"Baik, Tuan!" Judis segera membawa Daniel ke sebuah ruangan. Dia memaksa Daniel untuk segera mengatakan "Di mana tempat tinggal Arani" secara lengkap.
Setelah itu, Daniel dihajar hingga babak belur oleh dua orang yang tadi membawanya ke rumah Yuan Louis. Ia dilempar ke jalan dengan darah dan luka di sekujur tubuhnya. Tidak diantar pulang oleh mereka, Daniel tertatih menghentikan taksi yang lewat.
Melihat kondisi Daniel yang menyedihkan, tidak ada satu taksi pun yang mau berhenti dan membawa Daniel pergi. Mereka takut disalahkan karena membawa seorang penumpang yang penuh luka di tubuhnya.
Masih untung jika orang itu tidak mati di dalam taksi. Jika mati? Sopir taksilah yang akan disalahkan.
***
Di siang hari, Elyana terburu-buru keluar dari dalam rumah Arani sambil menarik kopernya. Ia memegang ponsel dengan tangan bergetar sambil mendengar seseorang berbicara dari seberang telepon.
"Sekarang, aku dirawat di rumah sakit. Tubuhku terluka karena dihajar oleh anak buah asisten pribadi kakekmu! Elyana, maaf, aku bukan teman yang baik, memberitahu tempat tinggal Arani pada mereka. Mungkin saja, sekarang, orang suruhan kakekmu sedang mencarimu di Paris. Kau harus hati-hati. Jaga diri baik-baik. Kau tidak bisa membantumu lagi," ucap Daniel dengan sedikit lemah. Namun juga masih sangat mengkhawatirkan Elyana.
Elyana pun mengerti. Ia menjawab sambil menghentikan taksi di jalan, "Ya, aku tahu! Kau juga, jaga diri baik-baik. Sekarang, aku harus segera pergi sebelum Judis menemukanku!"
"Baiklah! Aku tutup dulu teleponnya, ya! Nanti kuhubungi lagi," tambah Elyana sedikit tergesa-gesa.
Setelah mendengar jawaban "Ya." dari Daniel, Elyana segera mengakhiri panggilan teleponnya.
Ketika ponselnya dimasukkan ke dalam saku celana, terdengar suara bunyi benturan yang cukup keras diiringi tubuh Elyana yang tiba-tiba terpental sejauh dua meter ke depan lalu mendarat di tanah.
"Aaaah!"
"Aaaah!"
"Aaaah!" jerit para pengguna jalan ketika melihat sebuah mobil menabrak trotoar jalan, lalu menabrak seorang wanita.
Mereka segera menghampiri Elyana untuk memastikan keadaanya.
"Nona! Apa kau baik-baik saja?"
"Nona, kau tidak apa-apa, kan?"
"Nona, bangunlah!"
Elyana membuka sedikit mata sambil meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya. Penglihatannya terasa buram dengan bintang-bintang yang terus berputar di atas kepala.
Orang-orang itu seger membantu Elyana untuk bangun dan duduk di tanah. Kakinya terluka, pakaiannya sangat kotor, kesadarannya mulai menghilang. Itu membuat semua orang menjadi panik.
"Nona, kau ba—"
"Kalian semua, minggir!" potong seorang pria tinggi dan gagah berjalan masuk ke dalam kerumunan. Tatapannya sangat tajam melihat semua orang yang sedang berkumpul di sana.
Mereka yang berkerumun segera menyingkir. Aura dari pria itu begitu kuat hingga tidak ada satu orang pun yang berani mendekat lagi.
Pria gagah itu segera berjongkok, melihat Elyana sebentar lalu menggendongnya. Ia segera membawa Elyana masuk ke dalam mobil, satu orang lagi mengambil koper Elyana dan memasukkannya ke dalam bagasi.
"Bawa wanita ini ke rumah!" ucap pria itu sambil menatap Elyana yang duduk di sampingnya.
"Apa lebih baik kita pergi ke rumah sakit saja? Kita tidak perlu membawanya ke rumah, Tuan. Siang ini Tuan ada rapat penting, tidak bisa ditund—"
"Pulang ke rumah! Apa kau tidak bisa lagi mendengar semua perintahku?" sergah pria itu memotong ucapan asistennya.
Dirinya ingin merawat wanita ini di rumah. Mengapa asistennya terus membantah?
Melihat ekspresi wajah mengerikan dari tuannya, asisten itu segera mengangguk.
"Ba-baik, Tuan!" Ia tidak berani membantah lagi, segera membawa mobil yang sudah rusak di bagian depan itu menuju rumah tuannya.
Pria itu menghubungi seseorang melalui sambungan telepon. Berbicara dengan singkat lalu menutupnya.
"Aku sudah menghubungi Felix. Dia akan datang ke rumah dan memeriksa kondisi wanita ini," ucap pria itu pada asistennya.
"Jika kita tidak merawatnya sampai sembuh, bisa-bisa, wanita ini melaporkan kejadian ini pada polisi dengan tuduhan 'tabrak lagi'. Aku tidak ingin terlibat masalah hukum apapun. Itu terlalu merepotkan untukku," tegasnya lagi dengan mata sesekali melihat wanita di sampingnya yang terlihat sangat lemah.
"Ya, Tuan David! Saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi, tidak seharusnya kita membawa wanita ini ke rumah. Kita tidak tahu, wanita ini siapa dan asalnya dari mana? Bisa saja dia seorang buronan polisi. Tadi wanita ini membawa koper yang sangat besar. Tidak menutup kemungkinan, jika saat ini, dia sedang melarikan diri." Asistennya diam sejenak. Lalu melanjutkan ucapannya, "Dan lagi ... kecelakaan tadi karena kecerobohan saya. Tidak seharusnya Anda yang bertanggungjawab dan membawanya ke rumah."
Mendengar semua ucapan asistennya, David hanya mengerutkan kening. Ia menoleh ke samping, melihat wanita lemah ini dengan perasaan tidak tega.
Walau wanita ini seorang buronan polisi, lalu, apa yang bisa dia lakukan pada David? Secara, David adalah seorang pria tinggi dan gagah. Dan wanita ini ... hanya seorang wanita kecil yang lemah. Tidak mungkin dia berbuat macam-macam pada David.
"Sekarang, ke rumah saja dulu! Masalah lain, kita bicarakan lagi, nanti!"
"Baik, Tuan!"
Mobil melaju dengan cepat menuju rumah David. Setelah sampai di halaman rumah, sudah ada Felix sedang menunggu mereka di depan pintu.
Melihat David keluar dari dalam mobil membawa seorang wanita, Felix segera datang menghampiri. Mereka jalan bersama masuk ke dalam rumah.
Dengan panik, Felix bertanya, "Ada apa dengan wanita ini? Mengapa pakaiannya sangat kotor? Tubuhnya penuh luka. Dia juga tidak sadarkan diri! Apa yang kau lakukan padanya?"
"Diam! Tutup mulutmu!" sergah David dengan cepat. Ia berjalan masuk ke dalam rumah sambil membawa anita itu, lalu naik ke lantai dua, membaringkan Elyana di atas tempat tidur.
"Periksa wanita ini," ucap David dengan tegas.
Setelah memastikan Elyana berbaring dengan baik di atas tempat tidur, David pun keluar dari dalam kamarnya. Ia membiarkan Elyana diperiksa oleh Dokter Felix—dokter pribadi sekaligus teman baiknya.
Tidak lama, datang dua orang pelayang wanita sambil membawa handuk dan air hangat—masuk ke dalam kamar. Tidak lupa, pakaian ganti untuk Elyana yang mereka ambil dari dalam kopernya.
Setelah selesai memeriksa Elyana, Felix keluar dari dalam kamar. Ia turun ke lantai bawah, lalu duduk di ruang keluarga bersama David.
"Kondisinya cukup baik. Luka di kakinya pun tidak terlalu parah. Ada lecet di tangan dan bagian tubuh lain, itu tidak masalah. Istirahat dua atau tiga hari, kondisinya akan segera membaik," ucap Felix mencoba menjelaskan pada David. Sahabatnya itu terlihat sangat khawatir pada wanita yang saat ini ada di dalam kamarnya.
"Lalu, mengapa dia pingsan? Apa otaknya mengalami cedera?" tanya David tidak mengerti.
Tadi, setelah tertabrak mobil, wanita itu pingsan. Jika bukan karena ada masalah di kepalanya, lantas, kenapa?
"Haha .... Kau begitu mengkhawatirkan dia. Apa kau menyukai wanita itu?" ejek Felix pada David.
Ini pertama kalinya Felix melihat David begitu peduli terhadap seorang wanita. Biasanya, dia selalu bersikap dingin dan acuh pada mahluk yang bernama "Wanita". Tapi sekarang ... David sangat berbeda.
"Hey, apa yang kau katakan? Siapa yang menyukai wanita jalanan itu?" David tidak terima dengan tuduhan temannya.
David menjelaskan, "Tadi, Edwin menabrak wanita itu. Jadi, aku sebagai majikannya harus bertanggungjawab untuk merawat wanita itu sampai sembuh."
"Hah, Edwin ... yang menabrak?" Felix tersenyum masih dengan penuh ejekan. "Jika dia yang menabrak wanita itu, mengapa tidak dia saja yang merawatnya? Tidak perlu kau yang melakukannya, kan?"
"Sudahlah!" David bangkit berdiri. Ia tidak ingin melanjutkan percakapan mereka tentang wanita yang saat ini berbaring di atas tempat tidurnya.
"Sekarang, kau sudah boleh pergi. Nanti, jika ada apa-apa pada wanita itu, aku akan menghubungimu lagi!" ucap David lagi.
Lalu ia beranjak pergi menaiki anak tangga, berniat untuk melihat kondisi Elyana.
Terdengar Felix berteriak, "Dia pingsan bukan karena ada masalah di kepala. Tapi ...."
David menghentikan langkah kakinya. Ia menajamkan telinga untuk mendengar ucapan Felix selanjutnya.
"Mungkin dia sedang diet. Di dalam perutnya tidak ada makanan sama sekali. Hanya ada suara gemuruh saja di perutnya! Haha!"
Ucapan Felix selalu saja penuh ejekkan. Semakin suka melihat reaksi David ketika membicarakan kondisi wanita itu.
"Aku pergi dulu. Rawat wanita itu baik-baik, jangan sampai dia mati karena kelaparan!"
Setelah mengatakannya, Felix segera pergi membawa tas hitam di tangannya. Ia keluar dari rumah mewah milik David dengan perasaan senang.
"Aishh, sial!" umpat David setelah melihat sahabatnya pergi.
Setelah Felix benar-benar pergi, David kembali turun ke bawah. Ia meminta pelayan untuk menyiapkan banyak makanan untuk Elyana, karena tadi kata Felix "Tidak ada makanan di perut wanita itu." Di malam hari, Elyana sudah mulai tersadar. Ia membuka matanya menatap sekeliling ruangan yang nampak redup. Hanya ada lampu berwarna kuning keemasan—di samping tempat tidur—yang menerangi ruangan itu. Elyana tidak bisa melihat setiap sudut ruangan itu dengan jelas. Namun, ruangan itu nampak asing di matanya. Ketika Elyana mencoba untuk bangun, lalu duduk dan bersandar di kepala tempat tidur, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Apalagi kaki ... kakinya terasa ngilu dan juga perih. "Sudah bangun? Apa kau lapar?" tanya seorang pria yang ada di dalam kamar sambil meletakkan majalah di atas meja, lalu ia berdiri. David berjalan menghampiri Elyana. Tiba-tiba Elyana terkejut melihat sosok tinggi dan besar itu berjalan ke a
David dan Felix berjalan bersama menaiki anak tangga menuju lantai dua—kamar David—untuk melihat keadaan Elyana. Di tangan kirinya, Felix memegang sebuah kantong plastik berwarna putih dengan hawa panas yang terasa disekitar plastik itu. Setelah sampai di depan pintu kamar, Felix segera menyerahkan kantor plastik kecil itu pada David. "Tadi di jalan aku membeli ini untuk wanita itu!" Felix mengulurkan tangan, memberikannya pada David. "Apa ini?" David menerimanya. "Bubur!" jawab Felix. "Untuk meredakan rasa sakitnya, wanita itu harus makan obat pereda sakit. Sebelum makan obat, dia harus makan dulu, kan? Jadi, aku membawakan ini, untuknya." Hehe! Ini adalah cara Felix untuk mendapatkan simpati dari David. Ia tidak ingin sahabatnya itu menyulitkan dirinya di kemudian hari karena kelancangannya tadi yang berani memarahi David. Jadi sekarang, Felix berperan sebagai teman yang amat sangat perhatian pada wanita yang David rawat. &nb
'Hah, David? Mengapa dia melakukan hal ini?' Banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, membuat Elyana semakin bingung. Tidak ingin membuat pelayan itu kesulitan, Elyana akhirnya mengiyakan. "Baik, aku akan segera turun!" Setelah itu, pelayan pergi meninggalkan Elyana. Ketika Elyana kembali masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja rias. Ia segera mengambil ponsel dan melihat nomor asing di layar ponselnya. Elyana sedikit ragu untuk mengangkatnya. "Apa ini Kakek? Tapi, semua nomor orang suruhan Kakek dan Judis sudah aku blokir semua. Tidak mungkin mereka menghubungiku lagi." Terdiam beberapa saat, dering ponsel itu kembali terdengar. Tidak mungkin Elyana terus mengabaikan panggilan itu. Dengan penasaran, ia segera menekan tombol hijau pada layar. "Halo!" sapanya dengan ragu. Terdengar suara wanita paruh baya dari seberang telepon, "Apa benar ini dengan Eli?
Selama satu bulan bekerja di rumah keluarga Isabel, Elyana selalu menahan rasa marahnya atas perlakuan buruk Isabel karena dirinya adalah pelayan d rumah itu. Dan sekarang, Isabel berani merusak ponsel pemberian dari mendiang ibunya. Elyana jelas tidak akan memaafkan Isabel. Masalah pekerjaan, jika sampai dirinya dipecat, itu tidak masalah. Elyana masih bisa mencarinya di tempat lain. "Sekarang, ambil ponselku dari lantai. Cepat!" Elyana memerintah Isabel sambil menunjuk ke bawah. Memaksa Isabel untuk memungut ponselnya yang sudah rusak di lantai. "Hah, Eli, gadis jelek! Kau berani memerintahku? Atas dasar apa kau berani memerintahku mengambil ponsel jelekmu itu?" bantah Isabel dengan segera. Ia tidak terima dengan tingkah pelayannya yang bernai memerintah, bahkan menunjuk-nunjuk dirinya. Kemarin-kemarin, pelayannya ini terlihat sangat jelek dan lugu. Tapi sekarang ... dia bernai membentak Isabel. 'Apa Eli salah minum obat? Obat kesurupan!'
Ada kepanikan di dalam hati Elyana ketika menyadari bahwa pria itu adalah David—pria yang bersamanya satu bulan yang lalu. Waktu itu, Elyana pergi tanpa pamit dari rumah David. Padahal pagi harinya, pria itu melarang Elyana meninggalkan rumah dan berjanji akan mengajaknya makan malam untuk merayakan kesembuhannya. Tapi, Elyana teta pergi dari rumah mewah tersebut. Di siang harinya sebelum Elyana pergi, David mengirim makanan yang sangat lezat untuk dirinya. Dan sekarang .... 'Bagaimana aku menghadapinya?' "Eli, ayo!" bisik Nosy sambil menarik lengan Elyana. Ia sedikit mencubitnya agar menyadarkan wanita itu. "Kau tidak bisa mudur di tengah jalan seperti ini. Uang satu juta dolar sudah kami transfer ke rekeningmu. Jika sekarang berubah pikiran, kau harus membayar tiga kali lipat," ancam Nosy dengan mengeratkan gigi. Ia menarik tangan Elyana, memaksanya untuk berjalan. Mendengar ancaman dari Nosy, Elyana segera tersadar. Ia mel
"Sudah! Tuh, lihatlah!" ucap Felix sambil mengarahkan ponselnya ke wajah Edwin. Jarak dari ponsel ke wajah Edwin sangatlah dekat, hingga pria itu mundur ke belakang untuk menghindar. "Ya, Tuan! Tapi maaf, singkirkan ponselnya dari wajah saya!" Edwin memiringkan tubuhnya ke belakang, menghindari tangan Felix yang semakin lama semakin mendekat. "Aku hanya khawatir, kau tidak bisa melihatnya dengan jelas. Coba, lihat satu kali lagi. Kelihatan atau tidak?" Felix masih mempermainkannya. Membuat Edwin semakin memiringkan tubuhnya ke belakang. "I-iya, Tu-Tuan! Saya sudah melihatnya. Ahhhhh—" Tiba-tiba, terdengar suara gaduh diiringi tubuh Edwin yang terjungkal ke belakang bersama dengan kursi duduknya. Semua orang segera menoleh untuk melihat keributan itu. Edwin berbaring di lantai dengan kaki yang mengacung ke atas, karena kursinya masih diduduki. Ia segera menatap kiri dan kanan, melihat semua orang sedang memperhatikan dirinya.
"Pergi ke mana, Elyana?" tanya David dengan perasaan tidak enak. Ia khawatir akan kehilangan wanita itu lagi. "O, iya! Dari mana kau tahu bahwa Elyana sudah pergi? Jangan-jangan, kau menguntit Elyana di hotel?" tuduh David pada Edwin. Tuduhan itu membuat Edwin tidak enak. "Tuan! Jika sekarang saya tidak mengikuti Nona Elyana, mungkin Anda akan segera membunuh saya. Sekarang, taksi yang ditumpangi Nona Elyana mengarah ke jalan selatan. Saya masih menguntit taksi mereka dari belakang," jawab Edwin dengan berani. Ia tidak ingin dituduh sebagai penguntit oleh majikannya, karena itu terlalu kejam. "Hah? Jalan selatan?" tanya David dengan pelan. Juga merasa lega karena asistennya sedang mengikuti taksi yang ditumpangi oleh Elyana. "Ya, Tuan! Taksi Nona Elyana berjalan menuju jalan selatan." Edwin masih memegang roda kemudi dan menggerakkannya dengan lincah. Walau mata tertuju pada taksi yang ada di depan mobilnya, namun telinga tetap fok
Eyana merasakan jantungnya berdetak kencang ketika mendengar ucapan David tentang "Membuat perhitungan dengannya". Seolah ada sebuah hantaman yang sangat keras di dalam dadanya membuat napasnya terasa sesak dan berat. Apa yang harus Elyana lakukan? Elyana menarik napas panjang, berkata pada David, "Baik! Besok siang, kita bertemu lagi untuk membicarakan masalah ini. Sekarang aku lelah, ingin pulang ke rumah untuk istirahat. Bisa, kan?" Lebih tepatnya, Elyana ingin mencari hotel terdekat untuk dirinya menginap. Tidak mungkin Elyana pulang ke rumah Alex dan istirahat di sana, kan? Toh, ia hanya seorang pelayan di rumah keluarga Danu, bukan benar-benar putri mereka. David bersikap acuh. Ia tidak menjawab perkataan Elyana hingga mereka keluar dari gedung rumah sakit. Itu membuat Elyana merasa lega. "Sampai bertemu besok Tuan David! Hati-hati di jalan," ucap Elyana dengan melambaikan tangan ketika mereka sudah berada di luar.