"A—apa yang mau kau lakukan?!" tanya Reva was-was seraya melangkah mundur ke belakang saat melihat Artan yang melangkah maju mendekatinya sembari membuka kancing kemeja putihnya satu persatu.
Artan tersenyum sinis memperhatikan gerak-gerik si Mak comblang ini yang ketakutan.
"Berhenti!" cegah Reva semakin kalut saat kemeja putih itu telah terlepas dari tubuh Artan.
Kini, pria itu bertelanjang dada di hadapan Reva yang sekarang dapat melihat jelas bagian atas tubuh Artan yang naked.
"Kenapa?" tanya Artan enteng. "Kau takut nona, Mak comblang?" Reva mendengkus sebal mendengar panggilan Artan padanya.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" tanya Reva langsung dan tak ingin berbasa-basi lagi. Kelamaan bersama Artan membuatnya ingin muntah dengan segala tingkah polanya.
"Memperkosamu."
"Eh!" Reva berjengit kaget. "Kau gila!"
"Ya, aku gila, dan karena kegilaanku ini aku ingin memperkosamu." tangan Artan bergerak ke arah tali pinggangnya, menggeser dengan gerakan pelan.
Kedua mata Reva melotot melihat itu, kepalanya menggeleng saat ia tahu apa yang bakalan terjadi selanjutnya. Pria ini sungguh tak main-main dengan ucapannya.
"H—hei, sadarlah! I—ini salah." kata Reva tergagap seraya menutup kedua matanya.
Demi Tuhan! Sekarang Reva sangat ketakutan.
"Siapapun tolong selamatkan aku!!!" teriak Reva nyaring.
Artan bahkan harus sampai menutup kedua telinganya mendengar jeritan Reva yang lebay namun terasa sangat kuat.
"Berisik sekali kau ini!" sahut Artan kesal. "Begini saja, permudah masalahnya. Kau mau menyetujui kerjasama ini tidak? Menyetujui jika kau yang akan menjadi Mak comblang diriku, bagaimana?" tawar Artan yang langsung angguki Reva cepat.
Artan menghentikan gerakan tangannya yang ingin membuka tali pinggangnya sendiri.
Hhhh, konyol sekali aku! batin Artan terkekeh.
Reva membuka matanya perlahan dan bisa bernafas lega melihat apa yang dipikiran buruknya tak terjadi. Artan menatap geli Reva, tangan Artan bergerak menepuk sisi sofa disampingnya yang sedang ia duduki.
"P—pakai dulu bajumu." titah Reva tak enak melihat Artan yang masih bertelanjang dada.
"Kau bawel sekali ya, atau mau langsung kulanjutkan hal yang tadi?"
"Eh tidak, tidak." tolak Reva cepat, ia melangkah cepat ke arah sofa dan duduk di samping Artan
"Terus terang saja ya, aku ingin kau mencarikanku wanita untuk menjadi pasanganku. Kriteria tipe wanita idamanku adalah. Yang pertama harus cantik, itu pasti. Yang kedua haruslah pintar, seksi, dan berpendidikan—kenapa ekspresi wajahmu begitu? Kau mengejekku?"
"Ti—tidak," bohong Reva tergagap.
Sesungguhnya Reva mual dan ingin muntah saat ini juga mendengar begitu banyaknya rentetan kriteria tipe wanita idaman Artan.
"Lanjut lagi, yang ketiga wanita itu haruslah baik tentu saja. Terutama baik padaku dan seluruh keluargaku. Yang keempat—"
"Stop!" jerit Reva memotong ucapan Artan. "Bisa mati aku kalau harus mencarikan wanita yang seperti itu." kesal Reva.
"Loh, itu kan memang sudah menjadi tugas kalian."
"Hhh, baiklah, aku akan mencarikan kriteria wanita idamanmu. Sekarang tolong antarkan aku pulang." Reva bangkit berdiri bersiap pergi.
"Pulang saja sendiri!" kata Artan enteng.
Apa katanya? batin Reva kesal, ia mengepalkan kedua tangannya kuat.
Reva menolehkan kepalanya melihat Artan yang kini memejamkan mata dengan kepala bersandar di kepala sofa.
"Ya Tuhan! Kalau saja bukan karena pak Johan dan ancaman pria sinting ini. Aku bersumpah tidak akan pernah mau menjadi Mak comblang untuknya."
Dengan langkah lebar dan cepat Reva keluar dari rumah terkutuk milik Artan itu. Di bantingnya kuat pintu rumah Artan seakan ingin menghancurkan rumah itu menjadi kepingan-kepingan kecil.
Jika saja bisa, maka Reva akan sangat senang melakukannya.
Artan yang mendengar suara pintu rumahnya di banting kuat hanya menanggapinya dengan kekehan. Kehilangan satu rumah tak membuat Artan jadi miskin wahai Mak comblang.
Tapi, ya biarkan saja wanita itu melakukan keinginannya. Artan ingin melihat sendiri usaha wanita itu yang ingin menghancurkan rumahnya.
Reva tampak sibuk mencarikan kandidat wanita sebagai calon pasangan Artan, ia membagikan informasi mengenai seorang pria tampan yang ingin mencari pasangan lewat website dan situs seluruh jejaringan media sosial miliknya dan media sosial milik akun resmi jasa Mak comblang mereka.Tak lupa juga Reva memasukkan foto Artan agar semakin meningkatkan minat para wanita yang ingin menjadi kandidat. Terbukti hal itu memang benar, baru sepuluh menit Reva membagikan informasi itu. Sekarang banyaknya yang wanita yang berminat sebagai calon pasangan Artan Narendra.Reva mendengkus kesal melihatnya. Wanita-wanita ini begitu heboh dan ricuh berbondong-bondong untuk menjadi calon pasangan pria songong plus sakit jiwa itu.Tidak bisakah mereka tak hanya melihat dari wajah saja? Hmm, apa yang terjadi jika mereka sudah melihat langsung sosok yang sedang mereka kagumi saat ini? Seketika Reva tertawa jahat, hahaha.Reva melir
"Dimana wanitanya?" bisik Artan di telinga Reva.Saat ini mereka berdua tengah di cafe yang menjadi tempat janjian bertemu atau tempat kencan Artan dengan salah satu wanita yang menjadi kandidat pertama."Mungkin sebentar lagi dia sampai," sahut Reva yang masih fokus pada layar ponselnya.Artan mendengkus sebal, berapa lama lagi mereka harus menunggu si wanita ini? Sudah cukup lama mereka menunggu, inilah hal yang paling di benci Artan. Satu kata ini yang sangat membosankan, Artan benar-benar sangat benci yang namanya menunggu.Biasanya di kantor ia yang di tunggu-tunggu para bawahannya, dan sekarang untuk hal seperti ini harus ia sendiri yang menunggu.Awas saja kalau wanitanya jelek ataupun tak sesuai kriteria idamanku. Akan ku telan hidup-hidup nih Mak comblang.batin Artan mengomel."Sebentar ya," pamit Reva bangkit berdiri namun tangannya di cekal Artan.
Reva mengumpati layar ponselnya yang menyala, saat ini Johan tengah menghubunginya karena Artan yang meminta. Perasaan Reva mengatakan tak enak hingga ia ragu-ragu untuk mengangkat panggilan telepon dari Johan."Hallo?" sapa Reva akhirnya mengangkat juga panggilan Johan setelah ia berpikir panjang."..........""Apa? K—kenapa bisa pak Jo?" kaget Reva setelah mendengar ucapan Johan di seberang telepon.".............""B—baik, saya akan segera kesana." kata Reva seraya mematikan sambungan telepon."Shittt!" umpat Reva segera bangkit berdiri merapikan pakaian dan penampilannya.Aldi yang sejak tadi duduk di sofa sembari bermain gamesnya pun menoleh ke arah Reva yang tampak panik dan bersiap pergi kembali."Kenapa lo Re? Mau pergi lagi?" tanya Aldi yang langsung di angguki Reva."Iya, gue ada janji temu sama pria
"A—apa pak? Bapak bercanda ya nyuruh saya duduk disitu?" kata Reva berusaha tenang menanggapi Artan yang gila."Siapa yang bilang aku bercanda? Aku serius, dan kemarilah." lagi, Artan menepuk kedua pahanya.Dia gila atau apa? Menyuruhku untuk duduk diatas pangkuannya, benar-benar stress! Pria sakit jiwa!dengkus Reva dalam hatinya."Haha, bapak bisa aja. Itu namanya tindakan tidak sopan pak Artan." kekeh Reva berusaha tetap bersikap manis di depan Artan."Oh, kamu mau aku yang kesitu ya? Baik." Artan bangkit berdiri dari duduknya."Eh, bu—bukan gitu pak." Reva gelagapan melihat reaksi Artan yang kini berjalan mendekatinya. Reva menegakkan badannya dan lebih memilih berdiri. Ia melangkah mundur ke belakang."Lalu, bagaimana maksudmu sekarang ini? Aku menyuruhmu untuk duduk disitu tapi kau tidak mau, dan sekarang aku yang ingin duduk disini kau juga
"Hoaamm," Reva kembali menguap.Terhitung ini sudah yang ketiga kalinya wanita itu menguap karena rasa bosan dan kantuk yang melanda. Bayangkan, hampir sudah tiga jam lamanya Reva duduk di sofa memperhatikan Artan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.Rasanya Reva serba salah dibuat Artan, ia ingin pulang tetapi pria itu melarangnya. Artan menyuruhnya untuk menunggu sampai dirinya selesai pada pekerjaannya. Alhasil, Reva mati kebosanan menunggu Artan sampai selesai."Berapa jam lagi aku harus menunggumu, pak?" tanya Reva dengan mata berair menahan kantuk.Artan menghentikan fokus pada laptopnya, ia melirik ke arah Reva seraya sedikit membetulkan letak kacamatanya yang tampak miring."Kau bertanya sampai kapan menungguku selesai?" Reva mengangguk."Kalau begitu jawabanku, masih lama." kata Artan tersenyum dan kembali fokus pada pekerjaannya."Huaaaa!!!" jerit Reva frustasi. "Kalau begitu biarkan aku pulang wahai bapak Artan Nare
Aku merasakan nyaman dalam tidurku, aku merasa bebas menggeliatkan badanku kesana-kemari. Rasanya sangat empuk, tidak seperti saat di rumahku. Kasur ku saja terasa sangat keras dan sempit untuk ku tiduri sendirian, tidak seperti sofa ini.Sofa?Eh, sebentar! Kenapa rasa sofa ini berbeda sekali saat tadi pertama ku tiduri. Tidak selembut seperti sekarang ini, aneh.Karena rasa penasaranku yang besar, ku buka dengan sangat perlahan sekali kedua mataku. Hal pertama yang ku tangkap setelah aku membuka mataku adalah sebuah ruangan seperti kamar yang sangat indah."Kamar siapa ini?" tanyaku kaget. "Dimana aku ini? Kenapa aku bisa disini?"Ku jelajahi setiap sudut ruangan ini, tapi tetap saja aku merasa asing.Apa aku diculik?Tempat ini terasa aneh dan asing bagiku, kalaupun memang aku sedang diculik, lalu kenapa si penculik itu tidak mengikat tangan dan kaki ku seperti di film-film?Hhh, seketika jiwa-jiwa aktingku meron
"Bang Muis, pesan baksonya dua mangkuk ya." kataku pada bang Muis si penjual bakso langganan ku."Siapp non Reva," jawabnya seperti biasa dengan semangat yang luar biasa.Aku duduk di kursi plastik yang memang di sediakan bang Muis setiap kali ada pembeli yang ingin makan disini. Bang Muis memang biasa mangkal di sekitaran sini, sayangnya satu kesalahan bang Muis yaitu tidak menyediakan tenda untuk para pembeli. Jadi, ketika makan kita akan langsung di suguhkan pemandangan langit di atas.Setiap kali aku ingin makan bakso, maka pelarianku adalah bang Muis. Pria dengan postur tubuh berisi dan tidak terlalu tinggi ini sangat ramah sekali, kulit sawo matang yang hampir mendekati busuk itulah yang semakin menambah daya eksotis dan ciri khasnya.Kata orang, orang hitam itu manis. Ya mungkin itulah sebabnya, hitamnya bang Muis bekerja."Bos, duduk disini." kataku menepuk kursi satu lagi yang ada di sampingku."Tidak ada tempat duduk ya
Haaciimmm.Reva melirik Artan yang terus bersin-bersin sedari tadi."Maafkan aku," ucap Reva merasa tak enak, sebab karena dirinyalah Artan jadi terkena flu.Artan tak menanggapi Reva, ia lebih memilih tetap fokus menyetir menatap jalanan.Reva menggigit bibirnya, merasa tak enak hati pada Artan. Padahal Reva sudah meminta maaf, tetapi Artan sama sekali tak mau menjawabnya."Bos, marah ya?" tanya Reva takut-takut."Tidak!""Terus kenapa diam saja bos? Aku kan udah minta maaf." kata Reva menundukkan kepalanya lesu."Memang kamu salah apa sampai harus minta maaf?" tanya balik Artan."Ya karena aku bos jadi flu gini, kalau saja tadi kita tidak makan bakso di tempat bang Muis, pasti kita gak kejebak hujan kayak gini." Reva menunjuk ke arah bajunya yang basah."Hhh, sudahlah jangan dibahas. Sekarang aku hanya ingin cepat sampai pulang ke rumahku setelah mengantarkanmu pulang." Artan merasakan hawa dingin ya