Share

Hari paling buruk

Dulu sekali, waktu Jane masih SMP pergosipan ditiap-tiap lorong koridor sekolahnya tak jauh-jauh soal kakak kelas yang bibirnya terlihat jontor tiba-tiba, katanya— hasil cipokan di pojokan wc.

Dan Jane percaya teori satu itu, salah satu penyebab jontornya bibir adalah ciuman yang terlalu menggebu-gebu.

Lalu dengan mudah gadis-gadis sebayanya mengkategorikan mana cewek-cewek jablay dan mana yang tidak.

Dan setelah memasuki SMA dunia pergosipan di circlenya pun mulai glowing up, memasuki tahap yang lebih serius. Maklum, termasuk Maria teman-teman Jane memang tak ada yang waras.

Tuh kakak kelas jalannya ngangkang, udah gak prawan pasti.

Jane yang teramat realis ini langsung menyeletuk.

Apaan, emak gue lahiran dua kali jalannya biasa aja.

Awalnya Jane juga iya-iya saja sambil ikut mengira-ngira kakak kelas mana yang kiranya masih prawan dan yang tidak.

Tapi kemudian seiring berkembangnya gosip-gosip itu Jane jadi enggan mendengarkan lagi, ia sebenarnya sadar memikirkan urusan orang yang sama sekali tidak penting, apalagi setelah tuduhan teman-temannya bertambah tidak masuk akal.

ML itu sakit. Tuh liat muka senior pada pucet, pinggang melar, teteknya gede bet, keliatan kayak ibu-ibu.

Entah ini penting atau tidak untuk dikatakan tapi Jane ingat sekali dulu waktu Maria berkata demikian Jane membalas dengan kibasan tangan. Tidak percaya, kalo making love memang sakit kenapa cewek pada mau diajak begituan, dan juga, soal fisik kan bisa saja cewek melar karena jarang olahraga?

Tetapi sekarang?

Jane sudah membuktikan poin pertama teori katanya yang pernah Maria bilang. Sakit.

Lalu setelah ini, apa badan Jane akan jadi melar?

"Mau sekali lagi?"

Jane benar-benar merasakan tubuhnya mati rasa waktu mendengar kalimat itu, terlebih ketika tau manusia brengsek mana yang mengatakannya.

Bahkan perihnya belum hilang, bajingan!

Oke, benar kalau Jane tidak akan meraung keras-keras setelah sadar ia telanjang dengan pria orang, waras saja, menyesal pasti dirasa.

Jadi, meskipun tanah serasa bergetar lengkap dengan kepala pening juga perut terobrak-abrik. Jane masih mampu berlari menyingkir dari ranjang, menghindar dari manusia berbatang disana.

Menarik selimut lalu menuju lorong tanpa pintu yang ternyata adalah walk in closet.

Jane menggigit bibir gelisah, umpatan dalam batin gadis— wanita itu tak kunjung reda.

Oke, tenang Jeje, tenang!

Jane mengambil nafas panjang lalu mengeluarkannya. Mengangguk-angguk kepala meyakinkan diri bahwa yang dia lakukan selama mabuk semalam tidak akan sememalukan itu.

Menyambar kaos serta sweat pants dengan cepat, gerakan Jane terhenti, memeta isi lemari didepannya, dua detik ia sadar kalau ternyata isi lemari-lemari besar ini adalah pakaian perempuan.

Tangan Jane terulur membuka salah satu laci, ada beberapa setel pakaian dalam yang masih baru.

Punya tunangannya?

Atau, punya perempuan yang kemarin itu?

Oke, punya siapapun itu. Jane pinjam dulu.

Jane menggelengkan kepala, bukan saatnya memikirkan itu, tidak penting.

Setelah Jane menemukan kamar mandi, membersihkan diri kilat, memakai baju lalu ia keluar dengan keyakinan diri kuat.

Cuma ONS gak akan mati, Je. Selama kanjeng ratu Ratna nggak tau, lo—.

Pupil mata Jane melebar seketika, tenaganya tiba-tiba terkuras hingga ia meluruh ke lantai.

Anjrit!

Ini jam berapa? Dia harus terbang jam delapan!

Jane langsung berlari, keluar kamar yang ternyata sudah rapih dan menemukan Theo di kursi dengan dua cangkir kopi dimeja.

Ia sempat melirik jam, dan ia sudah absolutely terlambat.

Jane mengepalkan tangan disamping tubuh. Theo mendongak kearahnya menatap dengan tatapan datarnya, memakai kaos putih dan diwajah pria itu ada kacamata, dan yah, terlihat amat santai.

Kopi dan kacamata baca.

"Tas gue mana," kata Jane cepat-cepat.

Theo terlihat diam beberapa saat, matanya mengerjap pelan sebelum tangan itu menunjuk sofa diseberang. Menyuruh Jane untuk duduk.

"Kamu—"

"Tas. Gue. Mana," potong Jane tak sabar.

Hembusan napas terdengar samar, mata Jane juga belum berpindah, masih tajam menatap Theo.

Theo melirik kearah kanan, otomatis Jane mengikuti arah pandangan pria itu, diatas meja marmer itu terdapat slingbag merah jambu miliknya.

Jane langsung meraihnya, diruangan ini rasanya amat sesak jadi Jane berniat segera berlalu pergi. Namun sebelum langkahnya mencapai pintu suara berat Theo menghentikan.

"Saya harus bicara sama kamu."

Jane mendengkus. Apa scene selanjutnya adalah Jane diberi segepok uang karena telah menemani lelaki itu semalam? Cek dengan nominal fantastis? Kayak di novel karangan Maria?

Jane Memutar balik tubuhnya.

"Gue gak sebodoh itu buat buka aib ke orang lain, gue nggak akan bilang siapapun. Jangan khawatir."

Bibir Theo sedikit terbuka, ia mengerjap. "Bukan—."

"Dan gue mau lo juga melakukan hal yang sama." Jane menekan setiap kata. "Ralat— gue mau lo lupain, anggap aja nothing happened between us last night," ujar Jane lagi serius.

Dan melihat Theo malah memasukan tangan ke kantong celana serta memberi gestur berpikir, Jane langsung berkata lagi.

"Baju cewek lo bakal gue ganti di Indonesia."

Melihat Jane berniat pergi, Theo langsung berdiri mencegah.

"Keadaan nggak akan jadi lebih baik kalau kamu menghindar."

Hembusan nafas sabar dikeluarkan. Jane menatap seakan mengajak perang. "Trus menurut Lo gue harus mau duduk, ngobrolin gimana kesan-kesan wik-wik sama cowok orang? Gila lo?!"

Satu alis Theo terangkat. Ia belum pernah mendengar perempuan berbicara dengan cara dan frontalitas semacam ini. "Kamu ingatkan semalam? Saya khawatir kamu sa—"

"Lo harus banget nanya apa? Hah!? Selalu begini lo? Wawancara cewek yang baru lo pake?"

"Bahasa kamu..." Theo sedikit memejamkan mata menekan akal sehat. "Mungkin kamu memang ingin tanya itu, tapi bisakah ditanyakan dalam hati saja?"

"Lu ditanya langsung aja gelagapan apalagi kalo gue pake bahasa kalbu! Baper yang ada."

"Baper tidak ada dalam kamus laki-laki dewasa seperti saya, yang saya mau sekarang cuma meluruskan keadaan." Theo menjawab sabar. "Dan kamu cuma perlu menjawab, kalo emang nggak mau bicara lebih lama."

"Gue inget, saking ingetnya pengen gue bedah ni tengkorak." Jane melengos, meski tak jelas dan putus-putus ia sedikit mengingat apa yang dilakukan tadi malam. "Dan gue nggak akan nyalahin lo, jadi cukup bertingkah seolah lo dan gue nggak pernah ketemu satu sama lain di Korea."

Theo diam saja.

"Jangan pernah lo dateng ke rumah gue trus tiba-tiba ngomong 'wikti iti siyi nggik pikii pingimin' dan 'stik kindim siyi hibis' atau 'kimirin kiluir di dilim' trus ngotot mau tanggung jawab."

Jari telunjuk Jane mengacung di depan hidung Theo. Tatapannya menghunus. "Nanas muda! Sprite satu liter! Komik herbal lima sachet aja bisa cegah hamil apalagi alkohol sialan yang gue minum tadi malem."

Mata bulat Theo kini mengerjap cepat sekali. Macam idiot yang sialan tampannya.

"Pokoknya, cuma karena lo prawanin gue, bukan berarti lo harus nikah sama gue. Gak apapa, ikhlas, sana pergi. Jangan cegah gue lagi. Bye maksimal!"

Sekarang Theo mencekal pergelangan tangan Jane guna menunda wanita a itu pergi.

"Kamu ketinggalan pesawat."

Jane hampir-hampir ingin memeriksa telinganya ketika mendengar kalimat itu. "God bless you, Theodore." Jane mendecih. "Lo tau gue ada flight, tapi lo nggak—aish!"

"Pulang sama saya."

Wah wah.

Buaya tidak tau malu.

Jane yakin ajakan pulang bersama ini bukan sekedar basa-basi keramahan antar tetangga saja. Theo benar-benar mau Jane jadi Dakyung.

"Ogah!" Selak Jane keras-keras. "Mending gue jadi gelandangan disini dari pada pulang bareng lo."

Setelah itu, Jane keluar dari unit apartemen Theo. Kaki telanjangnya langsung melangkah menuju lift, menekan dua lantai diatas.

Gak papa Jane. Gak papa, gak akan dipecat. Lo model maskapai, lo pramugari vip, lo sepenting itu, ingat lo bahkan pernah jadi pramugari buat private jet Presdir Permata, tenang, gak akan dipecat.

Jane menjerit seperti orang gila, memukuli kepalanya sendiri.

Apanya yang gak akan dipecat, hah?! Oncom! Lo pikir maskapai punya bapak lo!

———

"Sebelum terbang ke Korea kamu terlambat absen sampai nggak ikut briefing, kan?" Suara santai namun menusuk milik perempuan setengah baya dikursi sana lagi-lagi mampu membuat Jane meringis. Wanita berambut sebahu itu membuka lembaran-lembaran berkas. "Sebelumnya— pernah adu mulut sama passengers, telat datang, dan apa lagi? Nggak ikut jadwal pulang? Trus sekarang minta cuti?"

Memejamkan mata Jane kemudian menunduk dalam-dalam. Dosa oh dosa, apakah ini ganjarannya?

Kenapa Ibu Sabrina harus ingat masalah tiga tahun lalu sih, pikun kek! Kenapa harus membawa masalah waktu ia hampir gelut dengan penumpang sialan yang juga sekaligus mantan pacar Jane masa SMA dulu.

"Kamu tau?"

Jane mendongak sedikit, matanya bergetar gelisah. Sebelum gelengan kecil dipilih ia sebagai jawaban.

"Kesalahan kamu ini mustahil dimaafkan. Bahkan sejak cekcok dengan rekan kerja dan penumpang. Mustahil kamu bertahan sejauh ini, Jane."

Lagi-lagi Jane menunduk.

"Saya bingung sebenarnya apa yang membuat Presdir secara langsung memilih kamu menjadi model padahal menurut saya jelas-jelas Lili atau Desi lebih pantas, mereka cantik dan tentunya lebih teladan daripada kamu."

Jane mendesah amat pelan, sebentar sekali ia mengerjap dan mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Kenapa nggak nikah aja Jane, saya yakin kamu sudah lebih dari sekedar matang. Kenapa menyusahkan diri sendiri dengan bekerja padahal kamu nggak kompeten?"

Nafas yang diambil Jane lebih terasa berat. Dan ternyata bukan sekedar firasat belaka, kalimat Ibu Sabrina selanjutnya berhasil membuat jantung Jane mencelos.

"Kamu siapkan surat pengunduran diri dan segera kirim ke saya, kamu boleh pergi sekarang, selamat siang."

Jane membeku ditempat.

Jemari putihnya makin kuat meremat satu sama lain.

Jadi ini akhir dari karir penerbangannya setelah tujuh tahun?

Diusianya yang sudah berada pada ujung dua puluhan ini Jane tidak yakin ada maskapai lain yang akan merekrutnya. So, pengangguran lagi?

Jane mengambil napas panjang, menghembuskannya berat. Ia melirik sepatunya sekilas.

Kan, Lo bukan anak yang punya maskapai Jane.

"Saya permisi, Bu." Pamit Jane setelah mengangguk sopan sembari tersenyum seramah mungkin.

Teringin mendecih ketika Jane melihat Sabrina tidak mengangkat wajah sama sekali, malah sibuk dengan berkas ditangannya.

Jane memutar kaki hendak melangkah, tepat sebelum sampai pintu ia kemudian berbalik, mengingat kalau ia harus mengatakan perpisahan terlebih dahulu.

"Saya minta maaf kalau selama ini sudah cukup merepotkan. Soal pelanggaran yang sama buat— cuma ada tiga kan? Banyak kok staff kabin yang lebih bengal dari saya tapi tetap kerja sampai sekarang."

Jane memandang ibu Sabrina dengan tatapan paling ramah yang ia punya.

"Kalau ibu emang dasarnya nggak suka sama saya bilang aja, nggak usah pakai bilang kalau saya nggak kompeten. Karena saya kompeten. Dan itu alasan Permata mempertahankan saya."

Jane bisa melihat kilatan tak terima di manik mata Ibu Sabrina.

"Ohya— soal model. Lili aja Bu, saya nggak papa, dia visualnya bak Aphrodite. jangan si Desi, ponakan Ibu itu tampangnya kurang menjual." Kata Jane diringi decakan halus. "Saya permisi."

Saat itu.

Waktu langkah Jane sudah berada lebih jauh dari kantor, dalam hati ada satu nama yang Jane sumpahi tak henti-henti.

Jane tidak akan di PHK kalau seseorang tidak memprovokasinya untuk minum alkohol hingga mabuk, Jane tidak akan di PHK kalau Theo membangunkannya lebih awal.

Saat Jane baru duduk di kursi mobil miliknya ponsel ditas kecil berbunyi.

"Hallo, Mah, Iya Jeje pulang lusa. Hm? Enggak, Je ambil cuti."

Jane sebenarnya tidak suka bicara lama-lama di telepon, tetapi saat ini entahlah, sepertinya Jane memang butuh teman bicara.

"Enggak ada apa-apa, udah mulai capek sama bosen kerja. Ohya, anak cowok Tante Ita yang waktu itu mau dikenalin siapa namanya? Hm— atur pertemuan deh, kembaran Paris Hilton mulai bosen menjomblo."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status