Share

Secret Romance
Secret Romance
Penulis: Azuretanaya

Part 1

Sepasang netra berwarna cokelat kehitaman memandang kagum sosok tinggi yang berjalan tegap melewati tempat duduknya. Walau mengetahui pasti senyuman tipis yang diterimanya merupakan sikap profesional dari laki-laki tersebut, tapi tetap saja berhasil menciptakan rona kemerahan pada kedua pipinya. Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi Sandara Pramesthi Baskara saat diberi senyuman tipis sekaligus memabukkan oleh laki-laki yang sangat dielu-elukan di seantero tempatnya menuntut ilmu. Apalagi dari kabar yang didengarnya, laki-laki tersebut sangat banyak mempunyai penggemar rahasia. Salah satunya adalah dirinya sendiri.

Mata Sandara langsung mengerjap. Bahkan, ia memekik nyaring karena saking terkejutnya saat tiba-tiba saja pipinya tersengat benda dingin. Ia spontan menutup mulutnya saat menyadari dirinya kini menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di kantin. Sambil menyengir kaku ia mengangguk canggung sebagai tanda permintaan maafnya karena tanpa sengaja telah membuat kegaduhan. Ia pun langsung menatap tajam sosok yang telah membuatnya kehilangan muka di tempat umum. Kekesalan Sandara semakin membumbung saat sosok yang membuyarkan kekagumannya hanya menanggapinya dengan cengiran. Bahkan, tanpa memperlihatkan rasa bersalahnya sedikit pun, sosok tersebut langsung duduk di hadapannya.

“Jangan sampai kedua bola matamu itu keluar dari tempatnya karena menatapku terlalu tajam, San,” tegur Barry, sosok yang tadi berhasil membuat Sandara menjadi pusat perhatian. Ia meminta persetujuan kepada Ranty Febriana melalui isyarat mata, perempuan di samping Sandara yang sedari tadi sibuk menyantap makanannya.

“Puas kamu membuatku malu, hah?!” hardik Sandara kesal.

Barry terkekeh menanggapi hardikan Sandara, sedangkan Ranty hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan kesibukannya makan.

“Saat ada Pak Levin lagi, hancur sudah reputasiku di mata beliau,” Sandara kembali melanjutkan ucapannya dengan nada kesal, tapi penuh kepercayaan diri.

Barry langsung memutar bola matanya mendengar perkataan Sandara yang sangat percaya diri. Ranty yang tengah meneguk minumannya pun sampai tersedak dibuatnya.

“Memangnya Pak Levin mengenalmu dan peduli padamu, San?” tanya Ranty frontal sebelum mengulangi meneguk jus melonnya dengan benar.

“Jika mengenal mungkin saja, mengingat Sandara adalah salah satu anak didik yang Pak Levin ajar. Itu pun jika beliau mengingat jelas nama dan sosok Sandara. Namun, untuk kepedulian terhadap Sandara, mana mungkin Pak Levin memilikinya,” Barry lebih dulu mewakili Sandara menjawab pertanyaan Ranty.

Kini giliran Sandara yang membesarkan pupil matanya karena kedua sahabatnya tersebut dengan kompak merundungnya. “Tega sekali kalian,” ucapnya kesal. Ia langsung merebut minuman kaleng di tangan Barry yang belum dibuka.

“Tapi yang Barry katakan sangat masuk akal, San,” Ranty tetap menyetujui ucapan Barry, meski sudah melihat Sandara kesal.

Walau hati kecil Sandara juga menyetujui ucapan Barry, tapi tetap saja ia merasa kesal mendengarnya.

“Perlu kalian ketahui bahwa kriteria Pak Levin dalam urusan perempuan cukup tinggi. Menurut kacamataku, kamu tidak masuk dalam kriterianya, San. Aku sarankan padamu untuk berhenti mengejar atau memujanya,” beri tahu Barry dengan memperlihatkan ekspresi wajahnya yang serius.

Meski kekesalannya semakin bertambah dan kini diikuti oleh rasa kecewa setelah mendengar pemberitahuan Barry, tapi pada akhirnya Sandara mengangguk lemah. “Laki-laki seperti Pak Levin yang menurutku nyaris sempurna, pastilah mempunyai kriteria yang cukup tinggi agar mereka bisa saling mengimbangi. Aku tidak mengejarnya, hanya mengagumi sosok beliau saja,” ucapnya nelangsa.

Barry mengangguk. “Baguslah kalau kamu sudah menyadarinya, San,” ucapnya sambil terkekeh.

“Ngomong-ngomong, bagaimana sikap Pak Levin jika sedang berada di rumah, Bar?” tanya Ranty yang tiba-tiba penasaran.

“Apa yang akan aku dapatkan jika memberi tahu kalian?” Barry balik bertanya.

“Pulang nanti aku traktir kamu makan bakso, tapi satu porsi saja ya. Bekalku sudah menipis. Orang tuaku belum mengirimiku uang,” Sandara menjawab lebih dulu dengan jujur.

“Aku juga. Beginilah nasib anak rantauan.” Ranty langsung merentangkan tangannya ke arah Sandara dan mereka berpelukan.

“Saat kalian sudah mendapat kiriman uang saja aku beri tahukan jawabannya,” Barry sengaja menggoda kedua sahabat perempuannya di jurusan Akuntansi.

Mata Ranty melotot. “Kalau begitu kamu langsung dipecat menjadi sahabat kita,” ancamnya.

“Setuju,” Sandara menyetujui tanpa berpikir panjang. “Mulai detik ini Barry Aldrich Adyatama, bukan lagi sahabat Sandara dan Ranty,” sambungnya.

“Kalian benar-benar sadis,” Barry menggerutu menanggapi perkataan kedua sahabatnya.

“Makanya cepat beri tahu kita, bagaimana sikap Pak Levin saat berada di rumah,” tuntut Ranty kembali.

“Sama saja,” jawab Barry singkat.

“Sama? Apanya yang sama?” tanya Sandara dan Ranty bersamaan. Bahkan, dengan kompak kening mereka pun kini mengernyit.

“Sikap Kak Levin di rumah juga sama seperti ketika ia berada di kampus. Kalian melihat Kak Levin bersikap dingin dan kaku di kampus, di rumah pun ia seperti itu. Tidak ada yang berbeda,” jelas Barry pada akhirnya.

“Apakah kalian tidak akrab?” Sandara bertanya hati-hati kepada Barry sambil menoleh ke arah Ranty.

“Biasa saja,” Barry kembali menjawab dengan singkat. “Nanti kalau kami mengobrol, aku akan mengatakan padanya bahwa kedua sahabatku sangat terpesona dengannya,” imbuhnya sambil mengedipkan sebelah mata kepada kedua sahabat di hadapannya.

“Bukan aku, Bar. Aku biasa saja melihat Pak Levin.” Ranty langsung tidak setuju. Ia memberi isyarat dengan melirik Sandara. “Aku tidak mau nanti setiap mengikuti kelasnya dengan perasaan tidak tenang,” imbuhnya sekaligus menyindir.

“Sebaiknya hal itu tidak usah kamu katakan kepada Pak Levin, Bar. Takutnya malah akan menimbulkan kecemburuan pada mahasiswi-mahasiswi yang lain. Biarlah aku tetap menjadi pengagum rahasia beliau saja,” Sandara menimpali. “Aku juga tidak mau konsentrasiku buyar saat mengikuti kelasnya jika Pak Levin mengetahui bahwa aku terpesona padanya,” batinnya menambahkan.

Barry tertawa mendengar perkataan kedua sahabatnya. “Pikiranmu cepat sekali berubah, San. Tadi kamu sudah sadar, eh sekarang malah balik lagi,” cibirnya pada Sandara.

“Maklumi saja, Bar. Sahabat kita yang satu ini emosi dan pikirannya masih sangat labil,” Ranty menimpali cibiran Barry. Ia dan Barry tertawa saat melihat Sandara mendengkus.

“Ayo kita ke kelas,” ajak Barry setelah melihat jam di pergelangan tangannya.

Sandara dan Ranty langsung mengangguk. Sebelum meninggalkan kantin, secara samar Sandara menyempatkan diri menoleh ke arah tempat Levin duduk. Dengan cepat ia mengalihkan penglihatannya secara asal ketika tatapan mata Levin ternyata terarah padanya. Jantungnya berdebar kencang karena tatapannya sempat beradu dengan Levin secara tidak sengaja, meski hanya beberapa detik saja.

“Jangan terlalu percaya diri, San. Siapa tahu Pak Levin tadi sedang menatap Barry, mengingat mereka bersaudara,” akal sehat Sandara mencoba menggiringnya untuk berpikir realistis.

“Sepertinya tidak. Pak Levin tadi memang sengaja menatapmu, San,” kata hati Sandara menyangkal pendapat akal sehatnya.

“Diam kalian. Apa pun itu yang jelas aku sangat bahagia sekaligus gugup sekarang,” gumam Sandara pelan pada dirinya sendiri agar kedua sahabatnya tidak bertanya.

***

Levin Adelard Adyatama, laki-laki berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta. Sejak menginjakkan kakinya di universitas tempatnya membagi ilmu, ia sudah dielu-elukan oleh penghuni kampus, terutama yang berjenis kelamin perempuan. Jika dilihat dari postur tubuhnya, ia lebih cocok menjadi model dibanding tenaga pengajar. Terlebih ia dikarunia paras rupawan dan warna kulit yang putih bersih.

Walau banyak orang yang mengagumi penampilannya, tapi hal tersebut tidak membuat Levin lengah dan menjadi besar kepala. Pengagumnya bukan hanya dari kalangan mahasiswi saja, melainkan beberapa dosen muda yang sebaya dengannya pun ada. Mengingat perannya sebagai tenaga pendidik, ia pun selalu berusaha bersikap ramah dan sewajarnya kepada setiap orang di kampus. Contohnya seperti tersenyum tipis pada orang yang menyapanya.

Jika di luar kelas Levin masih bisa bersikap ramah dan menebar senyum tipisnya, tapi sangat berbanding terbalik saat ia sudah menjalankan tugasnya sebagai seorang pengajar. Ia tidak segan-segan mengusir anak didiknya jika sampai ada yang ketahuan tidak fokus dalam mengikuti kelasnya. Ia pun dikenal tidak pernah pilih kasih dalam memperlakukan mahasiswanya, walau ada sang adik yang juga diajarnya. Ia juga merupakan tipe laki-laki yang menjunjung tinggi profersionalitas, terlebih kepada para anak didiknya. Oleh karena itu, saat berada di kampus ia akan berinteraksi sewajarnya dengan sang adik.

“Kakak beradik sama-sama digandrungi kaum hawa. Aku iri dengan kalian,” celetuk Dimas Nugraha, salah satu dosen yang juga merupakan sahabat Levin. “Tidak adakah salah satu dari mereka yang memikat hatimu?” tanyanya penasaran.

Levin hanya tersenyum tipis sebelum menyesap sisa kopi hitamnya yang sudah mulai mendingin. “Tujuanku berada di sini untuk bekerja dan membagi ilmu, bukan mencari jodoh,” jawabnya tak acuh.

Dimas mengibaskan tangannya. “Mencari jodoh juga tidak masalah, lagi pula tidak ada yang melarang, Vin. Sambil menyelam minum air,” ucapnya sambil menaikkan kedua alisnya.

“Silakan saja jika kamu ingin melakukannya,” Levin kembali memberikan tanggapan tak acuh.

“Sepertinya teman adikmu itu juga menjadi bagian dari barisan pengagummu di kampus ini.” Dimas melihat ke arah Barry dan dua perempuan yang bersamanya. “Yang tadi dijahili oleh adikmu juga cukup manis dan cantik,” imbuhnya sambil mengamati Sandara.

“Namanya Sandara Pramesthi, salah satu mahasiswi yang cukup pintar di kelasku,” beri tahu Levin setelah melihat sekilas ke arah tempat duduk sang adik.

“Wah! Ternyata kamu hafal juga namanya,” Dimas berdecak kagum.

“Tidak terlalu sulit menghafal nama-nama mahasiswa yang terlihat menonjol di kelas. Bukan hanya mahasiswa pintar atau kurang yang aku ingat, yang rajin dan sering telat pun aku hafal. Baik wajah maupun namanya,” Levin menjawab apa adanya, bukan bermaksud menyombongkan diri.

Dimas manggut-manggut mendengar jawaban Levin yang dinilainya sangat masuk akal. Tidak mungkin juga mereka mengingat nama semua mahasiswa yang diajarnya, kecuali yang memang menonjol di kelas. Seperti yang dikatakan oleh Levin tadi.

Levin dan Dimas sepakat menyudahi obrolannya setelah menghabiskan minuman masing-masing, mengingat mereka harus kembali menjalankan tugasnya sebagai tenaga pengajar. Sebelum berdiri, Levin menoleh ke arah Barry dan ia mendapati Sandara sedang menatapnya. Tidak lama kemudian, perempuan tersebut dengan cepat mengalihkan tatapannya ke sembarang arah, mungkin malu karena tertangkap basah olehnya. Levin hanya menggeleng samar melihat tingkah mahasiswanya tersebut.

***

Sandara duduk di bangku tunggu yang ada di depan ruangan dosen sambil asyik memainkan ponselnya. Saat ini ia sedang menunggu Ranty yang masih berada di dalam ruangan dosen. Tadi sahabatnya tersebut diminta bantuannya untuk mengumpulkan tugas teman-temannya setelah jam tatap muka mereka berakhir oleh Dimas, salah satu dosen yang mengajarnya. Dimas juga ia ketahui sebagai salah satu dosen yang terlihat akrab dan sering bersama Levin.

“San,” panggil Barry sambil menormalkan napasnya yang terengah.

Merasa ada yang memanggil namanya, Sandara pun menyudahi aksinya memainkan ponsel dan mengalihkan perhatian ke sumber suara. Matanya membeliak saat melihat Barry yang tengah bersandar pada tembok sambil menormalkan deru napasnya. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri sang sahabat.

“Kamu kenapa, Bar? Aku kira kamu sudah pulang,” tanya Sandara heran sambil menatap Barry.

“Bu Dewi menyuruhku membantunya membawa kardus ini ke ruang dosen dan meletakkannya di samping mejanya. Entah apa isinya, aku tidak tahu. Pastinya berat, ditambah lagi banyaknya anak tangga yang harus aku naiki,” beri tahu Barry setelah deru napasnya lambat laun normal. “Tolong bantu aku membawanya ke ruang dosen, San. Tenagaku sudah sangat menipis,” pintanya memelas pada Sandara.

Karena kasihan melihat sahabatnya yang telah bercucuran keringat, Sandara pun mengangguk. “Tunggu sebentar,” pintanya karena ia ingin menaruh tasnya di kursi tunggu sebelum membantu Barry mengangkat kardus.

“Ternyata memang berat. Kira-kira isinya apa ya?” Sandara berkomentar sambil mulai berjalan menuju ruang dosen.

“Entahlah, San. Makanya tenagaku tadi hampir habis,” Barry menanggapi pertanyaan Sandara. “Tolong tahan sebentar pintunya, Pak,” pintanya pada Levin yang baru saja membuka pintu dari dalam ruangan dosen.

Tanpa memberikan tanggapan, Levin langsung mengambil tempat Sandara dan menggantikannya mengangkat kardus. “Punya siapa?” tanyanya singkat dan datar.

“Bu Dewi,” beri tahu Barry sambil tetap melangkahkan kakinya menuju meja Bu Dewi.

Melihat tindakan Levin yang sangat siaga membuat Sandara kagum. “Pak Levin benar-benar mengagumkan. Tanpa berkata-kata beliau langsung membantuku mengangkat kardus itu,” batinnya berkomentar.

Sandara yang kini berada di dalam ruang dosen karena tadi ikut masuk terperanjat saat Ranty mencubit tangannya. Ia menatap tajam Ranty yang ternyata urusannya sudah selesai dengan Dimas.

“Kita masih berada di ruang dosen, San. Jangan sampai ada yang memergokimu sedang memerhatikan Pak Levin dengan tatapan memujamu itu,” Ranty menegur sekaligus mengingatkan Sandara dengan berbisik.

“Maaf,” pinta Sandara saat menyadari tempatnya kini berada. “Kamu memang sahabatku yang paling baik dan peduli,” imbuhnya sambil menyengir.

“Kalau begitu gantikan nanti aku membuat masakan untuk makan malam kita,” Ranty menanggapinya sembari menaikkan sebelah alisnya.

Sandara memutar bola matanya, meski tetap menangguk pelan. “Terima kasih sudah menggantikan saya, Pak,” ucapnya tulus kepada Levin setelah laki-laki tersebut dan Barry meletakkan kardus yang mereka gotong di samping meja Bu Dewi.

Levin hanya menanggapi ucapan terima kasih Sandara dengan anggukan dan senyuman tipis. Bahkan, sangat singkat.

Melihat tanggapan Levin, Sandara pun menjadi salah tingkah. Ia menoleh ke arah Ranty sambil tersenyum kaku.

“Kami permisi, Pak,” ucap Barry kepada Levin dan Dimas yang ada di ruangan tersebut. “Ayo,” ajaknya pada Sandara dan Ranty.

Sandara dan Ranty juga berpamitan kepada dua dosen muda sekaligus tampan tersebut, kemudian bergegas menyusul Barry keluar ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status