Levin mendengar rengekan Barry kepada ayah mereka saat ia memasuki rumah keluarganya. Selama ini ia memang masih tinggal dalam satu rumah bersama orang tua dan adiknya. Sebenarnya ia sangat ingin hidup mandiri dengan tinggal di rumah pribadinya, tapi sang ibu tidak menyetujui pemikirannya tersebut. Daripada membuat sang ibu sedih, akhirnya ia pun memutuskan untuk mengalah. Sang ibu mengizinkannya hidup terpisah saat ia telah berkeluarga nanti.
“Vin,” panggil sang ibu dari arah dapur sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan segelas jus melon saat melihat kedatangan putra sulungnya.
Karena melihat kedua tangan sang ibu masih memegang nampan, Levin memutuskan hanya mencium kening wanita yang sangat disayangi dan dihormatinya tersebut. “Mereka lagi bahas apa, Ma?” tanyanya pada sang ibu.
“Pesta ulang tahun,” Dianti Cantika Adyatama menjawabnya sambil tersenyum.
Levin hanya menanggapinya dengan anggukan kepala tak acuh. Bukannya Levin tidak peduli kepada Barry, hanya saja ia memang jarang ikut campur menyangkut urusan adiknya tersebut tanpa dimintai pendapat secara langsung.
“Tunggu sebentar ya, Nak. Mama mau mengantarkan minuman mereka dulu, setelah itu baru Mama siapkan makanan untukmu. Kamu pasti sudah sangat lapar, apalagi jam makan malam telah lewat. Atau kamu mandi saja dulu agar tubuhmu kembali segar, setelah itu baru makan,” ucap Dianti tanpa memberikan kesempatan Levin menyela perkataannya.
“Tidak usah, Ma,” tolak Levin dengan nada lembut. “Mama tidak usah menyiapkan makanan untukku. Aku sudah makan malam tadi di luar,” jelasnya sambil memegang kedua bahu sang ibu.
“Benarkah?” Dianti bertanya penuh selidik.
Tanpa berpikir panjang Levin langsung menjawabnya dengan anggukan. “Untuk apa juga aku harus berbohong pada Mama,” ucapnya meyakinkan.
Tidak menemukan kebohongan pada sorot mata yang dipancarkan sang anak, Dianti akhirnya percaya dan tersenyum. “Ya sudah, kalau begitu mandilah dulu agar tubuhmu kembali segar,” pintanya lembut.
Levin mengangguk. “Aku ke kamar dulu, Ma,” pamitnya dan menyunggingkan senyum tipis kepada sang ibu.
***
Ranty hanya geleng-geleng kepala dan menghela napas berulang kali saat melihat Sandara yang masih asyik melamun sambil tersenyum sendiri. Tentu saja ia mengetahui jelas penyebab sahabatnya tersebut bertingkah seperti sekarang. Jujur saja, ia pun masih sangat sulit percaya atas kejadian yang beberapa jam sebelumnya mereka lalui. Berada di dalam satu mobil dengan sosok yang sangat dipuja di kampusnya. Bahkan, ia sangat beruntung bisa menikmati makan malam di meja yang sama dengan sosok tersebut. Ditraktir pula. Entah malaikat dari surga lapisan ke berapa yang turun kemarin malam dan menyambangi mimpinya. Jika mahasiswi seantero kampus mengetahuinya, bisa-bisa ia dan Sandara akan menjadi topik pembicaraan yang panas sekaligus menggemparkan. Bahkan, kemungkinan besar akan ada banyak orang yang membenci mereka, terutama dari kaum yang sama seperti dirinya dan Sandara.
“San, aku sudah selesai. Habis mandi saja dilanjutin lagi kegiatan melamunnya,” Ranty menegur sekaligus menyarankan sambil menepuk pundak Sandara. Alhasil, tindakannya itu spontan membuat sahabatnya tersebut terkesiap.
“Ran, sepertinya malam ini aku tidak akan bisa tidur nyenyak,” ucap Sandara setelah tersadar dari lamunannya. “Walau aku sangat mengidolakan Pak Levin, tapi aku tidak pernah menyangka akan berada dalam satu mobil dengan beliau. Apalagi makan malam di atas meja yang sama dengannya, ditraktir lagi. Bahkan, beliau juga mengantar kita pulang,” sambungnya dengan mata berbinar.
Ranty terkekeh mendengar perkataan Sandara, meski ia menyetujuinya. “Sana cepat mandi, sebelum malam semakin larut dan membuat tubuhmu menggigil kedinginan,” pintanya kembali di sela-sela kegiatannya yang tengah mengeringkan rambutnya yang basah.
“Siap, Komandan!” Sandara bangun dari kasur yang tanpa beralaskan dipan sambil memberi hormat kepada Ranty.
Sandara dan Ranty kebetulan berasal dari pulau yang sama, tapi berbeda kabupaten. Demi menghemat biaya hidup di kota rantauan tempatnya menimba ilmu, keduanya sepakat dan memutuskan tinggal bersama di sebuah indekos yang ukurannya cukup untuk mereka tempati.
Dibandingkan Ranty, keadaan ekonomi keluarga Sandara jauh lebih bagus. Orang tua Sandara memiliki perkebunan sayur, yang hasilnya juga didistribusikan ke restoran-restoran ternama di Bali selain dijual ke pasar-pasar tradisional. Bahkan, demi mendapatkan kualitas sayuran yang bagus, orang tuanya juga membuat beberapa green house.
Walau dari segi ekonomi keluarganya terbilang mapan, tapi Sandara lebih memilih hidup sangat sederhana di tempat rantauan. Bahkan, ia menolak dengan tegas saat orang tuanya ingin mengirimkan mobil sebagai sarananya untuk berangkat ke kampus atau menunjang aktivitas lainnya. Ia dan Ranty merupakan mahasiswi berprestasi di bidang akademik sekaligus aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di kampus. Keduanya masuk di kampus tempatnya kini melanjutkan pendidikan karena beasiswa yang mereka terima.
***
Setelah tubuhnya merasa lebih segar usai mandi, Levin ikut bergabung bersama anggota keluarga lainnya di lantai bawah. Levin mengira urusan mengenai perayaan ulang tahun Barry sudah selesai dibahas saat ia tinggal mandi tadi, tapi pada kenyataannya belum. Telinganya masih dengan jelas mendengar rengekan Barry. Entah apa yang diminta oleh adiknya tersebut. Ia menduga permintaan Barry pasti tidak biasa, sehingga ayah mereka tidak mudah untuk mengabulkannya.
“Sini duduk, Vin.” Dianti melambaikan tangan saat melihat Levin sudah berada di undakan anak tangga terakhir.
“Tumben malam sekali kamu pulang, Vin? Ada acara?” Gibran Adyatama bertanya kepada putra sulungnya saat melihat laki-laki bertubuh tinggi tersebut mendekat ke arah mereka.
“Iya, Pa. Tadi aku keasyikan mengobrol dengan Dimas, jadinya lupa waktu,” Levin berdusta. Daripada dicecar banyak pertanyaan oleh Barry, lebih baik ia memilih untuk tidak mengatakan yang sebenarnya terjadi. Apalagi setahunya, sang adik berteman dekat dengan kedua perempuan yang tadi ditraktir sekaligus diberinya tumpangan.
“Papa kira kamu pulang terlambat karena sedang berkencan dengan pacarmu,” Gibran sengaja menggoda Levin yang kini telah duduk di single sofa. “Papa dengar, di kampus kamu sangat dielu-elukan dan mempunyai banyak penggemar dari kalangan mahasiswa maupun sesama pengajar. Bahkan, pemuja rahasiamu juga banyak,” sambungnya sambil terkekeh.
Levin langsung mengalihkan tatapannya ke arah Barry yang diyakininya sebagai pemberi informasi tunggal kepada sang ayah. Tidak mungkin ayahnya bisa mengetahui keadaan di kampus jika tidak ada yang memberitahunya, kecuali sang ayah sengaja membayar orang untuk memata-matainya.
“Bukan aku, Kak,” Barry mengelak dari tuduhan tersirat Levin sambil menggerakkan kedua tangannya sebagai tanda bahwa bukan ia pelakunya. Bulu kuduknya meremang saat melihat tatapan mata Levin yang tertuju padanya. “Mati aku! Bisa dikuliti aku oleh saudara tunggalku ini yang sikapnya sedingin freezer Mama,” decaknya dalam hati.
Gibran dan Dianti saling tatap sambil melempar senyum melihat interaksi kedua putra mereka. Karakter dan kepribadian kedua anaknya tersebut sangat bertolak belakang. Mengamati kedua laki-laki tampan yang membuatnya sangat bahagia sebagai seorang ibu, Dianti seperti melihat sosok muda suami dan kakak iparnya, Galih.
“Jadi bagaimana, Pa?” Barry kembali membahas tentang keinginannya untuk merayakan ulang tahun di vila keluarganya. “Ayolah, Pa. Mumpung bertepatan dengan weekend,” rengeknya kembali.
“Kalian sebenarnya sedang membahas apa? Dari tadi aku dengar belum selesai juga,” Levin ikut menimbrung pada obrolan adik dan ayahnya setelah mengambil pisang goreng yang tersaji di atas coffee table. Walau tadi sang ibu sudah memberitahunya, tapi ia tetap menanyakannya.
“Adikmu ingin merayakan pesta ulang tahunnya bersama teman-temannya di vila keluarga kita dan menginap di sana,” beri tahu Gibran tanpa menutupinya dari Levin.
“Bukan pesta yang meriah, melainkan hanya acara kumpul-kumpul biasa saja, Kak. Paling nanti aku dan teman-teman hanya memanggang ikan atau ayam. Aku tidak ingin pesta yang meriah, cukup perayaan sederhana saja,” Barry menjelaskan secara singkat dan rinci mengenai acara yang diinginkannya sebelum Levin bertanya.
“Lalu kendalanya di mana, sampai Papa tak kunjung memberi Barry izin?” tanya Levin kepada sang ayah.
“Papamu bukannya tidak memberi izin, Vin. Hanya saja Papamu khawatir mengingat teman-teman Barry tidak mungkin semuanya laki-laki. Barry pun pasti akan mengundang teman-temannya yang perempuan juga,” Dianti mewakili suaminya menjawab pertanyaan dari putra sulungnya.
“Kalian tidak bisa ikut ke sana untuk mengawasi atau memastikan kegiatan Barry bersama teman-temannya?” Levin kembali bertanya kepada orang tuanya.
Gibran dan Dianti kompak menggeleng. “Sabtu nanti Papa dan Mama akan menjenguk Tante kalian yang kemarin lusa usai menjalani operasi pengangkatan rahim,” beri tahu Dianti.
“Bagaimana kalau Kakak saja yang memastikan dan mengawasi kegiatanku bersama teman-teman di vila? Ya anggap saja sebagai perwakilan dari Papa dan Mama,” Barry mencetuskan idenya yang tiba-tiba terlintas. “Masa aku mengadakan pesta tanpa adanya kehadiran keluarga,” imbuhnya dengan nada sedih.
“Bagus juga idemu itu, Bar,” Dianti setuju dengan ide yang dikemukakan oleh Barry.
Barry sangat senang karena idenya disambut baik oleh sang ibu. Setidaknya ia mempunyai secercah harapan Levin akan menyetujuinya, mengingat kakaknya tersebut sangat menghormati ibu mereka.
“Apakah kamu sudah ada acara weekend nanti, Vin? Berkencan mungkin?” Dianti bertanya pada Levin saat menyadari sesuatu. Walau belum mengetahui pasti apakah Levin sedang menjalin hubungan bersama seseorang, tetap saja ia tidak ingin mengganggu waktu kencan sang anak dengan kekasihnya.
Kini ekspresi wajah Barry sangat penuh harap menanti jawaban yang akan diberikan oleh Levin. Ia sangat berharap sang kakak tidak mempunyai acara saat weekend nanti, sehingga kakaknya tersebut bisa ikut dengannya ke vila untuk merayakan pesta ulang tahunnya. Walau nantinya Levin hanya duduk saja tanpa ikut berpartisipasi, ia sudah sangat bersyukur dan tidak mempermasalahkannya.
“Aku sudah ada acara dengan Dimas weekend nanti,” Levin menjawabnya dengan sangat santai.
Sambil menyesap teh yang ternyata sudah disiapkan oleh sang ibu ketika ia mandi, dengan samar Levin melirik ke arah Barry. Ia ingin melihat reaksi wajah sang adik atas jawabannya.
“Padahal Kak Levin saudaraku satu-satunya, tapi ia tidak pernah ada waktu untukku. Bahkan, untuk hal sepele yang aku inginkan pun ia tidak mau mengabulkannya dengan menyisihkan sedikit waktunya,” gerutu Barry dalam hati. Ia sangat kecewa mendengar jawaban Levin. Kekecewaannya semakin besar karena diskusi panjangnya tidak membuahkan hasil yang ia inginkan. “Ya sudah, Pa, jika kalian memang semuanya sibuk, aku batalkan saja acaraku,” ucapnya tanpa menyembunyikan kekecewaannya.
Melihat kekecewaan yang terpancar dari sorot mata Barry, Dianti pun menjadi tidak tega dan langsung memberikan solusinya, “Kita ambil jalan tengah kalau begitu. Mama saja yang pergi mengunjungi Tante kalian. Papa temani saja Barry ke vila dan ikut merayakan ulang tahunnya di sana.”
Gibran manggut-manggut mencerna solusi yang diungkapkan oleh Dianti. “Ya sudah, Papa yang akan mengawasimu dan teman-temanmu berpesta di vila, Bar,” putusnya santai.
“Terima kasih banyak, Pa, Ma.” Raut wajah Barry yang tadinya sedih seketika berubah semringah dan terharu atas keputusan orang tuanya.
Barry langsung berdiri, kemudian memeluk secara bergantian pasangan suami istri yang duduk di hadapannya. Ia sangat menyayangi keluarganya, terlebih orang tuanya. Walau Levin hampir tidak pernah bersikap hangat padanya, tapi ia sangat menghormati kakaknya tersebut dan bangga menjadi adiknya. Ia sangat mengakui sekaligus menyadari jika popularitas Levin di kampus ternyata berimbas juga padanya. Ia menjadi ikut dikenal oleh penghuni kampus, terutama dosen dan mahasiswinya.
Levin tetap memasang ekspresi wajah datarnya saat melihat pemandangan di depannya. Ia mengakui jika orang tuanya terlihat lebih menyayangi Barry, begitu juga sebaliknya. Mungkin di saat dirinya menuntut ilmu di negeri orang selama bertahun-tahun, Barry yang selalu setia menemani hari-hari orang tuanya.
“Kalau begitu Papa akan menghubungi Om Indra dulu agar beliau tidak menanti kedatangan Papa,” ucap Gibran setelah mengurai pelukan anak bungsunya.
“Kalian sudah berjanji akan datang besok lusa?” tanya Levin kepada orang tuanya.
Dianti mengangguk. “Iya, tadi Mama sudah memberi tahu Om Indra mengenai kedatangan kami besok lusa untuk menjenguk istrinya,” jelasnya.
Perasaan bersalah muncul di hati Barry setelah mendengar penjelasan sang ibu. “Kalau begitu perayaan pesta ulang tahunku dibatalkan saja agar kalian bisa datang bersama-sama menjenguk Tante Novia, apalagi Mama dan Papa sudah berjanji pada Om Indra,” putusnya.
Dianti dan Gibran saling tatap. Meski Barry sendiri yang mengizinkannya, tapi mereka bisa melihat kekecewaan kembali menghiasi wajah putranya tersebut. “Tidak apa-apa, Bar, biar Mama saja yang datang. Papa akan tetap mengawasi kamu bersama teman-temanmu di vila. Di antara keputusan terjelek, tetap menjadi pilihan terbaik dalam situasi kita,” Dianti mewakili sang suami memberi tanggapan. “Mama tidak apa-apa pergi sendiri,” imbuhnya menenangkan.
Bukannya tenang setelah mendengar penjelasan sang ibu, Barry malah semakin merasa bersalah. Selama ini yang ia tahu, orang tuanya selalu bepergian bersama-sama jika sedang berkunjung ke rumah anggota keluarga lainnya. Selain itu, janji yang sudah terlontar dari mulut haruslah ditepati, walau hanya sepele. Sejak kecil ia dan sang kakak sudah diajarkan untuk selalu menepati janji yang telah diucapkan, apa pun keadaannya.
“Aku yang akan hadir sebagai perwakilan Mama dan Papa di pesta ulang tahun Barry nanti, jadi kalian bisa melanjutkan rencana menjenguk Tante Novia,” celetuk Levin dengan tenang setelah puas mendengar percakapan adik dan orang tuanya.
“Yang benar, Kak?” Barry memastikan dengan nada tak percaya. “Terima kasih banyak, Kak,” ucapnya tulus setelah melihat kakaknya tersebut mengangguk. Bahkan, karena saking senangnya ia pun tak segan memeluk Levin yang masih duduk tenang. Ia tidak perlu memastikan lebih jauh lagi karena kakaknya tersebut bukanlah tipe laki-laki yang suka berbasa-basi atau mengerjainya.
Dianti dan Gibran yang awalnya terkejut mendengar celetukan Levin, kini tersenyum lebar sekaligus ikut senang melihat kedua jagoan mereka. Hidup keduanya sudah sangat berwarna dengan kehadiran Levin dan Barry di tengah-tengah keluarga mereka.
Levin melakukan kegiatan wajibnya di pagi hari sebelum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pengajar di kampus, yakni berjoging mengitari kompleks tempat tinggal keluarganya. Jika biasanya ia melakukannya seorang diri, tapi tidak dengan pagi ini. Barry ikut dengannya joging mengitari kompleks. Bukan Levin yang mengajaknya, melainkan Barry sendiri yang ingin ikut. Seperti biasa, aktivitas pagi Levin selalu diiringi oleh musik kesukaannya melalui earphone bluetooth yang terpasang pada telinganya. Menurut Levin ikut tidaknya Barry bersamanya, rasanya tetap saja sama. Tidak ada yang istimewa. Ia selalu menikmati kegiatan paginya seperti hari-hari biasa. Tidak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Barry pun menghentikan gerak kakinya. Ia mendengkus sambil mengembuskan napas dengan sedikit keras, walau yakin tidak akan didengar oleh Levin karena telinga kakaknya tersebut telah tersumpal earphone. Sejak mulai menggerakkan kakinya, sang kakak sedikit pun belum ada mengelu
Hari ini kesialan tengah menimpa Sandara sehingga membuatnya harus menahan malu di hadapan semua teman-teman di kelasnya, termasuk Ranty dan Barry. Setelah kelas berakhir, Sandara langsung diminta ikut ke ruangan dosen oleh pengajar yang tadi memberinya materi perkualiahan. Alhasil, kini ia pun sedang duduk sambil menundukkan kepala di hadapan seorang dosen muda dan tampan. Rasa malunya semakin membumbung ketika di dalam ruangan dosen tersebut terdapat seseorang yang selama ini sangat dielu-elukannya. Terlebih kemarin sempat memberinya pertolongan dan mentraktirnya bersama Ranty makan malam di sebuah restoran ternama. Entah kenapa rasa malu yang menderanya kini jauh lebih besar kepada Levin dibandingkan dosen tampan di hadapannya. Padahal sangat jelas urusannya saat ini dengan dosen tampan yang duduk tepat di hadapannya. “Sampai kapan kamu akan terus menundukkan kepalamu seperti itu, Sandara?” Dimas bertanya sambil terkekeh melihat mahasiswi di hadapannya. “Saya tidak marah atas tinda
Di kediaman Adyatama, pasangan Saguna dan putri bungsunya sedang berkunjung sekaligus untuk memenuhi undangan makan malam dari sang tuan rumah. Firman Saguna dan Gibran sudah menjalin persahabatan sejak keduanya masih menduduki bangku sekolah menengah pertama. Bahkan, setelah sukses dengan bisnis masing-masing dan sudah sama-sama berkeluarga pun keduanya masih menjadi sahabat akrab, meski mereka tidak selalu bisa menghabiskan waktu bersama. Sebenarnya acara makan malam berlangsung satu jam lagi, tapi keluarga Saguna sengaja datang lebih awal dari waktu yang diberitahukan, karena sang istri ingin membantu Dianti membuat hidangan. Lagi pula tidak ada salahnya juga bagi Firman untuk datang lebih awal, jadi ia bisa mengajak Gibran bermain catur sambil menunggu istri masing-masing dibantu sang putri membuat hidangan makan malam. “Anak-anakmu belum ada yang pulang, Bran?” Firman bertanya kepada Gibran saat mereka sedang bermain catur di ruang keluarga kediaman Adyatama. “Sudah. Mereka ada
Menyadari saat ini dirinya masih bersama orang tuanya di dalam mobil setelah meninggalkan kediaman Adyatama, Sava berusaha keras mengontrol bibirnya agar tidak menyunggingkan senyuman lebar dan semringah karena besok ia akan bepergian bersama Levin satu hari penuh. Untuk mengalihkan pikirannya dari ingatan atas setiap obrolannya tadi bersama Barry dan Levin, Sava sibuk memainkan benda pipih kesayangannya. Sava hanya tidak ingin perasaan antusias sekaligus kegirangan hatinya disadari atau tertangkap basah oleh orang tuanya, karena hal tersebut akan membuatnya sangat malu. Sava langsung mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya saat mendengar pembicaraan orang tuanya yang menyebut nama Dinda, salah satu sepupu perempuannya dan yang paling dekat dengannya. Sava baru menyadari bahwa mobil yang ditumpanginya bersama orang tuanya ternyata sudah memasuki halaman rumah keluarga Saguna. Setelah mobil yang membawanya beserta orang tuanya terparkir rapi di carport, Sava pun turun lebih d
Usai membeli bahan-bahan yang dibutuhkannya untuk nanti malam di salah satu supermarket yang tadi dilewatinya dan mengisi perut masing-masing di sebuah rumah makan, Barry mengajak ketiga sahabatnya melanjutkan perjalanan menuju vila. Kini di dalam mobil tidak ada lagi yang tidur, karena kuda besi milik Barry sudah memasuki lokasi vila yang menjadi tempat tujuan mereka. Sayang saja rasanya jika mereka mengabaikan pemandangan hijau sekaligus menyejukkan mata di sisi kanan dan kiri yang dilewati oleh mobil Barry. Tidak hanya itu, mereka juga melewati banyak vila yang dari luar terlihat sangat nyaman jika ditempati. “Kira-kira kapan ya aku bisa mempunyai vila seperti itu?” tanya Deni yang tengah memandangi bangunan yang dijumpainya. “Yang jelas nanti saat kamu kaya dan mempunyai banyak uang, Den. Pasti vila-vila di sini harganya ratusan juta. Bahkan, bisa jadi ada yang harganya sampai milyaran,” Ranty menjawab sekaligus menimpali. “Tujuanku ingin mempunyai vila bukan untuk dijadikan tem
Sejak jam lima sore Barry dan para sahabatnya sudah mulai sibuk mempersiapkan acara makan malam bersama sekaligus sebagai perayaan sederhana ulang tahunnya. Berhubung cuaca mendukung, Barry pun memutuskan akan makan malam di luar ruangan sambil menikmati pemandangan alam di malam hari. Supaya acara memanggang nanti lancar, Barry menyuruh Sandara dan Ranty membantu Bi Sri menyiapkan semua bahan-bahannya di dapur, termasuk bumbu. Ketika tiba saatnya untuk memanggang, baru semua bahan-bahan yang telah siap tersebut dibawa ke halaman samping vila. Sandara menoleh di sela-sela kegiatannya mengiris jamur karena nanti ia juga ingin memanggang beberapa jenis sayuran. Ia tersenyum tipis saat melihat Dinda memasuki dapur. “Hai, Din,” sapanya berbasa-basi. “Hai,” Dinda membalas sapaan Sandara seadanya. Tujuannya ke dapur untuk melihat jenis minuman yang nanti mereka konsumsi saat acara makan malam. “Barry benar-benar payah. Perayaan macam apa yang akan dibuatnya, jika minuman beralkohol rendah
Malam semakin larut, udara pun kian dingin menusuk pori-pori kulit walau tubuh telah berlapis pakaian tebal. Setelah bersama-sama menaruh kembali perlengkapan yang digunakan saat memanggang di halaman ke dapur, semua orang pun bergegas memasuki vila untuk melindungi diri dari dinginnya udara malam. Kecuali Levin, semuanya menempati kamar yang ada di lantai dua di vila tersebut. Sebelum memasuki kamar masing-masing dan mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah, Barry mengumpulkan teman-temannya di ruang keluarga. Ia mengajak teman-temannya tersebut membuat kegiatan untuk besok pagi, mengingat mereka akan kembali ke Jakarta ketika siang atau sore harinya. Tidak mungkin mereka akan menghabiskan waktunya untuk rebahan atau berdiam diri di dalam vila saja. “Bar, aku izin mengambil power bank sebentar ke kamar,” interupsi Dinda di sela-sela Barry dan yang lainnya merembugkan tentang kegiatan besok. “Din, tolong ambilkan juga power bank punyaku,” Sava menimpali karena daya baterai ponselnya
Menyesal. Takut. Tentu saja Sandara didera oleh kedua perasaan tersebut. Bahkan, saat ini sangat berkecamuk di hati dan memenuhi pikirannya. Namun, sayangnya kedua perasaan tersebut kalah dengan rasa sakit hati yang menghantam harga diri dan martabatnya sebagai seorang perempuan. Walau berdosa karena telah melakukan perbuatan terlarang, tapi tetap saja Sandara masih memiliki harga diri. Betapa hina dan liciknya Sandara di mata Levin yang telah menuduhnya menjebak laki-laki tersebut dengan memasukkan obat ke dalam minuman hanya agar bisa menghabiskan malam bersama. Gara-gara tuduhan tersebut, hatinya tersayat sangat dalam sehingga menghadirkan rasa perih dan nyeri yang teramat menyakitkan. Kehilangan mahkotanya sebagai perempuan memang membuatnya sangat terpukul, karena hal tersebut menandakan bahwa ia telah lalai dalam menjaga dirinya sendiri. Pemikiran tersebut pun tidak patut dicontoh untuk membenarkan keadaan yang telah dialaminya. Namun jika kehilangan harga diri dan martabatnya, m