karena sekrednya itu pasti tengah dipusingkan dengan masalah ayahnya dan juga perceraiannya. Cobaan bertubi yang terjadi dalam satu waktu, tentulah tidak mudah untuk dijalani,

“Pak …”

Panggilan Sinar tersebut tenggelam dengan beberapa tawa yang menggema seketika di ruang rapat. Tubuhnya berputar melihat ke arah pintu masuk dan lagi-lagi tubuh Sinar seolah beku. Terpaku statis tidak mampu menggerakkan kakiknya ke manapun.

Terlebih saat maniknya kembali bersirobok dengan pria yang sudah membuat runyam hidupnya belakangan ini. Dan selanjutnya, seisi ruangan terasa berputar lalu … gelap. Tubuhnya kembali terjatuh lunglai, Sinar … pingsan.

--

“Minum dulu teh angetnya, Mbak.” kata salah satu office girl yang ditugaskan menemani Sinar di ruang direktur utama.

Gadis itu masih merasakan pusing yang teramat sangat, setelah siuman beberapa menit yang lalu. Sinar menggumam sebentar sebelum akhirnya berucap terima kasih. Kepalanya masih berat untuk bangkit dari sofa yang saat ini ditidurinya.

“Siapa yang gantiin saya rapat, Jess?” tanya Sinar pada OG yang bernama Jessy tersebut.

“Mbak Rera.” jawab Jessi sudah duduk di samping Sinar yang masih saja betah merebahkan diri. “Kata Pak Zain, Mbak Sinar disuruh pulang aja, istirahat.”

“Mereka masih rapat?”

“Masih.” Jessy berpindah posisi duduk di dekat kepala Sinar, bermaksud membantu gadis itu untuk duduk agar bisa segera meminum teh hangatnya. Tangan kirinya terselip dibelakang bahu untuk menegakkan tubuh Sinar. “Gak nelpon Pak Bintang, Mbak. Minta jemput?”

Senyuman yang diberikan Sinar kepada Jessy sangatlah tipis, seolah tenaga yang berada di tubuhnya sudah musnah tidak bersisa. Ia menyambut uluran teh hangat yang diberikan oleh Jessy dan meminumnya hingga separuh.

“Tolong bawa ke pantry, Jess.” pinta Sinar saat meletakkan kembali teh hangatnya di meja. “Kamu balik aja, saya bentar lagi keluar, mau ke bawah.”

“Pulang, Mbak?” tanya Jessy sudah berdiri dan mengambil gelas teh di meja.

“Sepertinya iya.” Sinar meregangkan lehernya lalu memberi sedikit pijatan pada tengkuknya untuk melepas sedikit kepenatan. Ia kemudian berdiri merapikan pakaiannya yang kusut lalu keluar, berjalan di belakang Jessy yang membukakan pintu untuknya.

Sesampainya di lantai dua, Sinar mengirimkan chat kepada Harsa meminta izin untuk pulang. Setelah mendapat balasan ‘oke’, Sinar mematikan seluruh perangkat komputernya dan pergi ke bawah sembari memesan taxi onlene.

Saat Sinar sudah berada di teras gedung, untuk menunggu taxi yang sudah dipesannya. Sebuah sedan mewah berhenti tepat di depannya. Seorang pria paruh baya keluar dari pintu pengemudi, untuk mengitari badan mobil dan membukakan pintu penumpang bagian belakang untuk Sinar.

“Silakan masuk, Mbak.”

“Hah? Saya?” Sinar kemudian menundukkan tubuhnya, dan membeliak saat melihat sosok pria yang duduk begitu angkuhnya di dalam sana. “Ka-ka—”

“Masuk!” perintah Pras dari dalam mobil.

“Gak—"

“Masuk! atau—”

“I-iya, aku masuk!”

Setelah duduk tepat di samping Pras, Sinar menghubungi supir taxi yang sudah dipesannya sebelumnya. Meminta maaf dengan sangat karena mengcancel orderannya.

“Mulai besok, kamu gak perlu lagi datang ke Metro.” kata Pras setelah sang supir melajukan mobilnya keluar dari parkiran Metro.

Kepala Sinar berputar pelan, menatap Pras yang duduk bersandar pada jok dengan mata terpejam. Pria itu bahkan tidak mau repot-repot untuk melihatnya.

“Kenapa aku gak perlu datang lagi ke Metro?” tanyanya hati-hati dengan nada selembut mungkin. Berusaha untuk tidak menyinggung pria arrogant itu.

“Karena aku sudah memecatmu.”

“Pe-pecat? A-ku di pecat? Kenapa? A-apa salahku sampai harus dipecat? Aku sudah kerja di san—”

“Karena aku gak suka seorang pembangkang, dan perusak rumah tangga orang lain bekerja di kantor milikku. Perusahaanku bisa tercemar nama baiknya.”

“A—pa kamu bilang? Kamu pemilik …”

“Berhenti di depan, Pak.” pinta Pras pada sang supir. Dan tidak berselang lama, mobil yang tengah melaju cepat itu memelankan jalannya, kemudian berhenti di pinggir jalan. “Kamu bisa keluar sekarang.”

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Nury
gustii si prass..wmememw
goodnovel comment avatar
It's me Praya
Ada apa sebetulnya dengan Pras ? ( Padahal mas Pras ku baiknya luar biasa ) ini kenapa nyebelin banget ya. Apa alasan dia sebenarnya sampai sebegitunya sama Sinar ?
goodnovel comment avatar
Bunga Tanjung
si pras emang gila.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status