Helaan nafas tak beraturan menjadi pengisi suara dalam ruangan berukuran enam kali lima meter itu, diatas treadmil yang disetel dengan kecepatan sedang Jane melajukan tungkai kakinya.
Airpods putih menyumpal telinga, sedangkan matanya memeta halaman rumah yang kadang ada beberapa orang melintas.
Sebenarnya daripada olahraga diruang tamu rumahnya begini, Jane lebih suka berlari diluar. Ruang terbuka. Karena selain mendapat udara segar yang sehat, matanya juga dimanjakan oleh beberapa bujangan yang sedang jogging juga.
Tetapi berkat para ibu-ibu komplek yang protes padanya dengan alasan 'pakaian yang dipakai mbak Jane terlalu merisaukan' Jane jadi malas memutari komplek perumahannya. Padahal tidak ada yang salah dengan laging panjang dan croptie, kan? Jane mau pakai gamis kaftan pun akan terlihat seksi. Bukan salahnya karena punya body oke, ini juga dibentuknya susah. Dan karena hal itu juga Jane merengek meminta Maria membawa treadmil dari rumahnya.
Jane melepas airpod ditelinga ketika pintu kamar disamping dapur terbuka, Maria keluar sembari membenahi rambut pirangnya yang berantakan setelah berhasil menidurkan bayi gemas berusia sembilan bulan. Treadmilnya dimatikan, lalu sembari turun Jane berkata sesuatu yang menandakan protes.
"Luna kenapa dikasih adegan begitu?" Kata Jane dengan napas terengah-engah. Matanya menyipit tak terima. "Udah lo siksa mulu sekarang malah dijodohin sama asshole kayak Brandon."
Sedangkan Maria enggan menanggapi, malah duduk diatas sofa menghadap jendela dengan tatapan menelisik.
"Katanya rumah mbak Dewi ditempati cowok Hot, mana? Semaleman gue mengintai gak liat apa-apa."
Oh, Jane memang sudah melaporkan perihal tetangga baru mereka.
Melangkah ke meja Jane kemudian menuangkan air putih kegelas sebelum diteguk tandas. Masih berhasrat protes tentang alur novel online yang ditulis Maria dengan judul 'Sleep with my boyfriend boss'.
"Nggak make sense lo nulisnya. Mana ada, cewek prawan kuat wik-wik sampe pagi. Ih goblok. Lagian Luna kan atlet taekwondo, masa gak bisa nglawan dipaksa begitu." Protes Jane lagi.
Maria masih mengintai rumah diseberang. Menanggapi sekenanya. "Prawan kayak lo mana tau,"
"Lo yang bilang sendiri kalo diprawanin itu sakit."
Berdecak gemas, Maria kemudian membayangkan kenangan pertamanya. "Ya emang sakit, tapi perih-perih gurih gitu lho."
Sialan memang.
Jane memutar mata. Sebenarnya sudah biasa membahas yang iya-iya dengan ibu satu anak ini atau bersama Lili pun juga, karena bukan cuma pria, mereka para wanita dewasa juga sama. Cuma, ini tuh lagi membahas Luna! Tokoh utama dalam cerita romansa yang dibuat Maria dengan karakter serta takdir hidup amat menyedihkan. Jane sebagai pembaca tidak terima. Jiwa perasanya sebagai wanita langsung bergejolak.
"Pokonya, revisi tuh cerita, emosi gue!" Setelah mengelap keringatnya dengan handuk Jane ikut duduk di sebelah Maria. Ikut-ikutan mengintai rumah Theo si muka aspal.
"Alurnya emang gitu, bangke. Lu tinggal baca be rewel ama—"
"Tuh, si Boksi keluar." Potong Jane sembari mengarahkan dagu kedepan, tepatnya pada pria tinggi semampai yang dibalut t-shirt Balenciaga hitam serta celana jeans hitam juga. Ckckck. Sumpah kayak bujangan baru lulus STM banget ini.
"Anjir!" Umpat Maria menunjukan ekspresi kekaguman, masih fokus pada Theo yang sepertinya mengambil sesuatu di mobil. "Lo yakin nggak langsung nyipok itu laki?"
"Giling." Desis Jane. "Baru ketemu basa-basi dulu lah."
"Ya lo kan napsuan. Yang kayak gitu lo bilang udah ada tunangan?"
"Hm, udah mau kawin."
"Tikung bae menurut gue mah."
Balasan Marja membuat Jane tidak ragu untuk menonyor kepala si mahmud yang kopong tak berisi.
"Pelakor emang lagi booming, tapi thanks lah, gue cantik, yang model kayak dia juga banyak." Sahut Jane realistis. Ya meskipun sangat tergoda dengan Theo yang nyatanya memang seksi sekali, akal sehat harus tetap jalan.
Dan ketika Theo sudah kembali memasuki rumahnya dua wanita dewasa yang dari tadi mengintai langsung duduk dengan posisi normal. Jane membaringkan dirinya di sofa.
"Begini amat sih hidup. Kenapa selama gue tinggal disini dia gak nongol. Giliran gue mau pindah, baru dateng."
Mendengar ocehan Maria yang merutuki peruntungannya, Jane sontak tertawa.
Maria memang sudah jadi housmate-nya dirumah ini selama kurang lebih tiga tahun. Mereka bersahabat sejak SMA. Hingga kurang lebih satu setengah tahun lalu Maria diketahui hamil, dan hanya wanita itu yang tau siapa ayah bayinya.
Membuat Jane pusing tujuh keliling. Karena what?! For real? Gue tinggal serumah sama orang bunting, dan kalo gue ana jadwal terbang ini calon ibu bagaimana nasibnya? Berdasarkan pemikiran itu, Jane mengusulkan Maria untuk kembali kerumahnya waktu kehamilan temannya itu memasuki bulan ke lima.
Begitulah, Maria harus disana sampai melahirkan, dan putranya tumbuh sedikit lebih besar. Baru bulan kemarin Maria kembali ke rumah ini, tetapi seperti orang tua pada umumnya Maria pun selalu dibujuk kembali tinggal dengan orang tuanya. Seperti Ratna yang selalu meminta Jane pulang.
Dan yah betul. Tinggal bersama dengan gadis yang hamil di luar nikah, tanpa pengawasan orang tua. Membuat Ratna makin gencar membawa Jane kembali kerumah juga mencarikan lelaki yang untuk dijadikan menantu.
Tetapi tetap saja. Jane tidak mau. Ia bisa jaga diri kok. Tidak ada orang yang berani kurang ajar pada Jane juga, selain karena Jane bisa membatasi kontak fisik, ia juga punya faktor pendukung lainnya seperti Ayah Jane yang Pewira polisi, kakeknya mantan TNI angkatan darat.
"Bangunin Ares ah," gumam Jane pada dirinya sendiri.
Namun sebelum gadis itu beranjak dari sofa tudung croptienya sudah ditarik kebelakang oleh induk baby gemas yang hendak dibangunkan.
"Gue bunuh lo. Pangeran gue tidurnya susah banget, cuk. Jangan diganggu." Ancam Maria tak main-main. Ia bahkan baru bisa bernapas tenang setelah putranya terus terjaga dan tidak mau terpejam.
"Gue nenenin ntar langsung tidur lagi." Balas Jane serampangan, masih mencoba berdiri namun dihalangi Maria lagi.
"Gak usah sok, pentil aja seupil." Bullyan Maria langsung sampai ke hati. Jlep. "Lagian, Je. Lo kalo make out sampe isep-isep dikit dong biar agak keluar itunya."
Anjing emang.
Kesannya jadi seperti Jane tidak punya itu sama sekali. Padahal ada kok, sumpah. Ya nggak mungkin sebesar punya Maria yang ibu-ibu sudah pernah lahiran. Punya Jane normal untuk ukuran prawan.
Ish! Ngomongin apa sih!
"Ih bodo amat." Sahut Jane tidak perduli. Masih mencoba berdiri namun dihalangi lagi. Langsung terjungkal. Secara fisik jelas Jane kalah, ia yang langsing tentunya tidak sebanding dengan beban wanita yang baru melahirkan.
"Lo mau nomor HP-nya Theo nggak?" Tawar Maria tiba-tiba.
Jane menatap malas. Ini orang ngelindur kayaknya, Maria saja baru tau rupa Theo beberapa menit yang lalu, mau coba-coba minta nomornya?
"Gue ogah jadi pelakor."
"Gak ada yang nyuruh Lo buat melakor. Dia kan ganteng tuh, pasti temen-temennya ganteng juga. Siapa tau ada yang nyantol ke lo."
Kok rasanya gimana gitu.
"Gue gak laku banget ya keliatannya?" Tanya Jane serius. "Biarin aja, let it flow, ogah amat deketin dulu, gak ada ceritanya ya bunga nyamperin tawon, atau pisang nyemperin monyet."
Takdir wanita ya dipuja-puja. Diperjuangkan. Dihampiri.
Maria dalam hati tersenyum mengejek. Ternyata bukan hanya orang tuanya yang primitif. Soal harga diri dan serba-serbi keperempuanan, Jane masih primitif juga.
————
Malam harinya Jane memutuskan untuk pergi ke swalayan, berniat membelikan susu formula untuk baby Ares yang mendadak habis dan sekaligus belanja bulanan keperluan rumah.
Membawa diri bersama helm hijau kebanggan tukang ojek online dan juga kepiawaian selap selip driver yang masih muda—bonus ganteng ini akhirnya Jane berhasil sampai dengan selamat melawan Tanggerang dengan segala kemacetannya.
Mendes? Sorry, Jane tidak tega melihat Mendes terjebak macet. Jadi mercy kesayangannya itu dibiarkan tidur lelap di garasi rumahnya.
"Kalo jatoh, lo tanggung jawab ya." Teriak Jane dari jok belakang waktu si driver menyalip dua mobil sekaligus.
"Saya sim-nya nggak nembak mbak, percaya deh gak akan jatuh."
"Jatoh cinta maksudnya," sahut Jane usil. Yang langsung disahuti tawa keras bocah muda ini. "Cool banget sih lo bawa motornya, kayak Mark Marquez."
Biasa. Jane kalau gabut memang mirip jablay.
Flirting seperti itu sebenarnya buat mengisi waktu saja, karena Jane anti banget sama suasana sepi canggung krik-krik atau mungkin pada dasarnya dia memang tidak bisa diam. Dan sepertinya laki-laki mana yang belum pernah di flirt oleh Jane? Bahkan Jay suami Lili pernah diusili waktu pertama kali bertemu. Persis seperti dirinya ketika bertemu Theo kemarin siang.
Setelah memberi bintang tujuh diaplikasi ojol Jane langsung masuk kedalam, mendorong troli dan langsung ke rak bagian susu anak.
Mengambil dua kaleng besar susu bubuk yang harganya selangit lalu ditaruhnya ke dalam troli. Ares miminya mahal ya, sayang.
Setelah itu Jane mendorong troli nya lagi, mengambil barang-barang lain yang hendak dibelinya. Bahan masak, pembalut, pasta gigi, pengharum ruangan, ditergen dan softeners, lulur mandi, shampoo, masker wajah. Em... apa lagi ya.
Setelah berputar-putar mengambil barang-barang itu Jane akhirnya sampai pada rak makanan ringan. Surga wanita! Diambilnya berbungkus-bungkus mie instan berbeda rasa, beberapa cemilan rendah lemak, dan juga keripik kentang untuk dimakan waktu cheating day.
Sepertinya Jane harus pulang dengan taksi online. Trolinya nyaris penuh, dan tidak mungkin sekali jika harus dibawa dengan kendaraan roda dua.
"Mi instan nggak sehat, sepertinya bukan cuma saya yang tau itu."
Tiba-tiba saja suara berat dan dalam itu menyapa telinga, mengganggu kegiatan Jane yang masih menimbang mi instan ditangan. Otomatis Jane mendongak.
"Bicep, lo lagi belanja juga?" Katanya tanpa sadar terdengar antusias.
Theo sekilas memandanginya sebelum melarikan pandangan kearah rak makanan didepannya.
"Nama saya Theo," koreksi pria dewasa itu. Meski dengan tampilan ini, kaos Gucci putih dilapisi jaket denim dan juga jeans panjang, Theo terlihat seperti anak kuliahan.
Apa jangan-jangan emang si Bicep ini ternyata masih bocah? Tapi sepertinya tidak, garis wajahnya dewasa kok, dan sudah ada tunangan juga. Pasti akhir dua puluhan, kan?
"Umur lo berapa?" Jane menatap Theo dengan binar penasaran.
Theo balas memandangnya. Mengerjap beberapa kali sebelum menjawab.
"Tiga puluh."
"Tuh, kan!" Pekik Jane keras. "Tuhan emang gak adil! Lo tua tapi ganteng aja, sih."
Sedangkan yang dipuji hanya membalas dengan tatapan mata datar seperti biasa. Orang tampan memang begitu, pasti sudah terlalu sering dibilang tampan sampai dengarnya bosan.
"Belanja apa? Mana keranjang belanja lo?" Jane melirik tangan Theo yang kosong.
"Saya kemari mau jemput kamu." Suara dan kalimat Theo benar-benar berhasil membuat Jane terhanyut.
Aduh! Mama, Jeje lumer nih!
Sebelum seperti petir Zeus mendatanginya.
Hei!
Laki orang, ingat! Jangan solimi!
Jane mengerjap cepat. Kepalanya beberapa kali dimiringkan. Bingung harus menjawab bagaimana hingga hanya satu kata yang ia luncurkan. "Kok?"
Dengan santai Theo memasukan satu tangan ke saku celananya. "Teman kamu yang rambutnya pirang bilang kalau kamu sudah pergi dua jam dan belum juga pulang, telfonmu gak aktif, dia khawatir, tapi tidak bisa menyusul karena anaknya barusaja tidur. Dia minta tolong saya buat jemput kamu."
Hah?
What the...
Wah, gila.
Tanpa sadar, selama Theo mengucapkan kalimat sepanjang itu dengan suara beratnya mulut Jane perlahan terbuka.
Apanya yang dua jam? Sinting memang Maria itu, Jane bahkan baru pergi sekitar tiga puluh menitan, dan telfonnya tidak diangkat? Apaan? Ponselnya disetel dengan mode umum dan sama sekali tidak ada panggilan masuk dari sore.
Sponsor yang mendukung Jane untuk menjadi pelakor memang gak kaleng-kaleng.
Dan apakah Jane harus menuruti dirinya agar ikut kedalam rencana busuk sohibnya itu?
Tentu saja tidak, ia bahkan sudah kenal Karin. Jane mau saja ikut Theo pulang bersama, tetapi niat Maria yang membuat dia ingin menolak. Orang kayak Maria itu kalo berhasil satu kali, akan jadi lebih antusias lagi untuk melakukan aksi kedepannya.
"Oh—em." Mulut Jane bergumam. "Oke thanks, tapi kayaknya gue bisa pulang sendiri."
Theo mengangguk sekilas. "Kamu nggak nyaman sama saya?"
"Lo udah ada tunangan."
Theo mengangguk lagi. "Tapi saya bukan sedang berniat mencari pengganti tunangan kok."
"Iya, cuma—em— kalo tetangga liat kan gak enak."
"Yang penting saya sudah pastikan kamu baik-baik saja." Balas Theo setelahnya. "Sudah selesai belanja?"
Jane mengangguk. Huft. Demi apa dia membakar hangus kesempatan pulang bareng bokong seksi.
"Kamu bisa pesan Uber? Nanti saya temani sampai drivernya datang."
"Ofcrs." Jane mengangguk lagi. Kemudian ia mengingat sesuatu, dan merasa harus diucapkan. "Lain kali kalo bule Betawi itu minta tolong gak usah diladenin ya."
"Saya nggak bisa mengabaikan." Balas Theo, sembari berjalan disamping Jane, menuju kasir. "Karena keselamatan kamu dipertaruhkan."
Theo apa memang jenis laki-laki yang sebaik ini? Atau ada maunya? Mereka baru bertemu dua kali, statusnya gak lebih dari sekedar tetangga baru, kenapa dia bisa se care itu.
"Gue bahkan lawatan bisa sampe Norwegia, di Singapura gue jalan-jalan sendiri gak akan kesasar. Apalagi Tangerang doang," Jane menjawab dengan lantang sembari menaikan barang-barangnya keatas meja kasir. Theo juga membantunya memindahkan belanjaan.
Tetapi mengingat kalau Theo membawa mobil mengarungi macet untuk sampai ke swalayan ini hanya karena perintah Maria, Jane jadi ingin meralat.
"Tapi makasih deng, udah mau repot-repot. Gue belanjain deh. Mau beli apa?"
"Gak ada."
"Gak usah malu-malu." Jane mengibaskan tangan ke udara. Kemudian jemari lentik gadis itu menunjuk benda kecil yang terpampang di rak belakang kasir.
"Mbak, yang stroberi," pinta Jane pada mbak-mbak kasir.
Kemudian dengan cermat ia menatap tubuh bawah Theo, yang membuat empunya berdehem serak.
Jane terkekeh. Lucu deh.
"Large." Bisik Jane dengan nada menggoda.
Meski tak mengatakan apapun dan mempertahankan ekspresi dingin seperti biasa, telinga Theo sudah memerah sempurna, menandakan kalau pria itu malu.
Dua kantong plastik besar dibawakan Theo.
Dan setelah Jane membayar belanjaannya, gadis bercepol tinggi dengan cardigan knit lilac itu menyelipkan dua bungkus alat kontrasepsi pria kedalam saku jaket Theo. Sedangkan yang bersangkutan tidak bisa berkutik karena dua tangannya penuh.
"Buat jaga-jaga, siapa tau Karin tiba-tiba pengen."
"Ares sayang, baby," Jane menggapai Ares yang tengah duduk manis di kereta bayi. Setelah memastikan kalau Ares memakai diapers barulah Jane berani membawa bayi itu kegendongannya. "Iya sayang, Onty juga bakal kangen kamu kok, jangan nangis ya, nanti mau oleh-oleh apa? Hm? Iron man? Oh BT21?" Percakapan sepihak itu hanya dibalas tatapan lugu Ares, sedangkan Jane mulai mengecup rakus pipi ares yang mirip roti kukus. Maria yang melihat pemandangan itu cuma berdecak sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya menyiram bunga-bunga di halaman rumah. Jane memang selalu begitu kalau hendak berangkat bertugas. Untung anaknya anteng mau diuwel-uwel kayak apa juga. Dan dilihat dari sini, Jane sudah terlihat pantas jadi ibu, membuat Maria gencar menjodoh-jodohkan kendati dirinya juga memilih setia single. "Jangan ilerin baju onty ya ganteng, please." Kata Jane cemas ketika Ares mul
'jangan ngadi-ngadi, lo tau apa kalimat terkenal dinegara kita ini kan? Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!'Dari sambungan telepon antar negara itu celoteh nyolot tetap dilayangkan Maria. Setelah mendengar dengan pesan singkat dari Jane yang berbunyi: Theo laki bangsat, awas lo kalo tetep jodoh-jodohin gue.Sedangkan Jane? Semua yang dikatakannya nyata. Dia tidak sedang mengarang. Jadi bersamaan jemari lentiknya membenahi tatanan rambut dan gaun tipis berwarna merah yang menantang dengan potongan dada rendah itu Jane cuma memutar mata."Mata gue gak buta, burem aja nggak! Jadi gak perlu meragukan fitnah atau nggak, gue saksinya!"Jane mengimpit ponsel diantara pundak dan telinga, dia mencuci tangan.'mata bisa dipercaya kalo kuping lo juga bisa dengar penjelasannya. Kalo enggak? M
"Eh eh, apa lu, hah!? Jangan dekat-dekat. Lilili! Ini hik gue mao dicaplok buaya hik tolongin!" Pekikan histeris bernada sumbang dan tak jelas itu tiba-tiba diserukan. "Turunin gue! Biar gue diculik Massimo dan bikin gue jatuh cinta." Supir mobil suv yang sedari tadi hening fokus menyetir juga sekilas melirik kearah wanita bergaun merah yang tengah mengais-ngais jendela mobil dengan tenaga secuil. Mengigau. Karena mabuk. Rambut panjang lurusnya kian kusut, pipi sang gadis merona sempurna, efek alkohol, Jane merengek kecil. Kepalanya berputar dan seluruh isi perutnya bergejolak, apalagi tenggorokannya terasa panas. Tentu saja, lagian siapa yang tidak akan kobam begitu? Setelah benar-benar memberi kecupan untuk permintaan main-main yang diberikan Theo, pramugari jelita itu kembali meneguk dua gelas arak keras. D
Dulu sekali, waktu Jane masih SMP pergosipan ditiap-tiap lorong koridor sekolahnya tak jauh-jauh soal kakak kelas yang bibirnya terlihat jontor tiba-tiba, katanya— hasil cipokan di pojokan wc. Dan Jane percaya teori satu itu, salah satu penyebab jontornya bibir adalah ciuman yang terlalu menggebu-gebu. Lalu dengan mudah gadis-gadis sebayanya mengkategorikan mana cewek-cewek jablay dan mana yang tidak. Dan setelah memasuki SMA dunia pergosipan di circlenya pun mulai glowing up, memasuki tahap yang lebih serius. Maklum, termasuk Maria teman-teman Jane memang tak ada yang waras. Tuh kakak kelas jalannya ngangkang, udah gak prawan pasti. Jane yang teramat realis ini langsung menyeletuk. Apaan, emak gue lahiran dua kali jalannya biasa aja. Awalnya Jane juga iya-iya saja sambil ikut mengira-ngira kakak kela
——— "Gue lagi nyetir, lu bawel amat sih!" Jika hari-hari biasa Jane akan langsung memandikan Mendes setelah mercy kesayangannya itu dibiarkan berhari-hari diparkiran bandara, ia tak akan membiarkan satu butir debupun menempel pada body sexy Mendes dan langsung menidurkannya di garasi. Tapi tidak untuk kali ini, em— sebetulnya bukan kali ini saja, Jane sudah beberapa kali melakukannya. Menyetir membawa belanjaan hasil jastipnya kerumah Maria. "Inget jalan rumah gue, kan? Gue bunuh lo kalo nyasar lagi, punya otak gak guna banget." Jane menyalahkan sign kanan, memutar kemudi ke kanan pula. Jane tidak perlu navigasi untuk sampai ke lokasi yang sudah lebih dari sepuluh ia datangi kan? Sebenarnya butuh, soalnya rumah Maria ada di tengah-tengah hutan, tidak punya tetangga, ala-ala mansyur, orang kaya. "Gas pol gak usah lelet. Gue ngga
Malam sudah datang.Komplek perumahan yang biasanya ramai ini tak seramai hari biasa, tak ada suara rengekan bayi, ataupun ibu-ibu muda yang rempongnya melebihi gadis remaja telat datang bulan.Jane dirumah sendirian.Malu mengatakannya namun, Iya, Jane memang merasa sedikit kesepian.Sesore ini hanya ditemani oleh tayangan netfix series yang sudah ditontonnya dua kali dan beberapa pesan singkat dari rekan kerja yang mungkin baru mendengar kabar bahwa ia di PHK.Bertanya ada apa dan kenapa bisa.Jane hanya mendesah kecil, membalas dalam grup obrolan. I'm Jane, i'm oke!Dan beberapa dari mereka berkata kalau ingin mengunjungi rumah Jane esok hari. Jane mengijinkan tentu saja, dengan syarat harus membawa beberapa menu minuman dari kedai kopi terkenal.Setelah itu? Setelah dramanya selesai dan ia sudah membalas semua pesan ya
Dengan gerak jurus seribu bayangan Jane langsung menutup pintu rumahnya secepat kilat. Memukuli kepalanya sendiri karena terlalu malu. Kenapa ia bisa punya kepercayaan diri yang tumpah-ruah seperti ini sih? Dari siapa turunnya? Jane kira Theo ingin membahas hal-hal yang sebelumnya terjadi. Tetapi ternyata, semua adalah hasil dari naskah yang dibuat Maria. Jane membenarkan tata rambutnya dengan cepat. Ia menetralkan napas dengan tenang, meyakinkan dirinya kalau apa yang baru terjadi memang tidak sememalukan itu. Jane berdehem kecil, ia kemudian membuka kembali pintu rumahnya. Manusia tinggi besar rupawan tadi juga masih disitu. Memasukan beberapa anak rambut di sela daun telinga Jane kemudian mendongak dengan ekspresi yang masih tak bisa diajak kompromi. "Gue pernah bilang, kan?" tanya Jane tiba-tiba. Taehyung menoleh pada Jane. "Hm?" Tidak terlalu m
——— "Ganteng banget Weh, ampun Jane, punya tetangga caem begini diam-diam bae." Jane memutar mata malas satu kali lagi. Siapa yang sangka. Kata-kata 'kita ke rumah lo besok' yang dimaksud oleh rekan-rekan seprofesinya ini adalah tepat besok setelah mereka landing dari penerbangan, yang mana subuh-subuh sekali, waktu Jane masih terpejam dalam kedamaian tiba-tiba ada segerombolan wanita berseragam datang kerumahnya membawa kopi dan juga makanan manis. Dan juga! Hei! Kenapa hari ini harus akhir pekan sih! Kenapa tidak hari kerja saja. Waktu berkumpul ciwi-ciwi jadi harus terpecah setelah satu burung merpati melintas, mengunakan setelan olahraga yang pas di tubuh dan juga badan berkeringat karena telah berkeliling komplek perumahan. Jane jadi berpikir. Mereka ini mau acara pelepasan Jane dari maskapai atau cuma menonton manusia yang se