Hari ini kesialan tengah menimpa Sandara sehingga membuatnya harus menahan malu di hadapan semua teman-teman di kelasnya, termasuk Ranty dan Barry. Setelah kelas berakhir, Sandara langsung diminta ikut ke ruangan dosen oleh pengajar yang tadi memberinya materi perkualiahan. Alhasil, kini ia pun sedang duduk sambil menundukkan kepala di hadapan seorang dosen muda dan tampan. Rasa malunya semakin membumbung ketika di dalam ruangan dosen tersebut terdapat seseorang yang selama ini sangat dielu-elukannya. Terlebih kemarin sempat memberinya pertolongan dan mentraktirnya bersama Ranty makan malam di sebuah restoran ternama. Entah kenapa rasa malu yang menderanya kini jauh lebih besar kepada Levin dibandingkan dosen tampan di hadapannya. Padahal sangat jelas urusannya saat ini dengan dosen tampan yang duduk tepat di hadapannya.
“Sampai kapan kamu akan terus menundukkan kepalamu seperti itu, Sandara?” Dimas bertanya sambil terkekeh melihat mahasiswi di hadapannya. “Saya tidak marah atas tindakanmu tadi di kelas, hanya saja sedikit kecewa. Kenapa harus kamu yang melakukan tindakan tidak sopan seperti itu?” imbuhnya sambil menggelengkan kepala setelah mengela napas.
Mendengar helaan napas kecewa milik Dimas, Sandara pun langsung mengangkat wajahnya yang sejak memasuki ruang dosen telah menunduk. “Saya sangat-sangat minta maaf, Pak. Saya sungguh tidak sengaja melakukannya,” pintanya mencicit. “Saya berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi,” imbuhnya dengan nada memelas.
“Baiklah kali ini saya memaafkan tindakan tidak terpujimu itu, tapi kamu tetap harus dihukum,” Dimas memutuskan sambil menatap wajah Sandara yang memperlihatkan ekspresi bersalah.
“Baik, Pak. Terima kasih banyak atas kemurahan hati Bapak,” ucap Sandara tulus. Bahkan, ia sampai menangkupkan kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk kesungguhannya.
Dimas terkekeh dan kembali geleng-geleng kepala karena gemas melihat tingkah salah satu anak didiknya tersebut. “Untung saja kamu tertidur di saat mengikuti mata kuliah yang saya ajar. Andai hal tersebut terjadi saat mengikuti mata kuliah Pak Levin, saya jamin kamu pasti tidak akan pernah diizinkan hadir di setiap kelas yang beliau berikan,” ucapnya menakuti sambil melihat Levin yang duduk di belakang Sandara.
Sandara langsung bergidik ngeri mendengar perkataan Dimas. “Sadis sekali. Bisa-bisa aku menjadi mahasiswi abadi di kampus ini jika hal tersebut sampai terjadi. Parah. Benar-benar parah,” gumamnya tanpa sadar.
“Makanya kamu jangan berani tidur di saat mengikuti kelas saya, jika tidak mau nantinya menjadi mahasiswi abadi di kampus ini,” Levin menimpali gumaman Sandara yang berhasil dijangkau oleh indra pendengarannya. “Kalau tujuan utama ke kampus hanya untuk melanjutkan tidur, lebih baik tidak usah datang daripada mengganggu jalannya perkuliahan. Terlebih sangat merusak pemandangan saat kelas sedang berlangsung,” imbuhnya frontal.
Sandara langsung menoleh ke belakang saat mendengar suara berat milik laki-laki yang kemarin malam membuatnya sangat sulit untuk memejamkan mata. Ia hanya mengangguk kaku saat melihat ekspresi datar yang ditampilkan oleh wajah dosen pujaan kaum hawa di kampusnya itu. Terlebih kata-kata yang diucapkan oleh laki-laki tersebut sangat menyindir dan menohok.
“Pak Dimas seharusnya tidak terlalu memberikan kelonggaran kepada anak didik yang melanggar aturan, apalagi jika sudah sampai bertindak sangat tidak sopan. Takutnya nanti, di kemudian hari akan ada anak didik lainnya yang berlaku seperti itu,” Levin kembali bersuara, tapi kini lebih di alamatkan kepada Dimas, rekannya sesama dosen. “Jangan hanya karena anak didik mempunyai wajah yang cantik, hukuman jadi diringankan,” sambungnya.
Dimas hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Sandara yang kini telah kembali menunduk. Ia tahu kekhawatiran Levin sangat masuk akal, tapi menurutnya perkataan rekan kerja sekaligus temannya tersebut juga sedikit berlebihan. Namun, ia tidak akan tersinggung atau terprovokasi.
“Karena baru terjadi sekali di kelas saya, jadi saya hanya akan memberikan teguran dan hukuman ringan kepada Sandara. Jika sampai terjadi lagi di kelas berikutnya, maka diskors pun tidak bisa dihindari oleh Sandara atau mahasiswa lainnya yang melanggar,” Dimas menanggapi perkataan Levin dengan tenang.
“Terima kasih, Pak,” pinta Sandara tulus dan dengan suara sedikit serak setelah mengangkat kembali wajahnya. Ia terharu mendengar jawaban Dimas karena secara tidak langsung dosennya tersebut telah membelanya. Kini ia yakin Dimas akan melihat matanya yang telah memerah karena menahan tangis atas perkataan menohok Levin.
Dimas menghela napas pelan saat menyadari mata Sandara memerah dan berkaca-kaca. Levin benar-benar tidak bisa mengontrol lidahnya saat melontarkan semburan kata-kata tajamnya. Ia hanya memutar bola mata saat beradu tatapan dengan rekan kerja sekaligus laki-laki yang sangat digandrungi oleh para kaum hawa di tempatnya membagi ilmu. Ia pun mendengkus pelan ketika melihat reaksi laki-laki tersebut yang hanya mengangkat bahunya tak acuh.
“Ya sudah, sekarang kamu boleh keluar dan jangan lupa kerjakan tugas dari saya. Ingat tugas dikumpul besok paling lambat jam sembilan pagi,” Dimas berucap tegas karena tidak ingin mahasiswinya semakin sakit hati mendengar perkataan tajam Levin jika berlama-lama berada di ruangannya.
Sandara dengan cepat menganggukan kepalanya. “Saya permisi, Pak,” pamitnya setelah berdiri dan mengambil beberapa lembar tugas yang tadi diberikan oleh Dimas.
“Iya,” Dimas membalas singkat.
Sebelum meninggalkan ruang dosen, Sandara tidak lupa untuk berpamitan juga kepada Levin sebagai bentuk sikap kesopanannya. “Pak Levin, saya permisi dulu,” pamitnya tanpa berani menatap wajah laki-laki tersebut.
“Hm,” Levin hanya menanggapinya dengan gumaman tak acuh. Ia tidak mengalihkan perhatian dari buku yang sedang dibacanya.
Sandara pun bergegas meninggalkan ruang dosen setelah mendengar tanggapan Levin yang sangat tak acuh. Sikap dosen tampannya tersebut cukup berbeda dengan kemarin saat membantu dan mengajaknya makan malam bersama Ranty. Menurutnya kemarin sikap laki-laki tersebut sedikit lebih ramah dan berperasaan dibandingkan hari ini.
***
“Vin, tidakkah kamu merasa perkataanmu tadi sedikit berlebihan kepada Sandara?” tanya Dimas setelah memastikan pintu ruangannya dan Levin ditutup rapat oleh Sandara.
“Menurutku tidak. Malah yang aku katakan tadi sudah sesuai takarannya, agar para mahasiswa di sini tidak bersikap seenaknya terhadap kita. Bahkan, meremehkan kita,” Levin menjawab setelah menghentikan kegiatannya membaca.
Dimas beranjak dari kursi yang didudukinya sambil menggelengkan kepala setelah mendengar jawaban Levin. Dimas lebih memilih tidak melanjutkan pembahasan tersebut karena mengetahui Levin tidak akan mau kalah dengan mudah.
“Andai kamu mengetahui kejadian yang sebenarnya, aku yakin mulutmu pasti akan semakin membombardir Sandara melalui rangkaian kata-kata tajammu,” batin Dimas berkata.
Saat tadi Dimas menjelaskan materi mata kuliah yang diikuti oleh Sandara, ia memergoki anak didiknya tersebut sedang tertidur di kelas. Barry dan Ranty bergegas mencoba membangunkan Sandara setelah ia memergokinya, bukannya langsung bangun mahasiswinya tersebut malah bergumam kesal karena tidurnya diusik. Berulang kali Sandara dibangunkan oleh Ranty dan Barry, tapi tetap saja gadis itu sangat enggan membuka matanya. Bahkan, kedua sahabatnya tersebut sampai kesal sendiri. Hingga akhirnya Ranty dan Barry kompak membangunkan Sandara dengan menyebut nama Levin, barulah mahasiswinya tersebut langsung terperanjat sekaligus membuka mata. Alhasil, riuh tawa langsung menggema di kelas karena ulah Sandara yang tanpa disadari tersebut. Gara-gara hal tersebut perkuliahan pun menjadi tidak kondusif lagi. Oleh karena itulah, ia meminta Sandara agar ikut dengannya ke ruangan dosen setelah kelas berakhir lebih awal dari jadwal yang sebenarnya.
***
Sandara berjalan sambil benaknya mengulang-ulang secara otomatis kata demi kata yang tadi dilontarkan oleh mulut Levin. Sandara tidak bisa membayangkan jika ia tertidur seperti tadi pada saat mengikuti perkuliahan Levin. Jika hukuman yang akan diterimanya masih bisa ia bayangkan, tapi tidak dengan rasa malunya di hadapan teman-teman sekelasnya dan laki-laki itu sendiri. Ia pasti akan menanggung malu berlipat-lipat dibandingkan tadi. Bukan hanya itu, bisa saja dirinya akan menjadi pembicaraan panas di seantero kampusnya sekaligus sasaran empuk dari para pengagum garis keras Levin.
“San!” Barry memanggil Sandara dengan nada setengah berteriak karena dari tadi sahabatnya tersebut tidak mendengarnya.
Sandara terperanjat dan langsung mengedipkan matanya beberapa kali setelah menghentikan langkah kakinya. Ia tidak membalas panggilan Barry, melainkan hanya menoleh tanpa minat ke arah laki-laki tersebut.
“Kenapa ekspresi wajahmu kusut dan frustrasi begitu? Apakah tugas dari Pak Dimas tiada terkira?” Barry langsung merangkul pundak Sandara menggunakan sebelah tangannya setelah berada di samping sahabatnya tersebut. Selain mengejek, ia juga terkekeh atas kesialan yang sedang menimpa salah satu sahabatnya tersebut.
Sandara hanya menggelengkan kepalanya dengan tidak bersemangat. Tanpa berniat menjawab atau membicarakan mengenai dampak dari kelalaian sekaligus kesialannya hari ini, ia kembali melanjutkan langkah kakinya.
“Hei, kenapa? Memangnya seberapa banyak Pak Dimas memberimu tugas sampai membuatmu frustrasi begini?” Barry bertanya penasaran karena ia mengetahui dosennya yang satu itu tidak terlalu kaku seperti sang kakak. Bahkan, Dimas juga lebih sering bergaul sekaligus berinteraksi dengan mahasiswanya di luar jam perkuliahan.
“Bukan tugas dari Pak Dimas yang membuatku seperti ini, melainkan kata-kata Pak Levin. Beliau ada di ruang dosen dan ikut mendengarkan saat Pak Dimas menegurku. Bahkan, Pak Levin juga menimpali teguran Pak Dimas terhadapku,” beri tahu Sandara dengan tersungut-sunggut.
Barry tidak kuasa menahan tawanya setelah mendengar pemberitahuan Sandara. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seperti itulah keadaan yang dialami sahabatnya kini. Ia kembali mengejar Sandara, kemudian menarik tangannya tanpa izin. Ia akan mengajak sahabatnya yang satu ini menyusul Ranty ke salah satu kantin di kampusnya untuk menenangkan pikiran sebelum mengikuti perkuliahan sang kakak. Sebenarnya tujuan Barry bukan semata-mata ingin membuat pikiran Sandara menjadi tenang, tapi agar ia dan Ranty bisa mendengar sahabatnya ini bercerita lebih jelas. Ia yakin jika di dalam ruangan dosen tadi pasti membuat Sandara sangat tegang, apalagi ada kehadiran Levin di sana.
Di kediaman Adyatama, pasangan Saguna dan putri bungsunya sedang berkunjung sekaligus untuk memenuhi undangan makan malam dari sang tuan rumah. Firman Saguna dan Gibran sudah menjalin persahabatan sejak keduanya masih menduduki bangku sekolah menengah pertama. Bahkan, setelah sukses dengan bisnis masing-masing dan sudah sama-sama berkeluarga pun keduanya masih menjadi sahabat akrab, meski mereka tidak selalu bisa menghabiskan waktu bersama. Sebenarnya acara makan malam berlangsung satu jam lagi, tapi keluarga Saguna sengaja datang lebih awal dari waktu yang diberitahukan, karena sang istri ingin membantu Dianti membuat hidangan. Lagi pula tidak ada salahnya juga bagi Firman untuk datang lebih awal, jadi ia bisa mengajak Gibran bermain catur sambil menunggu istri masing-masing dibantu sang putri membuat hidangan makan malam. “Anak-anakmu belum ada yang pulang, Bran?” Firman bertanya kepada Gibran saat mereka sedang bermain catur di ruang keluarga kediaman Adyatama. “Sudah. Mereka ada
Menyadari saat ini dirinya masih bersama orang tuanya di dalam mobil setelah meninggalkan kediaman Adyatama, Sava berusaha keras mengontrol bibirnya agar tidak menyunggingkan senyuman lebar dan semringah karena besok ia akan bepergian bersama Levin satu hari penuh. Untuk mengalihkan pikirannya dari ingatan atas setiap obrolannya tadi bersama Barry dan Levin, Sava sibuk memainkan benda pipih kesayangannya. Sava hanya tidak ingin perasaan antusias sekaligus kegirangan hatinya disadari atau tertangkap basah oleh orang tuanya, karena hal tersebut akan membuatnya sangat malu. Sava langsung mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya saat mendengar pembicaraan orang tuanya yang menyebut nama Dinda, salah satu sepupu perempuannya dan yang paling dekat dengannya. Sava baru menyadari bahwa mobil yang ditumpanginya bersama orang tuanya ternyata sudah memasuki halaman rumah keluarga Saguna. Setelah mobil yang membawanya beserta orang tuanya terparkir rapi di carport, Sava pun turun lebih d
Usai membeli bahan-bahan yang dibutuhkannya untuk nanti malam di salah satu supermarket yang tadi dilewatinya dan mengisi perut masing-masing di sebuah rumah makan, Barry mengajak ketiga sahabatnya melanjutkan perjalanan menuju vila. Kini di dalam mobil tidak ada lagi yang tidur, karena kuda besi milik Barry sudah memasuki lokasi vila yang menjadi tempat tujuan mereka. Sayang saja rasanya jika mereka mengabaikan pemandangan hijau sekaligus menyejukkan mata di sisi kanan dan kiri yang dilewati oleh mobil Barry. Tidak hanya itu, mereka juga melewati banyak vila yang dari luar terlihat sangat nyaman jika ditempati. “Kira-kira kapan ya aku bisa mempunyai vila seperti itu?” tanya Deni yang tengah memandangi bangunan yang dijumpainya. “Yang jelas nanti saat kamu kaya dan mempunyai banyak uang, Den. Pasti vila-vila di sini harganya ratusan juta. Bahkan, bisa jadi ada yang harganya sampai milyaran,” Ranty menjawab sekaligus menimpali. “Tujuanku ingin mempunyai vila bukan untuk dijadikan tem
Sejak jam lima sore Barry dan para sahabatnya sudah mulai sibuk mempersiapkan acara makan malam bersama sekaligus sebagai perayaan sederhana ulang tahunnya. Berhubung cuaca mendukung, Barry pun memutuskan akan makan malam di luar ruangan sambil menikmati pemandangan alam di malam hari. Supaya acara memanggang nanti lancar, Barry menyuruh Sandara dan Ranty membantu Bi Sri menyiapkan semua bahan-bahannya di dapur, termasuk bumbu. Ketika tiba saatnya untuk memanggang, baru semua bahan-bahan yang telah siap tersebut dibawa ke halaman samping vila. Sandara menoleh di sela-sela kegiatannya mengiris jamur karena nanti ia juga ingin memanggang beberapa jenis sayuran. Ia tersenyum tipis saat melihat Dinda memasuki dapur. “Hai, Din,” sapanya berbasa-basi. “Hai,” Dinda membalas sapaan Sandara seadanya. Tujuannya ke dapur untuk melihat jenis minuman yang nanti mereka konsumsi saat acara makan malam. “Barry benar-benar payah. Perayaan macam apa yang akan dibuatnya, jika minuman beralkohol rendah
Malam semakin larut, udara pun kian dingin menusuk pori-pori kulit walau tubuh telah berlapis pakaian tebal. Setelah bersama-sama menaruh kembali perlengkapan yang digunakan saat memanggang di halaman ke dapur, semua orang pun bergegas memasuki vila untuk melindungi diri dari dinginnya udara malam. Kecuali Levin, semuanya menempati kamar yang ada di lantai dua di vila tersebut. Sebelum memasuki kamar masing-masing dan mengistirahatkan tubuh mereka yang lelah, Barry mengumpulkan teman-temannya di ruang keluarga. Ia mengajak teman-temannya tersebut membuat kegiatan untuk besok pagi, mengingat mereka akan kembali ke Jakarta ketika siang atau sore harinya. Tidak mungkin mereka akan menghabiskan waktunya untuk rebahan atau berdiam diri di dalam vila saja. “Bar, aku izin mengambil power bank sebentar ke kamar,” interupsi Dinda di sela-sela Barry dan yang lainnya merembugkan tentang kegiatan besok. “Din, tolong ambilkan juga power bank punyaku,” Sava menimpali karena daya baterai ponselnya
Menyesal. Takut. Tentu saja Sandara didera oleh kedua perasaan tersebut. Bahkan, saat ini sangat berkecamuk di hati dan memenuhi pikirannya. Namun, sayangnya kedua perasaan tersebut kalah dengan rasa sakit hati yang menghantam harga diri dan martabatnya sebagai seorang perempuan. Walau berdosa karena telah melakukan perbuatan terlarang, tapi tetap saja Sandara masih memiliki harga diri. Betapa hina dan liciknya Sandara di mata Levin yang telah menuduhnya menjebak laki-laki tersebut dengan memasukkan obat ke dalam minuman hanya agar bisa menghabiskan malam bersama. Gara-gara tuduhan tersebut, hatinya tersayat sangat dalam sehingga menghadirkan rasa perih dan nyeri yang teramat menyakitkan. Kehilangan mahkotanya sebagai perempuan memang membuatnya sangat terpukul, karena hal tersebut menandakan bahwa ia telah lalai dalam menjaga dirinya sendiri. Pemikiran tersebut pun tidak patut dicontoh untuk membenarkan keadaan yang telah dialaminya. Namun jika kehilangan harga diri dan martabatnya, m
Sandara dan Levin berjalan menuju vila dengan aksi saling diam. Lebih tepatnya Sandara yang kembali tidak menganggap keberadaan Levin. Kini tidak ada lagi rasa kagum yang menggebu dari perempuan tersebut kepada dosen idolanya itu. Malah kekaguman tersebut seketika telah berubah drastis menjadi sebuah kebencian. “Saya serius akan menikahimu,” Levin akhirnya lebih dulu membuka suara tanpa basa-basi. Berhubung jarak vila masih cukup jauh, jadi ia ingin menyelesaikan urusannya dengan Sandara terlebih dulu. Sandara dengan jelas mendengar perkataan Levin yang berjalan tidak jauh di belakangnya, tapi ia lebih memilih untuk menulikan telinganya. “Sandara!” panggil Levin dengan nada dalam dan penuh penekanan karena Sandara mengabaikan perkataannya. Sandara tetap menulikan telinganya dan melanjutkan langkah kakinya dengan santai. Sedikit pun ia tidak menghiraukan panggilan Levin, meski intonasi laki-laki tersebut sudah terdengar kurang bersahabat di telinganya. Levin berdecak kesal karena S
Barry melupakan perkataan Levin yang sempat mengingatkannya agar tidak menyuruh seorang perempuan menggantikannya menyetir ketika tengah menempuh perjalanan jauh. Sebelum meninggalkan restoran tempat mereka menikmati makan siang, Barry meminta kepada Sandara untuk menggantikannya menyetir. Awalnya Sandara menolak karena ia sedikit mengantuk, tapi Barry mengatakan hanya sebentar saja, akhirnya perempuan tersebut pun menyanggupinya walau dengan setengah hati dan perasaan kesal. Sandara tidak mengada-ada ketika mengatakan mengantuk kepada Barry, apalagi ia tidak sempat tidur lagi setelah terbangun di kamar Levin dalam keadaan tanpa busana. Di dalam mobil lain, Levin berdecak kesal sambil menggeleng ketika melihat kuda besi milik Barry dikendarai oleh Sandara. Saat ini mobil Levin masih dikemudikan oleh Deni. Bukan Levin yang sengaja meminta, melainkan Deni sendiri yang menawarkan jasanya. Dengan bergabungnya Deni bersamanya, suasana di dalam mobilnya terasa lebih hidup. Ia menjadi mempun