"Maafkan a-aku!" Gera gugup. Lelaki yang ia tabrak itu kini sudah berjongkok dan meneliti wajahnya.
"Kau! Bagaimana kau bisa disini?" tanya Roy yang juga sangat terkejut dengan kondisi tubuh Gera.
Mendengar isak tangis Gera, Roy yakin ada sesuatu yang tak beres. Tanpa menunggu jawaban dari Gera, Roy langsung membopong tubuh Gera.
"Mau kau bawa kemana aku?" Gera meronta di atas punggung Roy. Namun Roy hanya diam saja. Khawatir dan takut berkecamuk dalam pikirannya.
Roy membawa Gera kesebuah ruangan kosong. Melihat Gera yang tak henti-hentinya mengelus tubuhnya sendiri membuat Roy berpikir aneh.
"Kau mau macam-macam juga padaku?" tuduh Gera curiga pada Roy.
"Jangan berpikir negatif, Nona! Bagaimana mungkin aku membiarkanmu keluar menggunakan pakaian seperti itu? Dasar bodoh!" sergah Roy membela diri.
"Lalu, berbaliklah! Jangan menatap tubuhku seperti itu!" seru Gera kembali menutup tubuhnya.
"Panas! Tolong bantu aku!" gerutu Gera. Ia sudah sangat kewalahan dengan respon tubuhnya. Dengan gerakan aneh ia mengelus setiap inci tubuhnya. Logikanya memang bertentangan dengan apa yang ia lakukan, namun entah apa yang sudah menguasainya sekarang.
"Hei! Bagaimana cara meredakan efek obat berdosis tinggi, Tuan?" Gera bertanya pada Roy.
'Bagaimana bisa dia seperti itu? Sungguh, wanita itu selalu membuatku salah tingkah.' Batin Roy kesal.
"Ayo! Beritahu padaku, bagaimana cara menghentikan efek obat berdosis tinggi?" tanya Gera sekali lagi.
Roy tersentak, ia baru sadar kenapa Gera sampai bertingkah aneh seperti itu. "Wait, kau bilang apa, obat berdosis tinggi?" tanya Roy meyakinkan diri.
Gera mengangguk. Kini ia semakin gelisah. Rupanya memang benar, dosis yang Adit berikan memang tinggi.
"Bagaimana bisa? Jangan bilang, lelaki itu lagi yang mau mengganggumu. Lelaki yang dirumahmu tadi malam?" tanya Roy.
"Bagaimana kau tahu? Jangan bilang, kau yang menolongku?" teriak Gera histeris.
Roy hanya mengangguk. "Hanya ada satu cara," tutur Roy simpel.
"Bagaimana? Ayo cepatlah! Aku sudah tidak tahan," pekik Gera. Kini ia sudah bisa merasakan bagian bawahnya terasa aneh.
"Kita harus melakukannya," singkat, padat, jelas! Gera tersentak mendengar jawaban Roy.
"Apa? Tidak adakah cara lain?" Roy menggeleng.
"Aku bisa membantumu, Nona!" ujar Roy menyeringai.
"Dasar Tuan aneh! Dalam mimpimu!" teriak Gera semakin menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
"Baiklah. Matilah dengan rasa aneh itu!" jawab Roy enteng lalu berlalu meninggalkan Gera.
"Tunggu! Aku mohon bantulah aku, Tuan!" Gera memohon pada Roy.
"Jangan! Nanti kau menyesal," tolak Roy halus.
Gera menggeleng kasar. "Tidak akan! Asal kau mau mengobatiku. Aku sudah sangat tidak tahan."
Bukan Roy, melainkan Gera yang memohon terus menerus tanpa henti.
"Ayo! Obati aku," suruh Gera ketika melihat Roy hanya terpaku menatap Gera.
Dalam hati, Gera menangis bahkan menjerit melihat dirinya kini berubah dan tak memiliki harga diri. Sekeras apapun batinnya melawan, namun tidak bisa mengalahkan raganya yang sudah sangat ingin diberi sesuatu. Ini semua gara-gara Adit.
"Aku sangat tak tahan," pekik Gera frustasi.
Melihat Roy yang masih diam tertegun, membuat Gera yang sudah tak tahan akhirnya bertindak. Dengan tergesa-gesa dan tanpa malu ia menghampiri dan menarik Roy. 'Sudah putus urat maluku,' batin Gera.
"Wow, bagaimana kau bisa diam!" Ingin sekali Gera memelintir mulutnya sendiri karena sudah berbicara lancang seperti itu.
Melihat kelakuan Gera yang seperti itu, membuat seringai nakal Roy muncul. "Akan kuhabisi kau malam ini," bisik Roy membuat Gera semakin tak tahan.
Roy berpikir, tidak ada salahnya memberikan Gera hal yang dia inginkan malam ini, sebab ia juga sudah mendambakan Gera. Dengan tingkah berlebihan Gera yang seperti ini, membuat Roy berpikir bahwa Gera memang gadis nakal.
"As your wish, baby," jawab Roy.
"Ma-maafkan aku. Aku kira kau-" napas Roy tercekat. Ia merasa sangat bersalah saat Gera memekik keras bahkan menangis.
"Tidak apa-apa. Lanjutkan pengobatanku. Lakukan pelan-pelan," pinta Gera memohon. Ia sendiri juga bingung. Rasanya ingin sekali menyudahi perbuatan tidak senonoh ini, namun keinginannya mengalahkan egonya. Ia masih ingin itu semua.
Mereka berdua kelelahan. Rasa ingin Gera juga sudah mereda. Dan sekarang, air matanya sudah menggenang. Tinggal menunggu tangisnya pecah.
Disisi lain....
"Luis, aku akan memberimu tugas." Ujar Roy menelpon Luis.
"Katakan saja, Boss!"
"Cari tahu tentang wanita ini, dan juga lelaki yang mengganggunya. Aku akan menunggu hasilnya sampai besok pagi," Roy memutuskan sambungan sepihak.
Gera kini sudah terlelap. Ia sangat kelelahan. Bahkan, jejak air mata masih terlihat di pipi cantiknya. Roy tersenyum tipis.
"Aku tidak yakin, apakah aku bisa meninggalkanmu jika sudah seperti ini?"
Gera meracau pelan ketika terbangun setelah seharian tidur. Tubuhnya terasa remuk. Dan bagian intinya terasa sangat menyakitkan.
Seolah tersadar dengan yang terjadi sebelumnya, ia langsung mengedarkan pandangan ke segala arah. Mungkin Tuan itu yang sudah membawaku pulang, batin Gera dengan air mata yang sudah mengalir. Ia sungguh menyesal.
Ia merebahkan lagi tubuhnya. Rasa sakit di sekujur tubuh membuat Gera malas melakukan apapun. Padahal, seharusnya hari ini ia harus pergi melamar pekerjaan.
***
"Bagaimana Luis?" tanya Roy sembari duduk santai di ruang kerjanya. Luis baru saja masuk dan sudah disuguhi pertanyaan.
"Sudah, Boss! Ini berkas-berkasnya," jawab Luis tegas dan langsung memberikan dua bilah map.
"Dan ya, saya sempat menanyakan wanita itu pada tetangga di sekitar rumahnya, Boss," ujar Luis sebelum beranjak.
Roy menatap Luis penuh tanya. "Lalu apa yang kau dapat, Luis?"
"Kata mereka, wanita itu saat ini sedang mencari pekerjaan. Mereka juga mengatakan bahwa dia hidup sendiri dan baru saja lulus," tutur Luis.
Roy nampak berpikir, "Aku rasa, aku memiliki sebuah ide," Roy memberikan isyarat agar Luis mendekat.
"Baik, Boss! Akan saya lakukan siang ini juga." Jawab Luis setelah Roy membisikkannya sesuatu.
Setelah kepergian Luis, Roy tersenyum sendiri. Ia membayangkan wanita cerobohnya itu. Membayangkan rasa dari wanita itu. Membayangkan tingkah kekanakan, tangisnya, dan yaa... semua hal yang bersangkutan dengan wanita ceroboh itu.
"Astaga! Dia membuatku salah tingkah hanya karena membayangkannya saja," lirih Roy geram dengan pikirannya yang selalu saja tertuju pada Gera.
***
Luis datang lagi ke rumah Gera. Dengan penampilan yang tidak terkesan formal seperti biasanya. Hanya saja ia mengenakan kostum serba hitam. Dan membuat orang sekitar berpikir, dia bukanlah orang sembarangan.
Baru saja mau membuka pintu mobil, langkah Luis terhenti saat melihat seorang laki-laki yang melangkah terburu-buru menuju rumah Gera.
"Wait! Lelaki itu rupanya tidak asing," Luis memaksa otaknya mengingat siapa lelaki itu.
Seperti mendapat pencerahan, Luis langsung melotot ketika mengingat siapa orang itu.
"Wah! Orang ini benar-benar cari masalah."
Dengan langkah hati-hati Luis mengintai pria itu.
"Gila kamu Adit! Pergi!" Gera menjerit dan Luis mendengarnya.
"Kalau saja kamu tidak berulah kemarin, aku sudah bisa mendapatkanmu! Dasar wanita kotor! Sekarang tidak akan ada yang menghalangiku lagi. Diamlah! Dan nikmati permainan yang akan aku mainkan!" Luis yang mendengar itu sangat emosi. Tanpa menunggu lama, ia menendang pintu Gera dengan keras.
"Kau tidak ada kapoknya!" Luis menyeret Adit penuh emosi.
"Tidakkah kau dengar perintah Tuanku? Dasar bodoh!" Luis tak henti-hentinya menggerutu sembari menahan tubuh Adit.
"Jangan ikut campur! Kau siapa?" Seru Adit tak mau kalah.
Luis menghentikan aksinya dan menatap nyalang pada Adit. "Aku? Aku orang yang akan mengakhiri hidupmu!" Luis lagi-lagi mengamuk.
Sementara di ujung ruangan, Gera terisak sambil memeluk lututnya. Ia ingin menghentikan, namun kakinya gemetar dan tak mampu berdiri.
"Tuan, siapapun kau, aku mohon hentikan. Dia bisa lenyap kalau terus saja kau serang," teriak Gera sekeras yang ia mampu.
Luis menurut, lalu menatap Gera. "Nona, pria ini tidak akan berhenti mengganggumu. Lebih baik saya melenyapkannya saja." Luis kembali mengangkat tangannya.
"Stop! Aku mohon hentikan. Tolong," lirih suara Gera karena kehabisan tenaga. Luis melihat Adit. Pria itu sudah terkulai lemas karena aksi Luis yang bertubi-tubi.
Luis memutuskan untuk menelpon Tuannya. Mengabari hal ini.
"Boss, tolong dengarkan saya," ujar Luis dengan napas terengah-engah.
"Bicaralah Luis!" Perintah Roy dingin.
Luis menghela napas panjang. Menceritakan seluruh kronologi cerita. Ia harap-harap cemas. Apakah Roy akan memaafkannya karena sudah membiarkan wanita itu menangis hingga lemas dan tidak melenyapkan pria ini?
Luis hanya bisa menerima apapun konsekuensinya. Bagaimanapun, dia tidak akan bisa dan tidak akan berani melawan Tuannya. Roy tidak membiarkan Luis membawa Gera pergi. Ia menyuruh Luis untuk mengawasi Adit saja. Gera adalah urusan Roy. Bukan orang lain. Dan tidak akan ada celah untuk orang lain. "Luis! Dimana dia?" Roy terlihat sangat kacau. Ketika mata Roy menangkap sesosok wanita di pojok ruangan, ia langsung bergegas menghampirinya tanpa menunggu jawaban Luis. "Ayo kita pergi!" Ajak Roy dingin. Namun tidak ada jawaban dari Gera. Ia hanya diam dan menunduk disela lutut yang ia peluk. Dengan pelan Roy menggerakkan tubuh Gera.... "Astaga, Luis! Bagaimana bisa ia pingsan?" Teriak Roy membuat Luis tersentak kaget. "Sepertinya dia sudah kelelahan karena ulah pria ini, Boss. Lagipula Boss lupa kejadian tad
"Bagaimana Luis?" tanya Roy dingin via telepon. Karena mansion begitu besar, malas juga untuk menunggunya datang. Mengingat jarak dari ruang kerjanya dengan ruang hitam lumayan jauh. "Sudah diatasi, Boss. Para wanita bayaran Anda sedang memberinya pelajaran. Anda bisa dengar sendiri suara mereka," ujar Luis. Roy menghela napas beratnya. "Baiklah. Jika sudah selesai, berikan aku rekamannya." Roy memutus sambungan sepihak. Sebenarnya Roy tidak mau memberi hukuman ringan seperti ini. Apalagi hukuman ini tergolong sangat menguntungkan Adit. Bagaimana tidak? Ini yang dia sukai dan yang ia cari setiap ke Club. *** Gera menggeliat di atas ranjang raksasa yang sangat nyaman. Ia pingsan begitu lama, atau bisa saja ia juga tertidur. Pelan ia membuka kelopak matanya, menyadari ada yang lain, Gera refleks terduduk. "Aku dimana?" Gera mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. K
Roy meninggalkan Gera sendiri di kamar itu. Dan meminta Ros untuk mengikutinya. "Ros, apa yang terjadi dengan wanita itu sebelum aku datang?" tanya Roy. Ros hanya menunduk takut. "Ma-maaf, Tuan. Tadi Gera sempat muntah-muntah Tuan." "Si-siapa? Gera?" tanya Roy penasaran. "Maaf Tuan, Nona itu menyuruh saya untuk memanggil namanya saja. Dia wanita yang sangat baik," tutur Ros tegang. "Oke. Namanya Gera, dan tadi sempat muntah katamu?" tanyanya memperjelas. Ros mengangguk. "Iya, Tuan." "Pergilah. Aku akan mengurus wanita ceroboh itu sendiri." Roy mengibaskan tangannya menyuruh Ros pergi. *** "Bagaimana keadaanmu, Nona?" Dingin. Datar. Sangat menjengkelkan. Gera memicingkan matanya tajam. "Wow! Kau mau menggodaku, Nona? Matamu itu...." Roy menggoda Gera. "Apa kau buta? Mataku menatap tajam kau bilang menggoda? Astaga!" Gera memekik keras. "Dasar laki-laki aneh!" gumamnya lagi hamp
"Maafkan saya, Pak. Saya yang lalai," Gera merendah ketika orang yang mewawancarai dirinya marah. Bukannya dia mau main-main, hanya saja dia sudah sangat putus asa. Kemana Gera harus mencari kerja lagi? Ia luntang lantung kesana kemari tak terarah. Uang sudah menipis. Sedang biaya hidup tetap harus mengalir. Oh Tuhan! *** Deva, HRD yang menyeleksi pegawai di kantor Roy menghampiri sang CEO dengan setumpuk kertas. "Maaf, Pak. Untuk jabatan sebagai pengganti sekretaris Bapak diantara semua tumpukan yang saya wawancarai hari ini tidak ada satupun pelamar yang memenuhi syarat," Sudah tugas Deva melaporkan hal ini pada Roy. Karena posisi yang dicari bukan posisi yang main-main. Roy hanya terpaku pada komputer dengan ekspresi datarnya. "Coba cek sekali lagi. Apa ada wanita yang bernama Gera?" perintah Roy. "Baik, Pak," Dengan cekatan Deva memeriksa se
"Pak, Anda diamlah di meja Anda. Ada keperluan apa Bapak menghampiri saya?" tanya Gera dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh."Aw!" Gera mengelus kepalanya yang sakit karena dijitak Roy."Kau pikir kau siapa disini? Ingat siapa yang menjadi Boss?" Dagu seorang Aroy terangkat dengan gagah dan sombongnya."Maaf, Pak atas kelancangan saya.""Jangan menghindar! Aku menginginkanmu," bisik Roy membuat telinga Gera geli dan meremang."Jangan menghindar! Apa kau lupa bahwa kau milikku?" Ingin sekali Gera menampar pria ini. Namun, entah kenapa sapuan napas Roy di tengkuknya membuat Gera terpancing."Maaf, Pak. Bukannya tugas saya hanya menjadi sekretaris pribadi Bapak?" Otak Gera berputar memikirkan alasan agar pembicaraan ini teralihkan."Ingat, Gera! Kau milikku. Dan jabatanmu menjadi sekretaris pribadiku tidak mengubah statusmu yang menjadi milikku dan kau tidak
"Sudah kutebak," Roy tersenyum lebar melihat kehadiran Gera.'Astaga! Kenapa senyumnya sangat menggoda dan membuatku enggan untuk pergi?' batin Gera menjerit. Gera menampik pikirannya dan menggeleng."Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Sikap seperti itu tidak perlu dijunjung tinggi meski perlu. Secukupnya saja," Senyum Roy seketika meredup mendengar perkataan Gera.Gera masih saja berdiri dihadapan Roy dan menatap datar. " Lalu untuk apa kau kemari jika bukan kembali menjadi asistenku?""Mohon maaf, Tuan. Apa yang Anda katakan barusan? Asisten? Bukannya saya disini hanya dijadikan budak atau yang kerap Anda sebutkan namanya sebagai, ah entah saya lupa," Gera berniat menyindir Roy."Saya kesini hanya untuk mengembalikan barang Anda yang sempat saya pinjam. Hoodie. Terima kasih banyak, Tuan. Untuk uang Anda, denda maksud saya, bersabar
"Aku yakin ada yang aneh dengan minuman ini. Pasti ulah si Dinda," batin Roy. Terselip senyuman tipis di wajahnya. "Roy, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa sangat panas?" Lenguhan kecil terdengar lolos dari mulut Gera ketika Roy menyentuh lengannya. "Roy, rasanya seperti malam itu. Ketika Adit memberiku obat. Apa kau juga menaruh obat untukku dalam minuman itu?" Gera ingin menatap tajam Roy tapi gelenyar aneh ini membuatnya tak fokus. Roy tersentak mendengar penuturan Gera. "Apa? Kamu pikir aku pria murahan? Big no! Ini sama sekali bukan ulahku," Roy langsung keberatan dan melangkah menuju kursinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sedikit lagi kelar. "Lalu siapa jika bukan kau?" tuduh Gera. "Mana ku tahu. Aku saja sejak tadi sibuk dengan pekerjaanku. Mana sempat mencampur ini itu dalam minumanku. Untuk apa?" Kenyataannya Roy sudah terpancing hanya dengan melihat Gera yang seperti cacing kepanasan. &
Menunggu Luis membuat Gera mengingat kembali Roy. Ia menghela lelah jika mengingat tugas membosankan itu. Ingin sekali berhenti tapi Roy sudah memikirkan semuanya selangkah lebih maju. "Dasar laki-laki labil!" Gera terus saja merutuki Roy. Kesal dengan sikap Roy yang membuatnya terus saja jengkel. Gera ingin sekali menangis. Tapi tak bisa karena masih ada Luis. Dia terlihat sudah kembali. "Ini untukmu, Ge!" "Ini untukmu!" Luis menyadarkan lamunan Gera. "Makanlah. Aku yakin kamu lapar sekarang," ujar Luis. Namun Gera menatap aneh cup makanan siap saji itu. "Apa kau yakin makanan ini tidak ada apa-apanya?" Luis dibuat bingung dengan pertanyaan Gera. "Maksudnya?" "Apa Roy tak menyuruhmu membubuhi makananku dengan obat lagi?" Luis terkekeh. "Tidak, Gera. Percayalah! Roy sedang di kantor. Mana mungkin menyuruhku membubuhi makananmu," ujar Luis. "Baiklah. Akan kumakan.