Share

5. Pria sinting

"Kau!" kaget Reva spontan menunjuk ke arah Artan yang juga kaget saat melihatnya.

Wajah Reva mengeras menahan amarah yang ingin meledak-ledak saat melihat wajah pria yang tempo hari memanfaatkannya. Reva menoleh ke arah Johan yang ekspresinya tak bisa di tebak.

"Apa maksudnya semua ini pak Johan?" tanya Reva marah. "Coba jelaskan padaku, kenapa pria ini ada disini?!"

Suara Reva yang nyaring nyaris mengalihkan perhatian seluruh pengunjung cafe lainnya. Reva tak peduli jika kali ini ia menjadi pusat perhatian kembali seperti tempo hari.

"Nona Reva, tenang dulu." kata Johan berusaha menenangkan suasana.

"Tidak!" tolak Reva seraya mengambil tasnya yang ada di meja.

"Aku membatalkan semuanya, pak Johan bisa mencari Mak comblang lainnya untuk mencari pasangan pria ini!" kata Reva menolak kerjasama Johan sembari kembali menunjuk ke arah Artan.

"Permisi," pamit Reva dan buru-buru ingin pergi secepatnya dari situ.

Dengan gerakan cepat Artan menahan kepergian Reva dengan menarik rambut panjang wanita itu yang di kucir satu, tarikan rambut Artan yang kuat membuat suara pekikan kesaktian Reva.

"Awwwhh! Lepas!" bentak Reva merasa kesakitan.

"Tidak!" tolak Artan cepat melepaskan tangannya yang menarik rambut Reva.

Reva memegangi kepalanya yang terasa sakit, rasanya rambut Reva seakan rontok semua. Belum sempat Reva merasa tenang, Artan mencekal lengannya dan langsung melangkah sambil menyeret Reva pergi dari cafe itu.

"Hei, Artan, tunggu!" jerit Johan kalang kabut melihat temannya itu yang langsung menyeret Reva.

Johan ingin mengejar Artan tapi sayangnya ia di hadang oleh pelayan cafe yang meminta bill pesanan minuman yang tadi di pesan Aldi dan Reva. Johan mendesah kesal seraya mengambil dompetnya, mengeluarkan lembaran uang tunai berwarna merah sebanyak dua.

Reva meronta-ronta berusaha melepaskan cekalan tangan Artan yang kuat, sayangnya pria itu tak mempedulikannya dan tetap melanjutkan langkahnya.

Setelah di depan mobilnya yang ada di parkiran, Artan langsung membuka pintu mobil dan dengan cepat memasukkan tubuh Reva kasar.

"Awhh!" ringis Reva kesakitan karena Artan mendorong kasar tubuhnya agar masuk ke dalam mobil.

Artan masuk ke dalam mobil di bagian kursi kemudi, menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan sedang.

"Pria gila!" maki Reva saat mobil sudah berjalan membelah jalanan.

Artan hanya menanggapinya dengan senyuman sinis serta kekehan.

Reva yang sebal melihat tampang Artan pun memilih mengurut lengannya yang terasa sakit. Benar-benar pria yang sedang menyetir ini mengalami gangguan jiwa, Reva saja bahkan belum mengenalnya. Tapi, dengan santainya pria ini bertindak sesuka jidatnya.

Reva menatap ke arah jalanan yang entah mengarah kemana, ia tidak tahu akan dibawa kemana dirinya sama pria gila ini.

"Apa dia ingin menculikku?" batin Reva bertanya-tanya dengan gerakan bola mata yang was-was mengamati setiap gerak-gerik sekitarnya.

******

"Turun!" titah Artan setelah sampai dan membuka bagian sisi mobil yang Reva duduki.

"Tidak mau!"

Artan mendesah lelah dan sekali lagi ia mencekal lengan Reva seraya menyeretnya keluar.

"Lepas! Ini sangat sakit bodoh!" kembali Reva memaki dan meronta-ronta.

"Aku sudah memperingatimu tadi, tapi kau menolak untuk menurut bukan?" sahut Artan enteng.

"Kau memang pria gila! Sakit jiwa!"

Artan tak membalas segala rentetan umpatan Reva dan tetap lanjut menyeretnya sampai di depan pintu rumah megah bercat kuning seperti keemasan.

Reva tercengang melihat rumah mewah yang begitu sangat cantik dan besar. Bahkan sangking kagumnya, mulut Reva menganga lebar.

"Ini rumah siapa?" tanya Reva saat Artan melepaskan cekalan tangannya, dan mengambil kunci di dalam saku jas kerjanya.

Reva melupakan niatnya yang tadi berusaha lepas dari cekalan Artan, dan ia hanya diam saja saat Artan kembali mencekal lengannya seraya menyeretnya masuk ke dalam rumah mewah itu.

Artan menghempaskan tubuh Reva ke sofa empuk yang ada di ruang tamu rumahnya. Reva kembali meringis merasakan sakit saat Artan menghempaskan dirinya meskipun sofa itu lembut.

"Apa?!" tanya Reva galak saat melihat tatapan mata Artan yang menatapnya lekat.

"Ternyata kau bekerja sebagai mak comblang?"

"Ya."

"Aku terkejut," ungkap Artan, ia melipat kedua tangannya di dada.

"Tapi, aku tidak akan pernah mau menjadi Mak comblang untukmu."

"Kenapa?" tanya Artan menyipitkan matanya bingung.

"Karena kau pria gila yang seenaknya melakukan apa saja sesuka udelmu."

"Hah? Udel?" ulang Artan merasa asing dengan kata itu.

Reva menyentak bangkit berdiri ingin pergi, dan lagi-lagi dengan cepat Artan menghalanginya. Kali ini Artan menghalangi menggunakan tubuhnya.

"Mau kemana kau?"

"Aku mau pulang dodol!"

"Enak saja, kita belum juga memulai perjanjian soal urusan kerjasama itu."

"Sudah aku katakan cari mak comblang lain, aku sibuk." lagi Reva menolak.

Di dorongnya dada Artan agar bergerak mundur, bukannya mundur malah tubuh Artan tak bergerak se-inci pun dengan dorongan kedua tangan Reva.

Ya Tuhan! dadanya keras sekali. batin Reva takjub.

Artan mengamati tatapan Reva yang mengarah ke dadanya, tersenyum Artan saar melihat tatapan mata Reva yang tak beralih sedikit pun pada dadanya.

Dengan iseng Artan membuka jas kerja beserta dasinya, Reva melihat semua pergerakan Artan dengan antusias.

Tangan Artan yang jahil bergerak ke arah kemeja putih dan berniat ingin membuka kancing kemeja putih itu. Tapi, suara dering ponsel Artan mengalihkan semuanya. Artan mengambil ponselnya yang ada di saku jas kerjanya yang tergeletak di lantai.

"Johan?" gumam Artan seraya menggeser layar kecil berwarna hijau.

"Artan, kau dimana!!" teriak Johan di sebrang telepon. Artan bahkan harus sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya, suara jeritan Johan menyumbat indera pendengarannya.

"Aku di rumah," sahut Artan kalem.

"Kembalikan Reva!" teriak Johan lagi.

Reva? Maksudnya Mak comblang ini? batin Artan bertanya-tanya.

Ia menatap Reva yang juga membalas tatapannya dengan sengit. Seketika ide liciknya muncul dan langsung mematikan sambungan telepon sepihak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status