“Benar ‘kan, apa kataku, kakek langsung tersenyum! Apakah kesedihan kakek sudah hilang?” mata Zhou Fu berbinar-binar mendapati kakek Li Xian yang tadinya terlihat suntuk menjadi lebih ceria.
“Ya, anggap saja demikian. Ngomong-ngomong kakek merasa hari ini sedang tak enak badan. Bisakah kau meracikkan ramuan untukku?” Li Xian berpura-pura memijit-mijit pelipisnya sementara Zhou Fu langsung bangkit dari duduknya untuk memeriksa kepala kakeknya.
“Mana, mana yang sakit, Kek? Kumohon jangan mati dulu, aku tidak mau sendirian di sini!”
Zhou Fu memberikan respon yang cukup berlebih pada sebuah kepura-puraan Li Xian. Hal tersebut dikarenakan Li Xian berhasil memberi pelajaran tentang arti sebuah kematian kepada Zhou Fu. Di mana, kematian adalah sebuah perpisahan besar yang membuat seseorang tidak lagi bisa diajak bercengkrama.
“Mungkin aku akan mati segera, kecuali…
“Kecuali apa, Kek? Katakan…”
“Kecuali kau meracikkan ramuan yang bisa memanjangkan usiaku.”
“Aku bersedia! Aku bersedia membuatkannya! Apa yang harus kulakukan?”
Li Xian tersenyum dalam hati, ia berharap rencananya akan berjalan mulus tanpa hambatan.
“Untuk membuat ramuan tersebut, kau harus mencari beberapa jenis tanaman sekaligus,” Li Xian mendudukkan Zhou Fu yang masih berdiri sambil memijit-mijit kepalanya. Li Xian menjelaskan kepada Zhou Fu tentang beberapa nama tanaman yang harus ia temukan berikut dengan ciri-ciri tanaman tersebut.
“Sayangnya, tanaman tersebut ada di balik gunung ini. Aku khawatir kau tidak bisa melaksanakan tugas ini.”
“Aku bisa!”
Zhou Fu, tanpa berpamitan, ia beranjak berdiri dan berlari meninggalkan kakeknya sendirian. Sebelum punggungnya benar-benar menghilang dari pandangan sang kakek, Zhou Fu menoleh dan melambai-lambaikan tangan pada kakeknya.
“Tunggu kedatanganku! Awas jangan mati dulu yaaa!”
Suara Zhou Fu menggema terbawa angin lereng gunung. Li Xian tersenyum lebar mendapati cucu polosnya yang membicarakan perkara kematian dengan cara yang tidak sewajarnya.
“Haha, memang kau kira orang bisa memilih untuk menunda kematian?” Li Xian menjawab dalam hati. Meski demikian, ia membalas pesan Zhou Fu dengan anggukan dan lambaian tangan.
Li Xian pun merebahkan dirinya di bawah pohon siprus tua. Kini, ia bisa merasakan kesepian yang mungkin dialami oleh pohon siprus yang sendirian itu. Li Xian menepuk-nepuk akar pohon siprus seolah berempati pada kesendiriannya.
“Tenang, jangan buru-buru rindu pada bocah itu sebab mungkin dua atau tiga hari lagi ia baru kembali.”
Li Xian menghibur dirinya sendiri dengan berpura-pura menghibur pohon siprus. Ya, dilihat dari lokasi jauhnya Zhou Fu ditugaskan, Li Xian menebak setidaknya dua atau tiga hari lagi cucunya akan sampai di tempat itu lagi. Dua atau tiga hari adalah perkiraan tercepat, jika perjalanan Zhou Fu terhitung lancar tanpa hambatan. Namun, jika perjalanan Zhou Fu tidak lancar, ia bisa jadi ia baru sampai lima atau bahkan enam hari dari hari itu.
Area yang dilewati Zhou Fu bukanlah hutan atau rerumputan yang berhias tumbuh-tumbuhan indah melainkan meliputi lembah yang diapit dua tebing curam, hutan yang dihuni beberapa beruang hitam, dan sungai-sungai yang memiliki arus air yang cukup deras yang sesekali bahkan bisa menghanyutkan induk beruang seberat 200 pon.
“Meski bod*h dalam hal membaca dan menulis, Zhou Fu adalah petualang yang cerdas. Ia pasti bisa melewati semua rintangan dengan cara-caranya yang selalu tak terduga!”
Li Xian mengubah posisi rebahannya. Meski cukup yakin jika Zhou Fu akan baik-baik saja, ia tak bisa menghalangi kekhawatiran yang menggempur hati dan pikirannya. Bagaimanapun Zhou Fu hanyalah seorang bocah. Jangankan menyebrangi suangai berarus deras, secara normal anak seusianya mungkin akan dijauhkan dari sungai yang tenang oleh ibunya. Jangankan berhadapan dengan kawanan beruang, berada dekat dengan bayi beruang saja mungkin sudah bisa membuat seorang ibu kehilangan kesadaran saking khawatirnya.
“Tidak, Zhou Fu berbeda! Dan karenanya, aku harus melakukan ini untuk meyakinkan dugaanku!” kembali, Li Xian mengubah posisi rebahannya.
***
Matahari sudah tenggelam lima kali sejak kepergian Zhou Fu berburu beberapa tanaman obat. Sementara itu Li Xian menghabiskan hari-harinya dengan berjalan mondar-mandir menunggui Zhou Fu yang tak segera kembali. Itu adalah hari ke-5, dan pada akhirnya Li Xian harus bersedia bersabar lagi sebab di hari ke lima di malam hari pun Zhou Fu belum menampakkan batang hidungnya.
Keesokan harinya, ketika matahari baru hendak bersiap-siap terbit di ufuk timur, Li Xian mendengar sayup-sayup suara anak yang menjerit-jerit. Li Xian yang tidak tidur memilih untuk merebahkan diri sambil kembali berpura-pura sakit kepala.
Meski datang dengan suara menjerit-jerit, setidaknya Zhou Fu masih kembali dengan membawa nyawa, dan itu adalah kabar yang memang ia tunggu.
“Kakek!!! Kakek!!! Kakek… Jangan mati dulu! Bagaimana ini?”
Suara jeritan Zhou Fu semakin terdengar lantang. Itu bukanlah suara jeritan biasa! Itu adalah suara jeritan yang bercampur dengan suara isak tangis. Bulu kuduk Li Xian berdiri, ia harus merayakan hari itu sebab itu adalah untuk yang pertama kalinya Zhou Fu menangis. Awalnya, Li Xian sempat khawatir jika cucunya tidak memiliki empati, sebab ia mendidik Zhou Fu demi sebuah amanah menciptakan anak yang sakti dan baik hati. Sementara, empati cukup dibutuhkan sebagai salah satu modal seseorang untuk memiliki hati yang baik.
“Kakek… Aku sudah berkeliling memutari semua tempat-tempat yang kakek sebutkan, tapi… tapi…..
Zhou Fu berlari menghampiri kakeknya yang terbaring, ia memeluk pria tua tersebut sambil menahan rasa sesak di dadanya.
“Aku tidak menemukan satu pun! Satu pun juga dari semua tanaman yang kakek sebutkan, bagaimana ini?”
Li Xian tidak menyahut, ia masih memijit-mijit keningnya dengan mata terpejam dan bibir mengatup rapat.
“Kakek, apakah kakek sudah mati? Apakah orang mati seperti ini bentuk dan keadaanya?”
Zhou Fu mengusap air matanya sebentar lalu membolak-balikkan tubuh kakeknya sambil sesekali mengguncangnya. Karena tidak tahan, Li Xian akhirnya membuka mata, ia pun pura-pura berusaha duduk dengan susah payah. Zhou Fu membantu kakeknya untuk menyandar ke pohon siprus.
“Mana tanaman penyambung nyawaku?” Li Xian bertanya dengan suara sesak.
“Tidak ada! Tidak ada satupun! Aku yakin aku tidak salah tempat, semuanya sesuai dengan petunjuk kakek, tapi… tapi tak ada satu pun tanaman yang berhasil kutemukan… bagaimana ini?”
“Aduuuh… Bagaimana ini… Bagaimana jika aku mati nanti siang?” Li Xian menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah memelas.
“Jangan matiiii…. Kumohon jangan mati…. Huaaaa….”
Zhou Fu memeluk erat tubuh kakeknya, “Aku mau kakek hidup terus dan tidak pernah mati….”
Li Xian mencoba merenggangkan pelukan Zhou Fu. Ia mengusap beberapa bulir air mata Zhou Fu untuk pertama kalinya. Ia memandangi wajah cucunya yang matanya merah sembab.
“Fu’er, rasa sesak di dadamu itu… Itulah yang disebut kesedihan,” Li Xian menyentuh dada kiri Zhou Fu yang memang dirasa Zhou Fu sangat sesak dan panas. Zhou Fu melihat telapak tangan kakeknya yang ditempelkan di dada kirinya.
“Coba sekarang tutup matamu dengan kedua tangan,” Li Xian memberi perintah dan Zhou Fu menurut. Beberapa detik setelah hening, Li Xian bertanya pada Zhou Fu,
“Cucuku, apakah sedihmu sudah hilang? Apakah sesak di dadamu sudah reda?”
Zhou Fu menggeleng sambil masih sesenggukan, ia pun membuka matanya kembali dan memeluk kakeknya.
“Begitulah, kesedihan tidak bisa dihilangkan dengan hanya kita menutup mata.”
“Lalu….”
Li Xian memberi pelukan pada cucu kecilnya. Ia berbisik tepat di telinga Zhou Fu,
“Setelah kupikir-pikir, sepertinya aku belum ingin mati dulu. Nanti, mari kita berburu telur buaya!”
Seketika, sesak di dada Zhou Fu sirna! Zhou Fu bahagia meski seandainya ia tahu jika kakeknya hanya berpura-pura. Bahkan, beraneka tanaman yang disebutkan kakeknya tempo hari itu, semuanya hanya omong kosong. Tak heran jika Zhou Fu gagal menemukannya, justru akan jadi aneh jika ia berhasil menemukan tanaman yang tidak ada. Selebihnya, Zhou Fu merasa itu adalah hari yang paling membahagiakan untuknya.
“Sudah-sudah, ayo kita pulang ke gubuk. Sudah hampir sepekan kita meninggalkan gubuk, berdoa saja semoga rumah kita tidak dirusak binatang buas.”Zhou Fu bangkit berdiri mengikuti Li Xian yang sudah terlebih dahulu berdiri. Cucu dan kakek itu kini berjalan beriringan membelah rerumputan hijau yang masih perawan. Maksudnya, tak terjamah kawanan manusia. Entah bagaimana, alam akan menjadi sangat menawan ketika mereka tidak bertemu dengan manusia. Setidaknya binatang lebih tahu diri dan bisa memperlakukan alam dengan lebih baik daripada manusia.Alasan mengapa pulau Konglong merupakan pulau yang tidak terjamah manusia adalah karena lokasinya yang berjauhan dengan dengan pulau-pulau lain. Seribu pulau yang tersebar di sepanjang sisi depan daratan Caihong memiliki karakteristik yang sama yaitu saling berdekatan dan hanya dibatasi oleh selat-selat kecil. Sementara itu, pulau Konglong menjadi salah satu dari sedikit pulau yang terisolir. Berdiri di tengah hamparan
Pulau Konglong kembali menjadi pulau yang hanya dihuni binatang dan tumbuhan begitu Li Xian dan Zhou Fu melakukan penyeberangan ke pulau lain. Mereka menggunakan perahu rakit darurat yang dibuat dari gelondongan pohon-pohon besar. Sebelum pergi, mereka juga mengaburkan bekas penebangan tersebut.“Fu’er, ini bukanlah bentuk perahu yang layak untuk digunakan sebagai alat menyebrang lautan. Jika kau tak sedang bersamaku, kau tidak boleh menggunakan perahu rakit seperti ini di laut bebas.”Zhou Fu tidak memperhatikan ucapan kakeknya, ia sedang berdiri berkacak pinggang sambil memandangi langit yang sudah berhiaskan bintang. Li Xian yakin cucunya sedang menghayal tentang sesuatu. Li Xian sudah hafal jika pandanga Zhou Fu seperti itu, pasti ia sedang menghayal.Li Xian pun mulai mengatur strategi. Ia tak tahu berapa lama misi dalam gulungan perak itu ditentukan oleh pemangku organisasi. Bisa satu minggu atau bahkan hanya tiga hari saja. Sementara per
Sudah menjadi hal yang normal ketika seseorang pertama kali menginjakkan kaki ke sebuah pulau kecil, yang pertama kali terdengar adalah gemuruh dari beragam binatang rimba. Tetapi tidak demikian dengan hutan Youhi. Pemandangan hutan Youhi memang tampak normal sebagaimana pulau-pulau pada umumnya, tetapi perasaan Li Xian mengatakan jika ada yang tidak beres dengan pulau tersebut.“Fu’er, kau istirahat dulu di sini, kakek ingin memastikan sesuatu!”“Baiklah. Jika ada bahaya, Kakek jangan sungkan-sungkan meminta bantuanku.” Zhou Fu memberi usul dengan ekspresi yang serius, sepertinya dia memang sudah merasa menjadi pahlawan sejak ia berhasil menaklukan musuh tempo hari hanya dengan satu pukulan.Li Xian berjalan dengan hati-hati, ia penasaran apa yang membuat hutan tersebut menjadi sunyi. Langkah Li Xian terhenti ketika ia mendapati ada sebuah batu besar yang sepertinya sengaja diletakkan di bibi hutan dan cukup dekat dengan lokasi pan
Li Xian tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Zhou Fu yang sepertinya tersinggung ketika Li Xian menyebut soal pertolongan Dewa.“Baiklah-baik, kakek menunggumu terus-menerus dua hari ini. Kakek sepertinya takut jika ada bahaya dan kakek sendirian,” tutur Li Xian sekadar untuk membuat Zhou Fu merasa berguna keberadaannya.“Jangan khawatir, Kek. Aku sudah di sini bersama kakek. Bahaya yang kemarin itu, sepertinya menyenangkan juga kalau datang lagi.”Li Xian dengan refleks memukul kepala Zhou Fu sebab bencana seperti dua hari silam itu bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan candaan. Binatang seberat 1 ton saja akan bisa tersapu dengan mudah lalu tenggelam di dasar lautan jika dihantam tsunami seganas itu.“Jaga mulutmu, bocah!”***Tak hanya tsunami berkekuatan dahsyat, ternyata pulau Youhi juga memiliki beberapa gunung berapi yang aktif. Sesekali, pulau tersebut banjir air, dalam waktu yang lain, pulau ter
Kesalahpahaman antara Zhou Fu dan perempuan yang baru ia temui pada akhirnya harus terhenti ketika Zhou Fu mendengar suara langkah kaki mendekat. Suara itu adalah suara pergerakan beberapa orang yang cukup gesit dan lincah. Didengar dari laju pergerakannya, Zhou Fu yakin jika kecepatan langkah tersebut melebihi singa jantan yang kelaparan. “Itu dia nona Shen Shen! Jangan biarkan nona Shen Shen lolos!” Tiga orang pendekar laki-laki menyergap Zhou Fu dan perempuan yang ternyata bernama Shen Shen. Shen Shen bersembunyi di balik tubuh Zhou Fu dan memohon agar Zhou Fu bersedia menolongnya. “Tenang, akan kuhadapi mereka semua!” Insting Zhou Fu memang mengatakan jika Shen Shen memang sedang membutuhkan pertolongan. Zhou Fu pun mengambil sikap siap untuk memberi serangan pada tiga pendekar yang kini berdiri tak jauh darinya. “Minggir kau, Bocah! Jika tidak aku akan membelah tubuhmu menjadi dua bagian!” salah seorang dari tiga pendekar itu mena
Sebuah daratan besar yang disebut sebagai daratan Caihong adalah wilayah terluas di belahan bumi bagian timur. Orang-orang menyebut Caihong sebagai tanah surga di mana manusia tak mungkin kelaparan jika tinggal di daerah tersebut. Tanaman tumbuh tanpa ditanam, beragam binatang dan sumber daya tersebar di seluruh bagian wilayah Caihong. Keamanan dijamin penuh oleh pemerintah sehingga warga bisa makan dan tidur dengan nyenyak tanpa harus mengkhawatirkan serangan ataupun perang sebagaimana keributan tersebut selalu terjadi di luar wilayah Caihong.Kedamaian yang selalu menyelimuti Caihong itulah yang membuat Shen Shen tak habis pikir jika ia saat ini sedang menjadi perburuan beberapa kelompok untuk dibunuh. Seingat Shen Shen, ia tak pernah terlibat dalam kekacauan apapun, ia juga tak memiliki masalah dengan siapapun.“Jadi, mengapa kau bisa sampai di sini?” Zhou Fu bertanya pada Shen Shen setelah perempuan itu bercerita panjang lebar tentang negeri Caihong.
Perjalanan Zhou Fu dan Shen Shen menuju ke pulau pertama memakan waktu sekitar dua minggu. Di hari ke 14 mereka berhasil sampai di sebuah pulau yang bernama pulau Jidong. Zhou Fu dan Shen Shen tiba di pulau tersebut di waktu yang sangat tepat karena jika saja perjalanan laut mereka memakan waktu yang lebih lama lagi, tubuh Shen Shen yang lemah akan terkapar tak sadarkan diri akibat kelaparan dan kehausan.Bekal makanan mereka sudah habis tiga hari sebelumnya dan itu adalah hari ke 4 mereka tidak makan dan minum. Tubuh Zhou Fu masih cukup kuat untuk tidak makan berhari-hari, tetapi tidak dengan Shen Shen. Perempuan itu sudah merengek dan mengoceh panjang lebar karena tidak bisa menahan perutnya yang perih karena lapar. Dan hari itu, hari di mana mereka sampai di pulau Jidong, Shen Shen hanya menutup mulutnya rapat karena sudah tak memiliki tenaga untuk mengeluh atau mengomel.Pertama-tama, mereka tiba di Dozhu, sebuah desa yang terletak di pinggiran pulau Jidong. Desa t
“Mau ikut tidak?” Zhou Fu yang sudah berpakaian rapi mendatangi Shen Shen dan menceritakan tentang keberuntungannya beberapa saat lalu, ia pun mengajak Shen Shen untuk beristirahat dan makan di kamarnya. Bukannya senang, Shen Shen justru menunjukkan ekspresi cemberut ketika mendengar kabar baik dari Zhou Fu. Ia hanya memberi anggukan kecil sedang kepalanya menoleh ke kiri dan dua tangannya dilipat di depan dada. Shen Shen sepertinya merasa kesal dan malu karena harus menerima bantuan dari orang yang sudah ia ejek beberapa waktu lalu.“Akan kuhitung berapa biaya bantuan yang kau berikan. Setelah sampai di Caihong, aku akan membayarnya dua kali lipat! Ingat itu!” Shen Shen yang tak mau harga dirinya jatuh, segera menyombongkan diri dengan menganggap bantuan Zhou Fu sebagai sebuah hutang.“Terserah apa katamu, yang jelas ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan padamu, tapi sebelumnya makan dan istirahatlah dulu,” Zhou Fu menggeleng-geleng