Share

Bab 4 Sudah Sembuh

David dan Felix berjalan bersama menaiki anak tangga menuju lantai dua—kamar David—untuk melihat keadaan Elyana. Di tangan kirinya, Felix memegang sebuah kantong plastik berwarna putih dengan hawa panas yang terasa disekitar plastik itu. Setelah sampai di depan pintu kamar, Felix segera menyerahkan kantor plastik kecil itu pada David.

"Tadi di jalan aku membeli ini untuk wanita itu!" Felix mengulurkan tangan, memberikannya pada David.

"Apa ini?" David menerimanya.

"Bubur!" jawab Felix. "Untuk meredakan rasa sakitnya, wanita itu harus makan obat pereda sakit. Sebelum makan obat, dia harus makan dulu, kan? Jadi, aku membawakan ini, untuknya."

Hehe!

Ini adalah cara Felix untuk mendapatkan simpati dari David. Ia tidak ingin sahabatnya itu menyulitkan dirinya di kemudian hari karena kelancangannya tadi yang berani memarahi David.

Jadi sekarang, Felix berperan sebagai teman yang amat sangat perhatian pada wanita yang David rawat.

 Sambil menerima bungkusan bubur dari Felix, David segera masuk ke dalam kamar—dikuti Felix dari belakang.

Di dalam kamar, Elyana sudah tertidur pulas sambil memeluk erat selimutnya dengan wajah yang berkeringat. Ekspresinya terlihat tenang, tidak nampak sedikit pun rasa sakit seperti yang perlihatkan tadi pada saat bersama dengan David.

"Lalu bagaimana?" tanya Felix setelah melihat pasiennya itu tertidur pulas. "Apa kita bangunkan saja, dia?"

"Jangan!" cegah David dengan cepat. Ia tidak tega untuk membangunkan Elyana yang sudah terlelap.

 "Jadi???" Felix menatap David dengan tajam. Tangannya terkepal  erat. "Aku tidak perlu lagi memeriksa gadis jalanan ini, maksudmu?"

Felix bisa menebak apa yang selanjutnya akan terjadi. David pasti tidak akan membangunkan wanita itu untuk diperiksa.

 David pun segera mengangguk. Ia menatap Felix dengan wajah tanpa dosa.

Mengerti akan jawaban dari sahabatnya itu, Felix segera mengambil buburnya lagi dari tangan David.

"Sini! Aku habiskan saja bubur ini sendiri!" Felix masih menatap David dengan tajam sambil merebut kantong plastik itu. "Aku berbaik hati membawakan bubur hangat. Ehh, wanita ini malah enak-enakan tidur!"

"Habiskan saja di rumahmu! Kau boleh pergi sekarang!" balas David, tidak mau kalah.

"Apa??? Kau mengusirku?" tanya Felix—tidak percaya.

"Bukan mengusir, aku hanya berbaik hati mengizinkanmu untuk pulang. Bukannya kau masih ingin tidur sambil memeluk istrimu?" David balas menyindirnya.

 "Daviiiiiid!"

 "Sstttt! Jangan berisik! Kau bisa membangunkan wanita itu!" larang David sambil menunjuk Elyana  yang sedang tidur.

"Aishh! Sial! Hanya demi seorang wanita, kau rela mengabaikan sahabatmu sendiri!" maki Felix, tidak terima dengan sikap sahabatnya ini.

"Mau pulang atau mau menginap di rumahku?" tanya David dengan santai. Sama sekali tidak mempedulikan emosi Felix saat ini.

"Ish! Sungguh keterlaluan!"

Tidak ingin terus dipermainkan oleh sahabatnya, Felix segera pergi meninggalkan rumah David.

***

Satu minggu telah berlalu. Kondisi Elyana sudah jauh lebih baik, kakinya pun sudah tidak terasa sakit lagi. Tidak ada alasan baginya untuk tetap tinggal di rumah ini.

Di meja makan, Elyana menyantap sarapan paginya dengan cepat. Ia tidak sabar ingin segera berbicara serius dengan David, sebelum pria itu pergi ke kantor.

Melihat tingkah laku Elyana yang sedikit aneh, David pun bertanya, "Ada apa? Apa ada sesuatu yang kau inginkan?"

Uhuk! Uhuk!

Tiba-tiba Elyana tersedak oleh makanan yang ada di dalam mulutnya. Ia segera mengambil air minum untuk melegakan tenggorokan.

Dengan polos Elyana tertawa, "Hehe, bukan! Aku hanya—"

 "Edwin!" David memotong ucapan Elyana dengan memanggil asisten pribadinya. "Berikan ponsel Nona Elyana, sekarang!"

'Hah, ponsel?' Elyana menoleh ke belakang, melihat Asisten Edwin berjalan mendekat ke arahnya.

"Ini, Nona!" Edwin menyerahkan ponsel berwarna merah muda pada Elyana. Karena wanita itu masih terdiam, jadi Asisten Edwin segera menyimpannya di atas meja. 

 "Ponselmu baru selesai diperbaiki. Lihatlah ... apa masih ada kerusakan?" ucap David sambil melihat wajah terkejut Elyana.

Bagaimana tidak terkejut ketika melihat ponselnya ada di atas meja?

Malam itu, Elyana mengira ponselnya sudah dibuang ke tempat sampah bersama pakaian kotornya oleh David

'Tapi ternyata ... David memperbaiki ponselku!'

 Elyana segera melihat ponselnya yang ada di atas meja. 

Ketika dinyalakan, ada puluhan pesan masuk di ponselnya. Lebih banyak pesan itu dari Yuan Louis, dan sebagian lagi dari kakaknya, Daniel dan juga Arani.

Mengingat tentang Arani, Elyana jadi teringat sesuatu. Waktu hari di mana dirinya keluar dari rumah Arani dan tertabrak mobil, ia belum sempat memberitahu Arani. Sahabatnya itu pasti khawatir karena Elyana tidak memberinya kabar.

Tidak ingin membuatnya khawatir, Elyana segera mengirim pesan singkat pada Arani, memberitahu dia bahwa dirinya baik-baik saja.

 "Apa ponselmu masih ada masalah?" tanya David, ketika melihat Elyana terus memainkan ponselnya.

 "Ah, tidak! Semuanya baik!" balas Elyana dengan cepat. Ia segera menyimpan ponselnya kembali ke atas meja. 

"O, iya ...." Tiba-tiba Elyana berbicara serius pada David. "Karena sekarang lukaku sembuh, aku harus segera pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin terus merepotkanmu dan juga merepotkan semua orang. Kebaikan kalian semua, sungguh aku berterimakasih!"

 "Apa? Pergi?" David yang sedang makan, langsung menyimpan alat makannya di atas piring. Ia tidak senang mendengar Elyana mengatakan hal itu.

"Mengapa harus pergi? Apa kau tidak nyaman tinggal di rumah ini? Apa yang membuatmu tidak nyaman berada di sini?" tanya David dengan nada mengintrogasi.

Ia berpikir sejenak, lalu berkata lagi, "Bukannya waktu itu kau kabur dari rumah? Jika itu benar, tinggallah di rumah ini. Mengapa harus pergi keluar lagi?"

 Elyana hanya diam. Tidak menjawab ucapan David.

"Nanti malam, tunggu aku pulang! Kita akan makan malam diluar untuk merayakan kesembuhanmu!"

Setelah mengatakannya, David bangkit berdiri, Ia bersiap pergi ke kantor tanpa menghabiskan sarapannya.

"Edwin, ayo kita berangkat!"

"Baik, Tuan!"

***

Di siang hari, dari lantai dua kamar David, Elyana melihat ke arah belakang rumah melalui jendela yang terbuka. Nampak di matanya sebuah taman yang sangat luas dengan danau buatan di ujung taman tersebut. Ada banyak bunga-bunga bermekaran di sekeliling taman dan di tengah-tengah rumput hijau. Terlihat begitu indah dan sangat cantik. 

 Sejenak Elyana melamun. Di rumah milik keluarga Louis juga ada sebuah taman bunga yang sangat luas dan indah. Elyana dan Rosyana sering bermain di sana sambil berbaring di atas rumput hijau di bawah teriknya sinar matahari. Ketika mereka sedang kepanasan, ibunya akan datang sambil membawakan jus nanas untuk mereka berdua.

Mengingat tentang hal itu, tanpa sadar, air mata Elyana berlinang, menetes dengan cepat membasahi wajah cantiknya. Rasa rindu pada kedua orang tuanya membuat hatinya terasa sakit dan terluka. Rasanya, kepergian kedua orang tuanya terlalu cepat. Elyana   masih belum puas dirawat oleh mereka.

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu  yang langsung membuyarkan semua lamunannya,  diiringi suara pelayan, "Nona,  Tuan mengirim makanan untuk Anda. Segera makanlah, saya sudah menyiapkannya di meja makan."

Mendengar suara pelayan, Elyana segera menyeka air mata di wajahnya. Lalu berjalan menuju pintu kamar dan  membukanya. Nampak di depannya seorang pelayan berdiri sambil menundukan kepala, tidak berani menatap Elyana.

"Makanan, apa? Siapa yang mengirimku makanan?" tanya Elyan dengan bingung. Ia sama sekali tidak mengerti dengan ucapan pelayan itu. 

'Di rumah ini, makanan sangatlah banyak. Siapa orang yang tidak punya kerjaan  mengirimi aku makanan?' gumam Elyana masih sangat bingung. 

"Tuan David, Nona!" jawab pelayan itu, masih  dengan menundukan kepala. "Tuan yang memesan makanan online untuk Anda. Tuan berpesan agar Nona segera menghabiskan makanannya. Jika tidak, Tuan akan marah pada kami."

'Hah, David? Mengapa dia melakukan hal ini?' 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status