Share

Bab 3 Menahan Sakit

Setelah Felix benar-benar pergi, David kembali turun ke bawah. Ia meminta pelayan untuk menyiapkan banyak makanan untuk Elyana, karena tadi kata Felix "Tidak ada makanan di perut wanita itu."

 Di malam hari, Elyana sudah mulai tersadar. Ia membuka matanya menatap sekeliling ruangan yang nampak redup. Hanya ada lampu berwarna kuning keemasan—di samping tempat tidur—yang menerangi ruangan itu. Elyana tidak bisa melihat setiap sudut ruangan itu dengan jelas. Namun, ruangan itu nampak asing di matanya.

 Ketika Elyana mencoba untuk bangun, lalu duduk dan bersandar di kepala tempat tidur, tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Apalagi kaki ... kakinya terasa ngilu dan juga perih.

 "Sudah bangun? Apa kau lapar?" tanya seorang pria yang ada di dalam kamar sambil meletakkan majalah di atas meja, lalu ia berdiri.

David berjalan menghampiri Elyana.

 Tiba-tiba Elyana terkejut melihat sosok tinggi dan besar itu berjalan ke arahnya. Jika tidak menyangka, ternyata ada seorang pria asing di dalam ruangan itu.

Elyana segera menarik selimut dan menggenggamnya dengan erat. Ia takut, jika pria ini adalah orang suruhan kakeknya yang akan membawanya kembali ke kota Lyon.

 "Ka-kau ... siapa kau?" tanya Elyana dengan gugup. Tangannya masih menggenggam selimut dengan erat.

Tadi siang, Elyana sempat sadar beberapa belas menit. Ia dilayani oleh pelayan dan diberi makan, juga diberi obat hingga ia tertidur. Walau antara sadar dan tidak, namun ia yakin, tidak melihat pria itu di sini.

"Apa kau orang suruhan kakekku?" tanya Elyana lagi—memberanikan diri. Tubuhnya bergetar karena takut dan menahan rasa sakit.

 "Aku tidak ingin pulang! Menyingkirlah dariku!" Elyana menggeser tubuhnya sedikit karena pria itu semakin mendekat.

 "Hem, siapa kakekmu?" tanya David tidak mengerti dengan ucapan wanita di depannya.

 "Apa kau kabur dari rumah?" tebak David dengan kening yang mengerut. Ia berdiri di samping Elyana, menatap tubuh wanita itu dengan teliti.

"Pantas saja, kopermu sangat besar. Barang di dalamnya juga cukup banyak!"

 Ada senyum yang terlintas di wajah tampan itu. Tapi, Elyana sama sekali tidak bisa melihatnya. Bahkan, tidak bisa melihat wajah David dengan jelas.

 "Apa yang kau lakukan pada koperku?"  Elyana  mendengar  pria itu membahas  tentang isi kopernya. Tiba-tiba, ia merasa bahwa pria ini begitu berani menyentuh barang milik orang lain.

"Kau tidak boleh membuka barang milik orang lain tanpa izin!" Elyana tidak suka barang pribadinya dibuka oleh orang lain. "Itu namanya 'tidak sopan'!"

David mengangkat kedua alisnya. Berkata dengan penuh godaan, "Jika kami tidak membuka kopermu, harus dengan apa kami mengganti pakaianmu? Di rumah ini tidak ada pakaian untuk wanita. Apa kau mau, memakai pakaianku? Hem?"

 "Atau ... kau mau memakai pakaian para pelayan di rumah ini?" godanya lagi sambil mendekat. Tubuhnya membungkuk untuk menatap Elyana.

Mendengar kata "Pelayan" dari mulut David, Elyana jadi teringat sesuatu.

Tadi siang, sebelum menerima telepon dari Daniel, Elyana sedang melihat-lihat lowongan pekerjaan di ponselnya.

 'Mengapa tidak mencari pekerjaan sebagai pelayan saja? Dengan begitu, orang suruhan Kakek tidak bisa menemukanku!'

Memikirkan tentang idenya itu, Elyana merasa bersemangat.

 "Di mana pakaian yang tadi siang aku pakai?" Dengan berani ia bertanya tanpa rasa takut dan ragu lagi. Karena ternyata, pria itu bukanlah orang suruhan Yuan Louis.

"Sudah dibuang!" jawab David dengan singkat. Ia menegakkan punggunnya kembali, tidak lagi mendekati Elyana.

 "Apa ... dibuang? Kemana kau membuang pakaianku?" Elyana menyibak selimut, laku bangkit berdiri, berniat untuk pergi mencari pakaiannya yang dibuang oleh David.

"Tempat sampah yang ada di luar rumah!"

 "Apa???"

 'Keterlaluan! Dia membuang pakaianku ke tong sampah? Dasar gila! ' maki Elyana dalam hati. Merasa kesal, juga sangat marah pada David.

Elyana segera berjalan menuju pintu keluar, berniat untuk mengambil pakaiannya di tempat sampah yang ada di luar rumah.

Lebih tepatnya, Elyana ingin mencari ponsel yang ada di saku celananya.

Baru tiga langkah berjalan, tiba-tiba Elyana merasakan sakit di kakinya.

"Awhhh!" ringisnya sambil berjongkok di lantai. Ia menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

 "Kau kenapa?" David cemas melihatnya. Ia segera menghampiri Elyana. "Kakimu masih cedera karena tertabrak mobil. Dokter bilang, kau harus banyak istirahat. Jangan bergerak dulu."

David segera menggendong Elyana, membawa tubuh ramping itu kembali ke atas tempat tidur.

Elyana merasakan sakit di kakinya. Tanpa sadar, tangannya melingkar di leher David, menahan agar dirinya tidak terjatuh.

"Ah, sakit!" ringis Elyana lagi. Tidak kuat menahan  denyutan di tulang kakinya  yang semakin  lama semakin terasa sakit.  

Elyana tidak melepaskan ikatan tangannya ketika sudah dibaringkan di atas tempat tidur. Ia terus memeluk leher David, seolah mencari kenyamanan di sana.

David pun hanya diam tanpa bergerak. Membiarkan tubuhnya membungkuk ditarik oleh Elyana. Posisi mereka sangat dekat, saling menempel satu sama lain hingga hembusan napas wanita itu bisa David rasakan.

Entah sudah berapa lama posisi seperti ini berlangsung, hingga rasa pegal mulai terasa di pinggang kekar pria itu. 

"Kau masih tidak ingin melepaskan aku?" bisik David di telinga Elyana. Tidak berani melepaskan diri  secara paksa karena takut menyakiti wanita itu.

"Kakiku sakit! Kau tidak bisa merasakannya!" balas Elyana dengan kesal.

Ia segera melepaskan tangannya dari leher David. Menatap pria itu sekilas, lalu menarik selimut, menguburkan diri di dalamnya. 

Sebagai nona kedua di keluaranya, Elyana memiliki sifat manja. Ia paling tidak bisa menerima rasa sakit di tubuhnya. Luka sedikit saja, akan menjadi sebuah luka besar bagi dirinya.

Biasanya, jika Elyana sedang terluka, akan ada ibunya yang memeluk dan menenangkannya. Tapi sekarang, ibunya sudah meninggal dan dirinya berada di rumah orang asing. Elyana tidak bisa bersikap manja lagi pada pria itu—seperi di rumahnya sendiri.

Melihat Elyana meringkuk di bawah selimut, David segera menegakkan tubyhnya, memijat pinggang yang terasa pegal, lalu beranjak pergi. Ia menatap sekilas Elyana sebelum menutup pintu kamar.

 Di luar kamar, David mengambil ponsel dari saku celananya. Ia menuruni tangga sambil menghubungi seseorang.

Terdengar suara kemarahan dari seberang telepon, "Kau gila, ya? Meminta aku datang ke rumahmu sekarang, hanya untuk memeriksa wanita itu!"

 "David! Apa kau tidak tahu ... ini sudah jam berapa, hah? Sekarang, sudah jam dua belas malam, waktunya aku tidur sambil memeluk istriku. Bukan waktunya bekerja sebagai dokter!" ucap orang itu lagi masih dengan berteriak. Terdengar kesal dan juga tidak suka.

 "Tuan Muda David, usiamu sudah menginjak tiga puluh tahun. Sebaiknya, kau terima saja perjodohan yang lakukan oleh orang tuamu. Setelah menikah, kau bisa tidur nyenyak sambil memeluk istri, tidak perlu lagi merawat wanita yang kau temukan di jalan!" sindir orang dari seberang telepon dengan nada memprovokasi. Nada suaranya sudah mulai diturunkan, tidak lagi sekeras tadi.

"Hey, Felix! Mengapa malah mengguruiku? Kau bersedia datang ke rumahku atau tidak?" sergah David setelah mendengar ocehan Felix.

David tidak butuh omong kosong. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah dokter untuk memeriksa keadaan Elyana.

 "Baiklah ... baiklah! Aku segera ke rumahmu. Puas?" teriak Felix, kesal. Dirinya tidak ada kekuatan untuk membantah perintah David. Jika Felix berani membantah perintahnya, mungkin besok, David akan memecatnya sebagai kepala rumah sakit milik keluarga Demino. Itu amat mengerikan dari apapun.

 "Dua puluh menit! Harus sampai dalam waktu dua puluh menit. Tidak boleh lebih dari itu!"

 "Apa?" Felix terkejut mendengarnya. "Hey, jangan bercanda. Mana bisa dua pul—"

 Klik!

David segera menutup teleponnya. Ia tidak ingin mendengar alasan apapun dari Felix. 

 Benar saja, dalam waktu tiga puluh menit, Felix baru tiba di rumah David. Felix datang masih memakai pakaian tidur dengan tas hitam di tangannya. Terlihat bahwa dia pergi terburu-buru hingga lupa mengganti pakaian.

 "Kau telat sepuluh menit!" ucap David dengan sinis ketika melihat sahabatnya itu berdiri di depan pintu. David duduk di sofa sambil melipat kedua tangan di depan.

 "Hah ...." Felix membuka mulutnya lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Dasar gila! Hanya sepuluh menit saja, kau begitu perhitungan sekali."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status