Share

PARCEL DARI ATASAN

    "Mas."

    Alif yang baru saja keluar dari kelasnya dan berniat menuju perpustakaan sontak menoleh. Adnan mengejar dengan langkah tergesa di belakangnya.

    "Ada apa?" tanyanya. 

    "Ayah ngajak ketemuan. Nanti habis pulang sekolah."

    "Ya udah, temuin aja," jawabnya santai. 

    "Tapi ayah suruh ngajak Mas Alif."

    "Dia nggak bilang kok. Kamu aja yang pergi. Mas nanti mau buru-buru pulang."

    "Tapi Mas, katanya penting. Soal Ibuk."

    "Kalau penting biar datang ke rumah aja. Udah Dek, nggak usah ikutan pusing," kata Alif menepuk bahu adiknya.

    "Mas mau kemana?"

    "Perpus. Mau ikut?"

    Adnan menggeleng. Lalu Alif pun berbalik melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda.

.

.

.

    Siang harinya Adnan menunggu kakaknya di parkiran dengan gelisah. Kelasnya selesai setengah jam lebih awal dari kelas Alif. Sudah dari seperempat jam yang lalu, ponselnya tak berhenti bergetar. Dari sang ayah. Dan karena tidak enak hati, akhirnya Adnan memutuskan untuk mengangkatnya.

    "Ya, Yah?"

    "Gimana, Nan? Udah bilang ke Mas Alif?"

    "Udah tadi, Yah. Tapi katanya Mas Alif mau buru-buru pulang."

    "Kamu nggak bilang kalau ayah mau ngomong penting?"

    "Udah. Katanya ayah ke rumah aja kalau penting."

    Terdengar helaan nafas berat dari seberang. Dhani sudah menduganya. Alif tidak akan semudah itu untuk diajak bertemu. Apalagi jika ada masalah antara dirinya dengan ibunya. 

    Sejak kecil, Alif memang sedikit berbeda dengan adik-adiknya. Dia yang terlihat paling dekat dengan Aira. Meskipun semua anak-anak Dhani dekat dengan ibunya, namun Alif seperti punya kontak batin tersendiri dengan istri pertamanya itu. 

    Dhani ingat, suatu hari saat Aira sakit, Alif bahkan tak mau beranjak dari sisi ibunya sedetikpun. Padahal waktu itu, Dhani juga sedang ada di rumah karena sedang mengambil cuti. Dan adik -adiknya pun beraktifitas seperti biasa tanpa terganggu dengan sakitnya sang Ibu. 

    Alif berbeda. Mungkin karena dia anak sulung yang melihat kerepotan ibunya dari dia masih kecil. Dua tahun memiliki adik, dan dua tahun berikutnya disusul adik lagi. Aira lebih banyak sendirian mengurusi anak -anaknya. Mungkin itu yang membuat Alif jadi sangat dekat dengan sang ibu.

    Sejujurnya Dhani sangat mengakui bagaimana hebatnya istrinya itu mendidik anak-anaknya. Sendirian tanpa banyak campur tangannya. Bahkan tidak pernah mengeluh untuk dicarikan asisten rumah tangga juga. 

    Dulu saat anak anaknya masih kecil, Aira hanya butuh seorang pembantu pocokan yang hanya membantunya di pagi hari. Itupun tugasnya hanya mencuci dan membersihkan rumah.Setelah selesai, embak-embak itu pun pulang karena rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka. 

    Lalu saat anak anak mereka sudah beranjak besar, Aira kembali mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri, tanpa sedikitpun pernah mengeluh. Itulah sebenarnya salah satu yang membuat Dhani sangat berat melepas Aira. 

    Ada kalanya lelaki itu merasa sedikit tolol telah mengkhianati istri yang setia dan tidak neko neko seperti itu. Apalagi telah memberinya tiga orang anak yang sudah beranjak remaja. Harusnya sebentar lagi dia bisa menikmati hari-hari tua bahagia bersama Aira dengan anak anak yang sudah dewasa dan berkeluarga. 

    Namun kenyataannya, nasi telah menjadi bubur. Godaan jauh lebih menggiurkan. Kucing pun tak akan tahan jika disodori ikan tiap hari. Soraya telah meruntuhkan dinding pertahanannya. Dhani benar-benar lupa diri. 

.

.

.

    "Lhoh, pulang pulang kok mukanya pada ditekuk gitu, ada apa sih?" 

    Aira mengerutkan dahi saat menyambut dua jagoannya pulang hampir berbarengan, tapi dengan wajah sama sama cemberut.

    Adnan masuk lebih dulu setelah mencium punggung tangan Aira. Sementara Alif yang di belakang berusaha bicara. 

    "Ayah tadi ngajakin ketemuan, Buk," katanya. 

    "Trus?" Aira mengiringi langkah anak sulungnya menuju ke dalam. 

    "Nggak jadi. Alif nggak mau."

    "Lhoh kenapa, Mas? Ibu nggak ngelarang kok kalau Mas mau ketemu ayah."

    "Males," sahutnya. Lalu berlalu dari hadapan ibunya menuju ke kamarnya. 

    Aira menggelengkan kepalanya. Aira sadar apa yang akan terjadi jika akhirnya dia memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Anak-anaknya lah yang akan terkena imbasnya. 

    Tapi bagaimana pun, kesalahan Dhani ini salah satu hal yang tidak pernah bisa ditolerir bagi Aira, perselingkuhan. Apalagi sudah sampai ke jenjang pernikahan. Sampai di titik ini, meskipun dia belum memasukkan gugatan cerainya secara resmi ke pengadilan, namun bagi Aira, Dani sudah tamat. Tidak ada lagi dalam hidupnya. 

    Aira bermaksud ingin kembali ke ruang makan, tempat dimana tadi dia sedang membaca-baca majalah bisnis untuk mencari inspirasi peluang usaha. Namun baru beberapa langkah, dia berhenti mendengar ada suara orang mengucapkan salam di luar rumah. 

    "Wa'alaikumsalam ...," sahut Aira sambil merapikan jilbabnya. Lalu segera bergegas keluar rumah.

    Seorang lelaki, mungkin seusia dengan suaminya, sedang berdiri di depan pagar rumah. 

    "Cari siapa ya, Pak?" tanya Aira ragu sambil membuka pagar. Sepertinya dia belum pernah melihat lelaki itu sebelumnya.

    "Benar ini rumahnya Pak Dhani Hendrawan Salim, Bu?" tanya lelaki itu.

"Iya, benar."

    "Oh, alhamdulillah kalau gitu. Ini Bu, saya mengantar bingkisan. Sebentar saya ambilkan."

    Lelaki itu lalu bergegas ke arah mobil yang terparkir di depan rumah. Membuka bagasi belakang dan mengeluarkan sebuah parcel berukuran lumayan besar. Dahi Aira berkerut keheranan. 

    "Parcel dari siapa, Pak?" 

    "Ini dari Nyonya, Bu. Istrinya Pak Direktur, Hermawan Prasnowo Tejosukmono."

    "Ooh," Aira membulatkan mulutnya. Lalu menerima parcel itu.

    "Saya sopir beliau," kata lelaki itu memperkenalkan diri. Aira hanya sedikit membungkuk sambil meletakkan satu tangan di depan dada, tanpa menerima perkenalan.

    "Ibu ini istrinya Pak Dhani 'kan?" tanya lelaki iu lagi. 

    "I-ya Pak," Ragu Aira menjawab. 

    "Bapak sama Nyonya sudah sampai tadi pagi di kota ini untuk peresmian kantor cabang baru besok malam, Bu," jelasnya tanpa diminta.

    Aira mengangguk. Suaminya rupanya benar telah dipindahkan ke kota ini memimpin cabang baru.

    "Kalau begitu saya permisi, Bu. Mari," pamitnya kemudian. 

    "Ee, Pak tunggu!" Aira tiba-tiba teringat sesuatu.

    "Ya Bu?"

    Namun kemudian Aira justru terdiam saat sopir direktur itu kembali ke hadapannya. Ragu untuk melanjutkan kalimatnya. 

    "Kalau boleh tau, pak direkrur dan istri menginap di  mana ya?" tanyanya memberanikan diri.

    "Hotel Best Continental, Bu." 

    "Oh, ya sudah. Terima kasih banyak, Pak."

    Seperginya tamunya itu, Aira membawa parcel besarnya ke dalam. Mendadak pikirannya jadi gelisah. Namun sepertinya bukan parcel itu yang membuatnya jadi tidak tenang. 

    "Dari siapa, Buk?" Tiba-tiba Alif sudah ikut duduk di ruang tamu saat Aira menyandarkan punggungnya di salah satu sofa.

    "Dari atasannya ayah, Mas."

    "Kok jauh amat ngirim parcel sampai ke sini?" tanya Alif keheranan.

    "Orangnya lagi ada di sini. Katanya besok kantor cabangnya mau diresmikan."

    "Oh," sahut Alif. "Jadi ayah bener dipindahin ke sini?"

    "Iya mungkin, Mas. Ibuk nggak tau." Aira menggeleng. 

    "Alif denger, Buk."

    "Hem?" Aira mendongak, menatap anak sulungnya sedikit bingung. 

    "Waktu eyang kesini itu. Alif denger semuanya. Yang kata eyang alasan ayah menikah karena apa itu." 

    Aira menghela nafas panjang. Dia sebenarnya sangat menyayangkan anak sulungnya ini sudah harus mendengar hal-hal seperti itu. Sungguh miris.

    "Itu belum tentu benar, Mas. Hanya Allah saja yang tau." 

    "Kalau gitu kenapa nggak cari tau?" 

Kata-kata Alif tiba tiba menggelitik Aira.

    "Maksudnya, Mas?"

    "Tanyakan saja sama yang bersangkutan apa semua itu benar atau tidak."

    Aira menatap Alif lekat. Apakah anaknya ini sekarang sudah sebegitu pedulinya dengan dirinya. Bahkan hal seperti ini sudah bisa dia pikirkan. Karena jujur saja. Kegelisahan Aira tadi kenapa sampai harus bertanya pada sopir si direktur dimana majikannya tinggal saat ini sebenarnya juga untuk menemui mereka. Tapi Aira sedikit ragu. 

    "Tapi jika itu benar, maka akan ada satu keluarga lagi yang hancur, Mas," jelas Aira. 

    "Apa masalahnya, Buk? Orang itu juga nggak mikirin kita kan, saat menyuruh ayah menikahi orang yang harusnya jadi tanggung jawab dia?"

    "Tapi Ibu ragu. Kalau salah bagaimana?"

    "Alif temenin. Nanti malam? Habis tarawih ya?" usul anak itu.

    "Nanti ibu pikirkan lagi, Mas. Sekarang Mas istirahat aja dulu. Capek kan?" Aira menatap lembut Alif yang kemudian ditanggapi dengan anggukan.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
suka ceritanya. memang itu kh gunanya kita dekat sama anak2 apalagi anak laki2 memang tanggung jwb sm ortu.
goodnovel comment avatar
Dra. Zullyta Anggreni C. Nelwan, MSi
bagus .........
goodnovel comment avatar
Dessy Fitriyani
sangat bagus Thor lanjutkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status