Share

GUNJINGAN TETANGGA

    "Ibuk dari mana?" Alif menyambutnya di teras sesaat setelah Aira memarkirkan mobilnya di garasi.

    Wanita itu turun menutup pintu mobilnya, lalu berjalan beriringan dengan anak sulungnya ke dalam rumah.

    "Ibu habis dari toko perhiasan, Mas." Aira mendudukkan tubuh lelahnya di kursi tamu.

    "Lhoh, ngapain Buk?" 

    "Ibu akhirnya jual perhiasan. Lumayan mas masih bisa laku 20an juta."

    "Perhiasan peninggalan eyang?" Alif mengikuti ibunya duduk. Dahinya berkerut.

    "Iya."

    "Katanya ibu mau jual motornya Alif? Kok malah perhiasannya yang dijual?"

    "Setelah Ibu pikir-pikir, mendingan perhiasannya aja mas yang dijual. Lagian Ibu juga nggak terlalu suka pakai perhiasan. Model perhiasan peninggalan eyang juga sudah kuno. Motor mas juga lebih berguna dibanding perhiasannya kan?"

    "Tapi kan Ibu sayang banget sama perhiasan itu. Satu satunya yang mengingatkan Ibu sama eyang."

    "Nggak apa apa, Mas. Cuma perhiasan aja kok. Yang penting doa ibu tidak pernah lupa untuk eyang. Nanti kalau ibuk sudah tidak ada, Mas sama adek-adek juga jangan lupa selalu doakan Ibu ya? O iya, adek-adek mana, Mas?"

    "Di kamar, Buk. Pulang sekolah tadi pada ngeluh aja karena puasa. Ya udah Alif suruh tidur aja." 

    "Aduuuh, untung Mas ingetin. Ibu siapin buka dulu ya sekarang?" Aira beranjak bangkit, tiba-tiba dia teringat sesuatu.

    "Lho, masih jam segini, Buk. Masih lumayan lama bukanya."

    "Iyaa, nggak papa. Soalnya bentar lagi Ibu mau ke rumah Bu RT. Ibu-ibu arisan pada mau buka bersama katanya. Jadi kita masak-masak dulu."

    "Ooh, ya udah kalau gitu. Yuk, Alif bantuin."

    "Mas nggak istirahat aja? Nggak capek habis pulang sekolah?" 

    "Nggak, Buk. Kalau sambil ngerjain sesuatu kan malah jadi cepet waktunya. Nggak terasa." 

    "Ya udah. Yuk!"

.

.

.

    Tepat pukul setengah empat sore, Aira sudah menuju ke kediaman ketua RT. 

Aira sedikit terlambat rupanya karena harus menyiapkan buka puasa dulu untuk anak -anaknya tadi. Sudah banyak ibu ibu yang berkumpul disana. 

    Saat mulai memasuki teras rumah, tiba-tiba tidak sengaja terdengar olehnya suara yang menyebut-nyebut namanya. Apa yang sedang mereka bicarakan? Aira mengurungkan niat untuk mengucapkan salam. Dia berdiri sejenak di dekat sudut pintu yang kebetulan tidak terlihat dari dalam rumah. 

    "Bu Aira kok belum datang ya?" Suara salah seorang ibu kompleks. 

    "Masih masak kali, Bu. Paling bentar lagi datang," sahut yang lain. 

    "Eh Ibu-ibu, pada udah denger belum kabar tentang Bu Aira? Suaminya katanya menikah lagi lho." Aira hafal betul suara itu. Bu Hera, biang gosip di kompleks perumahan ini. 

    "Hush! Bu Hera. Puasa puasa jangan ghibah dong," timpal Bu RT.

    "Eh, Bu RT, ini bukan ghibah. Ini nyata. Real. Saya denger sendiri kok dari saudara saya yang tetanggaan dengan rumah orangtuanya Pak dhani. Malah istri mudanya sudah dibawa ke sana lho," jelas bu Hera panjang lebar. 

    "Hah? Beneran itu bu Hera?" tanya seorang ibu lainnya. 

    "Serius. Katanya itu ya, istri mudanya pak Dhani. Wahhh, masih muda lho, kinyis kinyis. Pokoknya mirip artis-artis selebgram jaman sekarang itu. Cantik banget semlohay gitu deh. Pantas saja pak Dhani klepek-klepek. Bu Aira kalah jaih lah dibanding istri mudanya."

    "Memangnya bu Hera sudah pernah  lihat sendiri?" tanya Bu RT.

    "Ya enggak lah, bu RT ini gimana sih. Kan tadi saya bilang ini ceritanya saudara saya."

    "Ya kalau nggak lihat sendiri mah jangan suka nyebarin berita ah. Nanti kalau hoax bisa dituntut pelanggaran lho. Pencemaran nama baik," tegas Bu RT sambil bercanda.

    "Eh eh, tapi bener kok, Bu. Saya kemarin lihat juga soalnya, mertuanya Bu Aira datang ke rumahnya. Sepertinya sambil ngomel-ngomel gitu pas pulangnya." Sekarang terdengar suara bu Enggar yang bicara. Wanita itu memang sebelas dua belas dengan tetangga sebelah rumahnya, bu Hera.

    "Lagian ya, suami istri kalau hidup jauh-jauhan gitu berat godaannya, bu ibu. Mana pak Dhani kan usianya juga masih muda. Orang yang sudah kakek-kakek aja kadang masih doyan begituan. Ya nggak? Apalagi yang ini, masih muda, kaya, harus pisah sama istri sekian lama. Ya begitu deh jadinya," lanjut bu Enggar lagi.

    Panas telinga Aira mendengar itu. Kenapa ibu-ibu kompleksnya itu tega menggosipkan masalah rumah tangganya di tempat umum seperti ini? Padagal Aira bahkan dalam kesehariannya termasuk yang tak pernah suka menyinggung masalah orang lain. 

    Apakah mereka itu tidak punya perasaan? Bagaimana jika mereka ada di posisi Aira sekarang? Akankah mereka bisa berkata-kata yang demikian? 

    Karena sudah tidak tahan, Aira pun akhirnya memutuskan untuk masuk. 

    "Assalamu'alaikum ..." sapanya, yang sontak membuat seisi ruangan jadi salah.tingkah.

    "Eh, Bu Aira ... saya kira tidak datang." Sapaan bu Hera yang terdengar pertama kali. Wanita itu seolah tidak pernah melakukan hal keji dengan bergosip tentang Aira tadi. 

    Aira hanya tersenyum kecut menanggapi sapaan wanita biang gosip itu. Sementara Bu RT dan yang lainnya nampak sangat kikuk melihat kedatangan Aira. 

    "Maaf, Bu RT, saya telat. Tadi masak dulu buat buka anak-anak," kata Aira  basa-basi. 

    "Nggak apa apa, bu Aira. Kita juga nggak telalu banyak kok kerjaannya. sebagian snack sudah saya beli. Kalau semua bikin, repot jadinya," kata bu RT mencairkan suasana.

    Bu Hera dan bu Enggar yang sedari tadi gencar menggosip tentangnya sekarang nampak terdiam dan saling mencuri pandang. Membuat Aira sangat jengah.

    "Kenapa jadi diam bu Hera, bu Enggar? Apa sudah tidak ada bahan yang dibicarakan lagi tentang saya dan keluarga saya?" sindir Aira sambil tersenyum dipaksa.

    Suasana sontak berubah hening. Ibu- ibu yang lain nampak hanya menunduk dan fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Sementara bu Hera yang justru malah jadi tersinggung karena merasa disudutkan, mulai angkat bicara. 

    "Maaf lho, bu Aira. Saya ini bukannya menggosip. Saya bicara sesuai fakta kok. Kalau tidak ada fakta, saya juga tidak mungkin bicara. Iya kan bu Enggar?.

    "Eee, eemmm ... ." Bu Enggar nampak tidak enak hati untuk menanggapi perkataan tetangga sebelah rumahnya itu.

    "Setidaknya Ibu bisa menempatkan diri dimana harus bicara. Apapun yang terjadi pada rumah tangga saya itu urusan saya dan suami. Toh saya juga tidak pernah membicarakan aib bu Hera dan bu Enggar di depan umum kan?" 

    "Halah bu Aira ini kok kayak yang paling suci saja. Buktinya ngurus suami juga nggak becus lho sampai nyeleweng gitu." Merasa tersindir, bu Enggar pun berani bicara.

    "Astaghfirullah ..." Aira ingin marah, tapi karena masih ingat dengan puasanya, akhirnya dia hanya mengelus dada.

    "Maaf ya, Bu. Saya hidup berpisah dengan suami saya, berjauhan itu sudah menjadi kesepakatan kami dari awal. Dan perlu di ingat, apa yang terjadi pada saya ini, bisa saja nanti terjadi pada Ibu Ibu juga. Jadi tolong, berempatilah pada perasaan orang lain." 

    "Alaaaaaa .... ya nggak mungkin lah, Bu. Suami saya tiap hari lho saya kelonin. Saya kekepin di rumah. Nggak akan kekurangan kasih sayang," ujarnya lagi dengan menjengkelkannya.

    "Sudah! Sudah! Bu Enggar. Lebih baik tidak usah menggosipkan masalah rumah tangga orang lain. Apalagi ini bulan ramadhan. Harusnya kita saling menjaga agar kerukunan tetap terjaga. Dan yang dikatakan bu Aira itu benar lho. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan rumah tangga kita ke depannya. Jadi jangan sombong jika sekarang suami kita sedang baik-baik saja. Roda kehidupan itu berputar, Bu Ibu. Kadang bisa di atas, kadang di bawah. Apa yang menimpa orang lain, suatu saat bisa juga menimpa kita," ceramah Bu RT menengahi.

    "Ya sudah yuk lanjut kerja lagi aja kalau begitu," ajak ketua kompleks itu.

    Dengan hati masih sedikit dongkol, akhirnya Aira ikut berbaur juga dengan Ibu Ibu kompleks itu.  Ternyata saat rumah tangganya dengan suami goncang seperti ini, bukan hanya itu saja yang akan dihadapinya. Mertua, tetangga, teman, semuanya bahkan banyak yang justru ikut menyudutkan, bukannya memberi dukungan padanya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status