Share

Part 4

Levin melakukan kegiatan wajibnya di pagi hari sebelum melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tenaga pengajar di kampus, yakni berjoging mengitari kompleks tempat tinggal keluarganya. Jika biasanya ia melakukannya seorang diri, tapi tidak dengan pagi ini. Barry ikut dengannya joging mengitari kompleks. Bukan Levin yang mengajaknya, melainkan Barry sendiri yang ingin ikut. Seperti biasa, aktivitas pagi Levin selalu diiringi oleh musik kesukaannya melalui earphone bluetooth yang terpasang pada telinganya. Menurut Levin ikut tidaknya Barry bersamanya, rasanya tetap saja sama. Tidak ada yang istimewa. Ia selalu menikmati kegiatan paginya seperti hari-hari biasa.

Tidak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Barry pun menghentikan gerak kakinya. Ia mendengkus sambil mengembuskan napas dengan sedikit keras, walau yakin tidak akan didengar oleh Levin karena telinga kakaknya tersebut telah tersumpal earphone. Sejak mulai menggerakkan kakinya, sang kakak sedikit pun belum ada mengeluarkan sepatah kata. Hanya dirinya sendiri yang dari tadi mengoceh tidak jelas dan berakhir tanpa mendapat tanggapan. Ia tidak habis pikir jika laki-laki yang menjadi kakaknya tersebut irit sekali bicara, sangat bertolak belakang dengan dirinya. Walau lebih banyak berbicara, bukan berarti juga ia laki-laki bermulut perempuan. Semakin hari ia kian menyadari bahwa kakaknya tersebut bukan hanya irit bicara dengan para anak didiknya di kampus, ternyata terhadap dirinya juga di rumah.

“Kenapa para penghuni kampus terutama kaum hawa sangat mengagumi sosok kulkas berjalan seperti Kakakku ini ya? Bahkan, kedua sahabatku sendiri sangat mengelu-elukan Kak Levin, terutama Sandara,” Barry bergumam sambil berkacak pinggang. “Apakah mereka semua sudah tidak bisa berpikir jernih lagi? Padahal menurutku tampang Kak Levin biasa-biasa saja. Dibandingkan dengannya, paras wajahku satu tingkat di atas Kak Levin.” Kini sebelah tangan Barry telah mengusap-usap rahangnya sendiri.

Tidak ingin tertinggal jauh, Barry pun bergegas menyusul kakaknya tersebut. Tidak lupa ia mengangguk ramah dan menebar senyum manisnya ketika berpapasan dengan beberapa orang yang juga tengah melakukan olahraga pagi, terutama kaum hawa. Bahkan, perempuan-perempuan yang disapanya tersebut juga terlihat terpukau saat berpapasan dengan sang kakak.

“Pantas saja Kakak betah setiap hari joging, ternyata banyak bertemu dengan pengagum rahasianya,” celetuk Barry setelah berjalan di samping Levin yang sedang memeriksa ponselnya. Ia ikut menyamakan langkah dengan laki-laki yang memiliki warna kulit putih bersih tersebut.

“Aku tidak mengenal mereka,” Levin menanggapinya tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel yang sedang diperiksanya.

“Tapi sepertinya mereka mengenal dan mengagumi Kakak,” ujar Barry walau menyadari Levin tetap fokus pada ponsel di tangannya.

Levin hanya mengangkat bahu tak acuh. “Terserah mereka. Bukan urusanku,” balasnya singkat.

“Kak, apakah salah satu dari mereka semua tidak ada yang menarik atau mencuri perhatianmu?” Barry menyuarakan rasa penasaran sekaligus keingintahuannya.

Tanpa menghentikan langkah kakinya, Levin melirik Barry yang berjalan di sampingnya melalui sudut matanya. “Tidak ada,” jawabnya kembali singkat dan tanpa intonasi.

   “Benarkah?” Barry menyangsikan jawaban kakaknya tersebut. Entah kenapa jawaban yang diberikan oleh sang kakak mengandung sebuah dusta. “Satu pun tidak ada?” tanyanya memastikan.

Levin langsung menjawabnya dengan anggukan kepala dan kembali memasukkan ponselnya ke saku celana selututnya. “Sepertinya Mama sudah hampir selesai menyiapkan sarapan,” ucapnya sebelum melanjutkan berlari kecil dan bergegas menuju rumahnya yang sudah terlihat.

Barry hanya menghela napas melihat anggukan kepala Levin, kemudian ia pun menyusul kakaknya tersebut menuju rumah dan mengakhiri aktivitas pagi mereka sebelum melanjutkan melakukan kegiatan masing-masing.

***

Sesuai dugaan Levin, sesampainya di rumah ia dan Barry sudah mendapati Dianti hampir selesai menyiapkan sarapan di atas meja makan. Walau ada dua orang asisten rumah tangga yang dipekerjakan, tapi wanita anggun tersebut tetap memilih menyiapkan menu sarapan atau makanan lainnya sendiri. Dua orang asistennya tersebut hanya diminta membersihkan rumah dan area di sekitarnya serta membantu pekerjaan Dianti dalam membeli bahan makanan. Urusan membuat hidangan sepenuhnya tetap menjadi tanggung jawab Dianti.

Levin bersama anggota keluarganya yang lain kini sudah mulai menikmati nasi goreng seafood buatan Dianti. Seperti biasa, apa pun yang dibuat sekaligus dihidangkan oleh Dianti pasti selalu tak bersisa. Ia bersama adik dan ayahnya sangat menyukai semua masakan yang dibuat oleh sang ibunda tercinta. Walau makanan yang dihidangkan oleh Dianti sangat umum sekaligus sederhana, tapi cita rasanya bukan kaleng-kaleng.

“Kalian berangkat pagi?” tanya Dianti setelah menghabiskan nasi goreng buatannya sendiri. Pertanyaannya tersebut lebih dialamatkan kepada kedua anak laki-lakinya, karena sang suami sudah pasti berangkat seusai sarapan.

“Iya, Ma,” Barry lebih dulu melontarkan jawabannya setelah meneguk air putihnya yang tersisa setengah gelas.

“Aku juga, Ma,” Levin menimpali sebelum mengisi cangkirnya dengan kopi yang telah diseduh oleh Dianti.

“Kalian berangkat bersama?” tanya Gibran karena kedua anaknya menuntut dan membagi ilmu di tempat yang sama.

“Tidak, Pa,” Barry kembali lebih dulu menjawab. “Aku akan menjemput kedua temanku terlebih dulu sebelum nanti bersama-sama ke kampus. Motor mereka sedang di bengkel,” imbuhnya memberi alasan.

“Laki-laki?” Dianti memastikan sambil menatap intens putra bungsunya.

Barry dengan santai menggeleng. “Perempuan, Ma. Sandara dan Ranty yang aku maksud, Ma,” beri tahunya jujur.

Dianti manggut-manggut karena ia sudah mengenal dan sempat bertemu dengan keduanya secara tak sengaja di sebuah supermarket.

“Mama mengenal mereka?” Gibran menatap Dianti saat melihat istrinya tersebut mengangguk.

“Iya, Pa. Saat Mama diantar Barry membeli kebutuhan dapur di supermarket, secara tak sengaja kami bertemu mereka,” beri tahu Dianti apa adanya. “Mereka anak-anak rantauan dari Bali. Mereka juga anak-anak yang ramah dan sopan,” imbuhnya memuji.

“Mereka juga bagian dari kelompok pengagum Kak Levin, Ma,” ungkap Barry sambil melirik sang kakak yang dari tadi terlihat tak acuh atas obrolan mereka.

Walau namanya diseret oleh Barry dalam obrolan mereka menyangkut dua orang gadis yang kemarin diberinya tumpangan sekaligus diajaknya makan malam bersama, tapi Levin tetap mempertahankan sikapnya. Ia hanya memberikan tanggapan dengan mengangkat bahu atas perkataan Barry.

“Jangan-jangan mereka mau bersahabat denganmu karena mempunyai tujuan terselubung, Bar? Misalnya, agar mempunyai kesempatan mendekati Kakakmu atau ingin mencari informasi tentangnya,” tanya Gibran kepada Barry dengan nada menggoda.

“Nanti aku tanyakan langsung alasan sekaligus tujuan utamanya kepada mereka, Pa,” Barry menanggapi candaan sang papa dengan berpura-pura serius.

“Jika alasan dan tujuan mereka bersahabat denganmu memang seperti itu, lebih baik dari sekarang kamu mulai menjauh,” Levin menimpali dengan nada sedatar ekspresi wajahnya.

Mendengar komentar Levin membuat Barry dan orang tuanya saling melemparkan tatapan terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Levin akan menanggapi candaan Barry dan ayahnya dengan serius. Barry memberikan isyarat kepada orang tuanya melalui dagunya agar mengklarifikasi ucapannya supaya sang kakak tidak salah paham dalam menilai kedua sahabatnya tersebut. Barry kasihan kepada kedua sahabatnya tersebut jika dianggap memanfaatkannya oleh sang kakak yang salah paham menilai.

“Katakan juga kepada kedua temanmu itu untuk tidak menyia-nyiakan waktunya dengan mengagumiku. Lagi pula aku bukan artis, jadi tidak memerlukan pengagum dari siapa pun,” Levin menambahkan setelah menyesap cairan hitam pekat di cangkirnya.

Barry tertegun mendengar kata-kata yang dengan lancarnya terlontar dari mulut Levin. “Jika Sandara dan Ranty mendengarnya langsung, sudah pasti kedua anak itu akan sakit hati. Mereka ditolak secara halus,” batinnya menanggapi.

Dianti dan Gibran kembali saling tatap sebelum menggelengkan kepala karena perkataan Levin. Dianti dan Gibran mengerti maksud baik yang disampaikan oleh Levin, hanya saja menurut mereka cara penyampaian putra sulungnya tersebut terkesan frontal. Mereka bisa menjamin jika kedua teman Barry atau gadis-gadis lain yang mengagumi Levin mendengarnya langsung, pasti merasa tersinggung dan sakit hati karena perkataan tersebut.

“Papa dan Barry hanya bercanda, Vin. Kamu jangan menanggapinya terlalu serius,” Dianti meluruskan pembahasan mereka dengan nada lembut yang menjadi ciri khasnya. “Lagi pula menurut kacamata Mama, Sandara dan Ranty bukan anak-anak seperti itu,” imbuhnya memberikan penilaiannya.

“Jangan terlalu mudah memberikan penilaian hanya dengan melihat penampilan luarnya saja, Ma. Terlebih jika kalian baru bertemu sekali atau dua kali dan cukup singkat. Jaman sekarang banyak orang yang memakai topeng dan pandai bersilat lidah,” Levin kembali menyampaikan argumennya.

Menyadari Levin tidak akan dengan mudah berhenti memberikan balasan dan melihat Barry hendak ikut menimpali, Gibran pun langsung menegahi, “Sudah, sudah, jangan diteruskan lagi. Menurut Papa, pendapat Mama atau Levin tidak ada yang salah. Semuanya sangat masuk akal. Di antara Mama dan Levin tidak ada yang mengenal kedua teman Barry tersebut dengan dekat, jadi kalian tidak bisa menghakimi mereka secara sepihak.” Gibran mengangguk ke arah Dianti dan memberi isyarat kepada Barry untuk diam.

Levin hanya mengangguk, lagi pula menurutnya topik yang sedang dibahas sangat tidak berbobot. Bahkan, tidak ada untungnya untuk dirinya sendiri, melainkan hanya akan membuang-buang waktu mereka. “Terima kasih sarapannya, Ma. Aku mau mandi dan bersiap-siap dulu,” ucapnya setelah menghabiskan kopi di dalam cangkirnya dan berdiri dari kursi yang didudukinya.

Dianti mengangguk. “Sama-sama, Sayang,” balasnya sambil tersenyum. “Kamu tidak bersiap-siap juga, Bar?” tanyanya kepada Barry yang masih setia menempelkan bokongnya di permukaan kursi.

“Sebentar lagi, Ma,” jawab Barry singkat.

Sebelum Levin meninggalkan meja makan dan menuju kamarnya, ia mencium punggung tangan sang papa yang tidak akan dilihatnya lagi setelah dirinya usai bersiap karena laki-laki paruh baya tersebut hendak berangkat ke kantor.

***

Di sebuah kamar indekos yang ditempati oleh dua orang gadis, penghuninya tengah bergantian membersihkan diri sebelum berangkat mencari asupan untuk otak masing-masing. Sambil menunggu Ranty keluar dari kamar mandi, Sandara menyiapkan perlengkapan yang akan dibawanya ke kampus. Hari ini mereka akan dijemput oleh Barry setelah kemarin malam Ranty memberi tahu laki-laki tersebut jika motor Sandara sedang berada di bengkel. Bukan Ranty yang meminta ingin dijemput, melainkan Barry sendiri yang menawarkan jemputan. Sandara mendengar sendiri jika Ranty beberapa kali menolak tawaran Barry karena merasa tidak enak, tapi pada akhirnya dengan berat hati mereka menerimanya sebab sahabatnya tersebut tetap memaksa.

Sesuai keputusannya kemarin malam, Sandara dan Ranty sepakat merahasiakan pertolongan Levin sekaligus makan malam mereka bersama laki-laki tersebut kepada Barry. Mereka tidak mau dijadikan bahan olok-olok oleh sahabatnya tersebut, apalagi Barry dan Levin bersaudara. Kedua sudut bibir Sandara kembali tertarik sehingga membentuk seulas senyum tipis ketika bayangan kemarin sore dan malam bersama Levin terlintas silih berganti di benaknya.

Sesuai perkiraannya, Sandara tidak bisa tidur nyenyak karena kebersamaan singkatnya dengan Levin. Setiap kali ia memejamkan mata, maka wajah Levin pun secara jelas dan lancang akan terlintas di kepalanya. Alhasil, mau tidak mau hal tersebut membuatnya terjaga hingga jam dua dini hari tadi. Berbeda halnya dengan Ranty, sahabatnya yang satu itu malah tidur sangat nyenyak. Bahkan, Ranty tidak menyadari jika ia sedang terjaga dan menonton drama kesukaannya sambil membuat mi instant. Sebelum larut terlalu jauh dalam lamunannya, Sandara pun menggeleng-gelengkan kepalanya.

“San, kita sarapan roti bakar saja ya,” ucap Ranty saat baru keluar dari kamar mandi.

“Boleh, Ran. Kamu yang buat ya, aku mau mandi dulu,” Sandara menyetujui tawaran Ranty. “Kamu mau sarapan nasi pun percuma, kita sudah tidak mempunyai beras lagi. Persediaan beras sudah habis,” imbuhnya sambil terkekeh.

“Benar juga ya. Yang kita punya saat ini hanyalah sisa roti tawar kemarin lusa.” Ranty ikut terkekeh setelah menyadari ucapan Sandara.

“Sepulangnya dari kampus nanti kita langsung membeli beras dan keperluan dapur lainnya,” ucap Sandara sebelum memasuki kamar mandi.

“Memangnya kamu ada uang lebih, San?” tanya Ranty menyelidik karena sahabatnya tersebut beberapa hari lalu mengatakan bekalnya telah sangat menipis.

Sandara mengangguk. “Tadi Mamaku kirim pesan, katanya nanti siang beliau mau mentransfer uang untuk keperluanku,” jawabnya jujur. “Nanti kita beli kebutuhan dapur pakai uangku saja,” sambungnya sebelum menutup pintu kamar mandi.

“Baiklah, nanti pembelian selanjutnya giliranku ya,” Ranty menyetujui mengingat ia belum ada tanda-tanda akan mendapat kiriman uang dari orang tuanya.

“Setuju, Ran.” Usai menanggapi perkataan Ranty, Sandara langsung menutup pintu kamar mandi karena ia ingin segera membersihkan diri sebelum Barry datang menjemput mereka.

Azuretanaya

Hallo, Readers. Jangan lupa review cerita ini dan klik bintang 5 ya. Terima kasih banyak atas apresiasinya. Jaga kesehatan selalu.

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
no _8
lanjut ya thor...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status