Lagian juga gue masih muda, masih bisa cari pasangan yang pas buat gue. Yang se-frekuensi, yang sayang, dan cinta ke gue.
Gue bukan manusia yang sudah berusia cukup tapi belum nikah dan diharuskan bersegera nikah. Jadi, gak harus 'kan gue nerima perjodohan ini?
"Maaf, Tan. Tapi Salsa ...."
Gue jawab belum selesai tapi sudah dipotong sama perkataan Mas Alvin.
"Gak usah dijawab sekarang," potong Mas Alvin yang dengan spontannya gue langsung menghadap ke dia.
"Jalani saja dulu. Maksud Mas, kita, Salsa dan Mas lebih dekat dulu. Bila sama-sama cocok, yaudah lanjutkan perjodohan ini," tambah Mas Alvin dan gue setuju dengan pendapat dia.
Menurut gue, itu ide bagus. Andai langsung nolak saat itu juga, pasti nyokap gue ngasih saran kek Mas Alvin.
Dari situ juga signal otak gue cerdas. Kalau dijalani dulu, gue yakin pasti tidak akan ada kecocokan di antara gue dan Mas Alvin.
Jelas- jelas kami berdua minyak dan air. Mana bisa nyatu? Gue juga yakin, kalau Mas Alvin sebenarnya tidak setuju atas perjodohan ini.
Mungkin saja dia sudah nolak pas ibunya memberi tahukan tentang hal ini, tapi mungkin karena ibunya memberi wejangan.
Bisa jadi wejangannya itu karena gak enak sama nyokap gue, makanya Mas Alvin jadi mau dan sekarang ngasih pendapat jalani saja dulu.
Namun, kenapa jalani saja dulu, dia sekarang jemput gue ke kampus? Mana tepat pula, kaya dia tahu jam selesai kuliah gue.
Sedetik kemudian otak gue berpikir, mungkin dia sengaja jemput gue biar ibu tahu kalau kita tuh emang beneran jalani saja dulu?
Wah, pinter juga dia ternyata. Suka deh main cantiknya dia. Gak terasa dan gue merasa dua sudut bibir gue ketarik ke atas.
Bukan suka karena cinta lho ya. Nanti salah diartikan lagi dan ini senyuman gue juga bukan karena suka ke hal berbau itu. Ini tuh suka cara pintarnya dia. Pinter memanipulasi keadaan.
Kalau begini 'kan nanti tinggal nunggu bilang ke nyokap, "kami berdua tidak ada kecocokan dan tidak bisa disatukan. Mohon terima kenyataan ini dan jangan dipaksa. Karena apa yang dipaksakan itu tidak baik. Sekian dan mohon bertabah. Kami berdua akan cari pasangan masing-masing yang cocok bagi sudut pandang kami masing-masing. Terima kasih atas sarannya yang menyebalkan ini."
Kalau sudah begitu 'kan, gue yakin, baik nyokap maupun Tante Wanda tidak bisa berkutik apa-apa lagi. Mereka pasti tidak melanjutkan perjodohan ini.
Eh, tunggu!
Senyum yang berkembang itu lenyap saat menyadari kalau mobil ini belok ke arah masuk ke dalam mall.
Langsung dong gue menoleh ke arah Mas Alvin dengan raut wajah seakan bertanya, "kenapa ke sini?"
Dia juga noleh, kayanya menyadari kalau gue natap dia dan ingin mengatakan sesuatu. "Kita jalan-jalan dulu," kata dia.
"Anggap saja ini gantinya karena kamu gak jadi ikut jalan-jalan bareng temen-temen kamu, " tambah dia dengan tangan kanannya ke luar dari kaca mobil menerima kartu parkir.
Mulutku baru ingin berucap protes, tapi di sela dia duluan, "Ya, walau Mas gak tahu, kalian mau jalan-jalan ke mana. Karena yang Mas tahu, wanita itu suka ke mall, jadi mas bawa kamu ke sini."
Mobil masuk area parkiran dan gue menatap lurus ke depan. Sudah tidak menghadap ke dia.
Apa-apaan coba? Dia bawa gue ke sini? Dah tau dari tadi saja selama perjalanan tidak mengobrol. Lalu untuk apa mengulur waktu kebersamaan ini.
Enakan juga langsung diantar pulang, setelah itu 'kan enak. Gue bisa bebas dari ikatan kebersamaan ini yang mencengkramkan.
Gue ngadep balik ke arah dia. "Mas salah, Salsa dan temen-temen tuh gak mau jalan-jalan ke mana-mana. Maksud yang Salsa bilang saat izin gak bisa ikut jalan, itu maksudnya jalan pulang bareng," bohong gue beralasan.
"Ah, begitu? Jadi, kamu gak ada agenda ke mana-mana setelah pulang dari kampus sebenarnya?"
"Iya, mau langsung pulang terus nunggu Ibu pulang ke rumah."
Jadi, lebih baik pulang saja, batin gue berharap.
"Oh, yaudah. Karena sudah sampai sini lanjut aja. Dari pada kamu bengong di rumah sambil nunggu Tante pulang, lebih baik jalan-jalan, bukan?" kata dia dengan mematikan mesin mobil karena mobil sudah terparkir di tempat parkiran.
Lebih baik apaan? Mending pulang lah!
Kecewa dengan jawaban dia yang tidak sesuai keinginan. Gue ngadep ke depan lagi lalu dengan sedikit memoyongkan bibir karena kesal.
"Ayo turun," ajak Mas Alvin yang langsung turun dari mobil.
Karena tidak ada alasan untuk menolak gue nurut aja. Meski dalam hati gak mau.
***
Ini bukan kencan, ya. Yang namanya kencan 'kan jalan bareng pasangan. Nah, ini bukan termasuk. Secara gue dan dia bukan pasangan.
Di mana- mana tuh, kalau orang sedang kencan, jalan bareng pasti bergandengan tangan.
Lha ini, bukannya bergandengan sama tangan dia, gue malah gandengan sama tas. Dah gitu jalan gue dan dia berjarak. Dia jalan di depan, gue di belakang. Fix, jadi ini bukan kencan.
Sebenarnya gedeg sumpah, pengin pulang aja. Tapi gak berani bilang. Untuk apa coba jalan seperti ini. Menikmati nggak, membosankan jelas.
"Apa kamu tidak ingin beli sesuatu?" Tiba-tiba Mas Alvin tanya dengan berhenti jalan dan saat itu gue sedang memanyunkan bibir. Gue kaget dong, dah gitu dia nagdep lagi ke arah gue.
Jelas gue malu dan salah tingkah.
"Haa ...." Gue langsung pasang wajah ceria deh.
"Ada." Gue tersenyum. Sebenarnya gue mau jawab nggak, tapi tiba-tiba otak gue nyuruh berkata ada.
Dalam hati berkata, "mumpung lagi jalan sama kaka sendiri, kenapa nggak ambil kesempatan?"
Haha, ketawa jahat. Kali-kali lha, siapa suruh ngajak ke sini?
Setelah itu langsung ajak Mas Alvin masuk ke salah satu store ternama untuk kalangan menengah. Mas Alvin nurut aja gitu, gak komen apa-apa.
Ngikutin gue dibelakang semabari gue milih apa aja yang gue mau, dari baju, tas, dan juga sepatu. Namanya cewe 'kan kalau belanja ribet. Milihnya lama gitu dan Mas Alvin gak komentar.
Akhirnya setelah lama memilih gue beli tas dan sepatu cuma beli 1, sementara baju beli 3 potong.
Pas di kasir gue gak minta dibayarin sama Mas Alvin, gengsi dong. Main cantik aja. Pura-pura mau bayar sendiri dengan menyodorkan kartu ATM milik gue setelah Mba Kasir nyebutin totalan.
Nah, 'kan langsung dilarang sama Mas Alvin. Dia langsung ikut menyodorkan kartu ATM miliknya dan langsung menjauhkan kartu gue dari hadapan mba kasir.
"Biar Mas aja yang bayar," kata Mas Alvin dan gue pura-pura gak mau.
"Jangan, Mas. Inikan belanjaan Salsa, biar Salsa saja yang bayar," tolak Gue, padahal dalam hati bersorak bahagia, gak nolak. Dan padahal uang di kartu juga belum tentu cukup untuk bayar. Bhakakak.
"Dah, nurut sama Mas. Mas yang ngajak kamu ke sini!" kata Mas Alvin tegas.
Hore, dipertegas. Sempat harap-harap cemas Mas Alvin gak menegaskan, lalu berakhir gue yang bayar. Gak kebayang, deh, kalau itu terjadi, bisa mati karena malu.
Ngerasa ada yang beda hari ini, deh. Biasanya, nyokap kalau bangunin gue tuh dengan suara keras dan menggoyangkan tubuh gue lalu buka gorden yang bikin mata gue silau. Mba pun begitu. Kalau misal nyokap sibuk atau sudah berangkat, beliau bakal nyuruh mba bangunin gue. Mba kalau bangunin gue, ya emang gak bersuara keras tapi dengan penuturan kata lembut, "Kak bangun, Kak udah siang. Kata Ibu ...." Mba akan jelaskan apa yang nyokap perintah. Misal, " Kata Ibu, Kakak mau kuliah. Nanti telat. Ayo bangun." Atau apa lah. Setelah itu mba buka gorden lalu berucap lagi bangunin gue. Di sini emang gitu, ya. Maksud gue, emang mbak kalau manggil gue itu "kakak" bukan "non". Karena nyokap yang nyuruh. Lebih enak kata nyokap kalau manggil gue kakak dari pada non. &nbs
Mata kami saling bersitatap sebentar, sebelum akhirnya Mas Alvin memutuskan tatapan itu karena jalan menuju meja makan. Saat jalan di hadapan gue, Mas Alvin gak nyapa apa gitu. Basa-basi gitu, paling nggak senyum tipis, bukan ngelewatin begitu saja. Padahal gue aja rela senyum merekah, walau hati kesal padanya. Dah gitu, saat dia jalan gak ngadep ke wajah gue. Jalan lurus gitu dan gue yakin, Mas Alvin gak liat kalau gue senyum padanya. Sia-sia buang tenaga dikit untuk senyum yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Gue menghembuskan napas dengan berlalunya Mas Alvin, lalu teriak manggil mbak. "Iya, Kak, bentar," sahut mbak yang terdengarnya suara itu dari samping.
Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia! Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya. "Sialan!" umpat gue marah dalam hati. Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong. Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya
Malam ini nyokap kelihatan seneng banget. Raut wajahnya terpancar kebahagiaan, buat hati gue menghangat. Sudah lama banget gak makan bersama bertiga yang di mana salah satunya pria. Dulu, waktu bokap masih ada, makan bersama seperti sekarang, sering dilakukan bahkan hampir tiap hari. Setelah bokap gak ada, makan bersama di meja makan hanya gue dan nyokap. Berduan saja. Makan malam ini spesial menurut gue. Liat Mas Alvin, gue kaya liat bokap. Memori kebersamaan bokap jadi berputar di otak gue. Jadi kangen bokap. Tuh kan gue sedih. "Lho, kok, Salsa nangis?" Mas Alvin bertanya sambil natap gue. "Makanannya pedas, ya, tapi menurut Mas nggak kok. Menurut Tante pedas gak?" "Nggak, bukan makanannya, tapi Mas yang bikin Salsa nangis." Yang awalnya hanya air mata yang keluar, kini diiringi dengan isakan kenceng. "Mas? Maaf, memang apa yang Mas lakukan sampai buat kamu nangis?" "Mas bik
Sebagai anak satu-satunya, nyokap tidak mau acara lamaran gue hanya biasa aja. Sesuai permintaan gue yang hanya minta di rumah lalu makan-makan aja. Tapi nyokap dan Tante Wanda malah nyewa ballroom untuk acara lamaran gue dan Mas Alvin. Sebenarnya gue sedikit ragu dengan lamaran ini. Gue masih bingung dengan perasaan gue sendiri. Gue belum yakin kalau gue sudah ada rasa suka sama Mas Alvin, tapi rasanya kalau gue di dekat Mas Alvin, merasa nyaman apalagi setelah kejadian gue ketauan di club, perilaku Mas Alvin sama gue jadi gak dingin lagi. Buat gue gak takut berada di dekat dia. Gue milih maju, mengiakan adanya lamaran ini yang terkesan mendadak, persiapan hanya beberapa hari saja. Itu karena nyokap. Jujur gue gak tega mematahkan kebahagiaan nyokap yang begitu bahagia mengetahui Mas Alvin mau lamar gue. Nyokap aja sampe ngasih gue tas yang sudah dia janjiin beberapa minggu lalu. Yang tiap kali gue mau berangkat kampus terus tanya ke m