Sejak jam lima sore Barry dan para sahabatnya sudah mulai sibuk mempersiapkan acara makan malam bersama sekaligus sebagai perayaan sederhana ulang tahunnya. Berhubung cuaca mendukung, Barry pun memutuskan akan makan malam di luar ruangan sambil menikmati pemandangan alam di malam hari. Supaya acara memanggang nanti lancar, Barry menyuruh Sandara dan Ranty membantu Bi Sri menyiapkan semua bahan-bahannya di dapur, termasuk bumbu. Ketika tiba saatnya untuk memanggang, baru semua bahan-bahan yang telah siap tersebut dibawa ke halaman samping vila. Sandara menoleh di sela-sela kegiatannya mengiris jamur karena nanti ia juga ingin memanggang beberapa jenis sayuran. Ia tersenyum tipis saat melihat Dinda memasuki dapur. “Hai, Din,” sapanya berbasa-basi. “Hai,” Dinda membalas sapaan Sandara seadanya. Tujuannya ke dapur untuk melihat jenis minuman yang nanti mereka konsumsi saat acara makan malam. “Barry benar-benar payah. Perayaan macam apa yang akan dibuatnya, jika minuman beralkohol rendah
Malam semakin larut, udara pun kian dingin menusuk pori-pori kulit walau tubuh telah berlapis pakaian tebal. Setelah bersama-sama menaruh kembali perlengkapan yang digunakan saat memanggang di halaman ke dapur, semua orang pun bergegas memasuki vila untuk melindungi diri dari dinginnya udara malam. Kecuali Levin, semuanya menempati kamar yang ada di lantai dua di vila tersebut. Sebelum memasuki kamar masing-masing dan mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah, Barry mengumpulkan teman-temannya di ruang keluarga. Ia mengajak teman-temannya tersebut membuat kegiatan untuk besok pagi, mengingat mereka akan kembali ke Jakarta ketika siang atau sore harinya. Tidak mungkin mereka akan menghabiskan waktunya untuk rebahan atau berdiam diri di dalam vila saja. “Bar, aku izin mengambil power bank sebentar ke kamar,” interupsi Dinda di sela-sela Barry dan yang lainnya merembugkan tentang kegiatan besok. “Din, tolong ambilkan juga power bank punyaku,” Sava menimpali karena daya baterai ponselnya
Menyesal. Takut. Tentu saja Sandara didera oleh kedua perasaan tersebut. Bahkan, saat ini sangat berkecamuk di hati dan memenuhi pikirannya. Namun, sayangnya kedua perasaan tersebut kalah dengan rasa sakit hati yang menghantam harga diri dan martabatnya sebagai seorang perempuan. Walau berdosa karena telah melakukan perbuatan terlarang, tapi tetap saja Sandara masih memiliki harga diri. Betapa hina dan liciknya Sandara di mata Levin yang telah menuduhnya menjebak laki-laki tersebut dengan memasukkan obat ke dalam minuman hanya agar bisa menghabiskan malam bersama. Gara-gara tuduhan tersebut, hatinya tersayat sangat dalam sehingga menghadirkan rasa perih dan nyeri yang teramat menyakitkan. Kehilangan mahkotanya sebagai perempuan memang membuatnya sangat terpukul, karena hal tersebut menandakan bahwa ia telah lalai dalam menjaga dirinya sendiri. Pemikiran tersebut pun tidak patut dicontoh untuk membenarkan keadaan yang telah dialaminya. Namun jika kehilangan harga diri dan martabatnya, m
Sandara dan Levin berjalan menuju vila dengan aksi saling diam. Lebih tepatnya Sandara yang kembali tidak menganggap keberadaan Levin. Kini tidak ada lagi rasa kagum yang menggebu dari perempuan tersebut kepada dosen idolanya itu. Malah kekaguman tersebut seketika telah berubah drastis menjadi sebuah kebencian. “Saya serius akan menikahimu,” Levin akhirnya lebih dulu membuka suara tanpa basa-basi. Berhubung jarak vila masih cukup jauh, jadi ia ingin menyelesaikan urusannya dengan Sandara terlebih dulu. Sandara dengan jelas mendengar perkataan Levin yang berjalan tidak jauh di belakangnya, tapi ia lebih memilih untuk menulikan telinganya. “Sandara!” panggil Levin dengan nada dalam dan penuh penekanan karena Sandara mengabaikan perkataannya. Sandara tetap menulikan telinganya dan melanjutkan langkah kakinya dengan santai. Sedikit pun ia tidak menghiraukan panggilan Levin, meski intonasi laki-laki tersebut sudah terdengar kurang bersahabat di telinganya. Levin berdecak kesal karena S
Barry melupakan perkataan Levin yang sempat mengingatkannya agar tidak menyuruh seorang perempuan menggantikannya menyetir ketika tengah menempuh perjalanan jauh. Sebelum meninggalkan restoran tempat mereka menikmati makan siang, Barry meminta kepada Sandara untuk menggantikannya menyetir. Awalnya Sandara menolak karena ia sedikit mengantuk, tapi Barry mengatakan hanya sebentar saja, akhirnya perempuan tersebut pun menyanggupinya walau dengan setengah hati dan perasaan kesal. Sandara tidak mengada-ada ketika mengatakan mengantuk kepada Barry, apalagi ia tidak sempat tidur lagi setelah terbangun di kamar Levin dalam keadaan tanpa busana. Di dalam mobil lain, Levin berdecak kesal sambil menggeleng ketika melihat kuda besi milik Barry dikendarai oleh Sandara. Saat ini mobil Levin masih dikemudikan oleh Deni. Bukan Levin yang sengaja meminta, melainkan Deni sendiri yang menawarkan jasanya. Dengan bergabungnya Deni bersamanya, suasana di dalam mobilnya terasa lebih hidup. Ia menjadi mempun
Hari ini Sandara mengikuti kelas Levin seperti biasanya, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang sangat penting di antara mereka. Hanya saja kini ketika Levin sibuk menjelaskan tentang materi yang dibawakan, Sandara lebih memilih untuk mendengarkan sambil mencatat. Biasanya Sandara akan mendengarkan penjelasan Levin tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah laki-laki tersebut. Bahkan, setiap bahasa tubuh Levin akan ia perhatikan dengan intens. Sayangnya, kini semuanya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Ketika Sandara merasa tatapan Levin tertuju padanya, dengan sengaja ia langsung mengabaikannya. Sebisa mungkin Sandara tidak ingin bertatap muka dengan Levin selama mengikuti mata kuliah yang diajar oleh laki-laki tersebut. Berhubung Ranty ingin menonton pertandingan futsal Barry dan Deni setelah perkuliahan mereka usai, Sandara pun akhirnya memutuskan ke indekosnya sendiri karena ia merasa cukup lelah setelah mengikuti tiga kelas berturut-turut dari pagi. Sandara sengaja membu
Sebagai orang tua, terlebih seorang ibu, kekhawatiran yang dirasakan Dianti menggunung setelah Levin dengan berani dan jujur mengungkapkan perbuatannya yang sangat tidak pantas dicontoh. Karena rasa khawatirnya tersebut membuat Dianti kini tidak bisa memejamkan matanya walau ia sudah hampir satu jam membaringkan tubuhnya di samping sang suami. Dianti memang merasa sangat lega sekaligus bangga saat mendengar Levin tetap akan mempertanggungjawabkan perbuatan yang di luar keinginannya tersebut, tapi di sudut hatinya yang lain ia tidak menampik adanya suatu kekhawatiran terhadap Sandara. Terlebih ketika ia mendengar dari Levin bahwa Sandara menolak mentah-mentah keinginan anaknya tersebut. Terlepas dari terjadinya perbuatan terlarang yang tak diinginkan oleh Levin dan Sandara, Dianti juga mempunyai kekhawatiran lain terhadap hubungan antara Barry dengan perempuan tersebut. “Bagaimana jika Sandara hamil karena kejadian yang tidak pernah mereka inginkan tersebut? Apakah Sandara tetap bersik
Kejadian Sandara dan Levin menghabiskan malam bersama yang tak diinginkan di vila sudah dua bulan berlalu. Hubungan antara Sandara dan Levin tidak lebih dari sekadar mahasiswi dengan dosennya. Sandara tidak mau repot-repot membeli alat tes kehamilan karena ia sudah kedatangan tamu bulanannya, walau tidak senormal biasanya. Sandara menganggapnya hal tersebut wajar, mengingat belakangan ini tugas kampusnya sangat menumpuk sehingga mau tidak mau membuatnya banyak pikiran dan berujung stres. Lagi pula sebelum-sebelumnya siklus menstruasi juga tergolong tidak teratur, makanya ia mempunyai anggapan bahwa dirinya tidak semudah itu untuk bisa hamil. “Ran, kamu masih punya pembalut?” Sandara bertanya setelah keluar dari kamar mandi. “Sepertinya masih ada. Coba saja cari di laci lemari, San,” jawab Ranty tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptopnya. “San, bukannya baru seminggu lalu kamu datang bulan?” tanyanya yang kini telah menoleh ke arah Sandara. “Masih ada satu. Aku pakai punyamu d