"Pergi ke mana, Elyana?" tanya David dengan perasaan tidak enak. Ia khawatir akan kehilangan wanita itu lagi.
"O, iya! Dari mana kau tahu bahwa Elyana sudah pergi? Jangan-jangan, kau menguntit Elyana di hotel?" tuduh David pada Edwin.
Tuduhan itu membuat Edwin tidak enak.
"Tuan! Jika sekarang saya tidak mengikuti Nona Elyana, mungkin Anda akan segera membunuh saya. Sekarang, taksi yang ditumpangi Nona Elyana mengarah ke jalan selatan. Saya masih menguntit taksi mereka dari belakang," jawab Edwin dengan berani. Ia tidak ingin dituduh sebagai penguntit oleh majikannya, karena itu terlalu kejam.
"Hah? Jalan selatan?" tanya David dengan pelan. Juga merasa lega karena asistennya sedang mengikuti taksi yang ditumpangi oleh Elyana.
"Ya, Tuan! Taksi Nona Elyana berjalan menuju jalan selatan." Edwin masih memegang roda kemudi dan menggerakkannya dengan lincah. Walau mata tertuju pada taksi yang ada di depan mobilnya, namun telinga tetap fokus mendengar tuannya berbicara.
"Eh, tunggu! Mengapa Nona Elyana menuju rumah sakit? Apa dia sakit?" bisik Edwin pada dirinya sendiri ketika taksi yang ditumpangi oleh Elyana masuk ke sebuah halaman rumah sakit swasta yang ada di pusat kota ini.
"Hanya sakit di dalam hati, apa harus sampai memeriksakan diri ke rumah sakit? Ini sudah jam berapa?" ucap Edwin lagi secara tidak sadar. Tidak menyadari bawah orang yang ada di seberang telepon mendengar semua ucapannya.
'Tidak Felix, tidak Edwin, terus saja mengejekku!' gumam David sambil mencengkeram roda kemudinya.
"Apa kau sudah bosan hidup?" tanya David dengan tajam. Tangannya memutar roda kemudi untuk berbalik arah menuju rumah sakit yang tadi disebutkan oleh Edwin. David takut jika Elyana sakit disebabkan oleh dirinya.
"Tidak, Tuan! Eh, maksud saya, datanglah segera ke rumah sakit pusat. Nona Elyana sudah masuk ke dalam. Saya harus segera mengikutinya. Jika tidak, kita bisa kehilangan jejak Nona Elyana lagi."
Klik!
Edwin mengakhiri panggilan teleponnya dengan terburu-buru. Menghiraukan majikannya yang berteriak dan memaki dirinya dari seberang telepon.
***
Di sebuah ruang perawatan pasien di rumah sakit, berbaring seorang wanita dengan kepala yang masih dibalut oleh kasa putih. Wanita itu terlihat lemah dan ada cairan infus yang tergantung di sampingnya.
Elyana masuk ke dalam kamar itu dengan perasaan tidak enak. Pasalnya, tadi ketika ia menghubungi Arani melalui telepon dari kamar hotel, Daniel-lah yang mengangkatnya. Pria itu mengatakan bahwa tiga hari yang lalu Arani didatangi oleh beberapa orang suruhan Yuan Louis, dan mereka menganiaya Arani karena tidak memberitahu keberadaan Elyana, hingga gadis itu harus dilarikan ke rumah sakit.
"Apa sekarang kau sudah puas?" sergah Daniel pada Elyana ketika wanita itu sudah masuk ke dalam ruang rawat. Emosinya sedikit naik. "Kau telah melibatkan kami dalam masalah pribadimu. Bukan hanya aku dan Arani yang menjadi korban, tapi juga keluargaku! Ayahku dipecat dari pekerjaannya. Bisnis ibuku hancur. Bahkan, kami harus menjual rumah di kota Lyon dan pergi dari kota itu. Apakah semua itu tidak ada hubungannya dengan kakekmu?"
"Dan sekarang, kami tidak punya tempat tinggal lagi. Hal buruk apa lagi yang harus kami terima karena ulahmu?" tambah Daniel lagi masih dengan emosi.
Tidak ada lagi keramahan seperti yang terlihat pada saat terakhir mereka bertemu. Sekarang, sorot mata Daniel begitu tajam menatap Elyana. Rasanya sangat marah dan kesal.
"Da-Daniel."
Elyana yang ada di depan pintu, segera melangkah pelan menghampiri Daniel. Air matanya berlinang dengan raut wajah penuh penyesalan.
Ini bukanlah yang Elyana inginkan—kabur dari rumah dan mencelakai sahabatnya sendiri. Ini sungguh diluar dugaannya.
"Maafkan aku, Niel! Aku sama sekali tidak berniat mencelakai kalian. Aku juga tidak menyangka, Kakek akan berbuat sejauh ini pada kalian. Aku hanya—"
"Elyana!" potong Daniel tiba-tiba. "Mengapa kau tidak kembali saja ke kota Lyon? Jika kau kembali ke sisi kakekmu, mereka tidak akan menyakitiku dan Arani lagi," ujar Daniel—menghindar ketika Elyana mendekatinya.
"Kakekmu akan terus mencari kami selama kau tidak kembali ke kota Lyon. Karena kamilah yang membantumu untuk kabur!" tambah Daniel lagi dengan nada mengalahkan.
"Aku minta maaf!" lirih Elyana di hadapan Daniel. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. "Untuk saat ini, aku belum bisa kembali ke rumah. Tapi aku berjanji, tidak akan membiarkan orang-orang Kakek menyakiti kalian lagi. Percayalah padaku!"
Elyana tidak ingin dibenci oleh kedua sahabatnya. Dan juga tidak ingin persahabatan yang sudah terjalin selama sepuluh tahun, harus berakhir seperti ini.
"Daniel, percayalah! Aku tidak akan membiarkan orang suruhan Kakek menyakiti kalian lagi," ucap Elyana lagi penuh dengan permohonan. Berharap, sahabatnya itu mau memaafkan dirinya.
"Sekarang, maafkan aku!" Elyana kembali meminta maaf. Ia meraih tangan Daniel dan ingin menggenggamnya.
Tapi Daniel segera menghempaskan tangan Elyana, membuat tangan wanita itu hanya menyentuh udara kosong.
"Sebaiknya, kau segera kembali ke keluargamu agar tidak menyusahkan aku dan Arani lagi."
"Daniel," panggil Elyana dengan pelan. Ia tidak percaya dengan apa yang sahabatnya itu katakan pada dirinya.
"Kami akan memaafkanmu jika ... kau kembali dan tinggal di rumah keluarga Louis!" ucap Daniel lagi tanpa rasa belas kasih sedikit pun. "Kalau kau tidak bersedia, menjauhlah segera dariku dan juga Arani."
"Aku mohon, jangan menjadikan ini sebagai syarat untuk memaafkan aku! Kita bersahabat sudah lama, kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini!" Tangisannya pecah lagi. Elyana berlutut di lantai, memohon pengampunan dari sahabatnya.
"Daniel, jangan membenciku karena hal ini. Aku berjanji, tidak akan melibatkan kalian lagi dalam masalah apapun."
Sebelum Daniel menjawab, terdengar suara keras dari pintu ruangan yang ditendang oleh seseorang diiringi suara teriakan, "Sebagai menantu dari keluarga Demino, kau tidak boleh merendahkan diri di bawah kaki orang lain!"
Elyana segera menoleh ke belakang, cukup terkejut dengan suara keras itu, juga suara pria itu. Daniel pun melihat arah pandangan Elyana. Terlihat seorang pria berdiri di depan pintu kamar dengan aura yang begitu kuat menatap tajam ke arah mereka berdua.
"David!" ucap Elyana pelan ketika melihat seorang pria berdiri di ambang pintu. Pria itu mengenakan setelan olah raga berwarna hitam dengan ekspresi yang sangat dingin. Namun terlihat sangat tampan.
'Sedang apa dia di sini?' tanya Elyana di dalam hati ketika melihat David ada di ruang rawat Arani.
'Apa dia salah masuk kamar?'
Terlihat, David berjalan masuk ke dalam ruangan lalu menghampiri Elyana, menarik tangan wanita itu agar segera berdiri.
"Cepat bangun! Wanitaku tidak boleh berlutut dan memohon apapun pada orang lain," ucap David dengan sombong.
"Orang lainlah yang harusnya berlutut dan memohon kepadamu!" Mulut berbicara pada Elyana, namun mata menatap Daniel yang berada di depannya.
"Jika ada masalah dengan istriku, kau bisa berbicara dengan asisten Edwin. Dia akan menyelesaikannya."
Terlihat Edwin berdiri di ambang pintu, membungkuk hormat pada tuannya.
"Sekarang, ayo kita pulang!" ajak David sambil menarik tangan Elyana, lalu berjalan keluar dari ruangan itu.
Daniel terpaku di tempat sambil menatap punggung mereka berdua. Namun Asisten Edwin masih berdiri di ruangan itu untuk berbicara dengan Daniel.
Sebelum menghilang di balik tembok putih itu, Elyana menoleh ke belakang, mengedipkan mata—mengisyaratkan sesuatu—pada Daniel.
Tapi saat ini Daniel sedang marah pada Elyana. Jadi dia tidak mengerti dengan isyarat yang Elyana berikan.
'Apakah Daniel akan mengatakan semuanya pada Asisten Edwin? Jika sampai itu terjadi, tamatlah riwayatku!' Ada kepanikan ketika memikirkan tentang hal itu. Tapi Elyana tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa pasrah menerima semua rahasianya dibongkar oleh Daniel.
Mereka berjalan meninggalkan ruang rawat Arani. Ketika sudah berada di lorong rumah sakit yang sangat sepi, David segera melepaskan tangan Elyana. Dengan acuh berjalan mendahului wanita itu.
Sikapnya seketika dingin pada Elyana, seolah, yang tadi berbicara manis di depan Daniel—menyebut Elyana adalah wanita dan istrinya—bukanlah David.
"Aku ingin membuat perhitungan denganmu! Dari mulai ... kau ... pergi dari rumahku tanpa permisi, hingga ... menjadi pengantin di acara tadi siang," ucap David dengan tajam. Ia berbicara sambil berjalan di depan Elyana, tanpa menoleh sedikitpun.
Eyana merasakan jantungnya berdetak kencang ketika mendengar ucapan David tentang "Membuat perhitungan dengannya". Seolah ada sebuah hantaman yang sangat keras di dalam dadanya membuat napasnya terasa sesak dan berat. Apa yang harus Elyana lakukan? Elyana menarik napas panjang, berkata pada David, "Baik! Besok siang, kita bertemu lagi untuk membicarakan masalah ini. Sekarang aku lelah, ingin pulang ke rumah untuk istirahat. Bisa, kan?" Lebih tepatnya, Elyana ingin mencari hotel terdekat untuk dirinya menginap. Tidak mungkin Elyana pulang ke rumah Alex dan istirahat di sana, kan? Toh, ia hanya seorang pelayan di rumah keluarga Danu, bukan benar-benar putri mereka. David bersikap acuh. Ia tidak menjawab perkataan Elyana hingga mereka keluar dari gedung rumah sakit. Itu membuat Elyana merasa lega. "Sampai bertemu besok Tuan David! Hati-hati di jalan," ucap Elyana dengan melambaikan tangan ketika mereka sudah berada di luar.
Elyana bergidik ngeri ketika David terus menggosok pipinya dengan jari yang sudah diludahi. Ia segera menarik tangan David agar menyingkir dari wajahnya. "Sudah hentikan! Lepaskan aku." Elyana sudah tidak tahan lagi. Ia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pria itu. Tapi David tidak mendengar. "Diamlah, sedikit lagi!" ucap David masih dengan memegang wajah Elyana. Setelah menggosok dua kali, barulah ia melepaskannya. "Nah, sudah bersih!" "Hah?" Elyana terdiam sambil melihat pria itu. David membersihkan tahu lalat yang sudah dirinya buat. Ketika Elyana akan berbicara pada David, terlihat Alex dan istrinya sudah berdiri di halaman rumah sambil menatap mereka yang masih berada di dalam mobil. Elyana dan David pun tidak membuang waktunya lagi, segera turun dan berjalan menghampiri kedua orang tua Isabel. Nosy berdiri sambil melipat kedua tangan di depan, menatap Elyana—yang berj
Di dalam kamar Isabel, Elyana melihat koper berwarna merah muda miliknya sudah ada di atas tempat tidur. Di dalam koper itu sudah ada pakaian milik Isabel, juga sepatu dan tas yang sangat bagus. Semua itu Nosy siapkan untuk Elyana demi menjaga citra baik keluarga Danu. "Dasar orang kaya tidak tahu diri. Hanya pakaian seperti ini saja, aku tidak buruh!" ucap Elyana dengan kesal. Elyana segera membalikkan kopernya, menumpahkan semua barang-barang itu ke lantai. Ia tidak menyisakan barang sedikitpun di dalam kopernya. Elyana merupakan nona kedua di keluarga Louis, sudah terbiasa hidup mewah sejak kecil, dan hidupnya tidak pernah kekurangan. Ia sama sekali tidak membutuhkan barang-barang bekas seperti ini. Jika mau, kapanpun, ia bisa membeli semua barang mewah yang lebih bagus dari ini. Bukan karena ada uang satu juta dolar di rekeningnya—pemberian dari Alex, tapi karena uang di rekeningnya sangatlah banyak. Setelah kopernya kosong, Elyana segera me
"Apa?" Pintu kamarnya dibuka kembali oleh David. "Apa yang kau katakan barusan? Elyana dirawat di rumah sakit? Kenapa?" David mengulangi ucapan Edwin. Ia tidak mengerti dengan perkataan asistennya tentang Elyana. "Iya, Tuan!" Edwin membenarkan. "Dari tadi, Tuan Felix sudah menghubungi Anda, namun tidak ada jawaban." David segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponselnya, lalu melihat sepuluh panggilan tidak terjawab dari Felix. "Dua puluh menit yang lalu?" David mengerutkan kening, lalu menghubungi Felix kembali untuk memastikan ucapan Edwin barusan. "Aish, sial! Apakah ini balas dendam, dia tidak mengangkat panggilan dariku!" ucap David kesal ketika mengetahui Felix tidak mengangkat panggilan teleponnya. "Maaf, Tuan! Tadi, Tuan Felix berpesan, Anda jangan mengganggunya malam ini. Tuan Felix ingin tidur sambil memeluk istrinya. Masalah Nona Elyana, dia sudah mengirim pesan singkat pada Anda, di rumah sakit mana Nona El
Mendengar David sudah berjanji, Daniel pun merasa lega. Ia tidak ragu lagi untuk menceritakan semuanya pada suami Elyana tersebur. "Mungkin, kau pun sudah tahu sebelumnya, bahwa kalian berdua akan dijodohkan. Demi terhindar dari perjodohan itu, Elyana memutuskan untuk kabur dari rumah dengan meminta bantuan aku dan Arani. Setelah orang di rumahnya tahu bahwa aku membantu Elyana melarikan diri, tidak hanya membuatku terluka hingga harus dirawat di rumah sakit, juga membuat ayahku bangkrut. Begitu pun dengan Arani. Setiap hari, Arani didatangi orang suruhan keluarga Elyana, dan pada akhrinya, Arani pun menerima tindak kekerasan dari mereka hingga masuk rumah sakit karena tidak mampu membuat Elyana kembali pulang ke rumahnya. Itulah alasan mengapa saat ini aku ingin Elyana menjauh dari kami. Aku tidak ingin hal buruk terjadi lagi pada kami jika masih dekat dengan Elyana," jelas Daniel dengan perasaan berat. Sebenarnya, Daniel pun tidak ingin memutus persahab
Di ruang direktur perusahaan Demino, David duduk di kursi kebesarannya sambil menatap pria lusuh yang ada di hadapannya. Jari-jari rampingnya terus memijat pelipis mata yang mulai teras tega. Tiba-tiba, dari pintu masuk, Edwin datang dengan membawa koper yang sudah dibersihkan itu lalu membawanya ke hadapan David. Setelah itu, Edwin kembali ke belakang dan berdiri di samping pria lusuh yang tadi ia bawa. "Tuan, pria ini yang memungut koper milik Nona Elyana dari belakang!" jelas Edwin pada David sambil menunjuk pria di sampingnya. Pria lusuh itu terlihat ketakutan dan kedua kakinya mulai bergetar hebat. "Maaf, Tuan! Saya hanya pemulung yang biasa mengambil barang bekas dari bak sampah. Saya tidak tahu bahwa barang ini bukan barang buangan. Jika saya tahu, saya pun tidak akan berani untuk mengambilnya," ucap pria itu dengan perasaan takut. "Sekarang, mana semua barang yang ada di dalam koper?" tanya David dengan tegas. Sama sekali tidak menunju
Elyana menjawab dengan pelan, "Bukan seperti itu, aku hanya emmhhhh—" Tiba-tiba, ucapan selanjutnya tertelan kembali ke dalam perut. David memegang wajah mungkin Elyana dan membungkam mulut itu dengan ciuman panas penuh provokasi. David tidak membiarkan gadis itu menyelesaikan ucapannya. Di ruangan yang cukup sempit itu kini terasa panas dan sesak. Seorang pria gagah dengan dada yang lebar, duduk di atas kursi mobil dengan seolah wanita di bawahnya. David terus menciumi bibir Elyana dan menyusuri luhur putih itu dengan bibirnya. Entah waktu sudah berlalu berapa lama, David dan Elyana sudah ada di kursi belakang dengan posisi Elyana masih berada di bawah tubuh David. Pria itu menciumnya dengan satu tangan masuk ke bawah rok jeans milik wanita itu. "Ahmmh, Dav-David!" desah Elyana disela ciuman panas mereka. "Ja-jangan ... ahhh!" Elyana menahan tangan besar itu agar tidak berjelajah masuk semakin jauh ke dalam pakaiannya. Itu
Satu bulan sudah berlalu. Di pagi hari, Elyana menerima telepon dari Judis setelah ponsel barunya diaktifkan. Asisten pribadi Tuan Besar Louis tersebut mengabarkan bahwa Yuan Louis sakit hingga dirawat di rumah sakit. Mendengar berita itu, Elyana merasa sedih dan khawatir. Ia harus segera kembali ke kota Lyon untuk melihat keadaan kakeknya. Walau bagaimanapun, Yuan Louis adalah satu-satunya orang tua yang Elyana miliki saat ini. Ia tidak ingin sesuatu terjadi pada kakeknya. "Nanti siang, aku akan ingin ke Kota Lyon untuk mengunjungi seseorang. Mungkin, aku akan tinggal selama satu minggu di sana. Boleh, kan?" ucap Elyana pada David. David yang sedang menyantap sarapan paginya segera meletakkan garpu dan sendok di atas piring. Keningnya tiba-tiba mengerut ketika mendengar permintaan Elyana. "Ke Kota Lyon? Satu minggu? Mengunjungi siapa kau di sana?" tanya David dengan nada mengintrogasi. "Itu ... kerabat dekat," jawab Elyana sed