Share

Awal Pertemuan

(9 tahun yang lalu)

(Kriiing)

Suara dering bel begitu nyaring terdengar ke seluruh sudut sekolah. Ditimpali suara kaki berlarian dari pintu masuk sekolah menuju kelas masing-masing.

Adit sedang berjalan dengan santai dan tiba-tiba, Reina menabraknya tanpa sengaja dari belakang. Bruk! Reina terjatuh, beberapa buku yang ia pegang berhamburan jatuh ke lantai.

"Gimana sih? Kalo jalan yang bener dong!" Adit menahan kekesalan karna gadis itu membuatnya terkejut.

"Orang gue lari, lo ngalangin jalan!" Reina emosi sambil membereskan buku-bukunya yang terjatuh tanpa mempedulikan lelaki itu, ia masuk ke dalam kelas dan duduk di mejanya.

Adit bingung, "kenapa perempuan itu yang lebih galak secara dia yang nabrak gue," batin Adit seraya ikut masuk ke dalam kelas lalu duduk tepat di belakang Reina.

Suasana kelas tidak jauh dari kebiasaan murid-murid pada umumnya. Ricuh dengan suara riuh rendah. Saling melempar kertas sementara ada yang tertidur, itu pemandangan yang biasa. Bahkan menjadi ajang saling melempar gosip seru untuk para siswi sampai terjadi keributan dan perpecahan juga adalah biasa. 

Adit sebagai murid pindahan dari sekolah lain, di kelas dua, belum mempunyai teman.

Bahkan di kelas tersebut, belum ada satu orang pun yang menyapanya sampai seorang siswa berperawakan tinggi dan ramping menyapanya, "Hai, Kenalin, gue Krisna." 

"Gue Adit." Adit menjabat tangan Krisna.

"Lo pindahan dari mana?" Krisna meletakkan tas sekolah di kolong meja lalu duduk di sebelah Adit.

"SMA 70," jawab Adit sambil mengeluarkan buku tulisnya dari dalam tas.

"Ooh ...." Krisna kebingungan karena Adit hanya menjawab singkat tanpa ekspresi.

Keriuhan seketika berhenti saat seorang pengajar memasuki kelas dan sebelum memulai pelajaran, Guru itu mengumumkan sesuatu.

"Mohon perhatian semua ... hari ini kita mempunyai teman baru, Aditya wicaksono. Murid pindahan dari SMA 70, silakan Adit maju ke depan, perkenalkan dirimu." Bu guru memberi isyarat agar Adit segera ke depan. 

Adit berdiri, lalu menyeret langkah ke depan, dengan berat, ia merasa malas melakukan basa-basi seperti itu.

"Hai, saya Adit. Salam kenal." Adit melempar senyum tipis, membuat beberapa murid perempuan terpana melihatnya.

"Hai Adit ...," jawab siswa siswa itu serentak.

"Adit, semoga kamu betah ya di sekolah ini, belajar yang rajin. Silakan kembali ke tempat duduk kamu," kata pengajar, seorang wanita bernama Widya.

Adit kembali ke tempat duduknya, ia melirik Reina yang menabrak punggungnya tadi saat melewati bangkunya. Mata mereka beradu, sorot mata Reina datar. 

Deg! 

Adit merasakan sesuatu berdesir di hatinya saat menatap Reina sekilas tadi. Ia duduk kembali di mejanya sambil berpikir, "Apa ini? Ada apa dengan hati gue? Kok rasanya aneh begini sih."

Pelajaran kimia di mulai, setelah menjelaskan satu bab dari mata pelajaran, Widya mengajak siswa-siswinya untuk lanjut ke labolatorium.

"Sekarang kita akan praktek di lab. Tapi praktek kali ini, satu kelompoknya terdiri dari dua orang. Khusus untuk murid baru, Adit, ibu pilihkan teman yaitu Reina." 

Sejujurnya, Adit tidak peduli akan dipilihkan teman yang mana, semuanya sama, belum ia kenal. Tapi saat gadis itu menghardiknya, saat itulah ia merasa senang karena telah dipilihkan gadis judes yang membuatnya berdesir sekaligus menjadi tahu namanya, Reina.

"Awas lo gak pinter." Reina menoleh ke arah Adit. Lelaki itu bergeming. Seakan tidak mendengar hardikkan Reina.

Setelah bu Widya selesai membagi nomor meja lab. Mereka bergegas menuju lab, lalu menempati meja lab masing-masing.

"Nih pake, biar gak kebakar tangan lo." Reina memberikan Adit sepasang sarung tangan khusus.

"Thanks," jawab Adit sambil memakai kedua sarung tangannya, kiri-kanan.

Saat mengerjakan pelajaran praktikum tersebut, Adit memberanikan diri untuk memulai percakapan dengan Reina.

"By the way, gue belum denger lo minta maaf loh." Adit mengambil penjepit tabung reaksi yang berada di depannya.

"Maaf? Memangnya gue salah apa?" Reina kebingungan, tidak mengerti maksudnya.

"Lo nabrak gue kan tadi pagi," jawab Adit.

"Kan gue bilang, lo yang halangin jalan gue," sahut Reina.

"Jadi, orang gak boleh menghalangi jalan lo, gitu?" Adit mengerutkan dahinya hingga alis tebalnya hampir menyatu.

"Iya," jawab Reina singkat.

"Aneh banget ni cewek," kata Adit dalam hatinya.

 

Bel istirahat berbunyi. Siswa-siswi berhamburan keluar dari ruangan labolatorium. Merasa lega karena bisa terlepas dari beban belajar.

 

"Ayo." Reina menggandeng tangan Adit dan mengajaknya berjalan bersama.

"Kemana?" tanya Adit kebingungan.

"Kantinlah, gue gak akan minta maaf, tapi gue akan traktir lo makan siang," jawab Reina.

Adit tidak bisa berkata apa-apa lagi dengan sikap Reina yang menurutnya aneh tapi unik. Sesampainya di kantin, Reina memesan mie ayam yang paling enak di area sekolah itu.

"Pak, mie ayam dua, ya," pinta Reina.

"Baik neng," jawab Rusdy, penjualnya, yang segera sibuk melayani pesanan mereka. 

Adit dan Reina memilih tempat duduk berhadapan. Keduanya terdiam seraya saling memandang.

"Ini pesanannya neng ... silakan ...." Rusdy menyajikan dua mangkuk mie ayam di hadapan mereka.

 

Reina mencoba menerka sikap Adit yang dingin dan irit bicara sambil memakan mie ayam dengan lahap. Mereka masih saling berdiam diri, fokus dengan makanannya sendiri-sendiri.

Setelah menghabiskan makanannya, Adit berdiri lalu mengambil dompet dan menarik lembaran sepuluh ribu sebanyak tiga lembar. Ia meletakkan uang tersebut di atas meja. "Gue bisa bayar sendiri," ujarnya sambil berlalu, meninggalkan Reina sendirian di sana.

Reina terperangah dengan sikap Adit, ia menatap punggung lelaki itu sampai menghilang dari pandangan. "Gila kali ya tuh orang, gak beradab banget sih," gumam Reina kesal.

(Kembali ke masa kini)

Adit tidak akan lupa dengan awal pertemuan mereka. Sontak saat ia melihat layar telepon genggamnya terbaca sebuah pesan dari seseorang berinisial R, lelaki itupun menautkan ingatannya akan sosok Reina.

"Reina?!" Adit tercengang karena gadis itu sudah bertahun-tahun menghilang tanpa kabar. Dia kuliah di luar negeri dan kemungkinan tidak akan kembali ke tanah air.

Namun, malam itu Reina berada di kafe, melihatnya pentas di atas panggung. Adit menyesali, kenapa ia tidak melihat gadis itu.

(Ting Tong)

Adit terkejut mendengar suara bel pintu saat suasana sedang hening. Ia merasa tidak mengundang siapapun dini hari.

Adit melangkah ke arah pintu dan membukanya. Di sana, sedang berdiri kedua orang tuanya, tersenyum kepada Adit meski wajah keduanya tampak lelah.

"Papa, Mama ... kok gak bilang-bilang mau datang?" tanya Adit heran, orang tuanya berkunjung menjelang subuh.

"Gimana kabar mu, Nak?" tanya Dimas wicaksono, ayahnya.

"Lumayan ... ada apa Papa dan Mama subuh-subuh ke sini?" Adit menutup pintu sebelum ikut duduk di sofa bersama Dimas.

"Memangnya, papa dan mama tidak boleh menjenguk anaknya?"  Wanita setengah baya itu meletakkan mantel dan tasnya di meja sudut, lalu beranjak ke dapur mini untuk membuat  teh hangat.

"Di jam segini? Ada apa?" Adit bersikeras mempertanyakan kedatangan mereka.

Dimas menatap putranya dengan tajam. Ternyata, Adit mewarisi tatapan dingin menusuk itu dari ayahnya. Dimas adalah sosok yang berwibawa. 

"Papa ingin kamu segera melanjutkan perusahaan keluarga kita," tutur sang ayah dengan nada mendesak.

"Mama dan Papa sudah saatnya istirahat, sudah ingin menikmati hari tua dengan santai, Nak ...." Ibunya menambahkan.

"Saya 'kan sudah bilang, saya tidak tertarik, Pa. Saya punya pekerjaan sendiri," tegas Adit.

"Mau sampai kapan kamu bersikap egois seperti ini? Hidup tidak jelas juntrungannya! Sedangkan Kamu anak satu-satunya. Adit, Kalau bukan kamu yang meneruskan perusahaan, lantas siapa?!" seru Dimas mulai kesal.

"Saya tidak tertarik menjadi seperti Papa atau Mama." Adit menolak permintaan kedua orang tuanya.

Plak!

Dimas tidak tahan lagi dengan sikap putranya yang keras kepala dan sulit diminta untuk mengerti kondisi orang tuanya.

Tapak empat jari terlihat jelas berwarna merah pada pipi kanan Adit yang putih. Anak muda itu terlihat menahan marahnya karena ditampar sang ayah. 

"Anak kurang ajar! Kamu pikir hidup kamu yang enak seperti sekarang ini hasil dari mana?!" teriak Dimas, menekankan kerja kerasnya selama ini.

"Sudah, Pa ... sabar," bujuk istrinya dengan lembut seraya merangkul lengan Dimas.

"Lebih baik Papa dan Mama pulang saja, saya capek." Adit berjalan ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar.

"Dengarkan baik baik, selama hidup kamu masih dibiayai oleh papa, seharusnya kamu bisa tahu diri. Paham?!" Dimas menatap tajam  dengan nada tegas, ada ancaman pada sorot matanya, yang membuat Adit merinding.

"Kami pulang dulu, Nak. Kamu istirahat, ya," pamit ibunya seraya menepuk halus bahu Adit.

"Apa yang harus aku lakukan?" Batin Adit meronta.

___to be continue

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status