"Nahla, Nahla," decak seseorang membuat Nahla menoleh ke belakang.
Dia Gadis, teman Nahla yang telah lama tidak bertemu. "Gadis," sapa Nahla dengan ekspresi sama, datar.
Gadis mengangguk. "Udah lama tidak berjumpa," ujarnya tersenyum miring.
Nahla mengangguk, ia memilih duduk di bangku yang ada di depannya. Gadis mengikuti Nahla dan duduk di sampingnya. "Btw, lo sendiri aja?" tanya Gadis menatap lurus ke depan. Desiran angin malam ditambah suara ombak membuat rasa nyaman tersendiri bagi keduanya.
"Iya, lo sendiri?" tanya Nahla balik.
"Sama pacar," jawab Gadis tersenyum tipis.
Nahla mengangguk singkat. Canggung, mungkin itu yang mereka rasakan sekarang. "Kabar Gilang gimana?" tanya Gadis membuat Nahla diam bergeming.
Dua hari belakangan ia belum bertemu sama sekali dengan Gilang. Apa keadaan baik? Ia rasa tidak. Nahla menggeleng tanda tidak tahun bagaimana kabar Gilang saat ini.
Gadis mengangguk singkat i
Apakah aku harus menerima pilihan kembali? Kurasa iya.****"La," tegur Syifa karena sadari tadi Nahla hanya melamun."Ha?""Lo kenapa sih?" tanyanya bingung."Kenapa?" tanya Nahla balik."Nggak apa-apa sih," jawab Syifa bertumpu tangan.Nahla bekelik kesal, kemudian merebahkan kepalanya ke atas meja. "La," panggil Syifa lagi.Nahla tidak bergeming. Ia hanya diam sambil memejamkan matanya. "Nahla bantu gue." Terdengar suara bisikan membuat Nahla mendongkan kepalanya."Lo ngomong tadi?" tanya Nahla memicingkan matanya menatap Syifa."Cuman manggil aja," jawab Syifa masuh diposisi bertumpu tangan.Nahla hanya ber 'oh' kemudia bangkit dari bangkunya. "Eh! Lo mau kemana?" tanya Syifa bergegas bangkit.Nahla memicingkan matanya sekita tawanya meledak melihat Syifa tersungkur di lantai."Anjir," gerutu Syifa menatap sekeliling untung hanya mereka berdua saja di kelas.
Kaki jenjang Nahla terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Bau obat sangat menyengat yang biasa tidak disukai Nahla. Tapi, sekarang mati-matian membiarkan itu."Nahla." Rendi menghadang jalan Nahla."Ngapain lo ke sini?" tanyanya dengan nada yang tak bersahabat."Urusan lo?" tanya Nahla balik dengan nada yang sama."Pergi!" Rendi mengusir Nahla, bukan tanpa sebab dia mengusir Nahla tapi ini semua sebab Nahla."Oke," gumam Nahla menatap kosong ke depan. Ia pergi dari hadapan Rendi.Bagaikan tak ada semangat Nahla duduk di salah satu bangku di koridur rumah sakit tersebut. Ia menghela napas berat, apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.Ia menunduk sambil mengusap-usap tangannya yang dingin karena hawa angin malam."Nahla," panggil wanita paruh baya yang mendekat ke arahnya. Nahla mendongkakan kepalanya."Tante Iren?" tanyanya bingung.Wanita tersebut mengangguk lalu duduk di samping
Sekarang Nahla tengah bermain dengan Anin di ruang keluarga. Sekarang rumahnya sedang kedatangan tamu teman mamanya."Anin Kakak kebelakang dulu ya," ujar Nahla menyuruh Anin tetap di sana. Gadis tersebut hanya mengangguk karena tengah asik bermain boneka."Bi In," panggil Nahla membuat wanita paruh baya itu menoleh."Iya, Non?""Biar Nahla aja ngantarin," ujarnya kebetulan ia juga mau pamit sama mamanya ke rumah sakit."Nggak apa-apa Non?""Nggak apa-apa Bi, Nahla minta bantuan aja jagain Anin. Kasian sendiri," ujar Nahla. Bi In mengangguk.Nahla membawa baki yang berisi minuman ke ruang tamu."Tante Iren?" Nahla terkejut ternyata Tante Iren yang berada di rumahnya."Nahla?" tanyanya bingung. Ilen yang melihat itu tersenyum. "Duduk dulu sini," suruhnya kepada Nahla.Nahla menurut saja, ia duduk di sebelah Ilen, mamanya. "Kamu udah kenal Tante Iren?" tanya Ilen membuat Nahla mengangguk."B
Nahla menatap tajam seisi ruangan tersebut. "Kalian bisa serius nggak sih?"Semua diam membisu 'tak ada sahutan sama sekali dari mereka. "Lo ngumpulin kita cuman mau marah-marah?" tanya salah satu dari mereka.Ilham memberi isyarat kepada mereka semua agar diam. Karena melihat emosi Nahla yang tidak terkontrol dia memilih inisiatif sendiri mengambil Infocus Projektor."Silakan kalian pahami lebih dahulu," ujar Ilham setelah menyalakan infocus tersebut dan menyambungkan ke laptopnya."Lah? Kok bisa?!" tanyanya membaca berkas yang terpampang jelas di hadapan mereka saat ini yang tidak sesuai dengan sistem program kerja mereka."Ada yang bisa jelasin?" tanya Nahla dengan sorot mata tajam."Ini bukan kebetulan!" bentak Nahla membuat yang lain terkejut."Maksudnya?" tanya Gibran bingung."Duduk aja dulu," suruh Ilham membuat Nahla menghela napas berat, emosinya tidak terkendali bahkan ingin sekali hia membanting ba
Nahla tersenyum simpul melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Abangnya dan mamanya duduk berdampingan sudah lama sekali ia tidak melihat pemandangan tersebut."Kali ini aja, nginap di sini," bujuk Ilen tetapi Naufal tetap kekuah dengan pendiriannya."Demi Nahla," gumam Ilen pada akhirnya.Naufal terdiam kemudian melirik Nahla yang tengah menatapnya. "Oke," jawabnya final. Setelah itu dia izin kebelakang untuk menelfon Nurul agar menyusulnya kemari.***"Kak lucu deh," bisik Nahla di samping Nurul kebetulan kakak iparnya itu sudah sampai.Nurul tersenyum geli. "Biarin aja mereka berdua yuk. Kita kabur," ajaknya membuat Nahla mengangguk.Mereka berdua memilih naik ke lantai atas tepatnya ke kamar Nahla. "Dah lama Kakak nggak ke sini, nggak banyak berubah ya," ujar Nurul duduk ke atas ranjang Nahla."Heum, begitulah." Nahla duduk di kursi belajarnya menghadap ke arah ranjang."Kamu, ada perubahan nggak?" tanya Nu
Syifa menyipitkan matanya menatap Syafir dan Ilham. "Kalian ngapain?" tanyanya menghampiri yang sadari tadi hanya diam berdiri di depan pintu kelasnya."Oh, nggak lo lihat, ee lihat Nahla nggak?" tanya Syafir agak gugup.Syifa mengedikan bahunya dan berlalu dari hadapannya. "Huft, untung nggak banyak tanya tuh bocah," gumam Syafir menghela napas."Siapa yang lo bilang bocah," ujar Syifa berada di belakang Syafir hingga menggagetkan dirinya dan juga Ilham."Buset, bukannya lo dah pergi?" tanyanya bingung."Kalian mau ngibahin gue ya?" sosor Syifa menatap datar."Nggak, kami nunggu Nahla," jawab Ilham datar.Syifa membulakan mulutnya ber 'oh'. "Kak yang kemarin gimana?" tanyanya penasaran."Kemarin apanya," sahut Syafir memilih duduk di samping cewek tengil itu."Yang itu," jawab Syifa melirik ke sekitar. "Promosal kita yang dicolong itu," bisiknya ke telinga Syafir."Entah," jawabnya cuek. "Pinjem handphone l
Apa yang kau pikirkan, tak semua berjalan dengan semestinya. Nahla menghembuskan napas panjang. Pikirannya berkecamuk, sekarang tujuannya ialah ke rumah sakit."Apa lo yakin?" bisikan tersebut selalu menghantui pikiran Nahla. Tapi Nahla ialah Nahla, akan tetap jadi keras kepala.Sekarang ia tengah siap-siap untuk pergi, tapi ...Terdengar seperti pecahan piring dari bawah. "Apa lagi ini Tuhan," gumamnya beranjak melihat apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana.Saat genggang pintu mau ia tutup. Tangannya langsung dicekal oleh Nurul. "Kak Nurul?" tanyanya bingung."Masuk gih," suruh Nurul tambah membuat Nahla kebingungan."Masuk aja." Nurul mendorong tubuh Nahla masuk ke dalam kamarnya kembali dan dia juga ikut masuk tak lupa mengunci pintu kamar."Ada apa di bawah Kak?" tanyanya bingung."Nggak ada apa-apa. Sini aja, palingan Anin nggak sengaja jatuhin piring," ujar Nurul. Tapi dia tersadar. "Anin."Nurul la
Nahla menatap bingung ke tiga orang yang ada di hadapannya saat ini."Tadi kamu ngapain?" tanya Nurul mengintrogasi Nahla."Nggak ada," bohongnya pasalnya Nahla mendonorkan darahnya. Sebenarnya mendonorkan darah baik untuk sang pendonor sendiri tapi melihat kondisi Nahla seperti ini cukup mengkhawatirkan bagi mereka."La!" Naufal menatap tajam adiknya. Nahla menghela napas. "Aku cuman mau bantu," cicitnya. "Tapi kamu ngorbanin diri kamu tanpa tau efek samping bagi kamu," ujar Nurul memarahi."Kan niat Nahla baik," ujarnya tak mau kalah."Kita pulang," ajak Naufal membuat Nahla terdiam."Kemana?" tanyanya melirik Naufal dengan tatapan yang tak bisa diartikan."Ke rumah Abang." Karena tidak mungkin saat ini Nahla kembali ke rumah mamanya."Anin?" tanyan lagi membaut Naufal ingin sekali membenturkan kepalanya ke tempok dengan sikap Nahla yang kelewati peduli sekali."Anin Kakak titipin ke tante Iren,