Share

Abortus Incompletus

"Kehamilan sebelas minggu, namun sayang sekali, Bu, kehamilan Nina tidak bisa dipertahankan lagi," guman dokter Gina sambil menatap nanar wanita paruh baya yang menangis sesegukan itu.

"Jadi terpaksa kita harus lakukan kuretase ya, Bu." lanjut dokter Gina lagi.

"Astaga, Nin! Kenapa kamu jadi begini? Kenapa kamu sampai jauh kebablasan sejauh ini? Siapa pelakunya, Nin?" rintih wanita itu sambil mengangkat sesegukan.

"Ini mohon maaf, suaminya benar-benar tidak ada? Kami dari pihak rumah sakit hendak meminta tanda tangan persetujuan prosedur kuretase-nya, Ibu," tanya dokter Gina sabar.

"Biar saya yang tanda tangan saja, Dokter!" guman wanita itu sambil menyusut air matanya.

"Minta perawat mempersiapkan dokumennya, Bim!" perintah dokter Gina pada Bima yang langsung dibalas anggukan kepala.

Bima bergegas pergi menemui perawat jaga IGD untuk mempersiapkan lembar persetujuan itu. Hatinya berkecamuk luar biasa, dipikirannya hanya ada gadis itu. Apakah dia juga bernasib sama dengan Nina?

Apakah kemudian dia hamil? Atau seperti ketakutannya yang lain bahwa gadis itu kemudian depresi lalu bunuh diri? Atau bagaimana? Rasanya ingin sekali Bima mencari tahu bagaimana kabar gadis itu, tapi bagaimana caranya? Namanya saja dia tidak tahu, apalagi alamat dan informasi lainnya tentang dia! Satu-satunya yang Bima ingat hanyalah wajahnya dan jangan lupa, kenikmatan tubuhnya!

Sialan!

Kenapa di saat ini dia masih memikirkan hal itu sih? Kenapa di saat ini dia masih memikirkan hal hina yang sudah ia lakukan pada gadis itu? Bima sudah benar-benar gila!

"Dok, kok ngelamun sih?" Dian, salah satu perawat IGD menyenggol lengan Bima, di tangannya sudah ada lembar persetujuan tindakan kuretase yang akan dokter Gina lakukan itu.

"Eh-oh ... nggak apa-apa, cuma kasian saja sama ibunya pasien itu, Sus," guman Bima sambil tersenyum kecut.

"Iya kasian ya, Dok. Anaknya hamil mana masih muda, di luar nikah tanpa ada laki-laki yang mau bertanggungjawab lagi!"

Hati Bima kembali seperti ditusuk sembilu, apakah ibu dari gadis itu juga merasakan hal seperti ini? Sedih, hancur, kecewa dan marah dengan apa yang sudah menimpa puterinya itu? Ahh ... Bima memang laki-laki tidak bermoral!

Harusnya ia tidak meninggalkan gadis itu begitu saja setelah ia selesai menuntaskan segala hasrat terkutuknya pada gadis yang tidak berdaya itu, harusnya ia bertanggungjawab atas apa yang sudah ia lakukan, tapi bagaimana dengan Melinda kalau ia melakukan itu?

Sungguh simalakama! Namun jujur, Bima sampai sekarang masih dihantui rasa bersalah yang begitu luar biasa, rasa takut kalau sampai gadis itu sampai hamil atau bunuh diri.

"Dok, ini lembar persetujuannya," guman Bima sambil menyodorkan lembar itu pada dokter Gina.

"Terima kasih banyak, Bim." dokter Gina menerima lembar yang Bima sodorkan itu, "Sepi? Bantu saya kuretase bisa?"

Bima menengang, bantu kuretase? Tentu ini bukan hal asing bagi Bima, dulu ketika ia masih koas di stase obstetri ginekologi, ia beberapakali membantu residen dan konsulennya melakukan prosedur ini. Hanya saja untuk sekarang, kenapa rasanya jadi begitu lain? Kenapa ia jadi takut? Kenapa wajah gadis itu terus membayangi Bima?

Namun Bima tidak bisa menolak bukan? Ia hanya mengangguk pelan lalu bergegas menarik meja instrumen yang sudah disiapkan itu. Tangannya menekan botol handsanitizer lalu meraih handscoon. Keringat sudah membanjiri wajah dan tubuhnya. Jantungnya berdegup lebih kencang.

Dan prosesi kuretase pun dimulai, setelah semuanya siap, dokter Gina mulai memasukkan alat kuret yang berbentuk seperti sendok itu ke dalam jalan lahir gadis itu yang telah lebih dulu di lebarkan dengan laminaria.

Hati Bima seperti terkoyak dengan begitu luar biasa. Ia seperti merasakan pedih yang dirasakan gadis itu, meskipun ia tahu gadis itu tidak merasakan apa-apa efek anestesi yang telah diberikan kepadanya sebelum proses kuretase di mulai. Bagaimana kalau gadis yang ia perkosa itu bernasib yang sama? Bagaimana kalau darah dagingnya bernasib seperti janin yang hari ini ia bantu keluarkan dari rahim ibunya ini?

Mata Bima memerah luar biasa, tak terasa air matanya menintik kemudian. Yang coba Bima lakukan hanyalah selalu mengingat wajah gadis itu dan berharap kelak ia bisa bertemu dengannya sekali lagi. Hanya sekedar menanyakan kabar atau memastikan bahwa dia baik-baik saja!

***

Bima menutup pintu toilet dengan kasar, ia langsung duduk di kloset sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis, benar-benar menangis! Kenapa harus seperti ini? Kenapa rasa bersalah itu terus menghantuinya meskipun ia sudah mencoba sekuat tenaga melupakan itu semua! Mencoba untuk tetap biasa aja dan baik-baik saja, namun rasa bersalah dan berdosa itu tetap menyiksanya! Apakah dia akan seperti ini terus?

Bima mengusap wajahnya dengan kasar, rasanya ia harus secepatnya mencari tahu dimana dan siapa gadis itu, bagaimana kabarnya! Sebelum ia mati berdiri karena di dera perasaan bersalah yang begitu luar biasa itu.

Bima mencuci wajahnya di wastafel, lalu melangkah keluar dengan berusaha setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi apapun. Tidak ada yang boleh tahu tentang hal ini! Tidak siapapun, kecuali dia, gadis itu dan Tuhan yang menyaksikan perbuatan bejat Bima kala itu.

Bima terus melangkah ke poli rawat jalan, ia baru ingat bahwa ia harus menemui dokter Hilman guna menyerahkan beberapa file data yang beliau minta sebagai kelengkapan syarat program internship-nya. Ia terus melangkah dengan gagah, hingga kemudian ia melewatkan sosok yang tengah duduk di kursi tunggu depan ruang praktek dokter Hendratmo itu, salah seorang dokter obsgyn yang juga dinas di rumah sakit ini.

Gadis itu tampak sedang asyik memainkan smartphone miliknya, sementara sang ibu di sisinya sedang mengobrol dengan wanita hamil yang duduk di sisinya.

Bima sama sekali tidak menyadari gadis itu, pikirannya berkecamuk luar biasa. Yang ada di pikirannya hanyalah segera sampai di ruang dokter Hilman dan segera kembali untuk bertugas lagi, agar semua rasa bersalah dan berdosa ya sedikit terobati.

***

"Ma, katanya nggak antri banyak!" protes Vina yang sudah sangat bosan mengotak-atik handphone di tangannya.

"Ya sabar dong, kan yang daftar online juga banyak, Sayang," Ani tersenyum lalu menyodorkan air mineral ke putrinya yang sudah manyun itu.

"Tau gitu tadi ke bu Palupi aja deh, nggak antri banyak kalau jam segini," Vina mencebik, menerima botol air mineral itu lalu meneguk isinya. Bu Palupi adalah bidan praktek mandiri yang praktek tidak jauh dari rumahnya.

"Heh, ini dokter kandungan paling direkomendasikan, Sayang! Pokoknya ya buat cucu mama, tidak boleh sembarangan, harus yang terbaik! Paham?"

Vina tersenyum, ia sangat beruntung memiliki ibu sepeti Ani. Tidak peduli seberat apa kesalahan yang sudah ia lakukan, Ani tetap merangkulnya, men-support dan selalu memberikan yang terbaik untuknya dan janin yang ada di dalam kandungan. Walau tanpa ayah, walaupun Vina sendiri tidak tahu siapa bapak dari anaknya, Ani tetap menyayanginya dan mencintainya dengan begitu luar biasa.

Vina hendak buka mulut untuk mengucapkan beribu terima kasih pada sang mama ketika panggilan itu mengejutkan dirinya.

"Nyonya Levina Agustina Dewantara!"

Sontak Ani bangkit, membantu Vina berdiri lalu membimbingnya masuk ke ruang periksa dokter Hendratmo. Di saat bersamaan, laki-laki tinggi tegap dengan wajah rupawan itu keluar dengan begitu gagah dari ruang salah seorang dokter. Jas putih yang ia kenakan makin membius banyak pasien yang menumpuk di poli rawat jalan. Ia melangkah dengan begitu santai dan begitu gagah.

"Astaga, kalau dokternya seganteng ini mah, aku rela deh pilek tiap hari!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
eek kirain ketemu
goodnovel comment avatar
Lea Octa
ih ko kesel sih gemes dikira bakalan ketemu sm Levina eh lewat begitu aja si Bima nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status