Share

Oh ternyata

"Ares sayang, baby," Jane menggapai Ares yang tengah duduk manis di kereta bayi. Setelah memastikan kalau Ares memakai diapers barulah Jane berani membawa bayi itu kegendongannya. "Iya sayang, Onty juga bakal kangen kamu kok, jangan nangis ya, nanti mau oleh-oleh apa? Hm? Iron man? Oh BT21?"

Percakapan sepihak itu hanya dibalas tatapan lugu Ares, sedangkan Jane mulai mengecup rakus pipi ares yang mirip roti kukus.

Maria yang melihat pemandangan itu cuma berdecak sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya menyiram bunga-bunga di halaman rumah. Jane memang selalu begitu kalau hendak berangkat bertugas. Untung anaknya anteng mau diuwel-uwel kayak apa juga. Dan dilihat dari sini, Jane sudah terlihat pantas jadi ibu, membuat Maria gencar menjodoh-jodohkan kendati dirinya juga memilih setia single.

"Jangan ilerin baju onty ya ganteng, please." Kata Jane cemas ketika Ares mulai menelusupkan kepala ke dadanya, khawatir seragam hitam bercorak batik merah kebanggaannya terbasahi liur Ares.

Maria tertawa puas ketika anak semata wayangnya malah makin mendusel ke dada Jane. "Flight attendant spesial business class mah beda, seragamnya gak boleh bau iler bayi acan."

Jane membenahi letak gendongan bayi di dekapannya. Jangan sampai dia terileri. Meski wangi parfume Chanel no.5 menyeruak layaknya identitas tetapi tetap saja, penampilan nomor satu. Tangan kiri pramugari itu terangkat memeriksa arloji berwarna emas dipergelangan tangan, lalu gadis bersanggul rendah itu memekik.

Pelan-pelan Jane meletakkan kembali Ares ke dalam kereta bayi. "Sudah waktunya hamba menghadapi hiruk priuk kota industri ini yang mulia, hamba pamit."

Setelah itu dengan langkah cepat Jane mengambil tas tangan yang tergolek di kursi teras. Mau langsung menuju Mendes yang sedang dipanaskan, namun, sepertinya harus nanti dulu, langkah Jane berhenti ketika matanya menangkap makhluk Tuhan paling seksi melintas.

Kan? Apa ada yang lebih seksi dari pria matang ganteng jogging pagi-pagi pakai training all Fila, terengah-engah, berkeringat hingga rambutnya basah? Gak ada.

"Pagi, Theo!" Sapa Maria sok akrab.

Jane langsung mendelik sinis, matanya menyerukan sinyal peringatan. Hei. Jane belum lupa soal malam di supermarket itu ya, awas saja kalau kali ini Maria bilang Jane tidak bisa dihubungi di Korea dan minta Theo menyusul.

Mengabaikan picingan mata Jane yang sudah seperti tukang gibah. Maria mematikan selang air sembari berkata.

"Kemarin kamu bilang kalo kamu ini arsitek kan? Saya kebetulan ada niat bikin rumah, enggak dalam waktu dekat sih, bisa bantu ngedesign?"

Secepat kilat Jane mendengkus. Rumah keluarga Maria itu sudah seperti Blue house, gedenya tidak main-main dan lengkap lapangan golf. Sudah jelas. Membuat rumah cuma akal-akalan si Mahmud itu.

Tentu saja usaha agar Jane jadi pelakor. Secara tipe pria yang disukai Maria itu yang gede tinggi brewokan khas manusia timur tengah, yang sipit-sipit manis tapi seksi kayak Theo ini tidak masuk.

Theo mengangguk singkat untuk balasan selamat pagi dari Maria. Kemudian jemari panjang pria itu merogoh saku trainingnya, mengeluarkan ponsel berwarna abu gelap lalu di serahkan pada Maria.

Jane melotot.

"Boleh, hubungi saya kalau sudah mantap."

Ini minta nomor HP? Berkedok bisnis?

Jane tidak menyembunyikan dengusan, hingga Theo mengalihkan pandangan kearahnya.

"Kamu ada penerbangan?" Tanya pria itu retorika.

Eh.

"Lo tau kalo gue pramugari?" Jane menunjuk dirinya sendiri.

"Saya nonton televisi tadi malam, saya liat kamu."

Ini orang benar-benar tidak punya televisi dirumahnya sebelum pindah? Atau Theo sebelumnya tinggal diluar negeri?

Belum juga pertanyaan dikepala Jane terjawab peringatan kecil menyadarkan Jane membuat gadis itu tersentak.

"Astaga!!! Telat! Gue berangkat, titip rumah. Bye!"

"Mbak, sebentar."

Rasanya tuh dejavu. Ini bukan pertama kalinya Jane dipanggil mbak oleh lelaki tiga puluh tahun itu.

Ppffttt. Jane bahkan mendengar Maria menahan tawa begitu.

"Gue bakal lebih menghargai kalo lo nggak manggil gue mbak lagi," kata Jane dengan senyum lebar. "Janela Sarasvati. Panggil Jeje, J, Jane, Jen, Janela or anything. Btw, Lo lebih tua."

Theo mengerjap lambat. "Oh, maaf."

Jane hanya melengos dengan wajah sebal. Lalu menganga ketika sadar lelaki yang tadi menundanya pergi sedang berlari menuju rumah sendiri.

"Sumpah?! Dia ngapain sih pake nyegah gue minggat, malah balik. Gue tuh udah telat banget ini. Kalo kerja kantoran sih gampang masih bisa dijangkau, but my job? Tempat kerja gue terbang-terbang, sekali telat gak bakal bis—"

"Je!" Interupsi Maria. "Itu Theo bawa apaan?"

Menoleh, mendapati pria berpakaian olahraga itu kembali dengan membawa totebag kecil ditangan.

"Buat kamu," ujar Theo.

"Ini apa?" Jane menatap curiga namun tak urung mengambil totebag yang disodorkan padanya.

Setelah dibuka. Isinya adalah satu kotak coklat karamel.

Kebetulan Jane suka makan ini.

Dan kebiasaannya sebelum terbang adalah memakan dua tiga buah cokelat karamel.

"Hampers lagi?" Dahi pramugari mengerut tipis.

"Kebetulan saya ada sisa," sahut Theo. "Kamu bisa makan itu sebelum terbang."

Mata Jane melebar.

Lho kok...

———

Me Jiwoo store.

Ysl cosmetic.

Dua item yang dipesan Maria sudah digenggaman, sekarang gadis yang menggunakan hoodie tyedye dilapisi jumpsuit itu kembali berputar guna mendapatkan sepatu bayi.

Sebenarnya jika mau membeli barang-barang yang lebih murah di Seoul Lili selalu menyarankan pergi ke Daiso, disana perlengkapan rumah, cosmetic harganya affordable bingits, tetapi saat ini dia sedang belanja untuk nona dan cucu sultan, blackcard yang diberikan Maria seakan tak terima kalau ia pergi ke swalayan kecil.

Jangan kira karena Jane dari kemarin memakai parfum dan lipstik chanel, slipper Dior, ada Mendes, berarti Jane itu lahir dari keluarga kaya raya Sultan makmur tujuh turunan seperti Maria. Kastanya beda. Pramugari tujuh tahunan ini cuma anak polisi yang punya beberapa investasi, eyangnya juga cuma bangsawan kolot Jogjakarta.

By the way, Jane belanja sendirian. Karena Jay menyusul ke Korea untuk keperluan kerja —katanya, Lili jadi harus menemani suaminya itu. Dasar bucin.

Jane menapakan kaki menaiki eskalator, matanya memindai kembali mall besar kemilikan Korea ini, terlalu banyak barang uwu disini hingga Jane harus sekali menahan diri untuk tidak belanja, sekarang Jane sedang belajar agar tidak boros, fashion, tas dan sepatu membuat dua lemari dirumah jadi overload, kata Mama Ratna; baju-bajumu Je sudah bisa buat buka toko preloved.

Sneakers putihnya dilangkahkan ke salah satu toko perlengkapan bayi.

This place full of uwu things!

Jane memekik sesekali ketika melihat stuff yang dirasanya cute. Bulu-bulu, pastel, kecil-kecil. Suka sekali yang lucu-lucu begini. Rasanya ingin beli semua untuk Ares. Oke, Jane percaya Maria tidak akan keberatan kalau Jane melakukan itu.

Setelah puas memanjakan mata Jane kembali ke tujuan awal. Sepatu bayi laki-laki dimana tempatnya? Jane menanyakan itu pada pramuniaga yang bertugas menggunakan bahasa Inggris. Dan pramuniaga yang menggunakan baju mirip seragam nurse ini langsung membimbing Jane kelorong-lorong penuh benda kecil yang lucu itu.

Jane menyusuri setiap rak. Mengamati detail sepatu yang menurutnya bagus untuk dipakai oleh pangeran Ares. Saat dirasa tidak cocok, Jane akan melanjutkan langkah kesamping. Lalu matanya menangkap sepatu berwarna coklat, mirip boots bagi orang dewasa tetapi tidak terlalu tinggi dari mata kaki, dan warnanya berpadu dengan cream.

Baby Ares kudu dibelikan yang seperti ini biar nanti gedenya jadi cowok macho.

Oke, I'll pick you up, sepatu cokelat.

Jemari Jane terulur meraih sepasang sepatu bayi itu, namun sebelum ia sampai, ada tangan besar dan panjang yang lebih dulu mengambil sepatu itu yang membuat Jane melotot spontan, sementara pria yang merebut sepatu coklat itu langsung berbalik melangkah. Apaan nih? Jiwa rebutan barang salenya bergejolak.

"Heh dude jangan main srobot ae dong, gue duluan yang am—" gerutuan menggunakan bahasa ibu itu terpotong, diganti mata yang melotot lebih lebar dari sebelumnya. "Kapten?"

Mata sipit lelaki tinggi yang menggunakan binnie hitam itupun menyipit, sepertinya penglihatan pria itu kurang bagus, dan setelah berhasil mengenali Jane, Juni otomatis mendekat seraya berkata. "Wow, hai miss Janela. Kebetulan sekali bertemu disini."

Jane mengerjapkan mata. Imagenya terbang lagi, Mama. Jane sempat merutuki diri sendiri. Kenapa kudu teriak-teriak segala sih, Je!

"Hai, kapten. Lagi belanja?" Jane basa-basi, guna mengusir kecanggungan yang ia rasakan sendirian. Karena Juni terlihat santai, senyum banyak-banyak, dan tangan berurat itu menggenggam sepatu bayi.

"Hm, kamu sendirian?"

Jane mengiyakan.

Tunggu!

Sepertinya kita lupa poin pentingnya.

Kapten Juni, usia 32 tahun, mata sipit body oke dan muka tampan ini sedang berada di toko perlengkapan bayi, sudah menenteng sepasang sepatu yang terlihat amat kecil di telapak tangannya yang besar.

Dia sudah married? Sudah beranak?

Jane menatapi muka Juni dan sepatu ditangan pria itu bergantian. Dan tentu saja amat disadari oleh pria dewasa itu.

"Oh, ini. Maaf, buat kamu saja," kata Juni tak enak. Mengingat teriakan Jane kepadanya tadi. "Saya kalau sudah fokus pada satu hal maka cuma melihat satu itu saja. Em saya nggak ngeh kamu ternyata juga ingin sepatu ini, maaf."

"Eh," pekik Jane otomatis ketika sepatu kecil itu dijejalkan ke telapak tangannya.

Ternyata dalam wajah jenius sang kapten tersembunyi ketidak pekaan.

Memangnya tadi pandangan mata Jane bilang 'itu sepatu buat baby gue, balikin!' tidak kan? Ia lebih penasaran tentang 'lo udah bojoan? Udah ada buntut?!'

Jane tersenyum. "Terimakasih," balasnya.

Jane tentu tidak akan oh, untuk anak kapten saja, pasti lucu kalau pakai ini. Tidak semudah itu ferguso. Jane itu punya jiwa Slytherin, usil, ambisius, kalau ingin ya harus ada ditangan, dan...

"Kapten sudah menikah?"

... blak-blakan.

Juni terlihat mengerjap mata sebelum berdehem, gesturnya seperti orang salah tingkah.

"Saya kelihatan kayak bapak-bapak sekali ya?"

Daddyable lebih tepatnya. Sahut Jane dalam hati.

Pria itu tersenyum lagi, manis-manis yang ada di pipinya nampak lagi. Meneruskan kata-kata sebelumnya. "Tapi, meski muka saya kayak bapak-bapak, percaya nggak percaya, saya masih bujangan."

Jane langsung menggelengkan kepala. "Enggak kok, kapten ganteng dan emang keliatan masih bujangan."

"Oke, makasih," balas Juni sambil mengangguk-angguk.

"Tapi kok belanja kebutuhan bayi?"

Jiwa kepo Jane memang harusnya dipadamkan, apalagi mulutnya tidak pernah bisa dikunci kalau penasaran, ia ceriwis kalau ingin tau.

"Saya lagi tunggu pesanan, karena boring jadi saya lihat-lihat, trus sepatu ini lucu, jadi pengin beli."

Jane menganggukan kepala dengan mulut terbuka membentuk huruf o kecil. Poin penting sudah dikantongi. Kapten Juni belum sell out, Je.

"Kamu sendiri, belanja buat siapa?"

"Ini titipan teman saya. Saya suka buka jastip kalau tugas."

Kemudian terdengar bunyi ponsel, Juni langsung memeriksa smartphone miliknya. "Pesanan saya sudah selesai, saya harus ambil."

Jane tersenyum ramah. "Oke, terimakasih sepatunya dan hati-hati dijalan, kapten."

Menatapi punggung lebar Juni yang sudah menjauh tertelan jarak, Jane kemudian memandangi sepatu bayi yang ada ditangannya. Menghembuskan napas pelan sebelum berbalik menuju kasir.

Membawa dua paperbag berisi sepatu dan satu jaket bulu-bulu keluar gerai pakaian anak-anak tersebut.

Langkah Jane kemudian langsung memasuki pintu kaca yang berjarak dua toko dari yang sebelumnya.

Dua minggu lagi hari lamaran Serin dan sekaligus ulang tahun adiknya. Jane bahkan sudah diwanti-wanti harus bawa kado ketika pulang oleh bocah lemah lembut itu— bawa pacar juga.

Mata Jane langsung di manjakan oleh pernik menyilaukan, Swarovsky brand besar, Lili selalu pamer model perhiasan yang cantik dari brand ini, dan Jane memilih sebuah kalung sebagai kado untuk Serin.

Jane memindai etalase kaca didepannya. Mencari-cari kalung dengan liontin yang tidak terlalu besar, yang terkesan simpel tapi mampu mempercantik tampilan dengan komposisi pas.

"Satu dua kali itu kebetulan, yang ketiga, jangan lupa beri nomor handphone kamu ke saya."

Punggung Jane yang tengah menunduk seketika menegak.

Kenal betul suara ini. Beberapa menit lalu mereka bercakap-cakap.

"Lha?" Sahut Jane cengo. Menghadap pria yang tengah bersidakep dengan wajah santai, jika dilihat dari jarak sedekat ini, ternyata Jane baru sadar kalau bibir bawah Juni terbelah.

"Kenapa? Keberatan saya mintain nomor HP?"

Jane mengerjap polos. "Enggak juga, kapten minta sekarang pun bakal langsung saya kasih."

Juni terkekeh.

"Juni saja, miss Janela." Koreksi Juni waktu kekehan renyahnya mulai reda.

Mengangguk singkat Jane langsung membalas. "Jane saja, Juni."

Ekhem.

Susah memang.

Kalau flirting dengan pria dewasa, yang auranya mencorong, tutur katanya nyaman didengar dan tindak tanduk sopan, nyambung banget lagi. Huh, jadi ingin seriusan.

"What are you looking for?"

"Necklace."

"Yang seperti apa? Nanti saya bantu pilihkan."

Jane ikut melipat tangan di dada, dagunya terangkat jumawa.

"Makasih sebelumnya tapi kalau masalah pilih memilih hal-hal begini nggak ada yang bisa ngalahin saya deh kayaknya."

Kekehan renyah Juni terdengar lagi. "Oke, percaya kok. Jadi mau cari yang kayak apa?"

Jane memutar tubuh, kembali meneliti etalase bersih didepannya.

"Yang simple, sesimple mungkin," desis gadis itu.

Keduanya berdampingan, memilah perhiasan mana yang kiranya cantik untuk dibeli —meski semuanya cantik sih, jemari dua orang itu menunjuk-nunjuk isi etalase, sesekali saling pandang layaknya orang berdiskusi.

"I think this one is nice," opini Juni, menunjuk satu kalung dengan liontin tear drop yang kecil.

Jane mengangguk setuju. "Emm, itu cantik. Yang liontin daisy kecil itu juga bagus."

Juni bertanya kepada Jane apa mau melihat dulu lebih dekat dua kalung itu. Diiringi anggukan, suara husky Juni nyaring tertangkap rungu membuat Jane membelalak. Bukan karena suaranya teramat nyaring. Bukan, tapi Juni berbicara dengan bahasa Korea yang fasih, Jane tidak tau dia bicara apa namun Jane tau kata-kata Juni terlampau lancar.

Lili kalau dengar ini bisa pingsan.

"Kapten bisa ngomong Koreaan?" Tanya Jane antusias, bersamaan dengan itu satu pramuniaga wanita sudah mengeluarkan kalung dari etalase.

Juni terkekeh sedikit melihat raut wajah Jane. "Dikit."

Respon itu singkat, karena obrolan keduanya diinterupsi oleh salah satu pramuniaga.

Oke, Jane memang tidak bisa bahasa Korea.

Tapi setelah menonton lima judul drama. Selain kata; Debak, annyong, gomawo, sarangheyo. Jane juga tau kata; Sajangnim, bujangnim, depyonim.

Dan tadi embak-embak pramu itu bicara bawa-bawa kata depyonim. Depyonim artinya bos atau owner gitukan?

"Kamu pertimbangkan dulu diantara dua ini. Saya mau ketemu seseorang dulu sebentar," kata Juni setelah selesai berbicara dengan pramuniaga tadi. Sedangkan Jane masih sedikit tak percaya, hingga ia cuma mengangguk kaku.

Seraya melihat punggung Juni berlalu memasuki pintu dengan tulisan only staff itu Jane langsung meraih smartphone-nya, mengetik pesan kilat kepada Lili.

'Hot news! Hot news weh!'

'Awas kalo berita dari lo nggak hot menurut gua.'

'Juni bisa ngomong bahasa Korea.'

Balas Jane dengan ketikan cepat. Lalu dia mengangguk ramah pada pramuniaga yang dari tadi menemaninya.

'Juni sapa?'

'Juni pilot kita? Kapten Juni??!'

Dua pesan beruntut itu hanya dibaca. Jane kembali memasukan ponselnya kedalam tas, bermaksud segera memilah kalung agar dia bisa cepat pulang karena tanpa terasa hari sudah sore.

Liontin yang dipilihkan Juni tadi bagus, tapi dia juga suka liontin bunga daisy kecil yang dipilihnya.

"Mom, don't do this..." samar-samar rungu Jane mendengar kalimat rengekan yang membuatnya segera memutar kepala.

Seorang wanita yang berusia sekitar setengah abad dengan gaun hitam selutut juga bergaya rambut lurus mengembang dibagian atas itu terlihat sumringah melangkah kearahnya.

Eh—

Kearahnya?

Jane melotot.

Tatapan matanya kemudian beralih kebelakang wanita cantik itu, ada Juni yang berdiri dengan dahi berkerut.

"Cantik loh, Jun. Kenapa disembunyiin segala," wanita yang Jane yakini adalah ibu Juni ini beropini, menggunakan bahasa Indonesia yang fasih.

Pujian itu untuk Jane, kan?

Dugaan Jane saat ini, Juni itu anak blasteran Indo Korea.

"Oh, selamat sore," pekik Jane pelan ketika sadar ia masih dipandangi dengan antusias.

"Hai cantik, namamu siapa?"

Juni terlihat salah tingkah. Gestur kaku pria itu ketika mengacak rambutnya pelan serta mata yang agak menghindari Jane itu jadi tanda mutlaknya.

"Janela, Bu. Kebetulan saya pramugari di maskapai yang sama dengan kapten Juni." Balas Jane, jemarinya terulur menyalami uluran tangan ibu Juni.

"Saya Arin ibunya Sejuni. Kamu cantik, yang langgeng ya sama Juni, saya pengen dia cepet-cepet sold out."

Netra Jane kembali membola ketika mendengar kalimat itu. Sedangkan Juni sedikit panik menegur ibunya agar tidak bicara macam-macam.

"Juni gimana kalo bawa motor mabur? Gak ugal-ugalan kan? Saya sebenarnya nggak suka dia itu jadi pilot, wong nerbangin drone aja langsung terjun bebas. Juni tuh ceroboh bingit anaknya."

Jane meringis kikuk, pesawat bisa laju ugal-ugalan kah? Salip-menyalip sama awan kah? Jane mengikuti saja ketika Arin merangkulnya dibawa berjalan.

"Tapi dia emang lahir buat nerbangin burung besi, pilot pertama di keluarga besar, jadi meski saudaranya takut naik pesawat Juni-nya malah exited buat terbang."

Aduh kalung buat Serin gimana nasibnya itu. Jane sesekali mengangguk menanggapi curhatan Arin tentang anak-anaknya.

"Kamu kok kelihatannya masih muda benget, usiamu berapa Jane?"

"Mom..."

"Dua delapan, Bu."

"Mau bicara sebentar?" Tawar Arin tanpa mempedulikan teguran ecek-ecek dari belakang tubuhnya.

Sebelum Jane berhasil membuka mulut menjawab, suara Juni lebih dulu menyahut. "Sudah sore, mom. Jane pasti juga lelah seharian memutari Lotte."

Arin mengambil satu langkah lebih dekat, matanya terlihat sedih. "Kamu capek? Padahal mommy kan cuma pengen tau kalian ketemunya gimana, pacarannya gimana, yang nembak duluan sia—"

"Sudah pilih kalungnya?" Kalimat Arin terpotong karena Juni menanyakan itu pada Jane yang dari tadi diam saja.

Jane mengangguk pelan. Sedikit canggung. "Em, yang tear drop."

Lalu Juni memerintah satu pramu untuk mengurus pembelian kalung itu, dan Jane langsung digiring ke kasir, telinganya bahkan ditutup-tutupi agar tidak mendengar kata-kata lanjutan dari Arin yang nyatanya masih bisa terdengar sangat jelas oleh Jane.

Jane sempat menunduk sopan pada Arin ketika Juni kembali menggiringnya keluar Swarovsky setelah selesai mengurus pembayaran, satu pramuniaga bahkan tergopoh-gopoh menyusulkan barang belanjaan Jane yang dititipkan.

"Saya antar ya. Mess pramugari Permata di Heathmoon kan?"

Jane mengangguk dengan senang hati, lalu memasuki mobil sport dua pintu berwarna biru tua setelah Juni duduk di kursi kemudi. Maria memang punya beberapa Lamborghini, dan Jane langganan naik, tetapi sepertinya Jane belum pernah lihat yang sama kayak milik Juni.

"Saya nggak enak sama Bu Arin," ucap Jane ketika kereta roda empat yang ditunggangi melaju membelah jalanan.

"Kenapa?"

"Ya kan lagi diajak ngobrol malah pergi," sahut Jane tak enak. "Kapten sih, narik-narik saya."

Senyum geli terbit diwajah Juni. "Emang kamu mau ditodong pertanyaan tentang jadian sama saya? Kamu baru dibilang buat langgeng aja udah pucet."

Jane langsung mencebik sebal. "Kapten jomblo banget ya?"

"Hei, kata-kata kamu itu menyinggung lho, Jane."

Jane terkikik pelan.

Tapi sebentar, Jane mencoba mengingat-ingat hal yang pernah didengarnya dari berita tentang Swarovsky.

Jane menoleh cepat kearah Juni yang tengah fokus menyetir.

"Bukannya owner Swarovsky itu istrinya yang punya hyunday ya?" Jane bertanya dengan nada pelan ada ketakutan dan ngeri juga.

Iya, hyunday yang itu, perusahaan otomotif terkenal itu, yang produknya lalu lalang tengah melintas disamping mobil yang sedang ditunggangi Jane sekarang.

Juni sedikit berdehem, membuang pandangan kesamping. "Iya."

Hell!

Jeje targetmu kastanya terlalu tinggi untuk kamu yang kentang magel!!

"Tapi kok kapten jadi pilot?"

Kening Juni mengerut tipis. "Emang kenapa kalo saya jadi pilot?"

"Bukannya di drama, anak-anak konglomerat suka meneruskan bisnis orang tuanya? Apa cuma di drama aja?"

Kekehan renyah Juni terdengar lagi. "Bener kok, kakak saya yang mengambil alih Hyunday. Dia memang punya passion dan bakat di bisnis. Kalo saya, pengen jadi pilot dari SMP."

Ohh, jadi Juni punya kakak.

"Kalau kamu?"

"Hm?" Jane memggumam kecil.

Juni melirik sekilas. "Keberatan kalau saya tanya tentang keluarga kamu?"

Ya amplop, sumpah ini demi alex. Jane jadi cengar-cengir tidak jelas, hatinya bersorak mengekspektasi kemungkinan bahwa Juni sedikit menaruh perhatian padanya. Harus selalu tanya banget ya?

"Gak ada yang istimewa dari saya," jawab Jane seadanya. "Bapak saya polisi yang akan pensiun satu tahun lagi dan Mama saya cuma ibu-ibu aja."

"Ibu rumah tangga?"

Gelengan tegas dilayangkan Jane. "Ibu-ibu doang. Mama saya gak pernah masak, nyuci apalagi, no mengerjakan pekerjaan rumah. Tugasnya marahin saya sama adek kalo bandel."

"Kamu juga begitu dong?"

"Begitu gimana?"

"Nanti kalau sudah menikah bakal jadi ibu-ibu saja."

"Ehei. Enggak dong, saya ringsung begini kalau memang sudah menyetujui komitmen maka oke—get it. Ngurus suami, anak, masak, nyuci semuanya."

"Diantara banyaknya perempuan yang lagi kepayahan dengan kesetaraan gender dengan ingin tetap kerja, kamu malah pengen dirumah aja?"

"Emang tadi saya bilang dirumah aja, Jun? Kan, ngurus suami anak sama rumah, kalo selesai ya me time dungs."

Juni terkekeh mendengar jawaban Jane. "Enggak pengen kerja?"

Jane menggeleng. "Belum ada job yang saya inginkan selain pramugari, dan tetap jadi flight attendant setelah married bukan pilihan saya. Enggak tau nanti. Jadi, gitulah."

"That's nice." Juni menganggukan kepala sekali lagi. "Kamu belum makan, kan? Makan malam dulu mau?"

Juni menanyakan itu saat sudah membelokan mobilnya memasuki restoran berlantai tiga, jadi jawaban Jane tidak diperlukan. Lagipula, dia memang sedikit lapar.

Sebelumnya Jane belum pernah merasa tersisihkan kalau menyangkut fashion. Tetapi malam ini, Jane mengakui kalau bajunya tidak cocok dengan cahaya lilin, lampu kristal dan juga meja mewah di restoran yang baru dimasukinya.

Mereka memesan carbonara untuk Juni dan juga chicken salad untuk Jane yang sedang diet, sebenarnya hari ini sedang cheating, ofcorse, siapa yang mau diet dinegara orang yang terkenal dengan kuliner luar biasa ini? Tetapi cheating day bukan berarti Jane bisa makan semua hal yang jelas-jelas kurang baik untuk program dietnya.

Jane mungkin sudah pernah bilang, namun ia ingin mengulang satu kali lagi. Juni pribadi yang amat nyaman.

Sepanjang jalan pulang mereka berbicara hal-hal menarik, tidak terlalu menggebu memang namun cukup untuk mengisi kekosongan.

Dan tidak lama mereka sampai di Heathmoon, Jane tidak mungkin mengajak Juni ikut masuk bertamu sedangkan didalam mess itu ada banyak teman-teman pramugarinya.

"Makasih, Juni."

Jane membungkuk pada jendela mobil yang terbuka, ia tersenyum ketika Juni dengan ramah membalas lambaian tangan. "Sampai jumpa besok."

Maka dengan langkah antusias, bersama lima kantong belanja ditangan Jane memasuki apartemen. Mengubah judul hari ini dari shoping melelahkan menjadi one fine day with new gebetan.

Jane memasuki lift bersama satu orang lelaki paruh baya. Bapak-bapak itu menekan angka tiga belas sebelum bertanya lantai berapa Jane akan pergi, setelah mengatakan lima belas Jane kembali pada dirinya yang tengah kasmaran.

Ting!

Pintu lift terbuka, di lantai tiga belas bapak itu keluar.

Pintu lift hampir saja menutup, namun Jane sempat mendongak dan matanya melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat.

Jane langsung menahan pintu agar tetap terbuka.

Disalah satu pintu unit disana, ada seorang pria yang tengah berpelukan dan dikecup pipinya oleh perempuan berpakaian seksi.

Jantung Jane rasanya jatuh ke perut, dan itu berhasil membuatnya merasakan mual yang amat parah.

Bukan, bukan karena kecupan atau pelukan yang terjadi pada pukul sepuluh ini. Tetapi ia tau betul siapa lelaki yang memakai kaos dan celana pendek dengan rambut acak-acakan tadi.

Theo.

Dan perempuan yang sedang melenggang kearahnya untuk memasuki lift itu jelas bukan Karina.

Tentu saja, Theo melihatnya. Pria itu menyadari kehadiran Jane waktu dia mengikuti arah berjalan sang wanita yang baru dipakai.

Theo menatapnya datar, seperti biasa, sedangkan Jane? Jangan tanya seberapa mual dirinya menjadi saksi perselingkuhan ini.

Jane melepaskan tangan, membiarkan pintu tertutup ketika wanita tadi sudah memasuki lift, mereka saling pandang sampai tidak ada lagi celah terbuka diantara pintu lift.

Lalu hanya beberapa detik Jane sudah sampai di lantai ia menginap.

Inilah alasan kenapa Jane hanya flirting saja tanpa mau serius pada laki-laki yang menurutnya menawan.

Laki-laki itu kalau nggak bajingan berarti homo!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
curiga Theo dimana mana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status