David dan Felix berjalan bersama menaiki anak tangga menuju lantai dua—kamar David—untuk melihat keadaan Elyana. Di tangan kirinya, Felix memegang sebuah kantong plastik berwarna putih dengan hawa panas yang terasa disekitar plastik itu. Setelah sampai di depan pintu kamar, Felix segera menyerahkan kantor plastik kecil itu pada David.
"Tadi di jalan aku membeli ini untuk wanita itu!" Felix mengulurkan tangan, memberikannya pada David.
"Apa ini?" David menerimanya.
"Bubur!" jawab Felix. "Untuk meredakan rasa sakitnya, wanita itu harus makan obat pereda sakit. Sebelum makan obat, dia harus makan dulu, kan? Jadi, aku membawakan ini, untuknya."
Hehe!
Ini adalah cara Felix untuk mendapatkan simpati dari David. Ia tidak ingin sahabatnya itu menyulitkan dirinya di kemudian hari karena kelancangannya tadi yang berani memarahi David.
Jadi sekarang, Felix berperan sebagai teman yang amat sangat perhatian pada wanita yang David rawat.
Sambil menerima bungkusan bubur dari Felix, David segera masuk ke dalam kamar—dikuti Felix dari belakang.
Di dalam kamar, Elyana sudah tertidur pulas sambil memeluk erat selimutnya dengan wajah yang berkeringat. Ekspresinya terlihat tenang, tidak nampak sedikit pun rasa sakit seperti yang perlihatkan tadi pada saat bersama dengan David.
"Lalu bagaimana?" tanya Felix setelah melihat pasiennya itu tertidur pulas. "Apa kita bangunkan saja, dia?"
"Jangan!" cegah David dengan cepat. Ia tidak tega untuk membangunkan Elyana yang sudah terlelap.
"Jadi???" Felix menatap David dengan tajam. Tangannya terkepal erat. "Aku tidak perlu lagi memeriksa gadis jalanan ini, maksudmu?"
Felix bisa menebak apa yang selanjutnya akan terjadi. David pasti tidak akan membangunkan wanita itu untuk diperiksa.
David pun segera mengangguk. Ia menatap Felix dengan wajah tanpa dosa.
Mengerti akan jawaban dari sahabatnya itu, Felix segera mengambil buburnya lagi dari tangan David.
"Sini! Aku habiskan saja bubur ini sendiri!" Felix masih menatap David dengan tajam sambil merebut kantong plastik itu. "Aku berbaik hati membawakan bubur hangat. Ehh, wanita ini malah enak-enakan tidur!"
"Habiskan saja di rumahmu! Kau boleh pergi sekarang!" balas David, tidak mau kalah.
"Apa??? Kau mengusirku?" tanya Felix—tidak percaya.
"Bukan mengusir, aku hanya berbaik hati mengizinkanmu untuk pulang. Bukannya kau masih ingin tidur sambil memeluk istrimu?" David balas menyindirnya.
"Daviiiiiid!"
"Sstttt! Jangan berisik! Kau bisa membangunkan wanita itu!" larang David sambil menunjuk Elyana yang sedang tidur.
"Aishh! Sial! Hanya demi seorang wanita, kau rela mengabaikan sahabatmu sendiri!" maki Felix, tidak terima dengan sikap sahabatnya ini.
"Mau pulang atau mau menginap di rumahku?" tanya David dengan santai. Sama sekali tidak mempedulikan emosi Felix saat ini.
"Ish! Sungguh keterlaluan!"
Tidak ingin terus dipermainkan oleh sahabatnya, Felix segera pergi meninggalkan rumah David.
***
Satu minggu telah berlalu. Kondisi Elyana sudah jauh lebih baik, kakinya pun sudah tidak terasa sakit lagi. Tidak ada alasan baginya untuk tetap tinggal di rumah ini.
Di meja makan, Elyana menyantap sarapan paginya dengan cepat. Ia tidak sabar ingin segera berbicara serius dengan David, sebelum pria itu pergi ke kantor.
Melihat tingkah laku Elyana yang sedikit aneh, David pun bertanya, "Ada apa? Apa ada sesuatu yang kau inginkan?"
Uhuk! Uhuk!
Tiba-tiba Elyana tersedak oleh makanan yang ada di dalam mulutnya. Ia segera mengambil air minum untuk melegakan tenggorokan.
Dengan polos Elyana tertawa, "Hehe, bukan! Aku hanya—"
"Edwin!" David memotong ucapan Elyana dengan memanggil asisten pribadinya. "Berikan ponsel Nona Elyana, sekarang!"
'Hah, ponsel?' Elyana menoleh ke belakang, melihat Asisten Edwin berjalan mendekat ke arahnya.
"Ini, Nona!" Edwin menyerahkan ponsel berwarna merah muda pada Elyana. Karena wanita itu masih terdiam, jadi Asisten Edwin segera menyimpannya di atas meja.
"Ponselmu baru selesai diperbaiki. Lihatlah ... apa masih ada kerusakan?" ucap David sambil melihat wajah terkejut Elyana.
Bagaimana tidak terkejut ketika melihat ponselnya ada di atas meja?
Malam itu, Elyana mengira ponselnya sudah dibuang ke tempat sampah bersama pakaian kotornya oleh David
'Tapi ternyata ... David memperbaiki ponselku!'
Elyana segera melihat ponselnya yang ada di atas meja.
Ketika dinyalakan, ada puluhan pesan masuk di ponselnya. Lebih banyak pesan itu dari Yuan Louis, dan sebagian lagi dari kakaknya, Daniel dan juga Arani.
Mengingat tentang Arani, Elyana jadi teringat sesuatu. Waktu hari di mana dirinya keluar dari rumah Arani dan tertabrak mobil, ia belum sempat memberitahu Arani. Sahabatnya itu pasti khawatir karena Elyana tidak memberinya kabar.
Tidak ingin membuatnya khawatir, Elyana segera mengirim pesan singkat pada Arani, memberitahu dia bahwa dirinya baik-baik saja.
"Apa ponselmu masih ada masalah?" tanya David, ketika melihat Elyana terus memainkan ponselnya.
"Ah, tidak! Semuanya baik!" balas Elyana dengan cepat. Ia segera menyimpan ponselnya kembali ke atas meja.
"O, iya ...." Tiba-tiba Elyana berbicara serius pada David. "Karena sekarang lukaku sembuh, aku harus segera pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin terus merepotkanmu dan juga merepotkan semua orang. Kebaikan kalian semua, sungguh aku berterimakasih!"
"Apa? Pergi?" David yang sedang makan, langsung menyimpan alat makannya di atas piring. Ia tidak senang mendengar Elyana mengatakan hal itu.
"Mengapa harus pergi? Apa kau tidak nyaman tinggal di rumah ini? Apa yang membuatmu tidak nyaman berada di sini?" tanya David dengan nada mengintrogasi.
Ia berpikir sejenak, lalu berkata lagi, "Bukannya waktu itu kau kabur dari rumah? Jika itu benar, tinggallah di rumah ini. Mengapa harus pergi keluar lagi?"
Elyana hanya diam. Tidak menjawab ucapan David.
"Nanti malam, tunggu aku pulang! Kita akan makan malam diluar untuk merayakan kesembuhanmu!"
Setelah mengatakannya, David bangkit berdiri, Ia bersiap pergi ke kantor tanpa menghabiskan sarapannya.
"Edwin, ayo kita berangkat!"
"Baik, Tuan!"
***
Di siang hari, dari lantai dua kamar David, Elyana melihat ke arah belakang rumah melalui jendela yang terbuka. Nampak di matanya sebuah taman yang sangat luas dengan danau buatan di ujung taman tersebut. Ada banyak bunga-bunga bermekaran di sekeliling taman dan di tengah-tengah rumput hijau. Terlihat begitu indah dan sangat cantik.
Sejenak Elyana melamun. Di rumah milik keluarga Louis juga ada sebuah taman bunga yang sangat luas dan indah. Elyana dan Rosyana sering bermain di sana sambil berbaring di atas rumput hijau di bawah teriknya sinar matahari. Ketika mereka sedang kepanasan, ibunya akan datang sambil membawakan jus nanas untuk mereka berdua.
Mengingat tentang hal itu, tanpa sadar, air mata Elyana berlinang, menetes dengan cepat membasahi wajah cantiknya. Rasa rindu pada kedua orang tuanya membuat hatinya terasa sakit dan terluka. Rasanya, kepergian kedua orang tuanya terlalu cepat. Elyana masih belum puas dirawat oleh mereka.
Tok! Tok! Tok!
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu yang langsung membuyarkan semua lamunannya, diiringi suara pelayan, "Nona, Tuan mengirim makanan untuk Anda. Segera makanlah, saya sudah menyiapkannya di meja makan."
Mendengar suara pelayan, Elyana segera menyeka air mata di wajahnya. Lalu berjalan menuju pintu kamar dan membukanya. Nampak di depannya seorang pelayan berdiri sambil menundukan kepala, tidak berani menatap Elyana.
"Makanan, apa? Siapa yang mengirimku makanan?" tanya Elyan dengan bingung. Ia sama sekali tidak mengerti dengan ucapan pelayan itu.
'Di rumah ini, makanan sangatlah banyak. Siapa orang yang tidak punya kerjaan mengirimi aku makanan?' gumam Elyana masih sangat bingung.
"Tuan David, Nona!" jawab pelayan itu, masih dengan menundukan kepala. "Tuan yang memesan makanan online untuk Anda. Tuan berpesan agar Nona segera menghabiskan makanannya. Jika tidak, Tuan akan marah pada kami."
'Hah, David? Mengapa dia melakukan hal ini?'
'Hah, David? Mengapa dia melakukan hal ini?' Banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, membuat Elyana semakin bingung. Tidak ingin membuat pelayan itu kesulitan, Elyana akhirnya mengiyakan. "Baik, aku akan segera turun!" Setelah itu, pelayan pergi meninggalkan Elyana. Ketika Elyana kembali masuk ke dalam kamar, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja rias. Ia segera mengambil ponsel dan melihat nomor asing di layar ponselnya. Elyana sedikit ragu untuk mengangkatnya. "Apa ini Kakek? Tapi, semua nomor orang suruhan Kakek dan Judis sudah aku blokir semua. Tidak mungkin mereka menghubungiku lagi." Terdiam beberapa saat, dering ponsel itu kembali terdengar. Tidak mungkin Elyana terus mengabaikan panggilan itu. Dengan penasaran, ia segera menekan tombol hijau pada layar. "Halo!" sapanya dengan ragu. Terdengar suara wanita paruh baya dari seberang telepon, "Apa benar ini dengan Eli?
Selama satu bulan bekerja di rumah keluarga Isabel, Elyana selalu menahan rasa marahnya atas perlakuan buruk Isabel karena dirinya adalah pelayan d rumah itu. Dan sekarang, Isabel berani merusak ponsel pemberian dari mendiang ibunya. Elyana jelas tidak akan memaafkan Isabel. Masalah pekerjaan, jika sampai dirinya dipecat, itu tidak masalah. Elyana masih bisa mencarinya di tempat lain. "Sekarang, ambil ponselku dari lantai. Cepat!" Elyana memerintah Isabel sambil menunjuk ke bawah. Memaksa Isabel untuk memungut ponselnya yang sudah rusak di lantai. "Hah, Eli, gadis jelek! Kau berani memerintahku? Atas dasar apa kau berani memerintahku mengambil ponsel jelekmu itu?" bantah Isabel dengan segera. Ia tidak terima dengan tingkah pelayannya yang bernai memerintah, bahkan menunjuk-nunjuk dirinya. Kemarin-kemarin, pelayannya ini terlihat sangat jelek dan lugu. Tapi sekarang ... dia bernai membentak Isabel. 'Apa Eli salah minum obat? Obat kesurupan!'
Ada kepanikan di dalam hati Elyana ketika menyadari bahwa pria itu adalah David—pria yang bersamanya satu bulan yang lalu. Waktu itu, Elyana pergi tanpa pamit dari rumah David. Padahal pagi harinya, pria itu melarang Elyana meninggalkan rumah dan berjanji akan mengajaknya makan malam untuk merayakan kesembuhannya. Tapi, Elyana teta pergi dari rumah mewah tersebut. Di siang harinya sebelum Elyana pergi, David mengirim makanan yang sangat lezat untuk dirinya. Dan sekarang .... 'Bagaimana aku menghadapinya?' "Eli, ayo!" bisik Nosy sambil menarik lengan Elyana. Ia sedikit mencubitnya agar menyadarkan wanita itu. "Kau tidak bisa mudur di tengah jalan seperti ini. Uang satu juta dolar sudah kami transfer ke rekeningmu. Jika sekarang berubah pikiran, kau harus membayar tiga kali lipat," ancam Nosy dengan mengeratkan gigi. Ia menarik tangan Elyana, memaksanya untuk berjalan. Mendengar ancaman dari Nosy, Elyana segera tersadar. Ia mel
"Sudah! Tuh, lihatlah!" ucap Felix sambil mengarahkan ponselnya ke wajah Edwin. Jarak dari ponsel ke wajah Edwin sangatlah dekat, hingga pria itu mundur ke belakang untuk menghindar. "Ya, Tuan! Tapi maaf, singkirkan ponselnya dari wajah saya!" Edwin memiringkan tubuhnya ke belakang, menghindari tangan Felix yang semakin lama semakin mendekat. "Aku hanya khawatir, kau tidak bisa melihatnya dengan jelas. Coba, lihat satu kali lagi. Kelihatan atau tidak?" Felix masih mempermainkannya. Membuat Edwin semakin memiringkan tubuhnya ke belakang. "I-iya, Tu-Tuan! Saya sudah melihatnya. Ahhhhh—" Tiba-tiba, terdengar suara gaduh diiringi tubuh Edwin yang terjungkal ke belakang bersama dengan kursi duduknya. Semua orang segera menoleh untuk melihat keributan itu. Edwin berbaring di lantai dengan kaki yang mengacung ke atas, karena kursinya masih diduduki. Ia segera menatap kiri dan kanan, melihat semua orang sedang memperhatikan dirinya.
"Pergi ke mana, Elyana?" tanya David dengan perasaan tidak enak. Ia khawatir akan kehilangan wanita itu lagi. "O, iya! Dari mana kau tahu bahwa Elyana sudah pergi? Jangan-jangan, kau menguntit Elyana di hotel?" tuduh David pada Edwin. Tuduhan itu membuat Edwin tidak enak. "Tuan! Jika sekarang saya tidak mengikuti Nona Elyana, mungkin Anda akan segera membunuh saya. Sekarang, taksi yang ditumpangi Nona Elyana mengarah ke jalan selatan. Saya masih menguntit taksi mereka dari belakang," jawab Edwin dengan berani. Ia tidak ingin dituduh sebagai penguntit oleh majikannya, karena itu terlalu kejam. "Hah? Jalan selatan?" tanya David dengan pelan. Juga merasa lega karena asistennya sedang mengikuti taksi yang ditumpangi oleh Elyana. "Ya, Tuan! Taksi Nona Elyana berjalan menuju jalan selatan." Edwin masih memegang roda kemudi dan menggerakkannya dengan lincah. Walau mata tertuju pada taksi yang ada di depan mobilnya, namun telinga tetap fok
Eyana merasakan jantungnya berdetak kencang ketika mendengar ucapan David tentang "Membuat perhitungan dengannya". Seolah ada sebuah hantaman yang sangat keras di dalam dadanya membuat napasnya terasa sesak dan berat. Apa yang harus Elyana lakukan? Elyana menarik napas panjang, berkata pada David, "Baik! Besok siang, kita bertemu lagi untuk membicarakan masalah ini. Sekarang aku lelah, ingin pulang ke rumah untuk istirahat. Bisa, kan?" Lebih tepatnya, Elyana ingin mencari hotel terdekat untuk dirinya menginap. Tidak mungkin Elyana pulang ke rumah Alex dan istirahat di sana, kan? Toh, ia hanya seorang pelayan di rumah keluarga Danu, bukan benar-benar putri mereka. David bersikap acuh. Ia tidak menjawab perkataan Elyana hingga mereka keluar dari gedung rumah sakit. Itu membuat Elyana merasa lega. "Sampai bertemu besok Tuan David! Hati-hati di jalan," ucap Elyana dengan melambaikan tangan ketika mereka sudah berada di luar.
Elyana bergidik ngeri ketika David terus menggosok pipinya dengan jari yang sudah diludahi. Ia segera menarik tangan David agar menyingkir dari wajahnya. "Sudah hentikan! Lepaskan aku." Elyana sudah tidak tahan lagi. Ia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pria itu. Tapi David tidak mendengar. "Diamlah, sedikit lagi!" ucap David masih dengan memegang wajah Elyana. Setelah menggosok dua kali, barulah ia melepaskannya. "Nah, sudah bersih!" "Hah?" Elyana terdiam sambil melihat pria itu. David membersihkan tahu lalat yang sudah dirinya buat. Ketika Elyana akan berbicara pada David, terlihat Alex dan istrinya sudah berdiri di halaman rumah sambil menatap mereka yang masih berada di dalam mobil. Elyana dan David pun tidak membuang waktunya lagi, segera turun dan berjalan menghampiri kedua orang tua Isabel. Nosy berdiri sambil melipat kedua tangan di depan, menatap Elyana—yang berj
Di dalam kamar Isabel, Elyana melihat koper berwarna merah muda miliknya sudah ada di atas tempat tidur. Di dalam koper itu sudah ada pakaian milik Isabel, juga sepatu dan tas yang sangat bagus. Semua itu Nosy siapkan untuk Elyana demi menjaga citra baik keluarga Danu. "Dasar orang kaya tidak tahu diri. Hanya pakaian seperti ini saja, aku tidak buruh!" ucap Elyana dengan kesal. Elyana segera membalikkan kopernya, menumpahkan semua barang-barang itu ke lantai. Ia tidak menyisakan barang sedikitpun di dalam kopernya. Elyana merupakan nona kedua di keluarga Louis, sudah terbiasa hidup mewah sejak kecil, dan hidupnya tidak pernah kekurangan. Ia sama sekali tidak membutuhkan barang-barang bekas seperti ini. Jika mau, kapanpun, ia bisa membeli semua barang mewah yang lebih bagus dari ini. Bukan karena ada uang satu juta dolar di rekeningnya—pemberian dari Alex, tapi karena uang di rekeningnya sangatlah banyak. Setelah kopernya kosong, Elyana segera me