"Kau yakin tidak mau ke rumah sakit atau ke kantor polisi? Kau bisa menangkap orang yang melukaimu dan kembali pada keluargamu," ujar Celine yang kini menatap Dominic makan.
Pagi ini, dia juga memberi laki-laki itu sarapan, setelah sebelumnya berpamitan pada sang suami. Rayyan sudah memahami dan mengizinkannya tanpa banyak tanya. Celine menyempatkan untuk melihat Dominic pada saat sebelum dan sepulang kerja, itu pun jika hari masih sore, karena dia tidak berani lewat ke arah sini ketika hari sudah malam. Celine memilih jalan yang ramai, meski itu cukup jauh."Kau tidak perlu datang jika aku membebanimu," balas Dominic tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan di depan mata. "Sepertinya kau salah paham, aku tidak mengeluh karena harus merawatmu. Aku hanya berpikir, mungkin keluargamu sedang mencarimu. Kau tahu, keluarga adalah satu-satunya yang paling berarti." Celine tidak ingin Dominic menyalahartikan perkataannya. Dia hanya khawatir karena laki-laki itu sudah di sini lebih dari empat atau mungkin sudah lima hari terhitung kejadian sebelum di mana dia menemukannya terkapar di gang. Ditambah, dirinya bahkan sama tidak tahu siapa keluarga Dominic dan apa yang sebenarnya telah terjadi.Hingga karena ucapan Celine, Dominic seketika menghentikan acara makannya. Matanya menyorot serius pada wanita yang menolongnya itu. Seolah ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun karena Dominic terus menatap, Celine menjadi gugup. Tatapan yang membuat wanita itu tertekan. "Kenapa? Apa kata-kataku ada yang salah?""Tidak, aku mengerti maksudmu," tukasnya sambil memalingkan wajah.Suasana mendadak berubah canggung. Ekspresi Dominic terlihat dingin dan Celine tidak tahu apa yang sebenarnya tengah dipikirkan oleh laki-laki itu. Meski pada akhirnya, Dominic kembali melanjutkan acara makannya. Sementara Celine bangkit dan berjalan melihat-lihat gubuk tua tersebut.Selama Dominic di sini, sepertinya tidak ada seorang pun yang datang dan Celine tidak tahu siapa pemiliknya. Dia masuk seenaknya. Namun, dia bersyukur kalau tempat ini setidaknya masih bisa dijadikan tempat untuk merawat laki-laki itu. Walau tidak ada banyak ruangan yang bisa dia jelajahi, tapi sampai kapan dia harus membiarkan Dominic di sini? Tak dipungkiri, dia sedikit khawatir dengan keselamatannya karena telah menyelamatkan nyawa orang yang bahkan dia tidak tahu latar belakangnya."Celine, di mana rumahmu?" tanya Dominic tiba-tiba."Apa?"Perhatian Celine teralihkan oleh pertanyaan Dominic. Tubuhnya berbalik menghadap kembali pada laki-laki itu, yang kini berusaha untuk bangun seraya memegangi perutnya yang terluka. Sementara makanannya sudah habis tak bersisa. Melihat hal tersebut, tentu saja Celine langsung mencegahnya. Dia menahan kedua lengan Dominic agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Apa yang kaulakukan? Kau masih sakit. Diamlah di sana!" perintahnya dengan cemas. Celine kemudian memeriksa perban yang membalut tubuh Dominic. Dia selalu menggantinya setiap pagi dan tampak, luka itu sudah mulai kering. Namun jika terbuka kembali, itu akan sangat berbahaya."Aku tidak apa-apa. Luka ini sudah sembuh." Dominic berusaha mencegah tangan Celine yang berniat membuka pakaiannya. Dia tetap tidak nyaman saat wanita itu menyentuhnya begini, meski hal tersebut dilakukan untuk mengobati lukanya. Bagaimana pun, Celine tetap wanita dan dia adalah pria."Biar aku melihatnya." Celine menundukkan kepala dan memperpendek jarak antara dia dengan laki-laki itu. Hingga membuat Dominic sedikit tersentak. Matanya terpaku pada wajah Celine yang begitu dekat dengannya dan tanpa sadar malah membiarkan Celine membuka baju serta perban yang membalut tubuhnya.Dominic terus menatap Celine yang baru dia sadari kalau wanita itu berbeda dengan yang selama ini dekat dengannya. Tidak memakai makeup tebal dan pakaian yang menunjukkan lekuk tubuh. Hanya baju sederhana dan celana panjang yang bahkan tidak memerlihatkan bokong indahnya. Harus Dominic akui, kalau Celine cukup cantik. Memiliki alis tebal dan bola mata yang besar. Bibirnya kecil dan tampak pas saat mengenakan lipstik berwarna merah. Rambut wanita itu selalu diikat sembarang ke atas. Memerlihatkan leher jenjangnya.Penampilan Celine membuat Dominic tidak bisa mengalihkan pandangannya sama sekali. Dia terus menatap wanita itu yang saat ini tengah mendorongnya kembali berbaring untuk mengganti perban yang baru. Sampai saat Celine menyentuh dadanya, Dominic langsung tersadar dan refleks mencengkeram tangan wanita itu."Ada apa? Apa masih sakit?" tanya Celine saat menatap lengan Dominic yang menahannya. Terlihat tatapan bingung di sana."Tidak, balut saja. Jangan menyentuhnya." Nada suaranya terdengar dingin, tapi percayalah kalau saat ini Dominic tengah tegang. Dia tidak terbiasa jika membiarkan wanita menyentuhnya seperti ini. "Oh, baiklah. Maafkan aku."Celine lebih hati-hati dan berusaha untuk tidak menyentuh tubuh Dominic. Menggantikan perban tersebut dengan cepat. Sampai karena terlalu santai, Dominic yang melihatnya menjadi heran. Dari pertama kali Celine membalut lukanya hingga saat ini, terlihat sangat jelas jika wanita itu sama sekali tidak terlihat sungkan atau canggung. "Kau melakukannya seperti kau sudah terbiasa," celetuk Dominic tanpa sadar, menyuarakan apa yang ada dalam benaknya.Celine mengangkat alisnya dan tersenyum tipis. "Aku sering merawat ayahku."Bukan, bukan itu jawaban yang Dominic ingin dengar, tapi dia memilih diam. "Apa orang tuamu masih hidup?"Celine hanya menggeleng sedih. Teringat akan kedua orang tuanya yang telah meninggal. Ibunya telah meninggal lebih dulu, lalu selang beberapa bulan, disusul oleh ayahnya yang memang sudah sakit-sakitan. Hal yang sangat menyedihkan karena itu membuatnya harus hidup sebatang kara.Hingga akhirnya, dua minggu setelah itu, Rayyan datang menikahinya atas permintaan kedua orang tuanya dan ayah laki-laki itu. Pernikahan mereka memang bukan pernikahan karena saling mencintai, tapi karena terikat janji yang dibuat oleh ayahnya dan ayah Rayyan sebelum mereka lahir. Sayangnya, ibu dari Rayyan justru tidak pernah suka dan menyetujui pernikahan mereka. Bahkan hingga saat ini."Lalu, kau tinggal bersama siapa? Di mana rumahmu?" Dominic terlihat tertarik dengan kehidupan Celine, sekaligus dia butuh informasi untuk memastikan jika wanita itu memang bukan orang yang terlibat dengan apa yang menimpanya beberapa waktu lalu. Akan sangat bagus jika dia tahu orang-orang terdekat atau rumah wanita itu.Akan tetapi yang terjadi, Celine malah berdiri dan berniat pergi. "Aku tidak bisa mengatakannya. Rumahku cukup jauh dari sini, tapi aku tidak akan membawamu.""Kenapa?"Celine menghembuskan napasnya kasar. "Meski aku menolongmu, tapi di mataku, kau tetap orang asing. Apalagi aku tidak tahu siapa dan kenapa kau bisa terluka."Dominic dibuat tersentak oleh jawaban Celine. Dia tidak menyangka kalau wanita di depannya yang terlihat bodoh itu, ternyata cukup pintar untuk tidak memberitahu tempat tinggal atau keluarga terdekatnya pada orang asing. Meski sebenarnya, ketika dia kembali nanti, dia akan mudah mengetahui siapa Celine.Tak hanya itu, Dominic juga cukup kaget saat tahu jika Celine tidak mengenalnya. Padahal dia pernah beberapa kali masuk surat kabar dan televisi. "Apa kau benar-benar tidak tahu siapa aku?""Tidak, kau tidak mengatakannya, tapi aku hargai itu. Kau butuh privasi. Jadi, aku pun sama. Aku hanya menolongmu dan tidak berniat dekat denganmu.""Lalu, bagaimana caraku membayar semua biaya perawatanku selama ini?" "Aku sudah katakan sebelumnya, aku tulus menolongmu. Aku tidak butuh uang. Sepertinya, aku harus pergi sekarang, ini sudah waktunya bekerja." Celine melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh, satu jam lagi dia akan masuk kerja. Dia tidak enak jika harus terlambat. Dulu, beberapa kali dia pernah terlambat saat mengurus Arion dan para karyawan langsung membicarakannya karena hanya mendapat teguran. Jelas managernya mengetahui keadaannya dan Celine tidak pernah berbohong. Juga, dia adalah salah satu karyawan yang bisa diandalkan."Hmm, pergilah. Aku akan menunggumu datang lagi."Celine mengangguk dan pergi begitu saja. Meski dia merasa aneh dengan perkataan Dominic. Namun Celine tidak mau ambil pusing. Keadaan laki-laki itu sudah membaik, mungkin beberapa hari lagi Dominic bisa pergi dan dia tidak perlu mencemaskan apa pun lagi. Dia bukan mencemaskan Dominic, hanya saja nalurinya sebagai manusia untuk saling tolong menolong, tidak bisa dia abaikan."Kerja bagus, Celine, karena bantuanmu, restoran mengalami peningkatan pengunjung," puji sang manajer pada Celine. Dia terkesan dengan ide wanita itu yang membuat harga miring khusus untuk para pasangan tanpa harus merugikan restoran. Menargetkan para muda-mudi yang memang menghabiskan waktu untuk kencan. Serta menambah beberapa varian baru di menu makanan.Kini, di akhir pekan, restoran menjadi sangat ramai. Pengunjung yang kebanyakan anak muda datang bersama pasangannya. Terlebih mereka yang berniat merayakan hari valentine. Tak hanya pasangan, namun ada juga paket istimewa untuk mereka yang menghabiskan waktu akhir pekan bersama keluarga.Restoran yang memang berada di pusat kota dan memiliki tanah yang luas, membuat mereka bisa memakai area luar dan menciptakan pemandangan kota di malam hari. Hiasan yang dibuat senatural mungkin dan senada dengan alam dengan sedikit kesan yang menunjukkan hari valentine serta area berfoto bagi para pasangan atau keluarga."S
Dominic menatap rumah sederhana di depannya. Dia ikut masuk saat laki-laki yang tadi mengajaknya itu, mempersilakan dia masuk. Matanya seketika menjelajahi rumah tersebut. Memerhatikan dengan teliti. Sempit dan kecil, namun sangat bersih. Membuatnya tak henti menatap sekitar. Hingga dari arah salah satu ruangan, tiba-tiba muncul seorang anak kecil sambil mengganti seragam sekolahnya."Papa!" serunya, cukup memekakkan telinga Dominic yang ada di sisi pria itu. Dia hanya diam melihat si bocah tersebut memeluk pria di sebelahnya. Seolah senang dengan kedatangannya. Namun tidak dengan Dominic.Anak kecil adalah hal yang sangat mengganggu dan membuatnya terkadang kesal dengan keberisikkan mereka. Akan tetapi, dia yang merupakan tamu jelas tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa diam memerhatikan keduanya. Sedikit tak terduga jika ternyata pria di sebelahnya telah memiliki anak. Dia pikir, pria itu masih lajang."Papa 'kan nggak boleh ke mana-mana. Nanti kalau Mama tahu ba
"Ka-kau? Kenapa bisa ada di sini?" Mulut Celine terbuka dan matanya terbelalak. Dia kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dominic, laki-laki yang dia kira sudah pergi justru ada di depan matanya. Bagaimana mungkin Dominic bisa tahu rumahnya? Matanya seketika beralih menatap sang suami yang masih tersenyum. Rayyan seperti tidak tahu apa yang terjadi. "Rayyan, kenapa kamu membawa orang asing masuk?""Kamu mengenalnya, Sayang? Kami tidak sengaja bertemu tadi. Dia membutuhkan pertolongan dan aku hanya membantunya," jawab Rayyan dengan santai. Berbeda dengan Celine yang seketika menepuk jidatnya. Dia sengaja tidak memberitahu Dominic tempat tinggalnya karena takut kalau laki-laki itu orang jahat, tapi suaminya dengan sangat polos mengatakan membantu orang dan membiarkannya masuk?"Dia adalah orang yang kuceritakan kemarin."Rayyan menatap Celine heran, sebelum sang istri mengatakan tentang orang yang ditolongnya. Membuat Rayyan memutar kembali ingat
Cahaya yang hanya berasal dari lampu tidur, tak terlalu membuat Dominic bisa melihat kamar dengan jelas. Meski iris matanya bisa melihat sofa bed yang dimaksud oleh Celine juga Rayyan. Ada Arion yang saat ini tengah terlelap di ranjang. Ini sedikit tidak nyaman. Sudah dikatakan kalau Dominic tidak menyukai anak kecil, tapi kini dia harus tidur bersama salah satu dari mereka. Apa boleh buat, dia juga tidak mau tinggal di gubuk itu lagi.Dalam remangnya cahaya, Dominic melihat sekeliling kamar Arion yang tampak cukup besar. Matanya melihat ada rak mainan dan lemari pakaian. Sampai berhenti dan menatap Arion yang tertidur menghadap ke arahnya. Siapa anak kecil ini? Arion memanggil Rayyan, Papa dan Celine berkata anak. Apakah mungkin jika Rayyan dan Celine ...?Dominic terdiam. Semua ini tak ada urusannya dengan dia. Mau Celine sudah menikah atau tidak, dia tidak punya urusan. Walau dia merasa sedikit aneh, kenapa wanita itu masih mau bersama pria yang bahkan berjalan saja sus
Sia-sia Dominic menunggu kedatangan ayahnya. Pasti tua bangka itu sedang bersenang-senang bersama ibunya tanpa dia. Sampai matahari berada di atas kepala, tak terlihat sedikit pun batang hidung ayahnya atau anak buahnya datang. Hal yang membuatnya bosan setengah mati karena berada di dalam rumah.Tidak ada Celine di sini. Hanya Rayyan dan Arion yang sejak tadi tengah belajar bersama, setelah anak itu pulang dari sekolah. Biasanya, anak seusia Arion akan memilih bermain bersama anak-anak lain dari pada menghabiskan waktunya untuk belajar. Namun Arion sedikit berbeda. Entah ini hanya dugaannya saja atau memang dia merasa anak kecil itu cukup pintar. Tidak berisik dan banyak mengganggu seperti anak-anak lain."Papa, Al lapar. Al mau makan."Ucapan Arion mengalihkan perhatian Dominic. Dia menatap anak tersebut dengan alis terangkat. Di depan Arion terlihat Rayyan yang juga menatap anaknya. Buku yang dia pegang untuk mengajari sang anak, diletakkan kembali di atas me
“Dia Rayyan, suami dari wanita yang menyelamatkanku,” ucap Dominic sembari memperkenalkan laki-laki di sebelahnya—yang saat ini tengah terduduk kaku. Ruang tengah kini seolah penuh oleh kehadiran ayah serta orang-orangnya.Sementara di sebelahnya tampak Rayyan seperti tidak nyaman saat mendapat tatapan selidik dari ayahnya, sampai Dominic harus memutar bola matanya kesal ketika melihat sikap sok kuasa itu. Beruntungnya, Arion tidak ada di sana. Rayyan sudah menyuruh anaknya untuk pergi bermain. "Berhentilah membuat orang lain takut, Pa.”“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya penasaran dengan orang menyelamatkan anakku.”Kata-kata dan senyum simpul di bibir pria tua yang merupakan ayah dari Dominic, sedikit membuat perasaan Rayyan menjadi lebih santai. Dirinya ikut tersenyum, meski dalam hati masih tak percaya dengan orang yang ada di depannya. Rayyan tahu, dia jelas tahu kalau orang yang ada di depannya adalah pemilik per
"Domi Sayang, akhirnya kamu pulang. Mama sangat mengkhawatirkanmu," ucap Daisy. Wanita yang baru memasuki kepala lima namun masih terlihat muda itu, memegang kedua pipi putranya cukup kuat. Linangan air mata terlihat di pelupuk matanya. Berniat mengecup manis kening anak semata wayangnya, namun hal itu tak terwujud saat sang suami justru menghalanginya."Oh, Dear, jangan terlalu berlebihan. Anakmu baik-baik saja. Dia sudah tua, jangan memperlakukannya seperti anak kecil," decak Kenneth sembari menatap tajam ke arah Dominic dan memerintahkannya untuk segera menjauh."Tapi, Sayang—""Honey, biarkan anakmu istirahat. Kita panggilkan dokter, ok?" tawar Kenneth. Ucapannya cukup membuat Daisy yang masih sangat mengkhawatirkan Dominic, mengangguk tak rela. Matanya bisa melihat wajah Dominic yang sedikit kurus.Sebagai seorang ibu yang mendengar kalau anaknya mengalami musibah sekaligus pernah meregang nyawa, dia sangat sedih bukan main. Daisy tidak pernah bi
Hari-harinya yang membosankan datang lagi. Dominic harus menyelesaikan pekerjaan yang sudah seminggu ini dia abaikan. Dia jelas tidak mau kredibilitas perusahaannya turun. Ditambah ayahnya berkata kalau sahamnya hampir merosot jatuh saat sebuah kabar burung mengabarkan berita kematiannya.Beruntung ayahnya sudah mengurus semua itu. Jelas, ini adalah ulah seseorang. Hanya saja, Dominic tidak mengetahui siapa dia. Apa maksud dari orang itu yang berniat membunuhnya? Sialnya lagi, meski ayahnya berkata sudah membereskan sebagian pengkhianat, Jery–orang kepercayaan–ternyata menjadi salah seorang yang berhasil meloloskan diri. Dominic sudah berusaha mengerahkan seluruh orang-orangnya untuk mencari keberadaan laki-laki itu. Begitu pun dengan ayahnya.Tujuan atau motif Jery melakukan percobaan pembunuhan untuknya masih abu-abu. Dia yakin seratus persen kalau laki-laki itu tidak akan bertindak tanpa dukungan. Pasti ada orang lain yang menjadi dan menggerakkan mereka unt