Share

Aku akan Membayarmu

Celine menatap anaknya yang tertidur setelah lelah bermain seharian. Wacananya untuk mengajak Arion main di taman tidak bisa terealisasi, karena dia tidak mungkin meninggalkan Rayyan di rumah. Alhasil, dia menemani anaknya bermain di rumah dengan mobil-mobilan yang baru dia belikan. Menyanyikan lagu tidur seperti biasa, sampai akhirnya Rayyan datang dengan kruk di tangan kanannya. Berjalan pelan menuju ke arahnya.

"Arion sudah tidur?"

"Ya, dia pasti lelah." Celine terkekeh melihat anaknya yang tidur di pangkuannya.

"Harusnya kamu pergi bersamanya, tidak usah memedulikanku." Rayyan mengusap Arion dan mengecup kening putranya. Lalu beralih mengecup bibir Celine. Merasa kasihan melihat istrinya yang kelelahan seperti ini. Padahal Celine mengambil cuti untuk beristirahat. Namun istrinya justru malah kelelahan seperti ini.

"Kamu bicara apa, Rayyan. Aku sengaja mengambil cuti agar bisa bersama kalian." Celine berdecak kesal mendengar suaminya yang selalu mengatakan untuk jangan menghiraukannya. Bagaimana bisa Celine bersikap seperti itu? Mereka adalah suami-istri. Meski Rayyan tidak bisa melakukan apa pun untuk sekarang, tapi laki-laki itu tetaplah suaminya.

"Maaf, sepertinya aku terlalu banyak bicara lagi. Sini, serahkan Arion padaku, kamu tidur saja."

"Ini masih sore, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," tolak Celine halus. Sebenarnya, dia sangat senang bisa menghabiskan waktu bersama anaknya dan belum cukup puas.

"Kalau begitu, biarkan aku memijatmu."

Celine memberikan senyum manis. Dia membiarkan suaminya memijat kedua bahunya yang selalu pegal. Rasa lelah yang tidak bisa hilang karena pekerjaan begitu menumpuk. "Kau pasti sangat lelah. Terima kasih karena masih bertahan bersamaku, Sayang. Padahal kau bisa mencari laki-laki lain."

Celine memilih bungkam. Dia terdiam memikirkan ucapan Rayyan. Sudah berulang kali suaminya meminta dia untuk mencari laki-laki lain, namun mana mungkin Celine bisa meninggalkan Rayyan begitu saja? Setelah laki-laki itu membahagiakannya selama lima tahun. Kini, hanya satu tahun laki-laki itu sakit dan dia meninggalkannya? Itu gila. Celine tidak mungkin melakukannya. Meski sekarang, ada sebuah kekhawatiran dengan keluarga suaminya. Hanya satu harapannya, dia memiliki kekuatan untuk melindungi keluarga tercintanya.

"Memilikimu dan Arion, sudah cukup untukku, Rayyan."  Ditahannya tangan Rayyan seraya menoleh ke arah laki-laki itu. Celine menarik wajah suaminya dan memberi ciuman singkat di bibir. "Aku tidak perlu yang lain."

Rayyan tetaplah suaminya yang tampan. Suami yang sangat menyayanginya dan dia pun begitu. Tidak akan ada yang bisa menggantikannya. Siapa pun itu. Walau dibanding dibilang tampan, Rayyan lebih bisa dikatakan sebagai laki-laki yang manis. Berwajah lembut dan penyayang. Hal yang membuat Celine selalu merasa nyaman saat bersamanya.

"Aku semakin menyayangimu, Celine." Dipeluknya erat tubuh sang istri dengan mata berbinar. Rayyan tidak salah memilih istri, dia tahu kalau Celine selain wanita yang baik, wanita itu juga merupakan wanita yang tepat untuknya. Membuatnya merasa sangat terharu. Baginya, hanya Celine yang dia miliki saat ini. Rayyan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, jika wanita itu meninggalkannya. "Sayang, kamu mau mandi? Aku siapkan air hangat, ya?"

"Jangan coba-coba, Rayyan. Diam saja, aku akan mandi sendiri."

"Kalau begitu, bagaimana jika kita mandi bersama?" Senyum manis tak pernah lepas di wajahnya. Membuat Celine ikut terkekeh dan mengangguk.

***

"Kau masih belum tidur, ya?" 

Celine membuka pintu dan melihat Dominic masih terjaga. Menatap atap rumah dengan pandangan menerawang. Nyaris saja dia lupa untuk menemuinya. Rasa lelah membuat Celine hampir saja mengabaikan laki-laki yang sekarat itu. Meski beruntungnya, dia bisa pergi setelah membuat anaknya tertidur. 

Hari masih belum terlalu malam, karena itulah Celine berani untuk keluar rumah. Rayyan tidak banyak tanya karena dia tahu kalau istrinya pergi membeli sesuatu. Memang, Celine membeli beberapa obat-obatan yang lupa dibelinya tadi siang. Sekalian saja, dia menyempatkan diri melihat Dominic.

Seperti biasa, di tangannya ada satu kantung makanan untuk Dominic. Dia meletakkannya dengan cepat di samping tempat tidur laki-laki itu. Melihat Dominic yang hanya meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada lamunannya. 

"Aku membawa makanan untukmu. Kau sudah lebih baik? Apakah kau minum obatnya juga? Maaf aku belum bisa membawamu ke klinik, tempat ini terlalu jauh, jadi--"

"Tidak apa-apa. Kau tidak perlu membawaku ke sana dan terima kasih sudah datang," potong Dominic sambil melirik ke arah makanan yang dibawa oleh Celine.

Sementara itu, Celine membereskan makanan tadi siang yang sudah tinggal sedikit. Obat yang diberikannya juga sudah diminum. Dia tersenyum melihatnya dan duduk untuk mengecek suhu tubuh laki-laki itu yang tadi siang sudah menurun. Memastikan apakah benar-benar sembuh atau tidak. Namun tindakan spontannya itu cukup membuat Dominic kaget dan sedikit bergerak. Mata laki-laki itu seolah menunjukkan kebingungan dengan sentuhan Celine di dahinya.

"Maaf, aku hanya mau mengecek suhu tubuhmu. Sepertinya, ini jauh lebih baik dari yang kupikirkan." Celine menarik tangannya yang menyentuh kening Dominic. Dia jadi gugup saat laki-laki itu terlihat tidak nyaman. Seperti dia baru saja melakukan tindakan tercela. "Itu ... bisa kau buka bajumu sedikit? Aku ingin memeriksa lukamu," tambahnya lagi sebelum Dominic salah paham.

Laki-laki itu menyorot tajam. Tampak seolah tidak suka dengan permintaan Celine. Meski pada akhirnya, dia tetap menuruti perintah Celine dan menaikkan sedikit bajunya dengan susah payah. Kedua tangannya sudah bisa digerakkan karena dia sudah mengisi perutnya dengan makanan.

Dominic hanya diam dan menatap Celine yang memerhatikan tubuhnya. Menyentuh lukanya dengan sangat pelan. Tidak ada yang salah dengan yang dilakukan Celine, namun Dominic merasa tidak nyaman hingga dia memilih untuk memalingkan wajahnya ke arah lain. 

Sentuhan wanita asing di tubuhnya benar-benar membuatnya tak nyaman, dan menyebabkan Dominic refleks menangkap lengan wanita itu sebelum Celine memeriksa luka di bagian perutnya. "Cukup, aku sudah tidak apa-apa."

"Oh ... ya, kau tidak apa-apa." 

Canggung. Celine tidak tahu harus melakukan apa lagi saat Dominic berkali-kali menunjukkan rasa tidak nyamannya. Padahal dia biasa saja awalnya. 

"Siapa pemilik rumah ini?"

"Huh? Ini ... ini rumah kosong. Aku tidak tahu pemiliknya," jawab Celine sedikit tergagap. Dia melamun.

"Lalu, di mana rumahmu?"

Kali ini, pertanyaan Dominic terdengar sedikit santai, menyebabkan ketegangan yang terjadi sedikit mencair dan Celine bisa bernapas sedikit lebih lega. Entahlah, aura yang dikeluarkan oleh Dominic sangat mengintimidasinya. Seolah menunjukkan kalau laki-laki yang ditolongnya bukankah laki-laki biasa. 

"Rumahku cukup jauh dari sini. Aku tidak membawamu pulang karena kondisimu kemarin sangat mengkhawatirkan."

Setelah ucapannya, terjadi keheningan beberapa saat. Dominic seperti tengah memahami setiap kejadian yang ada pada dirinya dengan saksama. "Begitu, ya. Kau membawaku ke rumah tak berpenghuni. Itu artinya, malam ini kau akan kembali pulang?"

Celine mengangguk dengan cepat. Tentu saja dia pulang, ada Rayyan yang sudah menunggunya. Dia sudah berjanji kalau malam ini akan menjadi malam untuk mereka berdua. "Aku tidak bisa terlalu lama menjagamu, karena itu sebaiknya kau makan sekarang."

"Aku tidak bisa makan. Suapi aku."

Celine ingin membantah, jelas-jelas dia melihat tangan Dominic sudah tidak apa-apa. Namun karena melihat wajahnya yang selalu menunjukkan ekspresi serius, mau tak mau Celine melakukannya dengan terpaksa. Kasihan juga melihat orang yang hampir mati sepertinya bisa hidup kembali. 

Sedangkan Dominic memerhatikan Celine dengan lekat. Dia masih meragukan wanita itu. Akan tetapi, terlihat jika Celine begitu tulus merawatnya. Wanita itu mau diperintahnya. "Tinggallah di sini malam ini, jangan pergi."

"Apa?"

"Temani aku, aku akan membayarmu, nanti."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status