Share

Bab 9 Kemarahan Daniel

"Pergi ke mana, Elyana?" tanya David dengan perasaan tidak enak. Ia khawatir akan kehilangan wanita itu lagi.

"O, iya! Dari mana kau tahu bahwa  Elyana sudah pergi? Jangan-jangan, kau menguntit Elyana di hotel?" tuduh David pada Edwin.

Tuduhan itu membuat Edwin tidak enak.

 "Tuan! Jika sekarang saya tidak mengikuti Nona Elyana, mungkin Anda akan segera membunuh saya. Sekarang, taksi yang ditumpangi Nona Elyana mengarah ke jalan selatan. Saya masih menguntit taksi mereka dari belakang," jawab Edwin dengan berani. Ia tidak ingin dituduh sebagai penguntit oleh majikannya, karena itu terlalu kejam.

"Hah? Jalan selatan?" tanya David dengan pelan. Juga merasa lega karena asistennya sedang mengikuti taksi yang ditumpangi oleh Elyana.

"Ya, Tuan! Taksi Nona Elyana berjalan menuju jalan selatan." Edwin masih memegang roda kemudi dan menggerakkannya dengan lincah. Walau mata tertuju pada taksi yang ada di depan mobilnya, namun telinga tetap fokus mendengar tuannya berbicara.

"Eh, tunggu! Mengapa Nona Elyana menuju rumah sakit? Apa dia sakit?" bisik Edwin pada dirinya sendiri ketika taksi yang ditumpangi oleh Elyana masuk ke sebuah halaman rumah sakit swasta yang ada di pusat kota ini.

 "Hanya sakit di dalam hati, apa harus sampai memeriksakan diri ke rumah sakit? Ini sudah jam berapa?" ucap Edwin lagi secara tidak sadar. Tidak menyadari bawah orang yang ada di seberang telepon mendengar semua ucapannya.

 'Tidak Felix, tidak Edwin, terus saja mengejekku!' gumam David sambil mencengkeram roda kemudinya.

 "Apa kau sudah bosan hidup?" tanya David dengan tajam. Tangannya memutar roda kemudi untuk berbalik arah menuju rumah sakit yang tadi disebutkan oleh Edwin. David takut jika Elyana sakit disebabkan oleh dirinya.

"Tidak, Tuan! Eh, maksud saya, datanglah segera ke rumah sakit pusat. Nona Elyana sudah masuk ke dalam. Saya harus segera mengikutinya. Jika tidak, kita bisa kehilangan jejak Nona Elyana lagi."

Klik!

Edwin mengakhiri panggilan teleponnya dengan terburu-buru. Menghiraukan majikannya yang berteriak dan memaki dirinya dari seberang telepon.

***

Di sebuah ruang perawatan pasien di rumah sakit, berbaring seorang wanita dengan kepala yang masih dibalut oleh kasa putih. Wanita itu terlihat lemah dan ada cairan infus yang tergantung di sampingnya.

Elyana masuk ke dalam kamar itu dengan perasaan tidak enak. Pasalnya, tadi ketika ia menghubungi Arani melalui telepon dari kamar hotel, Daniel-lah yang mengangkatnya. Pria itu mengatakan bahwa tiga hari yang lalu Arani didatangi oleh beberapa orang suruhan Yuan Louis, dan mereka menganiaya Arani karena tidak memberitahu keberadaan Elyana, hingga gadis itu harus dilarikan ke rumah sakit.

"Apa sekarang kau sudah puas?" sergah Daniel pada Elyana ketika wanita itu sudah masuk ke dalam ruang rawat. Emosinya sedikit naik. "Kau telah melibatkan kami dalam masalah pribadimu. Bukan hanya aku dan Arani yang menjadi korban, tapi juga keluargaku! Ayahku dipecat dari pekerjaannya. Bisnis ibuku hancur. Bahkan, kami harus menjual rumah di kota Lyon dan pergi dari kota itu. Apakah semua itu tidak ada hubungannya dengan kakekmu?"

"Dan sekarang, kami tidak punya tempat tinggal lagi. Hal buruk apa lagi yang harus kami terima karena ulahmu?" tambah Daniel lagi masih dengan emosi.

Tidak ada lagi keramahan seperti yang terlihat pada saat terakhir mereka bertemu. Sekarang, sorot mata Daniel begitu tajam menatap Elyana. Rasanya sangat marah dan kesal.

"Da-Daniel."

Elyana yang ada di depan pintu, segera melangkah pelan menghampiri Daniel. Air matanya berlinang dengan raut wajah penuh penyesalan.

Ini bukanlah yang Elyana inginkan—kabur dari rumah dan mencelakai sahabatnya sendiri. Ini sungguh diluar dugaannya.

 "Maafkan aku, Niel! Aku sama sekali tidak berniat mencelakai kalian. Aku juga tidak menyangka, Kakek akan berbuat sejauh ini pada kalian. Aku hanya—"

 "Elyana!" potong Daniel tiba-tiba. "Mengapa kau tidak kembali saja ke kota Lyon? Jika kau kembali ke sisi kakekmu, mereka tidak akan menyakitiku dan Arani lagi," ujar Daniel—menghindar ketika Elyana mendekatinya.

 "Kakekmu akan terus mencari kami selama kau tidak kembali ke kota Lyon. Karena kamilah yang membantumu untuk kabur!" tambah Daniel lagi dengan nada mengalahkan.

 "Aku minta maaf!" lirih Elyana di hadapan Daniel. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. "Untuk saat ini, aku belum bisa kembali ke rumah. Tapi aku berjanji, tidak akan membiarkan orang-orang Kakek menyakiti kalian lagi. Percayalah padaku!"

Elyana tidak ingin dibenci oleh kedua sahabatnya. Dan juga tidak ingin persahabatan yang sudah terjalin selama sepuluh tahun, harus berakhir seperti ini.

 "Daniel, percayalah! Aku tidak akan membiarkan orang suruhan Kakek menyakiti kalian lagi," ucap Elyana lagi penuh dengan permohonan. Berharap, sahabatnya itu mau memaafkan dirinya.

 "Sekarang, maafkan aku!" Elyana kembali meminta maaf. Ia meraih tangan Daniel dan ingin menggenggamnya. 

Tapi Daniel segera menghempaskan tangan Elyana, membuat tangan wanita itu hanya menyentuh udara kosong. 

"Sebaiknya, kau segera kembali ke keluargamu agar tidak menyusahkan aku dan Arani lagi."

"Daniel," panggil Elyana dengan pelan. Ia tidak percaya dengan apa yang sahabatnya itu katakan pada dirinya.

 "Kami akan memaafkanmu jika ... kau kembali dan tinggal di rumah keluarga Louis!" ucap Daniel lagi tanpa rasa belas kasih sedikit pun. "Kalau kau tidak bersedia, menjauhlah segera dariku dan juga Arani."

"Aku mohon, jangan menjadikan ini sebagai syarat untuk memaafkan aku! Kita bersahabat sudah lama, kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini!" Tangisannya pecah lagi. Elyana berlutut di lantai, memohon pengampunan dari sahabatnya.

 "Daniel, jangan membenciku karena hal ini. Aku berjanji, tidak akan melibatkan kalian lagi dalam masalah apapun."

 Sebelum Daniel menjawab, terdengar suara keras dari pintu ruangan yang ditendang oleh seseorang diiringi   suara teriakan,  "Sebagai menantu dari keluarga Demino, kau tidak  boleh merendahkan diri di bawah kaki orang lain!"

Elyana segera menoleh ke belakang, cukup terkejut dengan suara keras itu, juga suara pria itu. Daniel pun melihat arah pandangan Elyana. Terlihat seorang pria berdiri di depan pintu kamar dengan aura yang begitu kuat menatap tajam ke arah mereka berdua.

 "David!" ucap Elyana pelan ketika melihat seorang pria  berdiri  di ambang pintu. Pria itu mengenakan setelan olah raga berwarna hitam dengan ekspresi yang sangat dingin. Namun terlihat sangat tampan.

 'Sedang apa dia di sini?' tanya Elyana di dalam hati ketika melihat David ada di ruang rawat Arani. 

'Apa dia salah masuk kamar?'

Terlihat, David berjalan  masuk ke dalam ruangan  lalu menghampiri Elyana, menarik tangan wanita itu agar segera berdiri.

 "Cepat bangun! Wanitaku tidak boleh berlutut dan memohon apapun pada orang lain," ucap David dengan sombong. 

"Orang lainlah yang harusnya berlutut dan memohon kepadamu!" Mulut berbicara pada Elyana, namun mata menatap Daniel yang berada di depannya. 

"Jika ada masalah dengan istriku, kau bisa berbicara dengan asisten Edwin. Dia akan menyelesaikannya."

Terlihat Edwin berdiri di ambang pintu, membungkuk hormat pada tuannya.

 "Sekarang,  ayo kita pulang!" ajak David sambil menarik tangan Elyana, lalu berjalan keluar dari ruangan itu.

Daniel terpaku di tempat sambil menatap punggung mereka berdua. Namun Asisten Edwin masih berdiri di ruangan itu untuk berbicara dengan Daniel. 

Sebelum menghilang di balik tembok putih itu, Elyana menoleh ke belakang, mengedipkan mata—mengisyaratkan sesuatu—pada Daniel.

 Tapi saat ini Daniel sedang marah pada Elyana.  Jadi dia tidak mengerti dengan isyarat yang Elyana berikan.

 'Apakah Daniel akan mengatakan semuanya pada Asisten Edwin? Jika sampai itu terjadi, tamatlah riwayatku!' Ada kepanikan ketika memikirkan tentang hal itu. Tapi Elyana tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa pasrah menerima semua rahasianya dibongkar oleh Daniel.

 Mereka berjalan meninggalkan ruang rawat Arani. Ketika sudah berada di lorong rumah sakit yang sangat sepi, David segera melepaskan tangan Elyana. Dengan acuh berjalan mendahului wanita itu.

Sikapnya seketika dingin pada Elyana, seolah, yang tadi berbicara manis di depan Daniel—menyebut Elyana adalah wanita dan istrinya—bukanlah David.

"Aku ingin membuat perhitungan denganmu! Dari mulai ... kau ... pergi dari rumahku tanpa permisi, hingga ... menjadi pengantin di acara tadi siang," ucap David dengan tajam. Ia berbicara sambil berjalan di depan Elyana, tanpa menoleh sedikitpun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status