Share

Playboy Cap Banteng!

Lelaki tampan itu dengan percaya diri meninggalkan teman-teman dan tamunya,  kembali menghampiri gadis cantik yang menggoda hatinya. Jelas terlihat bahwa ia tidak ingin kehilangan kesempatan dari Tiara.

"Sorry lama. Biasalah anak-anak itu gak bisa diandalkan kalau urusan meeting, gue harus terus turun tangan," ujar Adit dengan nada sombong.

"gak apa-apa, Dit ...," jawab Tiara sambil tersenyum.

Adit memesan kopi gula aren dan snack french fries setelah bertanya kepada Tiara untuk menambah pesanan, tapi gadis itu menolaknya.

Tidak lama kemudian, waiter mengantarkan kopi gula aren dan kentang goreng pesanannya. Sambil menikmati minuman dan makanan ringan, mereka lanjut mengobrol dengan santai. 

"Daily life kamu ngapain aja,  Dit?" tanya Tiara sungguh-sungguh ingin tahu.

"Gue? Hm ... main musik, latihan, bikin lagu ... gak jauh dari musik sih," jawab Adit terlihat menerawang. 

"Seriously? Total banget kamu di musik ya?gak bosen, Dit?" tanya Tiara yang membayangkan kejenuhan tanpa dunia lain dalam hidupnya.

"Bosen sih kagak ... cuma kadang bingung aja," tutur Adit sambil mengernyitkan dahinya.

"Bingung kenapa?" tanya Tiara semakin ingin tahu.

"Keluarga gue gak support di musik, bokap mau gue masuk ke perusahaannya, gantiin posisi dia kelak, jadi gue dikejar terus untuk latihan kerja. Gue gak mau," papar Adit dengan wajah kesal.

"Well, ngapain bingung ...  jalanin yang bikin kamu happy aja, Dit." Tiara melemparkan senyum manisnya kepada Adit. 

"Lo tuh ya, udah cantik, baik, enak diajak ngobrol ... pinter lagi. Anak siapa sih lo?" seloroh Adit meledek sambil terkekeh.

Ucapan Adit berhasil membuat Tiara tertawa lepas, kecantikannya semakin memikat di mata Adit. Lelaki itu menatap lekat wajah tiara dalam keterpanaan yang cukup dalam, hingga tanpa sadar, tangannya terangkat ke arah rambut Tiara yang terurai indah. Adit membelainya dengan lembut.

"Siapa dia, Dit?" Sebuah tangan merangkul bahu lelaki yang sedang mengelus rambut seorang wanita tidak dikenal.

Wajah Alika merah padam, tapi ia berusaha menahan diri dari emosinya yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia meraih tangan Adit yang sedang membelai rambut wanita lain itu.

Terlihat jelas keduanya sangat terkejut oleh kehadiran Alika secara tiba-tiba di sana. Tiara pucat pasi saat menyadari bahwa wanita itu memergoki Adit sedang membelai rambutnya. "Sial!" batin Tiara sambil berpikir untuk segera pergi dari sana. 

"Selama ini aku sabar terhadapmu ya, Dit." Alika berbisik ditelinga Adit dengan nada geram.

"Apa-apaan sih kamu?!" hardik Adit, ia tidak terima jika kekasihnya itu memprotes apa yang dilakukannya. 

 . 

"So-sorry,  gue yang minta Adit untuk ngobrol sama gue." Tiara mencoba menjelaskan sambil terbata-bata. 

"Tia, dia ini temen gue, emang  gak boleh punya temen perempuan lain, gitu?" ujar Adit setengah berbisik kepada Tiara. 

"Really, Dit? Mau sampai kapan kamu pakai alesan semua cewek yang kamu deketin tuh sebagai teman? Mau sampai kapan juga kamu menjatuhkan status kita di depan cewek lain?" tanya Alika dengan wajah merah padam. 

"Cukup Alika! Kalau mau ribut jangan di sini." Adit menarik tangan Alika dan membawanya ke arah pintu back stage lalu masuk ke dalam ruangan yang telah kosong itu. 

"Kamu apa-apaan, sih? Bikin malu!" bentak Adit sambil membanting pintu ruangan. 

"Memang itu kan yang kamu rasain berpasangan denganku, malu! Gak pernah bisa kamu mengakuiku sebagai pacarmu,  Dit!" Air mata Alika tidak kuasa lagi dibendungnya. 

"Dari awal pacaran, lo tahu gue ini gimana, lo juga tahu harusnya, resiko pacaran dengan musisi itu seperti apa. Kalau gak kuat ... please,  lepasin gue." Adit memegang tangan Alika kuat-kuat, berusaha meyakinkan Alika untuk meninggalkannya. 

"Brengsek kamu, Dit. Tega banget! Kalau tahu endingnya akan seperti ini, buat apa dari awal kamu mengejarku dan sukses bikin aku jatuh cinta sama kamu? Buat apa?!" Alika berusaha melepaskan tangannya dari  genggaman Adit. 

Mereka saling menatap dan terdiam beberapa saat. Sebenarnya Adit mencintai Alika. Namun, ia tidak pernah sekalipun mengatakannya selain hanya memperlihatkan sisi buruknya saja kepada Alika. 

"Aku selalu punya keyakinan sama kamu, Dit, bahwa suatu hari kamu bisa berubah, dan bisa meraih mimpimu. Aku selalu meyakini hal itu." Alika menjeda ucapannya seraya menyapu tetesan air mata dari pipi dengan telapak tangannya.

 "Kapan terakhir kali kamu merasakan  mencintai orang lain? Hanya kepada Reina, kan? Susah memang melupakan cinta pertama." Alika mendengus menahan sesuatu yang terasa menusuk hatinya, tapi nada bicaranya sudah mulai tenang.

 "Jangan bawa-bawa Reina!  Gak ada sangkut-pautnya hubungan ini dengan dia!" teriak Adit terpancing emosi seolah-olah Reina yang dipersalahkan oleh Alika. 

"Apa yang terjadi kalau Reina masih ada di sampingmu, Dit? Kenyataannya, Reina merubah kamu begitu drastis, sampai kamu menyia-nyiakan orang yang bener-bener peduli sama kamu." Alika tidak menghiraukan teriakan Adit padanya. 

"Alika ...!" teriak Adit menatap dengan tatapan tajam. 

"Kenapa? Gak terima?" tanya Alika dengan nada sewot.

 

"Udah malem, gue capek. Gue antar lo balik!" seru Adit penuh penekanan. Ia meraih tangan kekasihnya dan menuntunnya keluar dari cafe. 

Sepasang mata indah, melihat pujaan hatinya menuntun Alika. Ia memalingkan wajahnya dan menenangkan diri dari deburan api cemburu di hatinya. 

Sesampainya di depan rumah, Alika turun dari mobil dengan lemas, kesedihan membayang di wajahnya. Ia selalu kecewa karena setiap kali timbul pertengkaran, masalah di antara mereka selalu menggantung, tidak pernah terselesaikan sampai tuntas. 

 

"Hey, istirahat ... besok sore gue jemput, kita mau dinner di pavilion, ok?!" seru Adit dari balik kaca jendela mobil yang terbuka. 

Tanpa menjawab, Alika terus melangkah perlahan masuk ke dalam rumah. 

Lelaki itu dengan gusar dan wajah mengetat, manaikkan volume musik cadas sampai kencang, seakan suara musik itu mampu membawanya menjauh dari kenangan masa lalu bersama Reina. Nama yang diungkit oleh Alika dan membuatnya seolah kehilangan gairah hidup.

Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai ke unit apartemennya. Adit menghabiskan waktunya di balkon setelah mandi dan meracik kopi untuk dirinya sendiri. 

Pandangan matanya nanar menatap jalanan yang masih sepi dan hanya kerlip lampu kota yang menghiburnya saat ini.

"Kenapa gue susah banget ngelupain Reina?" batin Adit merasa nelangsa.

Hampir empat tahun berlalu, dan ia masih saja berharap bisa kembali pada pelukan Reina. Seandainya saat itu, dia bisa meninggalkan dunia musik dari kepalanya, mungkin ia akan menyusul Reina kuliah di luar negeri dan tentu saja hal itu akan membuat ayahnya bangga. Tapi ....

"Argh! Kenapa sih semuanya tidak bisa berjalan berbarengan? Kenapa harus selalu memilih ... musik atau Reina? Perusahaan atau musik?!" teriak Adit kesal sambil memukul meja kayu di depannya. 

Tak ayal, kopi yang tinggal setengah tumpah dari gelasnya seiring dengan mentalnya gelas tersebut ke lantai dan meninggalkan serpihan kaca yang terlempar ke setiap penjuru. 

"Ah, Sial!" teriaknya lagi. 

Adit melompat dari kursinya, tidak mau menanggung resiko terkena pecahan beling, ia meraih sandal hotel dari rak sandal yang ia letakkan di balkon, lalu kembali menuju dapur untuk meracik kopi lagi. Perasaannya masih tidak menentu. 

Kopi panas yang mengepulkan asap tebal dari cangkir, ia bawa ke ruang tamu. Suara notifikasi dari telepon genggamnya terdengar. Dia baru ingat kalau gawai tersebut masih berada di kursi balkon. 

"Jam segini, siapa yang kirim pesan?" gumam Adit seraya melangkah ke arah balkon. 

Tangannya terjulur dari pintu, untuk meraih telepon genggamnya yang terletak dikursi yang tadi ia duduki, lalu membawanya ke ruang tamu. Ia membuka pesan tersebut sambil menghempaskan bokongnya pada dudukan kursi yang empuk. 

Dari nomor tidak di kenal : 

"Malam ini kamu keren, Dit ...."   -- R.

"REINA?!" seru Adit, ia benar-benar terkejut.

___to be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status