Share

Half Blood

"Gimana, keren kan?"

Bima terbelalak ketika tahu akhirnya ia dapat wahana internship masih di kota ini, tanpa perlu keluar kota bahkan ke luar pulau. Sebuah keberuntungan karena ia tidak harus pisah dari sang isteri.

"Kok bisa sih, Pa? Hebat!" senyum Bima merekah, apakah ini yang dinamakan keuntungan punya half blood? Alias darah keturunan dokter? Jadi semua langkahnya sedikit dipermudah?

"Pentingnya punya koneksi ya seperti ini, Bim. Sudah ya, lega kan internship tidak harus jauh dari isteri dan orangtua?" Andi tersenyum, lalu menepuk lembut pundak Bima.

"Terima kasih banyak ya, Pa. Sejauh ini papa selalu ada buat bantu Bima, entah biayain, entah mempermudah langkah Bima, Bima nggak bisa apa-apa tanpa Papa." guman Bima tulus.

"Sudahlah, itu sudah jadi kewajiban papa, Bim. Fokus ke internship mu dan segera lanjut ambil PPDS, oke?" Andi tersenyum, menatap putra semata wayangnya itu dengan penuh kebanggaan.

Bima mengangguk dengan mantab, "Pasti Pa! Bima sudah janji akan menjadi kebanggaan untuk Papa dan mama!"

Andi mengangguk dan tersenyum, ia kemudian bangkit dari sofa ruang tamu dan melangkah ke dalam. Sementara Bima masih duduk di depan laptop dengan tatapan tidak percaya. Keuntungan internship masih satu kota dengan orangtua ya you know lah gimana? Dia tidak harus pusing cari kost atau kontrakan, makan masih ikut orangtuanya dan lain sebagainya. Ditambah lagi ia tidak harus jauh dari Melinda, jadi tidak perlu pusing kalau mendadak hasrat kelelakian dia minta dituntaskan, toh ada isterinya bukan? Jadi secara garis besar, ia untung dengan hanya internship di rumah sakit yang tidak jauh dari rumah sakit tempat ayahnya dinas itu.

"Seneng banget sih?" tampak Melinda sudah muncul dari balik pintu, ia masih dengan blazer kuningnya, seragam khas dari kantornya yang merupakan salah satu bank terbesar di Indonesia.

"Sayang, sudah pulang?" tampak wajah Bima makin sumringah melihat sang isteri sudah pulang kerja itu.

"Iya dong, kalau belum pulang pasti aku tidak akan di sini kan, Sayang?" Melinda bergelayut manja di lengan Bima.

"Jadi apa yang membuat suamiku ini sumringah banget wajahnya?" tanyanya sambil mencubit gemas pipi Bima.

"Aku dapat wahana internship di kota ini sayang, berkat papa. Jadi aku nggak harus ke luar kota atau keluar pulau."

"Wahana internship?" tanya Melinda sambil mengerutkan keningnya.

"Tempat magang Sayang, istilahnya tempat magang gitu buat dokter yang baru lulus koas dan diambil sumpah kayak aku gini," guman Bima menjelaskan dengan sabar, maklum Melinda bukan kalangan medis, jadi mungkin awam dengan istilah-istilah medis yang sering ia gunakan.

"Oh begitu, aku nggak jadi kamu tinggal kan berarti?" tanya Melinda sambil bersandar manja di bahu Bima.

"Nggak, nggak akan! Bisa gila aku jauh dari kamu, Sayang!" bisik Bima tepat di telinga Melinda yang sontak membuat bulu kuduk Melinda meremang.

"Eh, baru dibisikin udah turn on?" goda Bima yang langsung dibalas tepukan gemas dari Melinda.

"Bodo ah!" Melinda sontak bangkit dengan wajah manyun, ia bergegas melangkah ke kamarnya.

Bima buru-buru bangkit dan mengekor di belakang isterinya, ia rasa main sebentar sore-sore tidak ada salahnya bukan? Sepuluh menit, lima belas menit ia rasa cukup. Bima bergegas masuk ke dalam kamarnya, meletakkan laptop lalu memeluk tubuh itu dari belakang.

"Eh mau ngapain?" Melinda terkejut, pelukan itu begitu erat.

"Main kilat nggak ada salahnya kan?" bisik Bima yang belum mau melepas pelukan itu.

"Nggak, ini masih sore. Mama papa belum tidur!" protes Melinda sambil berusaha melepaskan diri.

Namun Bima tidak menyerah, ia tetap melancarkan aksinya. Dan sore itu segala perlawanan Melinda tidak membuahkan hasil, ia harus menyerah dibawah kendali suaminya.

Nafas Bima sudah begitu memburu, "Please, Baby ... be the good girl!"

***

"Lho, Melinda mana?" Anita sudah duduk di kursi sementara Bi Sari sedang menyiapkan hidangan makan malam di meja makan.

"Baru mandi, kasihan kayaknya capek banget, Ma." guman Bima beralibi, padahal isterinya itu masih setengah lemas akibat perbuatan Bima beberapa saat yang lalu.

"Ya tanggal muda gini kayaknya bank rame kan? Perusahaan-perusahaan pada transfer gaji ke karyawan dan karyawan pada antri ambil, pasti lalu lintas uangnya jadi padat," Andi duduk di kursinya, ia kemudian meneguk air putih dalam gelas.

"Jangan biarkan dia terlalu capek dan stress dengan pekerjaannya, Bim! Papa sudah pengen cucu!" ujar Andi sambil menatap Bima dengan serius, tentu hanya Bima yang ia harapkan bisa memberinya cucu, anaknya cuma Bima seorang, kalau bukan Bima mau siapa lagi?

Bima sontak tertawa, tentu kedua orangtuanya ini sudah ngebet pengen cucu, nasib anak tunggal ketika sudah menikah tentu di todong untuk segera membuatkan mereka cucu bukan? Apalagi memangnya?

"Malah ketawa, papa sama mama serius, sudah benar-benar pengen cucu nih?" Anita menimpali, yang langsung di balas anggukan kepala oleh Bima.

"Ini juga baru Bima usahakan, Pa ... Ma, doanya ya!"

"Kemarin sudah medical check-up lengkap, kan, kalian berdua?" Andi menatap putra nya lekat-lekat.

"Ya sebatas medical check-up sesuai syarat untuk pengajuan di KUA sih, Pa." jawab Bima sambil menusuk tempe goreng dengan garpu.

"Nggak cek fertilitas?" tampak Andi terbelalak, itu adalah salah satu tes penting untuk yang hendak menikah, bukan?

"Ahh ... buat apa sih, nggak perlu deh!" Bima tersenyum kecut, Melinda tidak pernah mengeluh apapun selama ini, mens dia wajar, jadi untuk apa?

"Yasudah kalau begitu, yang jelas cepat berikan mama dan papamu ini cucu!"

***

Vina menghela nafas panjang, beberapa detik yang lalu tendangan itu bertubi-tubi dilancarkan oleh kaki kecil dari dalam rahimnya. Sontak air matanya menitik, ternyata sensasinya seperti ini? Ada setitik kebahagiaan yang luar biasa ia rasakan hingga ia kembali untuk kedua kalinya menitikkan air mata bahagia selama kehamilannya.

Yang pertama ketika ia pertama kali USG dan melihat sosok itu tengah terlelap dalam rahimnya dan yang kedua adalah saat ini, ketika tendangan itu bertubi-tubi ia rasakan. Ia sempat tidak ingin anak ini lahir! Namun setelah melihat dia waktu USG, perlahan-lahan cinta Vina untuk janin dalam kandungannya pun mulai tumbuh.

Seandainya ia tahu siapa laki-laki yang menitipkan benihnya dalam rahim Vina, tentu ia akan menikmati masa bahagia ini bersama dia bukan? Jika ia mau bertanggungjawab tapi. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa ia harus hamil tanpa suami seperti ini?

Seperti apa bapak dari janinnya ini? Tinggi tegap? Atau berperut buncit macam om-om? Masih muda atau malah sudah separuh abad? Sontak Vina merinding membayangkan tubuhnya digagahi laki-laki tua berperut buncit. Astaga, kenapa ia malah jadi kembali jijik dengan dirinya sendiri?

"Sayang minum dulu susu ...," Ani tertegun ketika mendapati Vina tengah terisak di atas ranjangnya. Ia duduk dengan kaki lurus sambil bersandar di tembok.

"Sayang kamu kenapa?" tanya Vina panik, ia meletakkan segelas susu rasa strawberry yogurt dengan es batu itu di atas nakas.

"Dia nendang perut Vina, Ma!" lapor Vina sambil tersenyum, air matanya masih menitik.

Ani tersenyum penuh haru, "Sakit?" tanya Ani sambil itu mengelus lembut perut Vina.

Vina hendak menggeleng ketika kemudian tendangan itu kembali dilancarkan. Ani yang tangannya masih diatas perut Vina sontak terkejut, mata mereka berpandangan lalu tawa mereka pecah.

"Kamu mau kasih salam sama oma ya? Hallo anak manis, cepat lahir ya? oma sudah nggak sabar mau gendong kamu!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Salut sm Mamanya Vina yg legowo mau nerima
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status