Share

Menangislah selagi bisa!

                 Berdamailah dengan dirimu!

                                     ***

Nahla menatap perkarangan rumah di depannya. Sepi, itulah yang tergambar dalam pikirannya saat ini.

Apa di sini tidak ada kehidupan sama sekali sampai-sampai perkarangan depan rumah tersebut tidak terawat.

Nahla melangkahkan kakinya masuk, ia menatap sekitaran hingga suara seseorang mengagetkannya.

"Ngapain lo ke sini?!" tanyanya menatap Nahla datar.

Nahla hanya diam sekarang ia fokos dengan penampilan pria yang ada di depannya saat ini.

"Gue ...." ucapan Nahla belum selesai tapi tubuhnya langsung dipeluk oleh Gilang.

Dia menangis?

Gilang menangis didekapan Nahla, tanpa sadar ia ikut membalas pelukan dari Gilang.

"Lo kenapa?" tanya Nahla pelan, Gilang hanya diam menangis tanpa bersuara.

Nahla melepaskan pelukan Gilang, ia mengajak Gilang duduk di teras. Nahla hanya diam menunggu cerita dari Gilang.

"Gue lagi nggak pengen cerita," gumamnya mengalihkan pandangan.

"Lo nggak biasanya sampai begini," ujar Nahla.

"Nggak semua harus bisa diceritakan," gumamnya menatap datar Nahla.

Nahla nampak berfikir. "Yaudah, kalau gitu gue mau pulang," pamit Nahla tersenyum sinis.

Gilang hanya diam membiarkan Nahla pergi tanpa mencegahnya lagi. Sekarang salahnya ya salahnya tidak bisa jujur karena tidak ingin membuat gadis itu merasakannya.

***

Nahla duduk di halte bis sudah sekitar 45 menit ia menunggu dan belum juga ada bis yang datang satu pun, menyebalkan.

"Eh, nunggu bis juga ya Dek?" tanya Ibu-Ibu duduk di samping Nahla.

"Iya Bu," jawab Nahla sopan.

"Udah lama?" tanyanya membuat Nahla mengangguk.

"Owh, pantesan dari raut wajahnya udah kesal begitu," kekeh Ibu tersebut membuat Nahla malu.

"Ibu juga nunggu bis?" tanya Nahla tersenyum tipis.

"Iya, akhir-akhir ini memang jarang bis lewat daerah ini," jelas Ibu tersebut memnuat Nahla menganggu, pantas saja sudah menunggu lama tapi belum ada lewat.

"Ibu mau kemana?" tanya Nahla membuat Ibu tersebut terdiam. Dia menghela napas kemudian kembali tersenyum.

"Ke jalan Merpati, komplek pemakaman," ujarnya menatap jalanan yang sepi.

Nahla hanya diam. "Dua tahun lalu anak Ibu dan kecelakaan, nyawanya nggak bisa diselamatkan. Ibu mau jenguk dia ke sana," ujar Ibu tersebut menatap Nahla.

"Maaf Bu," ujar Nahla merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa setidaknya Ibu bisa bercerita, karena sudah lama sekali pengen berbalas sapa dengan gadis seumuran kamu, kamu mirip anak Ibu," ujarnya. Nahla membalas dengan anggukan.

"Eh, nama kamu siapa Dek, dari tadi kita berbicara tapi tidak saling tau nama," kekehnya.

"Nama saya Nahla Bu," balas Nahla tersenyum.

"Nama yang bagus seperti orangnya."

Setalah mengobrol cukup lama akhirnya bis yang ditunggu-tunggu akhirnya datang.

Nahla duduk di dekat jendela, ia menatap jalan raya. Suasanya sore diperempatan lampu merah pasti 'tak luput dengan kemacetan karena para pekerja kantor yang hendak pulang ke rumah masing-masing.

Sesampainya di halte menuju perumahan Nahla langsung berjalan menuju komplek dimana rumahnya berada.

"Assalamualaikum," ucap Nahla memasuki rumahnya.

Sepi? Kenapa sepi sekali Mama atau Anin bahkan Bi In tidak terlihat. Nahla memilih pergi ke dapur sekedar membasahi tenggorokannya yang kering.

"Non Nahla, baru pulang?" tanya Bi In mengagetkan Nahla yang tengah minum.

"Bibi kebiasaan." Ngambek Nahla karen Bi In muncul dari bawah bar.

"Hehe, maaf non. Bibi ngambil sendok jatuh," ujarnya tersenyum.

Nahla mengangguk kecil, karena sudah hafal sekali dengan kebiasaan Bi In. "Bi, Mama sama Anin mana kok nggak kelihatan?" tanya Nahla duduk di depan Bi In yang tengah memotong bawang.

"Oh, nyonya sama Anin lagi keluar tadi Tuan datang," ujar Bi In.

"Mereka pergi bareng?" tanya Nahla heran.

"Iya."

"Tumben," gumam Nahla bingung karena tidak biasanya melihat hubungan antara Mama dan papanya itu.

"Positif thingking aja Non, semoga hubungan mereka baik," ujar Bi In meyakini Nahla.

Nahla masih bingung, tapi ia tetap mangangguk, semoga saja.

"Kok telat lagi pulangnya Non?"

"Eum, tadi ada rapat osis sama mampir ke rumah Gilang," jawab Nahla jujur.

"Gilang?" tanya Bi In bingung.

"Teman Nahla Bi," jawab Nahla sambil tersenyum nyegir.

"Teman tapi ke rumah dia segalak," ledek Bi In.

"Kebetulan aja ada urusan sekolah sama dia, mampir deh," ujar Nahla berbohong.

"Owh, gitu." Nahla mengangguk dan memilih pamit ke kamarnya untuk istirahat.

"Rasanya gue terjebak dalam dimensi waktu," gumam Nahla karena ia merasa baik hari ini atau hari sebelumnya terasa lama sekali.

Nahla merebahkan badannya ke kasur. Ia manatap langit-langit kamarnya yang bosan untuk dipandang.

"Sepuluh menit, fiks tidur," gumam Nahla memejamkan matanya.

***

Pria itu menatap tetesan hujan dari balik kaca. Dia merasa hampa dengan keadaannya. Gilang, dia Gilang tengah  melamun memikirkan masalahnya.

"Kapan berakhir. Tuhan?" bisiknya mengedarkan pandangannya ke ruangan yang sepi tersebut.

"Ya, aku memang bodoh!" Gilang mendudukkam dirinya dengan kasar di atas sofa.

Dia memejamkan matanya, menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Baru saja matanya terpejam, harus kembali terbuka paksa karena ketokan pintu dari luar.

Gilang kesal dia bangkit dengan ogah-ogahan menuju pintu. Saat pintu terbuka dia diam membeku melihat siapa yang sekarang berdiri di hadapannya.

"Ngapain anda kembali ke sini?" tanyanya menatap tajam orang tersebut.

"Maaf."

"Pergi!" usir Gilang kepada wanita tersebut.

"Maaf." Dia berulang kali mengucapkan kata maaf tapi tidak didengarkan oleh Gilang.


______________________________________________________________________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status