"Kenapa Mas mau jemput Salsa gak bilang dulu? Ini pasti perintah Ibu, ya, Mas? Maafkan Ibu Salsa, ya, Mas. Sudah nyuruh Mas untuk jemput Salsa. Ngerepotin Mas, aja. Padahal, Salsa biasa pulang nebeng ke temen, kok. Ibu ada-ada aja," kata gue yang nebak ini pasti ibu yang nyuruh Mas Alvin untuk ngejemput gue.
"Nggak, Tante gak nyuruh Mas untuk njemput kamu. Ini inisiatif Mas sendiri ingin ngejemput calon istri."
Oh, tidak! Dia bilang apa? Calon istri?
Mata gue memelotot galak ke dia. Masa bodo tentang hal yang harus bertindak baik ke dia.
Eh, dianya malah tersenyum. Apa- apaan coba? Sumpah demi Tuhan pencipta langit dan bumi, gue berharap tadi gue salah dengar dan temen- temen gue gak dengar ucapan itu.
"Calon istri," gumam ke tiga temen gue.
Aduh, bukan salah denger dan temen- temen gue denger itu. Rasanya detik itu juga, gue pengin ngilang seketika.
Karena kepalang, gue nyengir frustasi. Detik kemudian otak gue berkerja pintar untuk melabui temen-temen gue.
"Ah, Mas bisa aja bercandanya," kata gue sambil mukul manja lengan Mas Alvin dan masang wajah tersipu malu.
"Bagaimana ceritanya, adek sendiri jadi calon istri? Konyol bercandanya," lanjut gue dan kali ini sambil diiringi ketawa keras.
Mas Alvin juga bales ketawa kecil, "Siapa yang bercanda? Emang kenyataan 'kan kalau Salsa calon istri, Mas?"
Busyet! Ampun deh, Mas Alvin. Malah nambahin penegasannya, "Jangan gitu, Mas. Jangan mutusi harapan mereka yang mau jadi istri Mas," timpal gue yang langsung natap ke tiga temen gue secara bergantian yang sekarang gue berdiri lebih maju membuat gue menghadap mereka, berdiri di samping Mas Alvin.
Terlihat jelas raut wajah mereka kebingungan. "Karena gue dijemput sama kakak gue, balik dulu, ya," kata gue yang tau kalau mulutnya Mas Alvin ingin mengeluarkan kata-kata lagi.
"Sorry, guys. Gak bisa ikut jalan-jalan bareng kalian." Gue masang wajah cemberut sedih.
Nih ya, ini kenyataan ya. Bukan sandiwara masang wajah sedih. Serius, gue aslinya emang sedih gak bisa ikut ke mall bareng mereka.
"Ah, gak papa," jawab Amel dengan raut wajah menggoda. "Iya 'kan temen-temen?" Amel minta pendapat dan disetujui oleh yang lain dengan tersenyum menggoda.
"Puas-puasin aja pacarannya," timpal Maya dengan 2 telunjuk kanan dan kirinya ditempel jadi satu.
Aish, guenya sedih. Mereka malah menggoda ya. Benar-benar teman keterlaluan.
"Bye, next time," pamit gue dengan kami berempat berpelukan perpisahan.
"Itu beneran? Lho pacaran sama kakak lu?" bisik Clarin bertanya
"Nggak! Siapa juga yang pacaran?" tandas gue. "Dia hanya bercanda!"
Setelah itu gue langsung ngelepas diri lalu langsung narik satu tangan Mas Alvin. Pergelangannya. Mengajak dia segera pergi.
Sebelum Mas Alvin ngikutin langkah gue, dia pamit izin undur diri dan minta maaf sudah menjemput gue dan membuat tidak bisa jalan bareng. Pamitnya terdengar sangat hangat. Bikin gedeg.
Sok asik, sok deket!
Gue langsung jalan beringingan sama Mas Alvin menuju ke tempat dia memarkirkan mobilnya. Tangan gue yang tadi sempat megang pergelangan dia, sudah gue lepaskan. Eh, taunya dia malah meraih jari- jemari gue untuk ditautkan dengan jarinya.
Berusaha melepas, Mas Alvin malah makin erat genggam tangan gue. Merasa tindakan gue sia- sia, akhirnya gue nyerah. Terserah dia aja lah.
Jalan biasa layaknya orang asing yang kebetulan jalan bareng beringingan dan bergandengan.
Selama jalan menuju parkiran, tidak ada obrolan dari kami. Diam sambil jalan. Beda dari sebelumnya sikap dia. Tidak berharap, cuma merasa perasaan beberapa menit yang lalu dia hangat dan untuk apa coba dia genggam tangan gue tapi gak ada obrolan.
Kalau gak baik, ya gak baik aja. Tunjukin kenyataannya. Gak harus tangan gue digenggam segala.
Maksud gue, paling gak, dia basa- basi gitu. Tanya tentang gimana kuliah gue atau tanya apa yang wajar. Biar gak anyep kek gini, gitu. Glandang aja.
Berharap apa coba gue? Dah tau dia sifatnya kaya gitu ke gue, lalu untuk apa gue berharap dia tanya sesuatu? Ampun dah gue ma.
Sampai di mobilnya, dia bukain pintu buat gue di bagian kursi depan dan saat gue masuk, tangan dia yang satu yang gak berperan memegang gagang pintu mobil, diletakan di atas kepala gue. Gak nempel si tuh tangan di pala, tapi gue tahu apa fungsinya. Ya, untuk nglindungi pala gue yang mungkin takut terbentur.
Wah, dramastis. Ketebak sekali dia sandiwara. Karena sahabat gue lihat, dia sampai segitunya. Jalan genggam tangan mungkin biar kelihatan so sweet. Padahal selama berjalan bareng anyep.
Serius gak masalah dia berdrama pura-pura baik sama gue.Tapi jangan gitu juga, maksud gue jangan kaya pasangan gitu.
Kan bikin ribet gue nanti. Gimana jelasin ke sahabat gue. Yang gue jamin mereka pasti nagih penjelasan. Mereka pasti gak percaya kalau gue gak ada hubungan spesial.
Belum cukup sampai di situ pemirsah. Dia sebelun mengitari mobil bagian depan mau menuju pintu kendali, dia menghadap ke arah temen- temen gue, terus lambaikan tangan. Ceritanya izin pamit.
"Oke wis lah. Karepe bae pan kepimen kae. Ora urus, urusan jelasna tak gampang," gumam gue kesal yang buat gue bergumam menggunakan bahasa Jawa. Bila diartikan dalam bahasa Indonesia jadi, "Oke, sudah lah. Terserah mau apa dia. Gak peduli, masalah menjelaskan, itu gampang."
Bentar, dia juga membunyikan klakson dan membuka kaca jendela hanya untuk melambaikan tangan ke arah sahabat gue, sebelum nih mobil benar-benar meninggalkan area kampus.
Huh, sangat menyebalkan!
***
Tuh, benar kan? Gimana Mas Alvin sekarang? Dari tadi nih, kami berdua dalam satu mobil tidak mengobrol.
Dia fokus mengemudi, sementara gue sibuk liat ke kaca jendela. Melihat apa aja yang terlewat, baik itu bangunan gedung, jembatan, pohon, kendaraan lain, dan orang perjalan kaki, yang menghiasi dan menemani perjalanan ini.
Sambil liat pemandangan itu dan menghilangkan rasa yang ntah rasa apa yang gue rasa saat ini, pikiran gue memilih memikirkan malam kemarin.
Tante Wanda melirik ke arah nyokap. Gue lihat nyokap mengangguk kecil sama tersenyum tipis.
Setelah itu baru Tante Wanda kembali menghadap ke arah gue.
"Tante dan Ibu kamu berniat mau ngejodohin kamu sama anak Tante–Mas Alvin," kata Tante Wanda setelah kembali melirik ke arah gue dengan meremas tangan kiri gue penuh kasih sayang.
Apa??? Jadi benar feeling gue tadi?
Gue gak bisa berkata apa-apa, yang gue lakuin cuma melongo saking gak percayanya.
Coba bayangin, gue nikah dan hidup satu rumah sama Mas Alvin yang pelit kata-kata dan senyum. Dan dia hanya bersikap baik bila ada orang lain. Gue bisa mati karena kesal!
Saat gue jadi manusia aktif, tanya ini itu, ketawa keras. Tiba-tiba harus berubah jadi manusia kurang aktif, banyak diam dan pelit ketawa karena menyeimbangkan Mas Alvin? Oh, no!
Ya, kali gue nikah sama orang yang kurang perhatian dan kasih sayang dan ditambah lagi gue dan dia tidak saling cinta. Ditambah lagi, kami berdua tidak akur.
Namanya nikah 'kan penginnya disayang, dicintai, diperhatiin, dan gue gak akan dapet hal itu? Ogah! Lebih baik gue jomblo.
Nggak bikin sakit hati.
Lagian juga gue masih muda, masih bisa cari pasangan yang pas buat gue. Yang se-frekuensi, yang sayang, dan cinta ke gue. Gue bukan manusia yang sudah berusia cukup tapi belum nikah dan diharuskan bersegera nikah. Jadi, gak harus 'kan gue nerima perjodohan ini? "Maaf, Tan. Tapi Salsa ...." Gue jawab belum selesai tapi sudah dipotong sama perkataan Mas Alvin. "Gak usah dijawab sekarang," potong Mas Alvin yang dengan spontannya gue langsung menghadap ke dia. "Jalani saja dulu. Maksud Mas, kita, Salsa dan Mas lebih dekat dulu. Bila sama-sama cocok, yaudah lanjutkan perjodohan ini," tambah Mas Alvin dan gue setuju dengan pendapat dia. &
Ngerasa ada yang beda hari ini, deh. Biasanya, nyokap kalau bangunin gue tuh dengan suara keras dan menggoyangkan tubuh gue lalu buka gorden yang bikin mata gue silau. Mba pun begitu. Kalau misal nyokap sibuk atau sudah berangkat, beliau bakal nyuruh mba bangunin gue. Mba kalau bangunin gue, ya emang gak bersuara keras tapi dengan penuturan kata lembut, "Kak bangun, Kak udah siang. Kata Ibu ...." Mba akan jelaskan apa yang nyokap perintah. Misal, " Kata Ibu, Kakak mau kuliah. Nanti telat. Ayo bangun." Atau apa lah. Setelah itu mba buka gorden lalu berucap lagi bangunin gue. Di sini emang gitu, ya. Maksud gue, emang mbak kalau manggil gue itu "kakak" bukan "non". Karena nyokap yang nyuruh. Lebih enak kata nyokap kalau manggil gue kakak dari pada non. &nbs
Mata kami saling bersitatap sebentar, sebelum akhirnya Mas Alvin memutuskan tatapan itu karena jalan menuju meja makan. Saat jalan di hadapan gue, Mas Alvin gak nyapa apa gitu. Basa-basi gitu, paling nggak senyum tipis, bukan ngelewatin begitu saja. Padahal gue aja rela senyum merekah, walau hati kesal padanya. Dah gitu, saat dia jalan gak ngadep ke wajah gue. Jalan lurus gitu dan gue yakin, Mas Alvin gak liat kalau gue senyum padanya. Sia-sia buang tenaga dikit untuk senyum yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Gue menghembuskan napas dengan berlalunya Mas Alvin, lalu teriak manggil mbak. "Iya, Kak, bentar," sahut mbak yang terdengarnya suara itu dari samping.
Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia! Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya. "Sialan!" umpat gue marah dalam hati. Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong. Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya
Malam ini nyokap kelihatan seneng banget. Raut wajahnya terpancar kebahagiaan, buat hati gue menghangat. Sudah lama banget gak makan bersama bertiga yang di mana salah satunya pria. Dulu, waktu bokap masih ada, makan bersama seperti sekarang, sering dilakukan bahkan hampir tiap hari. Setelah bokap gak ada, makan bersama di meja makan hanya gue dan nyokap. Berduan saja. Makan malam ini spesial menurut gue. Liat Mas Alvin, gue kaya liat bokap. Memori kebersamaan bokap jadi berputar di otak gue. Jadi kangen bokap. Tuh kan gue sedih. "Lho, kok, Salsa nangis?" Mas Alvin bertanya sambil natap gue. "Makanannya pedas, ya, tapi menurut Mas nggak kok. Menurut Tante pedas gak?" "Nggak, bukan makanannya, tapi Mas yang bikin Salsa nangis." Yang awalnya hanya air mata yang keluar, kini diiringi dengan isakan kenceng. "Mas? Maaf, memang apa yang Mas lakukan sampai buat kamu nangis?" "Mas bik