Share

Awal dari penyesalan

'jangan ngadi-ngadi, lo tau apa kalimat terkenal dinegara kita ini kan? Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan!'

Dari sambungan telepon antar negara itu celoteh nyolot tetap dilayangkan Maria. Setelah mendengar dengan pesan singkat dari Jane yang berbunyi: Theo laki bangsat, awas lo kalo tetep jodoh-jodohin gue.

Sedangkan Jane? Semua yang dikatakannya nyata. Dia tidak sedang mengarang. Jadi bersamaan jemari lentiknya membenahi tatanan rambut dan gaun tipis berwarna merah yang menantang dengan potongan dada rendah itu Jane cuma memutar mata.

"Mata gue gak buta, burem aja nggak! Jadi gak perlu meragukan fitnah atau nggak, gue saksinya!"

Jane mengimpit ponsel diantara pundak dan telinga, dia mencuci tangan.

'mata bisa dipercaya kalo kuping lo juga bisa dengar penjelasannya. Kalo enggak? Misunderstanding!'

Susah memang kalau berdiskusi dengan orang yang sudah memilih kubu.

Mata berpoles make up cantik elegan itu memicing sebal. Bibirnya mengerucut tak terima. Lama-lama emosi juga. "Serah kalo enggak percaya juga! Bodo amat! Gue mau party."

'Heh! Awas kalo pulang-pulang bunting!'

Tanpa menghiraukan kalimat terakhir Maria, Jane segera memencet icon berwarna merah setelah mengatakan satu kata. "Bye!"

Jane membawa kakinya melangkah keluar dari toilet salah satu club ternama di Korea— Glorry Night. Menuju kembali tempat para manusia berpesta tanpa pikir esok atau detik-detik kedepan.

Bersama musik memekak telinga dan juga lampu kelap kelip tak beraturan menjatuhinya Jane mendekati tangan kurus yang sedang melambai dari lingkaran sana.

Lili menepuk kursi sebelah kirinya. Agar Jane duduk disofa empuk yang bisa terisi tiga orang, disebelah kanan wanita itu ada Jay yang tengah meneguk minuman.

"Pake outer gue deh, ngeri sama tatapan para batangan ke lo."

Tatapan mata Jane langsung tajam berbicara; emang gara-gara siapa gue jadi make baju begini!

Baju merah yang dipakai Jane ini kepunyaan Lili by the way, mereka memang sudah ada niatan klubing di club yang terkenal seantero Asia sejak masih di pesawat. Tetapi, gara-gara pawang Lili datang, rencana mereka amburadul. Lili pun panik, minta bertukar Fashion bitches yang sudah mereka siapkan dari rumah.

Dan sialnya Jane hanya membawa jumlah baju pas untuk digunakan sampai malam ini saja.

"Jangan sampai kobam apalagi ONS, besok terbang jam delapan."

Jane menyelampirkan blazer Lili kebadannya. Dia pun menatapi setelan chanel yang tengah dipakai Lili— miliknya sengaja dibawa dari rumah untuk malam ini. Huh!

"Ntar gue ganti deh bajunya!" Ujar Lili setengah berteriak, yang peka akan tatapan Jane pada dirinya.

Jane mencebik malas. "Harus! Itu baru loh! Gue udah gak boleh belanja sama nyokap!"

Dan lagi-lagi Lili melayangkan jemari membundar tanda oke. "Tapi Jane, lo seksi mampus pake tuh baju,"

"Titisan Aphrodite!" Sekarang Jay ikut-ikutan nyambung pembicaraan mereka.

"Lebih malah." Timpal Lili menyetujui.

Jane disamakan dengan Dewi percintaan dan gairah yang menurutnya lebih mirip cabe-cabean itu? Nggak mau lah, Iya sih Aphrodite selalu dielu-elukan sebagai simbol kecantikan dan keanggunan, seksi, bergairah, tetapi menurut Jane dari setiap cerita yang didengarnya, Aphrodite yang mengkhianati Hepaistus yang kurang sempurna, berselingkuh dengan Ares dan beberapa dewa lainnya tidak perlu dikagumi sejauh itu.

"Gue lebih suka Artemis!" Sahut Jane, sambil mengedarkan pandangan kearah orang-orang yang sedang menggerakkan tubuh di lantai dansa.

"Mau turun?"

Jane menggeleng. Ia tidak mau turun ke lantai dansa, terlebih lagi dengan pakaian ini. Tidak berminat merealisasikan perkiraan ada tangan yang nakal menjamah pahanya lalu merambat naik lebih keatas. Jane sudah pernah mengalami itu, dan percayalah itu sangat buruk.

Jane juga yakin Lili tidak akan diperbolehkan turun oleh Jay.

Dan mereka cuma duduk-duduk santai sambil menggosip, sesekali mengangkat gelas meneguk arak mahal yang sudah dipesan.

"Main yuk, boring banget!" Jay menggerutu, laki-laki bertato disepanjang lengan itu menyugar rambut kasar.

Jane memutar mata ketika matanya melihat Lili meringsek lebih dekat kearah pejantan itu. Berbisik. "Main apa?"

Dia jadi kambing congek lagi.

"Truth or drink."

Jane memutar mata. Permainan bocah abg.

Gelengan manja dilayangkan si betina. "Aku sama Jane flight pagi-pagi banget. Gak boleh mabuk."

Jay menunduk, mengecup bibir Lili yang otomatis mengerucut itu. "Nanti aku yang minum, honey."

Sumpah, Jane pengen muntah.

Jane meraih gelas koktail miliknya, seakan minum alkohol buah bisa meredakan mual. "Pen gumoh gue liat lu berdua, dasar jamet."

Sudah terbiasa dengan celetukan judes yang bernada bosan Lili dan Jay tertawa puas.

"Cari cowok makanya. Cantik-cantik gak berpawang," sahut Jay tidak pakai akhlak.

"Dia lagi deket sama pilot baru tau, ganteng banget lagi."

Eh jadi ingat Juni. Jane menyibak rambutnya sombong menerangkan seterang-terangnya; gue laku.

"Ganteng? Banget??" Telisik Jay.

"Iya."

"Jangan main mata, honey."

Lagi-lagi Jane meneguk koktail yang kelihatan masih utuh di gelasnya. Laki-laki memang selalu posesif, kan? Padahal dari tadi Jay menyebut Jane dengan kata cantik lah Aphrodite lah, Lili biasa-biasa saja. Perempuan itu lebih make sanse soal cemburu.

Jane melirik sekilas Lili yang tergagap menghadapi tatapan tajam suaminya. "Eh— ng-enggak. Gebetan Jane kok."

"Trus gebetan Jane ganteng menurut kamu?"

Melihat suasana yang semakin memanas Jane senang-senang saja menonton, teringin pesan pop corn malah, sebenarnya—sudah lama ia tidak melihat lovey dovey ini bertengkar, tetapi cahaya mata Lili seperti minta pertolongan padanya, jadi Jane langsung meraih botol beling kosong, meletakkan horisontal ditengah meja.

"Heh! Udah-udah, ayok katanya main."

Laser tajam masih keluar dari tatapan mata Jay. Sebelum kemudian pria bertato tapi imut itu merogoh kantong celananya kepayahan. "Bentar, temen gue udah didepan."

Jane melengos santai, jemarinya meraih ponsel. Menilik apakah ada pesan penting masuk.

"Dia temen SMA sekaligus arsitek baru di perusahaan Jay. Kata Jay design dia beyond imagination dan JY company menang tender hari ini makanya Jay ngadain party." Lili berujar keras. Jane tak urung mengerutkan kening, perasaannya tiba-tiba tak enak. Apalagi saat Lili mendekat kearahnya membisikan kalimat nakal ditelinga. "Dia Seksi mampus. Tipe lo banget."

Jane mendengarkan. Namun pandangannya masih menunduk pada benda pipih pintar digenggaman.

"Hei, bro!" Jane bisa dengar teriakan Jay yang keras itu. Lalu aroma musk berpadu citrus menyeruak penciumannya menggantikan aroma alkohol dan asap rokok. "Udah kelar urusan lo?"

Basa-basi lama yang mereka lakukan tak juga membuat Jane mengangkat muka. Sialan. Harusnya benar tadi dirumah saja. Dugaannya tentang perasaan tak enak selalu benar, Jane bahkan meminta kalau kali ini ia salah.

"Ini Jane, temen istri gue."

Jane tetap pada posisi yang sama, cuma melirik pada pribadi yang berbalut kemeja navy itu sekilas. Lalu melanjutkan scroll I*******m yang cuma berisi berita hot tentang pelakor lokal.

"Jane, jangan main HP mulu," tegur Lili menyenggol lengan atasnya.

Dan Jane mengabaikan, namun bukan Lili namanya kalau tidak rese, Lili tak mau berhenti sampai akhirnya Jane mendecak sebal. Apalagi ketika aroma musk itu menjadi lebih pekat, dan si arsitek beyond imagination dari bikini buttom ini duduk di kursi tunggal didepan Jane.

"Saya Theo," ujar lelaki itu seraya mengulurkan tangan.

Jane pernah menjabat tangan hangat itu satu kali. Dan ia tidak ingin lagi. Jane hanya memandangi wajah Theo dengan raut datar, gak minat. Tak mengindahkan uluran tangan besar laki-laki itu.

"Eh Jane, dia juga tinggal di komplek perumahan lo tau." Jay berseru lagi, mungkin belum sadar akan atmosfir dua orang ini yang kurang baik.

"Masa?" Jane memekik dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat, kemudian mata cantiknya kembali melirik Theo sinis. "Tetangga gue gak ada yang pelihara buaya perasaan."

Provokasi terang-terangan yang dilakukan Jane ditanggapi delikan mata oleh semua yang ada, cuma Theo yang bertahan dengan ekspresi dingin khas miliknya.

Canggung disana pecah ketika tawa renyah dari bibir Jay mengudara. "Te, gila! Mata lo biasa bae ngeliatnya, dia langsung tau kalo lo buaya, anjirr."

Theo setia diam. Raut mukanya masih sama. Dan netra hitam kelam pria itu pun masih setia mengintimidasi Jane.

Lili yang sedikit banyak memahami situasi lekas-lekas berseru. "Jay udah, katanya main."

Mereka berempat duduk mengitari meja. Satu botol beling diputar oleh Jane setelah mereka bermain rock paper scissors.

Dan ketika putaran botol itu berhenti, dengan moncong mengarah pada perempuan langsing disampingnya, Jane langsung menerbitkan senyum jahil. Dia tau cara yang bagus buat mengurangi stress.

"Lo ada unek-unek buat pramugari senior— Desi?" Pertanyaan Jane disambut anggukan antusias. Jemari lentik gadis itupun segera menutup dua lubang telinga karena sudah pasti, otomatis dan jelas kalau Lili akan memaki-maki dengan suara keras.

"Desi muka lo kayak kodok! Lo sodara carberus anjing kepala tiga! Tetek lo kecil, so dada gak usah di busung-busungin! Lu Medusa! Lu nagini! Lu anjing!" Lili berhenti sebentar kemudian menatap Jane yang tersenyum geli. Lalu dua wanita itu berteriak berbarengan. "Gue sumpahin lu jadi prawan tua!"

Setelah selesai dengan kalimatnya mereka berdua terbahak-bahak.

Sampai-sampai Jay menyenggol pelan Theo, berkata; biasa begini mereka, cewek kalo udah dendam itu nauzubillah.

Kemudian botol alkohol itu diputar lagi. Beberapa kali mengarah pada Jay dan Lili yang setia mengorek hubungan percintaan masa lalu yang sudah pasti mampu mengundang kecemburuan. Manusia memang begitu, sudah tau bisa berpotensi ribut, tetap dilakukan.

Hingga akhirnya botol yang diputar Jane kini mengarah pada Theo. Laki-laki yang dari tadi diam tanpa kata atau gumaman sama sekali.

Jane mengerjap pelan. Sudut bibirnya terangkat menciptakan seringai seksi.

"Ilang perjaka umur berapa?"

Slytherin berulah lagi.

Theo masih menatap Jane intens. Tanpa memutus pandangan, pria itu meraih gelas alkohol dan meneguknya kasar. Menolak menjawab.

Membuat Jane mendengkus. Pasti crocodile dari bikini buttom ini lupa saking seringnya keluar masuk lubang holy.

Jane benar-benar ingin mencolok mata Theo yang dari tadi menatapnya tak putus-putus, bahkan ketika Jane ngobrol dengan Lili atau sedang melakukan hal lain Theo terang-terangan memperhatikan gerak-gerik Jane.

Permainan dilanjutkan. Theo memutar botol, Jane sedikit melirik kearah meja, berharap botol itu tidak berhenti pada dirinya. Namun sial, Dewi Fortuna atau mungkin Aphrodite sedang marah padanya karena sebelum ini dia mengatai Dewi sensual itu dengan kata cabe-cabean. Botolnya berhenti pada Jane. Dua orang disana melakukan seremoni kecil dengan bersorak kegirangan.

"Hilang prawan umur berapa?"

Jane mengumpat dalam hati. Matanya mengibarkan permusuhan. Pertanyaannya dikembalikan.

Jay bersiul. Sedangkan Lili juga meringsek kearahnya ingin tau.

Hal pribadi tidak boleh disebarkan seenak jidat—itu menurut Jane, namun meminum alkohol juga ide yang buruk karena toleransi tubuhnya pada minuman beralkohol sangat minim. Apalagi besok ia harus kembali ke Indonesia pagi-pagi sekali.

Persetan!

Jane meraih gelas kecil diatas meja. Meneguk cairan bening itu dengan kasar hingga mengalir satu aliran dari sudut bibirnya yang bergincu.

"Aahh!!" Pejaman mata langsung datang, dahi Jane berkerut merasakan panas yang mendera kerongkongannya, bolak-balik ia mendesah, memejam lalu membuka mata, tangannya bahkan meraih leher yang serasa tercekat, Jane menyandarkan punggungnya kesofa hingga dirasa panas pada tubuhnya mereda.

Jane menegakan punggung sambil melepas blazer yang melingkupinya, ia merasa risih dan panas, membiarkan kulit terang yang kontras dengan pakaian merah itu terjamah mata manusia disekitar.

Alkohol macam apa ini! Keras sekali. Jane tidak yakin ia bisa kalau harus meminum ini lagi. Ia bisa mabuk.

"Lo mau bunuh gue ya! Bangke! Alkoholnya berapa persen!" Selak Jane dengan raut kesakitan.

Kekehan rendah dilayangkan Jay. "Itu rendah banget. Biasanya gue sama Theo battle pake yang tiga kali lipat dari ini."

"Mereka kuat banget minum. Keren nggak?" Kata Lili sembari mengusap-usap punggung Jane, mencoba menenangkan Jane yang terlihat seperti habis meneguk sianida.

"Apanya yang keren! Tua nanti bakal penyakitan aja bangga!"

Kini giliran Jane memutar botolnya. Pokoknya dia akan balas dendam. Botol ini harus berhenti pada Theo, batin Jane sebelum menggerakkan jemari diatas botol itu.

Dan terimakasih Artemis!

Jane bersidakep. Memandang Theo dengan nyalang. "Lo bajingan tukang selingkuh, jangan pernah ajak gue ngomong lagi."

"Itu bukan pertanyaan." Untuk kali pertama Theo berbicara setelah perkenalan basa-basi mereka diawal.

Jane mendengkus.

"Lo udah sex sama berapa cewek?"

Shit! Umpatan itu disusul gelakan tawa renyah milik Jay. Mungkin merasa lucu dengan situasi dimana teman lelaki yang sedatar papan triplek ini dicekoki pertanyaan-pertanyaan pribadi yang menggelikan.

Jane mendengkus ketika jemari besar Theo meraih gelas kaca dimeja untuk kesekian kali, menolak memberi jawaban. Pria itu bahkan masih fokus pada Jane, menegak alkohol keras seakan itu susu stroberi. Dan Jane jadi ingin mengirisnya tipis-tipis, permainan ini tidak menguntungkan untuk dirinya.

Ketika jemari Theo meraih botol untuk diputar Jane memekik dengan nada pelan, tubuhnya lemas, dan matanya ingin terpejam saja.

"Gue udahan!" Bersamaan dengan itu, botol tadi berhenti mengarah padanya.

"Sudah pernah sex dengan berapa lelaki?"

Laki-laki itu tak mengindahkan ucapan Jane.

Nyatanya Theo masih ingin mendengar jawaban gadis itu. Bertanya dengan nada yang santai. Namun pancaran matanya nakal, entah ini cuma perasaan Jane yang hampir mabuk atau memang Theo menatapnya demikian.

"Lima," Jane membalas berani. Berapa lelaki yang pernah memasukinya? Jemari lentik Jane menyibak rambut kebelakang. "... belas."

Sekarang untuk pertama kalinya Jane melihat Theo menyeringai.

"Jay, kalau dia memilih truth tapi berbohong hukumannya apa?"

Pertanyaan Theo membuat Jane menyirit dalam. Mau apa sebenarnya laki-laki ini. Lili mengerti situasinya, ia bahkan peka, kalau Jane dan Theo sudah pernah bertemu sebelum ini dari isi percakapan mereka barusan, apalagi Jane bukan orang yang gampang sengit pada orang lain, Theo pasti melakukan kesalahan sampai-sampai Jane menganggap lelaki itu musuh.

"Jay—"

Jay memotong panggilan Lili. "Dia harus ngelakuin permintaan lo."

Theo kembali menatap Jane intens. Dan Jane tak takut untuk membalas sama intensnya.

"Cium saya."

Whats?

Mata Jane membesar. Kepalanya menggeleng spontan. Theo ini lama-lama menakutkan, tidak waras.

"Gue nggak bohong!"

"Kalau kamu memang pernah ditiduri lima belas pria, saya yakin ciuman bukan hal besar."

Jane mendecih remeh. Tak percaya dengan apa yang telinganya dengar. Mengabaikan debaran jantungnya sendiri yang sudah menggila berpura-pura tenang padahal ia ingin minggat tenggelam dalam rawa-rawa, matanya memicing sengit.

"Oh, jadi gara-gara ini lo diem dari tadi? Sange?" Sinis Jane, tangannya terlipat di dada.

"Jay—"

Meski pelan, Jane mendengar Lili menyerukan kalimat itu, berharap Jay menghentikan suasana serius mencekam yang melingkupi mereka. Namun Jay diam saja, menggeleng kecil kode agar tidak mengganggu.

"Saya cuma mengikuti permainan yang kamu mulai." Theo membalas tenang.

Jane menyeringai, permainan dia bilang? Oke kita liat siapa yang bakal menang.

Pelan-pelan dia mengambil gelas berisi alkohol hukuman lalu diteguknya sembari menatap Theo tanpa berkedip.

"Lo mau gue cium?"

Gadis itu menaikan lutut putihnya pada meja yang penuh botol, merangkak hingga satu tangannya menopang diri diantara paha Theo yang terbuka dan satunya lagi bertengger di paha keras Theo. Merasakan napas beraroma arak milik orang lain diwajahnya.

Mata mereka bersibobrok tanpa ada yang mau mengalah. Tajam dan dalam.

"Like what, hm?" Kata Jane lirih seraya memandangi mata dan bibir tipis Theo bergantian.

Lalu tanpa menunggu respon dengan amat pelan Jane mengecup sensual bibir dingin sang lelaki. Hingga bunyi basah terdengar telinga keduanya.

Jane masih menatap Theo dengan pandangan sayu, pening mulai mendera kepala dan juga ia benar-benar ingin terpejam.

"Like that? Hm?" Jane melirih lagi, matanya sedikit sulit terbuka. "Okay."

Dan untuk kedua kali Jane mengecup bibir dingin lelaki itu, jemari lentiknya meremas paha keras yang menjadi tumpuan, bibir bergincu itu menekannya singkat lalu turun melintas rahang hingga meringsak mengecup basah leher kaku yang sedari tadi menyulut emosinya.

"Terus? Mau lanjut?" Jane sedikit mendesah, panas alkohol dilehernya merayap merampas sisa jiwa yang waras.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Theo aslinya dah panas dingin nahan wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status