Share

Part 2

Levin memelankan laju kuda besi yang dikendarainya saat melihat seorang perempuan sedang menuntun motor matic-nya. Tanpa mengetahui siapa perempuan tersebut, Levin langsung menepikan mobilnya. Setelah memastikan kendaraan roda empatnya yang terparkir tidak menghalangi pengguna jalan lain, ia pun segera keluar dari mobil tersebut.

“Kenapa dengan motornya, Mbak?” Levin bertanya setelah berjarak beberapa langkah dari perempuan tersebut.

Perempuan tersebut langsung menoleh ke belakang saat mendengar ada seseorang yang bertanya padanya. Alangkah terkejutnya perempuan tersebut saat mengetahui pemilik suara yang beberapa detik lalu bertanya padanya. “Pak Levin,” ucapnya kaget.

“Sandara?” Levin tak kalah terkejut setelah melihat wajah perempuan tersebut, yang ternyata dikenalnya. “Kenapa motormu?” tanyanya ulang setelah kembali dari keterkejutannya.

“Bannya pecah, Pak,” jawab Sandara sedikit gugup dan tanpa berani menatap wajah Levin yang kini telah berdiri di sampingnya.

“Sepertinya di depan ada bengkel motor,” ucap Levin sambil mengarahkan tatapannya jauh ke depan.

“Iya, Pak. Teman saya sedang memeriksanya ke sana, apakah bengkelnya masih buka atau sudah tutup,” Sandara kembali menjawab sambil ikut menatap ke arah bengkel yang dimaksud. “Sepertinya sudah tutup, mengingat hari telah menjelang petang,” imbuhnya bergumam.

“San!” panggil Ranty berteriak sambil melambaikan tangannya. “Cepat bawa kemari motormu,” pintanya.

Sandara tidak ikut berteriak, mengingat Levin masih berdiri di sampingnya. Bisa hancur reputasinya jika ia menanggapi panggilan Ranty dengan teriakan juga. Ia hanya mengacungkan jempol tangan kanannya ke arah Ranty, pertanda telah mengindahkan permintaan sahabatnya tersebut. “Saya permisi dulu, Pak,” pamitnya sopan kepada Levin.

Tanpa menunggu tanggapan Levin, Sandara bergegas kembali menuntun motor matic-nya menuju tempat Ranty berdiri. Entah mimpi apa dirinya kemarin malam sampai bisa berdiri sangat dekat dengan laki-laki yang selama ini dikaguminya tersebut.

Melihat sikap Sandara membuat Levin hanya mengangkat bahunya tak acuh. Saat punggung Sandara kian menjauh, ia memilih untuk kembali masuk ke mobilnya.

Di depan bengkel yang hampir tutup, Ranty menatap heran Sandara yang mendekat sambil menuntun motor matic-nya. Bagaimana Ranty tidak merasa heran saat melihat sahabatnya tersebut berjalan sambil senyum-senyum sendiri. Tadi Ranty memang melihat Sandara sedang berbicara dengan seorang laki-laki, sayangnya ia tidak bisa mengenalinya karena jarak mereka cukup jauh dan pandangannya kurang jelas akibat langit yang sudah mulai gelap. Merasa tidak enak ditunggu oleh pemilik bengkel, Ranty menghampiri Sandara dan membantunya menuntun motor matic tersebut.

“Besok jam sembilan atau sepuluh pagi diambil motornya ya, Mbak,” ucap pemilik bengkel setelah melihat sekilas ban belakang motor Sandara.

“Besok?” Sandara terkejut. “Berarti tidak bisa selesai hari ini juga ya, Pak?” tanyanya memastikan.

“Tidak bisa, Mbak,” jawab pemilik bengkel sambil menggeleng. “Kebetulan hari ini saya dan istri mau keluar,” jelasnya memberi alasan.

“Kita pulangnya naik angkutan umum saja, San. Titip saja dulu motornya di sini,” Ranty ikut bersuara. Seperti kesepakatannya tadi dengan pemilik bengkel.

“Baiklah,” jawab Sandara pada akhirnya karena tidak ada pilihan lain. “Kalau begitu saya titip motor saya ya, Pak,” ucapnya.

“Iya, Mbak. Tidak usah khawatir. Motor Mbak aman di sini,” pemilik bengkel menenangkan sekaligus meyakinkan.

“Semoga saja tidak turun hujan ya, San,” ucap Ranty penuh harap saat menyadari keadaan langit yang mendung.

“Iya,” Sandara menanggapinya dengan singkat. Ia sedang melihat pemilik bengkel memasukkan motornya sebelum pergi.

Setelah berpamitan kepada pemilik bengkel, Sandara dan Ranty berjalan bersisian menuju halte terdekat. Belum sempat Ranty menanyakan sosok yang tadi berbicara dengan Sandara, suara klakson mobil mengagetkan mereka dari belakang. Bola mata Ranty hampir saja keluar saat mengenali mobil yang suara klaksonnya tadi menginterupsi langkah mereka.

“Pak Levin?” ucap Ranty tak percaya. “San, aku tidak salah lihat kan?” tanyanya pada Sandara.

Tanpa mematikan mesin mobilnya, Levin keluar. “Bengkelnya tutup?” tanyanya retoris sambil melihat sekilas ke arah bengkel.

“Iya, Pak,” jawab Sandara singkat, sebab ia merasa tidak harus menjelaskan alasannya.

Levin mengangguk. “Jika kalian tidak keberatan, saya bisa memberikan tumpangan.”

“Yang benar, Pak?” tanya Ranty cepat dan penuh antusias. “Tentu saja ti … aw!” ringisnya saat Sandara cukup kuat meremas pergelangan tangannya.

“Tidak usah, Pak. Lagi pula haltenya tidak terlalu jauh dari sini,” Sandara menolak secara halus. Tentu saja ia mempunyai alasan kuat menolak tawaran Levin, yaitu demi kesehatan jantungnya.

Belum sempat Levin menanggapi penolakan Sandara, rintik hujan pun secara tiba-tiba turun. “Naiklah,” titahnya datar, kemudian mendahului kedua mahasiswanya tersebut naik ke mobil.

“I-iya, Pak,” Ranty mewakili Sandara menanggapi titah Levin. “Ayo, San, daripada kita kehujanan dan sakit,” bisiknya pada Sandara. Ia langsung menarik tangan Sandara dan berjalan menyusul Levin.

***

Suasana di dalam mobil yang ditumpangi oleh tiga orang sangat sunyi. Tidak ada salah satu dari mereka yang memulai membuka suara, termasuk sang pengemudi yang merupakan pemilik mobil. Tadi Ranty memohon kepada Sandara agar ia diizinkan duduk di bangku penumpang belakang. Bisa terserang stroke dini Ranty jika berada di bangku penumpang depan karena harus duduk bersebelahan dengan Levin.

Ranty memejamkan mata sekaligus menggigit bibir bawahnya ketika perutnya tidak bisa diajak berkompromi. Bahkan, sangat tidak tahu tempat dan situasi. Saking sunyinya suasana di dalam mobil, sehingga alarm yang dikeluarkan oleh perutnya sangat terdengar jelas. Ia merasakan kini wajahnya terasa panas karena malu atas kekurangajaran perutnya tersebut. Apalagi ia sempat melihat sang pengemudi meliriknya dari spion atas mobilnya.

“Shit!” umpat Ranty dalam hati.

“Ran, Ran, perutmu sangat tidak mempunyai urat malu,” ucap Sandara dalam hati dan berusaha keras untuk menahan tawanya. Ia sampai menggigit bibir bawah bagian dalamnya untuk menahan tawanya agar tidak lolos. Bahkan, ia sengaja melihat keluar jendela untuk mengalihkan perhatiannya.

“Kenapa ke sini, Pak?” Sandara bertanya spontan saat mobil yang dikemudikan Levin berbelok dan memasuki parkiran sebuah restoran.

“Tentu saja untuk makan. Memangnya kamu kalau datang ke restoran ingin membeli obat?” Walau Levin bermaksud bercanda untuk mencairkan suasana, sayangnya nada suara yang keluar dari mulutnya sangat datar. Bahkan, ekspresinya pun tak kalah datar. “Kasihan temanmu, cacing di dalam perutnya sudah berdemo ria,” imbuhnya sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil.

Ekspresi terkejut yang tadinya menghiasi wajah Sandara langsung berubah pias saat mendengar perkataan Levin. “Iya, aku ke restoran memang untuk membeli obat penghilang rasa lapar,” jawabnya dalam hati. “Anak kecil saja tahu tujuan utamanya datang ke restoran,” batinnya menambahkan.

“Tajam dan menohok sekali kata-kata yang dilontarkan Pak Levin. Aku sampai keluar keringat dingin mendengarnya,” gumam Ranty yang juga mendengar dengan jelas perkataan dosen muda tersebut kepada Sandara.

Sebelum keluar dari mobil, Sandara menoleh ke bangku penumpang belakang dan menatap tajam Ranty. “Para cacing di perutmu itu memang sangat tidak tahu situasi dan kondisi,” gerutunya setengah kesal.

Sandara tidak bisa menyalahkan sepenuhnya para cacing yang berulah di dalam perut Ranty, mengingat tadi sahabatnya tersebut melewatkan waktu makan siangnya karena mereka keasyikan berada di perpustakaan. Sebenarnya sekarang Sandara juga sudah lapar, hanya saja tadi ia sempat mengganjal perutnya dengan dua bungkus roti sebelum mendekam di perpustakaan.

“Maaf,” pinta Ranty sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

“Ayo kita turun,” ajak Sandara setelah menghela napas. “Yang punya mobil sudah berada di luar, masa penumpangnya masih anteng di dalam,” sambungnya.

Setelah melihat Sandara dan Ranty keluar dari mobilnya, Levin pun langsung mengunci kuda besinya tersebut. Ia memberi isyarat melalui anggukan kepada Sandara dan Ranty sebelum melangkahkan kakinya memasuki restoran.

“San, kira-kira kita akan ditraktir Pak Levin atau bayarnya nanti sendiri-sendiri?” Ranty berbisik sangat pelan kepada Sandara saat mereka menyusul Levin yang sudah lebih dulu memasuki restoran.

Sandara hanya mengangkat bahunya karena ia memang tidak mengetahui pasti jawabannya. “Yang penting uang di dompet kita cukup untuk membayar makanan masing-masing jika nanti memang tidak ditraktir,” sarannya. “Aku akan memesan makanan yang harganya paling murah di restoran itu,” sambungnya.

Ranty langsung mengangguk karena ia sependapat dengan Sandara. “Aku juga. Makanan dengan harga murah tidak masalah, yang penting bisa membuat perut kita kenyang,” ucapnya menambahkan.

***

Kaki Sandara dan Ranty saling menyikut di bawah meja. Mereka saling melirik dan memberi isyarat saat melihat Levin di hadapannya sedang sibuk memainkan ponsel. Setelah menanyakan makanan yang ingin mereka nikmati, Levin tidak bersuara lagi. Bahkan, hanya bertujuan sekadar basa-basi pun tidak ada. Seperti kesepatakannya tadi saat berjalan, mereka kompak memesan nasi goreng dan air putih, mengingat hanya menu tersebut yang keduanya minati sesuai kondisi dompet masing-masing.

“Maafkan kami, Pak. Gara-gara memberi tumpangan pada kami, Bapak jadi terlambat pulang.” Sandara memberanikan diri memecah keheningan di sela-sela mereka menunggu pesanan makanan masing-masing. “Ya, Tuhan, kenapa aku membuka obrolan dengan topik yang sangat garing?” batinnya bertanya pada diri sendiri.

Mendengar ada yang sedang berbicara dengannya, Levin mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya. “Saya yang menawarkan kalian, jadi kamu tidak perlu meminta maaf atau merasa bersalah,” ucapnya sambil menatap intens Sandara dengan sorot matanya yang datar.

Sandara merasakan jantungnya berhenti bekerja memompa darah saat melihat tatapan intens yang dipancarkan oleh mata Levin. Ia merasa semua yang dialaminya beberapa jam lalu dan kini tidaklah nyata, hanya bagian dari halusinasinya saja. Kejadian-kejadian mendadak seperti sekarang sangat tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

“Terima kasih banyak, Pak,” ucap Sandara dengan nada gugup yang tidak bisa disembunyikannya.

“Nikmati makanan kalian masing-masing,” ucap Levin saat melihat kedatangan dua orang waitress membawakan makanan yang mereka pesan. “Pelan-pelan saja kalian menghabiskan makanan masing-masing. Terutama kamu, Ranty, agar perutmu tidak kaget atau sakit,” lanjutnya sambil mengingatkan Ranty.

“Iya, Pak,” jawab Sandara dan Ranty serempak yang disertai dengan anggukan canggung.

Di sela-sela kegiatannya menyuap nasi goreng yang dipesannya, Sandara diam-diam melirik ke arah Levin. Laki-laki tersebut sepertinya sangat menikmati menu makanan yang dipesannya. Tiba-tiba kedua sudut bibir Sandara tertarik ke samping sehingga membentuk sebuah senyuman tipis. Ia tidak pernah membayangkan walau di dalam mimpi sekalipun, bahwa dirinya bisa duduk bersama seperti sekarang menikmati santap malam dengan Levin.

“Saat sedang makan pun Pak Levin sangat mengagumkan, apalagi kalau beliau bercanda, pasti karismanya lebih menguar dan semakin memesona,” batin Sandara berucap. “Ekspresinya yang datar saja sudah membuatku terpana, apalagi saat beliau tersenyum, bisa-bisa aku terjebak hingga akhirnya tenggelam ke dasar pesonanya yang paling dalam,” sambungnya dalam hati.

Ranty yang diam-diam memerhatikan Sandara pun melihat senyum tipis tercetak pada kedua sudut bibir sahabatnya tersebut. Sebelum Levin menangkap basah tindakan Sandara, dengan sangat hati-hati ia menyenggol kaki sahabatnya tersebut di bawah meja. Sambil menikmati makanannya, ia memberi isyarat sekaligus peringatan kepada Sandara melalui tatapan. Ia memperingatkan sahabatnya tersebut untuk tetap mengontrol diri, sebelum mereka malu untuk kedua kalinya.

“Bisa-bisa Barry kejang-kejang jika mengetahui aku dan Ranty menikmati makan malam bersama dengan kakaknya yang sangat tampan,” ucap Sandara dalam hati. “Musibah yang membawa berkah,” batinnya menambahkan.

“Jika kalian ingin menambah makanan, silakan,” ucap Levin berbasa-basi sebelum meneguk jus jeruk tawar di gelasnya.

Sandara dan Ranty dengan cepat sekaligus kompak menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Makanan ini saja sudah membuat perut kami kenyang,” Sandara mewakili Ranty menegaskan.

Levin menanggapinya dengan anggukan. Ia memberi isyarat melalui tangannya kepada Sandara dan Ranty untuk melanjutkan kembali menikmati makanannya masing-masing yang belum habis.

***

Selama dalam perjalanan menuju tempat tinggalnya, Sandara hanya bersuara seadanya sesuai pertanyaan yang Levin lontarkan. Setelah berkendara cukup lama karena terjebak macet, akhirnya mereka tiba juga di indekosnya. Sandara dan Ranty sengaja tidak mengizinkan Levin mengantarnya tepat di tempat tinggalnya, karena banyak teman-teman di indekosnya menuntut ilmu di universitas yang sama dengan mereka. Sudah pasti teman-temannya mengenal Levin, apalagi sosok laki-laki tersebut sangat menonjol di lingkungan kampus dan terkenal di kalangan mahasiswa, terutama di fakultas mereka. Sandara dan Ranty tidak mau jika salah satu temannya di indekos melihat bahwa Levin yang mengantar mereka pulang. Jika hal tersebut sampai terjadi, besoknya nama mereka bisa langsung menggema di seantero kampus karena gosip yang beredar dari mulut ke mulut. Apalagi jika sampai ada yang merekamnya.

Sebenarnya setelah selesai makan di restoran tadi, Sandara dan Ranty sudah ingin pulang dengan menumpang kendaraan umum. Namun, Levin tidak menyetujuinya dengan alasan sudah malam setelah Sandara mewakili Ranty mengutarakan keinginan mereka tersebut. Sandara dan Ranty hanya merasa tidak enak hati saja jika diantar ke indekosnya oleh Levin, apalagi laki-laki tersebut sudah mentraktir mereka makan malam. Akhirnya dengan terpaksa keduanya kembali menerima tawaran Levin yang akan mengantar mereka pulang.

Setelah bertegur sapa sekaligus berbasa-basi sebentar dengan beberapa temannya yang bersantai di halaman indekos, Sandara dan Ranty langsung menuju kamar mereka di lantai dua. Tadi salah seorang temannya juga menanyakan mengenai kedatangan mereka yang tanpa kendaraan seperti biasanya. Sandara dan Ranty dengan jujur memberitahukan bahwa sepeda motornya sedang menginap di bengkel karena bannya pecah.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
no _8
lanjut dong thor...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status