Share

MENDATANGI PERNIKAHAN SUAMI

    "Mas," Aira membuka pelan pintu kamar anak sulungnya setelah mengetuknya beberapa kali. 

    "Ada apa, Buk?" Alif berjalan menghampiri pintu melihat ibunya menyembulkan kepala dari baliknya.

    "Sudah mau tidur? Ibu mau bicara." 

    "Belum ngantuk kok. Bicara apa, Buk?" Alif menyingkir dari depan pintu untuk membiarkan ibunya masuk.

    "Tutup pintunya ya, Mas. Ibu mau ngomong agak serius," kata Aira. Alif pun segera menutup pintu kamarnya. Lalu berjalan mendekati sang ibu yang sudah duduk di tepi ranjang. 

    Setelah Alif duduk, Aira nampak menyerahkan ponsel pada anaknya. Sebuah foto yang beberapa hari lalu dikirimkan Linda padanya.

    "Ini apa, Buk?" Alif nampak sedikit bingung saat menerima ponsel ibunya. 

    "Baca aja dulu, Mas."

    Kemudian dengan serius Alif mengamati foto undangan pernikahan yang diberikan oleh ibunya itu. 

    Tak ada yang dia ucapkan saat selesai membaca isi dalam undangan itu. Apalagi saat melihat wajah ayahnya yang terpampang jelas di dalamnya. Alif hanya menatap wajah ibunya tanpa bicara. 

    "Mas sudah paham kan apa yang ada di situ?" tanya Aira saat dilihatnya anaknya tak berkata apapun. Alif hanya menjawabnya dengan anggukan.

    "Lusa, ibu rencana mau ke tempat itu. Mas mau nemenin ibu? Tapi mas harus janji, jangan bilang masalah ini dulu sama adek-adek." 

    "Kenapa kita nggak kesana besok aja Buk? Biar Ayah nggak jadi menikah dengan orang itu."

    "Nggak, Mas. Percuma saja. Kalau Ayah memang menginginkan hal itu, percuma saja jika kita menghalangi. Tidak ada gunanya. Bagi Ibu, yang penting Ayah tetap harus bertanggung jawab pada kalian. Karena kalian anak-anaknya. Kalau ibu, tidak berhak untuk melarang ayah berbuat apapun yang dia suka. Itu hak ayah. Ibu hanya ingin membuat ayah menyesal sudah melakukan itu pada kita."

    "Ibu jangan sedih. Alif dan adek-adek akan tetap bersama ibu." Bagai hujan yang turun di tengah padang pasir. Mendengar kata-kata si sulung, air mata Aira segera menetes. 

    "Terima kasih, Mas. Jadi, mas mau nemenin ibu ke sana?" tanyanya lagi. 

    "Ya, Buk. Alif akan temenin Ibu ke sana. Alif nggak akan biarin ibu pergi sendirian."

    "Oke. Kalau gitu mas sekarang istirahat dulu. Ibu juga sudah ngantuk. Ingat ya Mas? Adek-adek jangan sampai tahu dulu."

    "Ya, Buk."

.

.

.

    Dan dua hari kemudian, Aira berangkat bersama Alif ke kota sebelah. Hari dimana akan dilangsungkannya pernikahan suaminya dengan seorang gadis di kota itu.

    Satu setengah jam perjalanan, Akhirnya Aira sampai di tempat tujuan. Dia memarkirkan mobilnya di pelataran gedung yang disewa untuk pesta pernikahan itu dengan hati tak karuan. Dia tahu akan sesakit apa nantinya melihat lelaki yang telah puluhan tahun menjadi suaminya itu bersanding di pelaminan bersama wanita lain. Namun dia berusaha menyembunyikan.perasaan gundahnya itu pada putra sulungnya.

    Dari luar, pesta itu memang tampak megah. Seperti kata Linda, gadis yang dinikahi suaminya itu memang masih muda. Dia baru beberapa tahun lulus kuliah, sepantaran dengan keponakan Linda. Dan gadis itu merantau di kota yang sama dengan suami Aira. 

    Entah bagaimana cara mereka akhirnya saling mengenal. Namun sepengetahuan keluarga sang gadis, suami Aira adalah seorang duda. Mungkin itu sebabnya mereka merestui hubungan anak gadisnya dengan pria yang usianya sudah kepala empat itu. 

    Setelah menghela nafas dalam, Aira mengajak Alif turun. Sekuat tenaga dia berusaha terlihat sangat tegar. Sementara sang putra sulung yang sedari tadi sudah diwanti-wanti ibunya agar tidak melakukan hal yang membahayakan diri sendiri di dalam pesta pernikahan ayahnya itu, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang bergemuruh. Apalagi saat mereka mulai memasuki ruangan dan dilihatnya sang ayah sedang duduk di depan sana bersanding dengan wanita yang bukan ibunya. 

    Aira terus melangkah mendekat ke pelaminan dengan tangan Alif yang menggandengnya. 

    Tak seperti tamu tamu undangan lain yang datang dengan wajah tersenyum penuh kebahagiaan, Aira dan Alif sama sekali tak menampakkan senyum di wajah mereka. Beberapa pasang mata yang kebetulan menyadari kehadiran dua tamu misterius itu kemudian mulai saling berbisik. 

    Dan saat Aira dan Alif semakin dekat, Dhani yang mulanya sedang terlihat bercanda ria dengan mempelai wanitanya di pelaminan mendadak menghentikan senyuman. Wajahnya berubah tegang menyaksikan istri dan anak sulungnya tiba-tiba sudah berada di tempat itu. Benar-benar di luar dugaannya. 

    Perubahan jelas di wajahnya membuat mempelai wanitanya yang cantik bertanya-tanya. 

    "Ada apa, Mas? Siapa mereka?" tanyanya. 

    "Selamat, Mas, Kamu tidak menyangka kan aku akan ada di sini sekarang?" kata Aira saat dia dan anaknya telah sampai di panggung pelaminan megah itu. Berdiri tepat di hadapan dua mempelai yang sontak berdiri melihat mereka menghampiri.

    "Dek, aku bisa jelaskan ini!" Dhani mulai panik. Apalagi melihat tatapan mata anak sulungnya yang berapi-api padanya. 

    "Tenang, Mas. Aku tidak akan mengganggu pernikahanmu. Kamu bisa melanjutkan pestamu setelah mereka tahu siapa sebenarnya kamu." Tangan Aira menunjuk ke.sekeliling ruangan. 

    Suasana pesta mendadak riuh tatkala semua tamu undangan baru tersadar bahwa sedang ada ketegangan di atas panggung pelaminan. Sementara Aira bergegas menghampiri MC pernikahan untuk mengambil microphone yang berada di atas meja. Beberapa orang yang sepertinya kerabat mempelai wanita  berusaha mencegah Aira. Namun Karena melihat sikap tenang Aira, akhirnya mereka pun tak bisa berbuat banyak. 

    "Mohon perhatian semuanya. Saya, Humaira, istri sah dari Dhani Hendrawan Salim. Saya wanita yang dinikahinya 20 tahun yang lalu dan yang menemaninya saat dia masih miskin sampai dia sukses seperti sekarang. Dan kami juga telah memiliki 3 orang anak yang telah menginjak remaja. Perlu semua tahu bahwa saya, Humaira Aisya, belum pernah diceraikan oleh suami saya dan secara hukum masih menjadi istri sahnya." 

    Aira menghentikan kalimatnya. Tamu undangan yang tadinya mendengarkannya dengan serius kini terdengar riuh lagi. Sementara di kursi pelaminan, kedua mempelai dan orang tuanya mulai pucat pasi. 

    "Untuk keluarga mempelai wanita, semoga kalian segera menyadari, laki-laki seperti apa yang membuat kalian begitu bangga untuk kalian nikahkan dengan putri kalian ini. Dan kamu, mas Dhani. Setelah pestamu selesai, aku menunggumu di rumah untuk menjelaskan semua ini pada anak-anakmu. Dan bersiaplah untuk berurusan dengan pihak yang berwajib karena dokumen palsu yang telah kamu buat untuk melancarkan pernikahanmu ini. Ayo Alif, Kita pulang, Nak!" 

    Aira mengembalikan microphone ke tempatnya, lalu berjalan diikuti sang anak turun dari panggung pelaminan. Tak dihiraukannya Dhani yang memanggil namanya dan Alif beberapa kali. 

    Dan tak seperti tadi saat dia datang dengan wajah yang tegang, kali ini Aira berbalik meninggalkan pesta dengan senyuman tersungging di bibirnya. 

    'Bukan Kamu saja yang bisa menghancurkan impianku, Mas. Tapi aku pun bisa melakukannya. Dan ini baru permulaan.'

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
aduh Aira kmu tegar banget .bagus kmu hancur lagi laki2 itu dgn s pelakor itu .biarkan fia akan hancur dua2 nya ...
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
laki² balangsakkk klo dh sukses cuma mikir selakangann aja kali, dan pelakor cuma bisa merebut yg udah ada
goodnovel comment avatar
Kristina Panjaitan
ceritanya menyentu hati setiap pembaca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status