Share

Nightmare (18+)

"Eh eh, apa lu, hah!? Jangan dekat-dekat. Lilili! Ini hik gue mao dicaplok buaya hik tolongin!"

Pekikan histeris bernada sumbang dan tak jelas itu tiba-tiba diserukan.

"Turunin gue! Biar gue diculik Massimo dan bikin gue jatuh cinta."

Supir mobil suv yang sedari tadi hening fokus menyetir juga sekilas melirik kearah wanita bergaun merah yang tengah mengais-ngais jendela mobil dengan tenaga secuil.

Mengigau.

Karena mabuk.

Rambut panjang lurusnya kian kusut, pipi sang gadis merona sempurna, efek alkohol, Jane merengek kecil. Kepalanya berputar dan seluruh isi perutnya bergejolak, apalagi tenggorokannya terasa panas.

Tentu saja, lagian siapa yang tidak akan kobam begitu? Setelah benar-benar memberi kecupan untuk permintaan main-main yang diberikan Theo, pramugari jelita itu kembali meneguk dua gelas arak keras.

Dan alasan kenapa dia bisa pulang dengan Theo?

Si sialan Jay ingin membawa istrinya pulang ke hotel tempatnya menginap, dan pertanyaan 'apartmen lo di heathmoon kan?' Dari Jay menjadi kan Theo tidak dapat menolak, ia tau otak si bengal itu.

Jane meraih botol minuman mineral yang isinya tinggal separuh, membuka tutup sambil menutup mata lalu ditegaknya secara tidak sabar air itu. Kemudian kembali tertidur.

Si pemilik suv dan juga air putih itu diam saja. Hanya sesekali menoleh, menghembuskan napas pelan. Memarkirkan mobilnya sebelum suara kembali terdengar bersamaan dengan tangannya mematikan mesin mobil.

"Lu mau jadiin gue Dakyung versi low budget?"

Theo mengerjap dua kali.

Seratus persen tidak mengerti arti dari kalimat yang ditanyakan tetangganya itu sekaligus bertanya-tanya kapan gadis ini bagun.

"Sudah sampai, turun, saya antar sampai unit kamu."

Theo melepas sabuk pengaman miliknya, hendak turun, namun melihat Jane yang tidak kunjung bergerak dan setia menatapnya sinis Theo mengeluarkan helaan napas lagi, keluar dari mobil, lalu berjalan membuka pintu penumpang.

Theo membuka sambuk pengaman Jane. Membantu gadis yang sudah sempoyongan itu keluar mobilnya.

"Jangan pegang-pegang!" Selak Jane garang, suaranya sengau.

"Tidak akan, kalau kamu langsung turun waktu saya bilang turun," balas Theo santai sembari menyambar blazer hitam yang tergolek kusut dikursi mobilnya, lalu menyampirkan blazer itu ke bahu Jane, dan menjejalkan siletto tinggi pada jemari milik gadis itu.

Setelahnya Theo melangkah. Menekan kunci mobil tanpa menoleh kebelakang.

Lalu derap langkah kecil terdengar dibelakangnya, dan terasa agak jauh, membuat Theo ikut memelankan langkah namun tidak berhenti.

Hingga sampai di elevator Theo menunggu Jane yang masih tertinggal, menahan pintu lift agar tetap terbuka.

Ketika melihat Theo ternyata menungguinya Jane mendecak, tangannya garuk-garuk kepala seraya memasuki lift.

Dan jemari panjang Theo langsung menekan angka lima belas. Lantai unit mes pramugari Jane berada.

Jane tidak putus menatapi pria dewasa berkemeja navy itu, bukankah dia terlalu santai? Sok cool, datar, tidak peduli dan juga tampan? Sumpah meski sudah tau seberapa brengsek Theo tapi Jane masih menganggap pria itu rupawan?

Merasa dipandangi, Theo melirik gadis yang tengah bersandar dengan lengan terlipat dipojok lift.

"Lo jangan macem-macem sama gue ya, bapak gue polisi! Eyang gue TNI, kalo gak mau ditembak jauh-jauh lo."

Dan Theo langsung menghadap depan kembali tanpa terusik. Memangnya siapa yang akan peduli dengan omongan gadis mabuk.

Jane mendecak kembali, mata sipit yang setengah terbuka itu terus saja kelihatan sinis.

"Lo mending beli treadmil, sebelum diprotes warga. Tau nggak? Lo seksi mampus kalo lagi jogging."

Theo lagi-lagi tak menjawab kata-kata itu. Menjejalkan tangan ke saku celana lalu.

"Gua juga seksi. Makanya gak boleh jogging keliling komplek." Suara dan perkataan Jane makin terdengar tak jelas.

Gadis bermata sipit itu menggaruk-garuk kepala.

"Eh iya, lo ada teman cowok gak? Emm yang bening."

Tanpa melirik Theo menyahut pelan. "Bihun?"

Jane mengerjap macam orang bodoh. "Boleh, sini minta nomor hapenya, buat nemenin ke tunangan adek- ish!" Jemari lentiknya dibawa berkeliling tubuh sendiri. "Hape gue mana, sih!"

Mendengar itu Theo langsung menoleh, menatap sekilas gadis yang tengah sibuk menggerayangi diri sendiri seakan ada kantong besar digaun tipis yang ia kenakan.

Handphone Jane pasti tertinggal di mobilnya.

"God bless my sexy brain!" Pekikan Jane terdengar seperti orang mendapat Ilham. Wajah yang separuhnya tertutup rambut itu mendongak. "Bicep! Lo belom balikin mangkok gue."

Bersamaan dengan helaan napas yang sudah entah keberapa kalinya Theo keluarkan itu pintu lift terbuka.

Dan Theo menarik pergelangan tangan Jane yang malah diam saja. Dibawa keluar lift, kemudian Theo berkata. "Masuk dulu. Nanti saya ambilkan hp kamu."

Tanpa menunggu jawaban, Theo kembali memasuki lift, mengarahkan pada lantai paling bawah, menuju tempat parkir lalu mengambil tas perempuan berukuran kecil disela-sela tempat duduk mobilnya.

Merepotkan? Tentu, tapi dia juga ikut andil dalam menyebabkan mabuknya Jane dengan membalas kesinisan gadis itu padanya yang kurang Theo mengerti untuk alasan apa.

Apa karena Theo tidak mengenal wajahnya dan mengira Jane itu penyanyi atau aktris? Jane tersinggung?

Atau karena kemarin pagi dia memanggil tetangga itu dengan sebutan mbak?

Atau mungkin karena mangkuk kaca yang waktu itu berisi pecak lele belum dikembalikan?

Theo menggelengkan kepala. Menatap sekilas tas merah muda ditangannya lalu kemudian bersidakep menunggu pintu lift terbuka.

Dan waktu pintu elevator terbuka, didalamnya ada satu wanita muda, bersandar ke dinding besi.

"Sebegitu tidak percayanya kamu sama saya, sampai harus ikut turun?"

Sambil berkata Theo melangkahkan kaki memasuki lift, dan setelah pintu besi itu tertutup dia menyodorkan tas kecil yang baru saja diambil kepada empunya.

"Lu tau kenapa gue naik benda ini lagi?" Bukannya menerima sodoran tas miliknya, Jane malah mengajukan pertanyaan tak masuk akal dengan pandangan kosong.

Theo menarik kembali tangannya yang pegal karena tak kunjung disambut.

"Naik turun," gumam Jane.

Dan idiotnya Theo masih mau mendengarkan.

"Sensasi diperut gue nggak enak banget, muter-muter, pala gue puyeng, tapi seru."

Theo berkedip lambat, setia mendengarkan. Jadi Jane mual karena mabuk plus pusing sebab lift mengangkat tubuhnya naik?

Tetapi dia rasa itu menyenangkan?

Orang mabuk selalu bicara aneh bukan?

"Hidup gue juga bikin puyeng, gue mual tiap pagi kalo makan makanan enak, gue harus konsumsi salad yang bikin lidah mati rasa, gue langsung collapse kalo nggak olahraga." Jane bergumam lagi, wajahnya tertunduk hingga separuh wajahnya tertutup rambut. "Tapi gue masih mau menjalani karena gue rasa hidup itu seru."

Theo masih saja mendengarkan, dan kali ini pendengarannya dipertajam.

"Kata Maria, hidup gue terlalu sehat." Jane mendongak, menatap Theo dengan mata berkaca-kaca. "Tapi gue nggak ngerasa kalo gue sehat. Kan? Coba kasih tau gua! Mana ada orang normal yang gak bisa makan steak atau pasta! Padahal kan itu enak banget!"

Theo sedikit menunduk, jari telunjuknya menggaruk sekitaran alis yang tidak gatal. Bertanya-tanya kenapa mereka tak kunjung sampai.

Dan sebelum dia sadar. Theo menghela napas lagi. Kemudian jemarinya menekan tombol lantai mana yang mereka tuju. Dari tadi liftnya diam ditempat.

"Saya benar-benar lepas tangan setelah mengantar kamu. Dan semoga besok kamu sudah bisa makan steak juga pasta."

Dan Theo kembali dibuat heran karena gadis yang tadi meratapi nasib padanya menekan angka tiga belas.

Unit Theo berada di sana. Dia masih diam saja. Namun tetap sedikit mengawasi gadis yang tengah menggaruk rambut kepalanya, hingga blazer dibahu Jane jatuh Theo baru mau mendekati Jane, memungut blazer itu dan kembali diselampirkan ke pundak Jane.

Namun Jane menjatuhkan blazer itu lagi, dan malahan gadis itu mulai mengangkat ujung gaunnya keatas, membuat Theo melebarkan mata dan langsung meremat pergelangan tangan Jane, menahan gerakan tangan gadis itu.

"Gerah banget gue!"

Jantung Theo rasanya mau terjun ke perut, ia melirik sudut atas lift, ada cctv disana.

"Kamu bisa lepas semuanya nanti kalau sudah sampai unit kamu, tidak sampai dua menit, bisa sabar?" Suara Theo mendesis, jangan lupa, dia juga sedang menahan kesabaran.

"Lu kok marah, sih," mata Jane memicing, menatap tajam netra bulat yang berjarak satu jengkal darinya itu. Dan dari mata indah itu, pandangan mata Jane beralih turun ke hidung, lalu perlahan turun lagi ke bibir, sampai hingga rahang keras dan juga adam apple tegas terperangkap dimatanya.

Jane melepaskan tangannya dari cekalan Theo.

"Lo seksi kalo marah." Bersama dengan kalimat kecil bermakna besar itu itu diucapkan jemari Jane sudah singgah di atas dada bidang milik Theo.

Theo mencekal pergelangan tangan Jane lagi ketika gadis itu mulai membuat gerakan-gerakan kecil seraya memutari kancing dan meloloskan satu kancing keluar.

Mata besar dan tajam milik Theo memberi sinyal peringatan.

"Emm!" Geram Jane tak suka. "Jangan pelit. Mau liat doang, kok bisa keras banget."

"Kamu mabuk."

"Enggak." Gelengan kepala dilayangkan Jane, gadis muda nan cantik itu mulai mendekatkan diri lebih dekat pada Theo.

Sedangkan si lelaki memilih diam ditempat. Theo bisa merasakan napas hangat menerpa ceruk lehernya.

"Bokong lo juga seksi." Bisik Jane sembari mendusel ke dalam leher Theo, kaki telanjangnya berjinjit agar bisa sampai pada tempat yang diinginkan.

Theo menegang karenanya.

Apalagi ketika jemari lembut pramugari dua puluh delapan tahun itu berhasil meloloskan diri dan mulai mengitari tubuhnya hingga sampai pada punggung yang kokoh. Membuat gerakan naik turun.

Ting!

Saat itu juga Theo mendorong tubuh Jane menjauh. Menarik keluar Jane dari kotak besi itu.

"Saya akan lupakan semua yang terjadi malam ini, yang kamu lakukan di bar dan yang tadi."

"Kenapa?"

"Karena saya laki-laki yang sudah berkomitmen, dan kamu membenci saya, maka teruskan."

Wajah Jane yang sudah memerah itu berubah, gelak tawa mengudara.

"Heh laki-laki yang sudah berkomitmen, gue kemarin liat lo didepan pintu itu." Jane menunjuk salah satu pintu unit. Unit apartemen milik Theo. Membuat Theo sadar bahwa ternyata mereka turun di lantai tiga belas. "Sama cewek cakep. Dia orang keberapa yang lo ajak komit? Hm?"

Kening Theo bergelombang.

Wajahnya tak menunjukkan raut risau kendati ia ingin membantah statmen dari Jane, tapi buat apa juga menjelaskan semua kepada gadis mabuk? Lagipula, mereka tidak dalam hubungan yang membuat Theo harus menjelaskan hal itu bukan?

"It's oke, lets keep that little secret." Jane membuat gerakan menarik zipper di sepanjang celah bibirnya.

Jane kembali mendekati Theo, ia bahkan tidak peduli ataupun ingat siletto dan juga tasnya yang tertinggal di lift, otak sinting yang malam ini dipunya itu tidak memikirkannya.

Lelaki dewasa tulen seperti Theo tentu saja tidak akan mengambil langkah mundur saat dihimpit wanita.

Jane menaikan tangannya pada leher Theo yang hangat. Menggerakkan ibu jari secara halus, memberi afeksi nyata, sementara mata tajam gadis itu setia bertarung dengan lawan yang sepadan.

Hingga jemari halus itu kian tak sopan, tak tau tata krama sampai-sampai berani turun menelusup diantara kancing yang tadi di bukanya.

Kemudian Jane berjinjit, mengecup sudut bibir dingin milik Theo.

Hingga dengan leluasa Theo dapat menghirup lagi aroma peach yang menguar dari tubuh Jane.

Merasa kecupannya tak terbalas Jane kemudian berbisik sembari mengulas senyum kecil. "Kenapa? Setelah dapat ciuman dari gue, lo masih bisa mengingat cewek yang komit sama lo?"

Tatapan mata Theo menajam.

"Yang pertama, kamu mabuk setelah minum empat gelas alkohol."

"Gue gak mabok."

"Yang kedua, meski saat ini kamu mabuk saya yakin kamu akan tetap ingat semuanya besok."

Jane mengerjap pelan.

"Yang ketiga, meski kamu ingat semuanya, kamu akan tetap menyalahkan saya kalau hal yang kamu inginkan saat ini benar-benar terjadi."

"Yang keempat, kamu cantik dan saya laki-laki normal."

"Dan yang kelima—" Tanpa disangka, dengan gerakan cepat, satu tangan besar Theo sudah menguasai belakang leher Jane sementara satu tangan lainnya membantu dagu lembut gadis itu untuk mendongak.

Dan dua partikel kenyal itu bertemu, bergerak, melumat, dengan disertai gigitan kecil hingga lidah basah menyentuh intim dua belah bibir yang panas, saling membelit hingga nafas dua insan itu perlahan surut.

Tiap titik nadi ditubuh Jane berdenyut menggila, desiran darahnya mengalir deras hingga puncak kepalanya serasa akan meledak, ia pening, kakinya lemas dan seluruh sendi tubuhnya pilu.

Setiap tarikan bibir Theo rasanya seperti malaikat menarik keluar nyawanya juga.

He is good kisser.

Jane mengakui itu.

"—Itu yang dinamakan ciuman."

Jane masih mengatur napas katika Theo dengan wajah datar yang sialnya sangat tampan itu berkata.

Jari-jari panjang milik Theo bergerak menyusuri surai hitam Jane. Lalu langkah lebar Theo membimbing tangan ramping si gadis menuju unit miliknya.

Saat pintu apartment Theo terkunci dan Jane sudah berada didalamnya, Theo kembali berkata.

"Kamu akan menyesal."

Jane menggeleng amat pelan, dirinya disiram cahaya remang lampu kekuningan, dan kulit putih yang terlalu lembut untuk menjadi landasan kecup itu tentu saja berhasil membuat makhluk ber-testosteron kelimpungan.

"Or maybe not," desis Jane.

Theo mendaratkan telapak tangannya dibahu telanjang Jane, membuat gerakan menurun hingga tak ada celah kulit disepanjang lengan gadis itu yang tak dijamahnya.

Jane terpekik, napasnya tercekat ketika tanpa aba-aba Theo mengangkatnya, membuat tungkai kaki putih panjang miliknya melingkar indah di pinggang ramping pria itu.

Jane dicium lagi.

Dan percayalah, seberapa seksi penjelasan Jane mengenai Theo ketika laki-laki itu pertama datang, tidak ada dua persen pun dari betapa panas dan liarnya tatapan mata pria itu saat ini.

Theo tidak memberi Jane waktu untuk bernafas ketika pria itu baru berhasil melepaskan tautan bibir guna membaringkan Jane diranjang tidurnya.

You choose a wrong man, Jane.

Harusnya ia memilih lawan sepadan, dan bukan seorang alpha seperti Theo.

Napas Jane tercekat, mata gadis itu menyorot sayu, lidah Theo menyapu kulit lehernya, menyesap kuat dan juga memberi gigitan kecil.

Tali tipis dibahunya sudah diturunkan, sementara tangan besar Theo menyusuri paha mulus Jane yang tertekuk, meremas yang putih lembut itu hingga empunya memekik.

Sementara Jane mengatur napas juga detak jantungnya dengan mata sayu ia melihat Theo melepas satu persatu kancing kemeja, melepas kain navy itu dari tubuhnya. Sebelum kembali merangkak memposisikan diri diatas Jane, membawa jemarinya menelusuri leher hingga belahan dada sang gadis.

Dan dalam satu tarikan, gaun tipis yang membalut tubuh Jane terkoyak. Menyingkirkan segala kain halangan. Menampakkan pemandangan yang belum pernah dijajah mata pria manapun.

Theo kembali memangut bibir Jane yang terbuka, dan tangan sang gadis bertengger dipundak lebar Theo dan sang alpha tentu tak mau kalah, tangan besarnya merayau kemana-mana.

Dari kulit lembut yang belum terjamah asing paling atas hingga pelan-pelan turun sampai intim ranum sang gadis.

Jane meleguh diringi ringisan.

Theo tidak munafik. Dia menikmati betapa cantiknya wajah Jane saat ini, mata sayu dan juga bibir bengkak yang basah karena ulahnya, kulit berbercak dimana lidahnya berkuasa.

Ketika Jane menjerit karena ulah jari tengahnya Theo berbisik dengan suara yang begitu dalam.

"This is gonna be our little secret, right?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
buaya beneran ternyata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status