Bima tersentak dari tidurnya, nafasnya tersengal-sengal. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya. Gadis itu ... gadis yang dulu dia setubuhi itu datang dalam mimpinya! Datang dengan membawa pisau menghampiri dirinya, kenapa ia harus mimpi seperti itu sih?
Bima mencoba menetralkan nafasnya, ia tidak mau menganggu tidur sang isteri. beberapa bulan setelah peristiwa itu, baru kali ini dia mimpi seperti ini. Apa artinya? Apa jangan-jangan gadis itu depresi lalu bunuh diri? Astaga, kenapa jadi rumit macam ini sih? Kenapa?
Bima bangkit dari ranjangnya, lalu melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, ia mencuci wajahnya di wastafel. Wajah gadis itu masuk begitu ia ingat, masih sangat jelas terbayang dalam benak Bima! Dia cantik, sangat cantik, dengan tubuh yang luar biasa menggodanya! Kulit putih bersih, dengan dengan rambut panjang hitam legam. Belum lagi kenikmatan tubuh itu sama sekali tidak bisa Bima lupakan begitu saja!
Sama-sama masih perawan, kenapa rasa Melinda dan gadis itu begitu berbeda? Kenapa isterinya kalah nikmat dengan tubuh itu? Bima menghela nafas panjang, kenapa ia jadi memikirkan gadis lain padahal dia sendiri sudah memiliki isteri?
Sekarang Bima paham, kenapa jika sudah menikah pada laki-laki diusahakan untuk setia dan tidak coba-coba, karena ujung-ujungnya mereka akan membandingkan isteri mereka dan mencari kepuasan lain di luar sana karena mereka tidak mendapat kejelasan dari sang isteri.
"Astaga, Bima! Apa yang kamu pikirkan, Bim!" maki Bima pada dirinya sendiri. Ia tidak mungkin kembali mengkhianati Melinda bukan? Meniduri gadis itu bahkan sebelum ia menyentuh Melinda sudah termasuk mengkhianati bukan? Melinda masih suci ketika mereka menikah, masih perawan di malam pertama mereka, sedangkan Bima?
Bima sudah kotor! Ia sudah menikmati tubuh wanita lain sebelum mereka menikah! Sungguh Bima laki-laki biadab!
Bima melangkah keluar dari kamar mandi kembali naik ke atas ranjangnya, memeluk dari belakang tubuh Melinda yang beberapa jam yang lalu memberinya kenikmatan yang luar biasa itu. Ia merasa begitu bersalah pada sosok itu, sosok yang setia itu ia khianati sampai begitu dalam.
Bima mencoba memejamkan matanya, ia berusaha menghilangkan mimpi buruk itu dari dalam pikiran dan ingatannya. Tidak perlu gadis itu datangi lewat mimpi, Bima akan selalu mengingat wajah itu! Selalu!
***
"Sayang, semangat kerjanya ya hari ini!" Bima memeluk isterinya dari belakang, Melinda tengah memulas bedak di wajahnya itu."Iya, kamu juga semangat ya! Hari pertama kerja kan?" balas Melinda sambil mengelus tangan Bima yang melingkar di lehernya itu.
"Bukan kerja, tapi magang, Sayang!" guman Bima mengkoreksi.
"Iya deh, magang!" Melinda menggenggam erat tangan Bima, ia sangat bahagia menjadi bagian hidup dari sosok dokter muda itu.
"Doain segera selesai program magangku, STR aku cepet turun dan aku sudah bisa buka praktek sendiri, oke?" bisik Bima mesra tepat di telinga sang istri.
"Siap Sayang, apapun itu aku doakan yang terbaik buat kamu."
Bima tersenyum, ia kembali mengecup pipi sang isteri. Melinda bangkit, meraih snelli milik suaminya yang tergantung di almari, memakaikan jas kebanggaan sang suami itu di tubuh Bima.
"Terima kasih, Sayang!" bisik Bima sambil menatap mata isterinya yang begitu jernih itu.
"Serius kegantengan kamu nambah seratus persen!" puji Melinda lirih sambil menepuk lembut pundak suaminya itu.
"Ah, jadi kalau aku pas nggak pakai snelli kegantengan aku pas-pasan gitu?" Bima mencebik, membuat Melinda sontak tertawa terbahak-bahak.
Siapa yang tidak kenal Bima sih? Sosok tinggi tegap dengan badan altetis dan kulit bersih itu dari dulu selalu menjadi pusat perhatian di manapun dia berada. Hidungnya mancung, dengan rahang kokoh dan mata tajam, harusnya dulu dokter Andi menamai anaknya Arjuna, bukan Bima! Karena pesona Bima begitu luar biasa layaknya Arjuna.
"Ganjen sama perawat di sana aku pukul nanti! Lihat aja!" ancam Melinda sambil mengepalkan tangannya.
"Nggak Sayang, di dalam hatiku cuma ada kamu!" guman Bima sambil kembali merangkul mesra sang isteri.
"Bima! Melinda! Ayo sarapan dulu, kalian sudah bangun belum sih?" teriak Anita dari luar.
"Iya, Ma! Ini sudah siap-siap," guman Bima lalu bergegas melangkah keluar kamar.
Sementara Melinda menyemprotkan parfum ke blazer birunya lalu bergegas meraih tasnya. Ia harus segera turun kebawah, bergabung dengan suami dan kedua mertuanya itu.
***
"Dokter, tolong!" teriak wanita itu yang sontak mengejutkan Bima.Ia dengan sigap langsung membawa brankar itu ke salah satu bilik dan menutup tirainya, ia bergegas melakukan anamnesa pada gadis muda itu, pendarahan jalan lahir?
"Sus, bisa telepon bagian obsgyn? Ada indikasi abortus!" perintah Bima pada perawat yang menemaninya anamnesa.
"Baik sebentar, Dok!" dengan cepat perawat itu bergegas berlari meninggalkan Bima yang masih mengecek kondisi vital pasiennya itu.
"Bisa jelaskan apa yang terjadi, Bu?" tanya Bima pada sosok yang mengantarkan gadis itu ke rumah sakit.
"Anak saya jatuh di kamar mandi, Dok. Dan ketika saya temukan sudah seperti ini."
"Suaminya mana?" tanya Bima to the point.
"A-anak saya belum menikah, Dok!" guman wanita itu tegas, ia sontak menoleh pada putrinya yang terbaring kesakitan di atas brankar itu.
"Nin ... ka-kamu hamil?" tanya wanita itu sambil menatap tajam gadis yang dia panggil 'Nin' itu.
Gadis itu tidak menjawab, tangisnya makin kencang. Membuat sang ibu sontak ikut menangis.
Bima merasakan hatinya seperti tertusuk. Mendadak ia kembali teringat mimpinya, teringat gadis yang disetubuhi beberapa bulan yang lalu. Bagaimana kalau dia hamil?
"Siapa? Siapa laki-laki yang melakukannya, Nin?" suara wanita itu sedikit meninggi, membuat Bima sontak merinding dan takut. Ia hendak menyingkir ketika kemudian sosok itu muncul.
"Ada apa?" tanya dokter Gina sambil memasang stetoskopnya.
"Indikasi abortus, riwayat jatuh di kamar mandi, untuk usia kehamilan PX sendiri tidak tahu dia hamil berapa minggu, Dok!" lapor Bima pada obsgyn itu.
"Suruh bawa mesin USG kemari, kita USG untuk memastikan, siapkan juga instrumen kuretnya!"
Bima tidak berkata-kata lagi, ia bergegas keluar dan mempersiapkan apa yang obsgyn itu minta, kenapa malah pikirannya fokus pada gadis itu sih? Kenapa sekarang ia jadi begitu penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis itu?
'Apa kabarmu? Apakah kamu hamil?'
***
"Ayo dong, kita harus periksa kandunganmu, Sayang!" Ani dengan sabar membujuk Vina untuk mau berangkat konsultasi ke obsgyn langganannya. Periksa kehamilan tiap bulan dan tiap ada keluhan itu wajib bukan?"Males antrinya, Ma!" guman Vina sambil terus memainkan iPhone-nya.
"Kita kan sudah ambil antrian, Sayang! Jadi nggak bakal antri lama." Ani berusaha terus membujuk sang puteri, ia harus memastikan bahwa cucunya dalam kondisi baik-baik saja.
Vina nampak berpikir sejenak, ia kemudian bangkit dan bergegas berganti pakaian. Ani hanya tersenyum melihat sang anak akhirnya mau juga ia ajak ke obsgyn. Harapan Ani adalah semoga bayi itu tumbuh dengan baik dan tanpa kurang suatu apapun.
"Kehamilan sebelas minggu, namun sayang sekali, Bu, kehamilan Nina tidak bisa dipertahankan lagi," guman dokter Gina sambil menatap nanar wanita paruh baya yang menangis sesegukan itu."Jadi terpaksa kita harus lakukan kuretase ya, Bu." lanjut dokter Gina lagi."Astaga, Nin! Kenapa kamu jadi begini? Kenapa kamu sampai jauh kebablasan sejauh ini? Siapa pelakunya, Nin?" rintih wanita itu sambil mengangkat sesegukan."Ini mohon maaf, suaminya benar-benar tidak ada? Kami dari pihak rumah sakit hendak meminta tanda tangan persetujuan prosedur kuretase-nya, Ibu," tanya dokter Gina sabar."Biar saya yang tanda tangan saja, Dokter!" guman wanita itu sambil menyusut air matanya."Minta perawat mempersiapkan dokumennya, Bim!" perintah dokter Gina pada Bima yang langsung dibalas anggukan kepala.Bima bergegas pergi menemui perawat jaga IGD untuk mempersiapkan lembar persetujuan itu. Hatinya berkecamuk luar biasa, dipikirannya hanya ada gadis itu. Apaka
Bima mengentikan mobilnya tepat di depan kantor cabang sebuah bank swasta terbesar di Indonesia, tempat di mana Melinda isterinya itu bekerja. Melinda adalah seorang banker, berbeda dengan Bima yang merupakan seorang dokter.Jika kebanyakan teman-teman sejawat-sejawatnya memilih untuk menikahi sesama dokter, maka tidak dengan Bima. Ia lebih memilih mengikuti jejak sang ayah yang memilih menikahi wanita yang berbeda profesi dengan dirinya. Bima pun demikian, sama sekali ia tidak tertarik untuk menikahi sesama dokter karena ia tahu profesi mereka memakan banyak waktu, banyak waktu mereka akan habis di rumah sakit untuk pasien-pasien mereka. Akan sangat jarang mereka memiliki waktu di rumah, dan Bima ingin kelak anak-anaknya bisa punya banyak waktu di rumah dengan ibunya di rumah, seperti dirinya.Dan itulah yang kemudian membuat Bima menikahi Melinda, anak fakultas ekonomi manajemen yang ia kenal sejak pre-klinik. Dari semula ikut seminar perpajakan yang diadakan fakulta
Melinda meletakkan testpack yang baru saja ia gunakan itu dengan lesu, masih garis satu! Sudah tiga bulan bukan ia bergumul dengan suaminya, tanpa pengaman, menghitung masa subur, kenapa ia belum hamil juga? Kenapa? Apa yang salah?Air matanya mendadak menetes, ia menangis sesegukan di kamar mandi. Hatinya khawatir, risau, takut dan kecewa! Ia benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri! Kenapa ia tidak kunjung hamil?Bima menekan knop pintu kamar mandi kamar mereka dan tertegun mendapati sang isteri tengah menangis sambil duduk di atas kloset."Sayang, kenapa?" tanya Bima lalu jongkok di depan sang isteri.Melinda sontak memeluk erat-erat tubuh suaminya, tangisnya kembali pecah, dadanya sesak luar biasa. Bima masih tidak mengerti apa yang membuat isterinya itu menangis sesegukan macam ini, hingga kemudian matanya menatap benda itu ada di depan bagian atas kloset. Dan ia paham apa yang kemudian membuat Melinda menangis sampai sebegitunya."Sudah, ken
"Dokternya saya perjalanan ya!" Bima menelepon Dokter Hendratmo, untung dia orang dalam, jadi bisa sedikit meminta waktu makan siang Dokter Hen untuk sekedar memeriksa sang isteri."Oke, langsung ke ruangan saya ya, Bim! Saya tunggu!" balas suara itu ramah."Baik terima kasih banyak, Dokter!" Bima melepas headset bluetooth-nya, meletakkan benda itu di dashboard mobilnya.Melinda hanya menghela nafas panjang, jujur ia khawatir dan takut. Ia takut hasil pemeriksaannya tidak baik, ia takut bahwa dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dia tidak bisa hamil, tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya ini."Hei Sayang, kenapa melamun?" tanya Bima sambil tersenyum, ia tahu pasti pikiran Melinda kemana-mana kan?"Aku takut!" jawabnya simpul."Apa yang kamu takutkan?" benarkan? Sudah tepat dugaan Bima bahwa istrinya itu ketakutan."Hasilnya," desis Melinda lirih."Sudahlah, jangan khawatirkan apapun, mengerti?" tangan Bima terulur
Bima kembali ke rumah sakit dengan kepala pusing bukan main. Ternyata benar, Melinda sang isteri ada gangguan kesuburan dan itu membuat Bima kembali bimbang. Jujur ia benar-benar terpukul luar biasa, ia sedih dan kecewa. Harusnya ia menuruti semua saran sang papa dulu itu, harusnya ia cek semuanya! Jadi masalah ini tidak timbul dan menjadi bumerang seperti ini.Kista ovarium? Astaga, mimpi apa dia semalam? Selama ini Melinda tidak pernah laporan mengenai keluhan-keluhan yang dia rasakan. Dan sekarang ia mendapat vonis itu? Ini semua seperti mimpi buruk di siang bolong!"Selama ini ketika mens tidak pernah merasakan keluhan apapun?" Dokter Hendratmo menatap lekat pasien yang juga isteri juniornya itu."Ya sebenarnya sih ada, Dokter. Cuma saya kira semuanya normal-normal saja, saya nggak pernah berpikiran bahwa ada penyakit seperti ini," Melinda terisak, sementara Bima yang duduk disisinya berusaha menenangkan sang isteri."Apa keluhan yang kamu rasakan?" t
Bima menatap nanar sosok itu, sosok yang sedang melangkah keluar dari kantornya itu masih tampak lesu, matanya masih sembab, ia berani bertaruh bahwa sepanjang sore tadi Melinda masih menangis meratapi penyakitnya itu.Harus bagaimana dia sekarang? Sepulang di rumah nanti pasti mama-papa akan mengintrogasi dia bukan? Lalu apa yang hendak mereka katakan pada mereka? Sudah menjadi kesepakatan bukan bahwa mereka akan merahasiakan semua ini dari mereka, namun nanti apa yang harus Bima katakan pada papanya? Tentu sebagai sesama tenaga medis ia sulit untuk dibohongi bukan?"Hai, sudah dong jangan sedih lagi," sapa Bima ketika sosok itu sudah masuk ke dalam mobil."Gimana nggak sedih kalau ...," Melinda sudah tidak bisa berkata-kata lagi, air matanya kembali menitik.Bima menghela nafas panjang, direngkuhnya tubuh itu kedalam pelukannya. Hatinya makin hancur melihat isterinya serapuh ini. Ia makin lemah, makin kacau dan entah apa lagi. Namun ia harus tetap kuat
Andi turun dari mobilnya, ia sengaja hendak mampir ke supermarket untuk membeli sesuatu. Hari ini untung supermarket tidak terlalu ramai. Jadi di kasir antrian tidak terlalu banyak.Andi mengambil keranjang lalu melangkah masuk ke supermarket. Ia sedang sibuk memilih beberapa buah segar itu ketika kemudian ada tubuh yang menabraknya."Aduh, ma-maafkan saya, Pak!" wanita muda dengan perut membukit itu menunduk sambil mengantupkan kedua tangannya sebagai permohonan maaf.Andi menatap wanita muda itu lalu tersenyum, "Tidak apa-apa, lain kali kamu hati-hati ya, sedang hamil, takutnya terjadi apa-apa dengan janin di dalam rahim kamu," nasehat Andi lembut."Iya baik, Bapak. Sekali lagi mohon maaf sekali, Pak.""Siapa namamu? Cuma sendirian?" tanya Andi yang entah mengapa ia begitu respek dengan wanita muda ini."Saya Levina, Pak. Kebetulan kesini sama Mama, sedang puluh sayuran dan ikan segar.""Kamu jangan makan kerang dulu ya, ikan laut j
"Yakin mama dan papa nggak bakalan curiga?" Melinda menatap nanar tangannya yang sudah tertancap selang infus itu. Bima yang masih memakai jas kebesarannya tersenyum, meremas tangan Melinda dan menciumnya penuh kasih.Melinda tersenyum getir, hari ini ia sudah harus masuk ke ruang rawat inap guna persiapan operasi pengangkatan ovariumnya. Rumah sakitnya pun sengaja memilih rumah sakit lain yang juga merupakan tempat dinas Dokter Hendratmo, tidak berani di rumah sakit tempat Bima internship, karena papanya dinas di sana juga bukan? Dokter Hendratmo pun sudah Bima ceritakan semua permasalahan yang ia hadapi, dan itu lah yang membuat obsgyn itu merekomendasikan rumah sakit swasta ini."Mas besok ikut masuk?" tanya Melinda yang sontak matanya berkaca-kaca, dalam seumur hidupnya baru kali ini dia akan masuk ruang operasi, sebelumnya ia belum pernah sama sekali masuk ke ruangan yang terdengar begitu seram bagian telinganya itu. Jangan kan masuk, punya pikiran akan masuk ke san