Share

4. Bukan Kencan

Lagian juga gue masih muda, masih bisa cari pasangan yang pas buat gue. Yang se-frekuensi, yang sayang, dan cinta ke gue.

Gue bukan manusia yang sudah berusia cukup tapi belum nikah dan diharuskan bersegera nikah. Jadi, gak harus 'kan gue nerima perjodohan ini?

"Maaf, Tan. Tapi Salsa ...."

Gue jawab belum selesai tapi sudah dipotong sama perkataan Mas Alvin.

"Gak usah dijawab sekarang," potong Mas Alvin yang dengan spontannya gue langsung menghadap ke dia.

"Jalani saja dulu. Maksud Mas, kita, Salsa dan Mas lebih dekat dulu. Bila sama-sama cocok, yaudah lanjutkan perjodohan ini," tambah Mas Alvin dan gue setuju dengan pendapat dia.

Menurut gue, itu ide bagus. Andai langsung nolak saat itu juga, pasti nyokap gue ngasih saran kek Mas Alvin.

Dari situ juga signal otak gue cerdas. Kalau dijalani dulu, gue yakin pasti tidak akan ada kecocokan di antara gue dan Mas Alvin.

Jelas- jelas kami berdua minyak dan air. Mana bisa nyatu? Gue juga yakin, kalau Mas Alvin sebenarnya tidak setuju atas perjodohan ini.

Mungkin saja dia sudah nolak pas ibunya memberi tahukan tentang hal ini, tapi mungkin karena ibunya memberi wejangan.

Bisa jadi wejangannya itu karena gak enak sama nyokap gue, makanya Mas Alvin jadi mau dan sekarang ngasih pendapat jalani saja dulu.

Namun, kenapa jalani saja dulu, dia sekarang jemput gue ke kampus? Mana tepat pula, kaya dia tahu jam selesai kuliah gue.

Sedetik kemudian otak gue berpikir, mungkin dia sengaja jemput gue biar ibu tahu kalau kita tuh emang beneran jalani saja dulu?

Wah, pinter juga dia ternyata. Suka deh main cantiknya dia. Gak terasa dan gue merasa dua sudut bibir gue ketarik ke atas.

Bukan suka karena cinta lho ya. Nanti salah diartikan lagi dan ini senyuman gue juga bukan karena suka ke hal berbau itu. Ini tuh suka cara pintarnya dia. Pinter memanipulasi keadaan.

Kalau begini 'kan nanti tinggal nunggu bilang ke nyokap, "kami berdua tidak ada kecocokan dan tidak bisa disatukan. Mohon terima kenyataan ini dan jangan dipaksa. Karena apa yang dipaksakan itu tidak baik. Sekian dan mohon bertabah. Kami berdua akan cari pasangan masing-masing yang cocok bagi sudut pandang kami masing-masing. Terima kasih atas sarannya yang menyebalkan ini."

Kalau sudah begitu 'kan, gue yakin, baik nyokap maupun Tante Wanda tidak bisa berkutik apa-apa lagi. Mereka pasti tidak melanjutkan perjodohan ini.

Eh, tunggu!

Senyum yang berkembang itu lenyap saat menyadari kalau mobil ini belok ke arah masuk ke dalam mall.

Langsung dong gue menoleh ke arah Mas Alvin dengan raut wajah seakan bertanya, "kenapa ke sini?"

Dia juga noleh, kayanya menyadari kalau gue natap dia dan ingin mengatakan sesuatu. "Kita jalan-jalan dulu," kata dia.

"Anggap saja ini gantinya karena kamu gak jadi ikut jalan-jalan bareng temen-temen kamu, " tambah dia dengan tangan kanannya ke luar dari kaca mobil menerima kartu parkir.

Mulutku baru ingin berucap protes, tapi di sela dia duluan, "Ya, walau Mas gak tahu, kalian mau jalan-jalan ke mana. Karena yang Mas tahu, wanita itu suka ke mall, jadi mas bawa kamu ke sini."

Mobil masuk area parkiran dan gue menatap lurus ke depan. Sudah tidak menghadap ke dia.

Apa-apaan coba? Dia bawa gue ke sini? Dah tau dari tadi saja selama perjalanan tidak mengobrol. Lalu untuk apa mengulur waktu kebersamaan ini.

Enakan juga langsung diantar pulang, setelah itu 'kan enak. Gue bisa bebas dari ikatan kebersamaan ini yang mencengkramkan.

Gue ngadep balik ke arah dia. "Mas salah, Salsa dan temen-temen tuh gak mau jalan-jalan ke mana-mana. Maksud yang Salsa bilang saat izin gak bisa ikut jalan, itu maksudnya jalan pulang bareng," bohong gue beralasan.

"Ah, begitu? Jadi, kamu gak ada agenda ke mana-mana setelah pulang dari kampus sebenarnya?"

"Iya, mau langsung pulang terus nunggu Ibu pulang ke rumah."

Jadi, lebih baik pulang saja, batin gue berharap.

"Oh, yaudah. Karena sudah sampai sini lanjut aja. Dari pada kamu bengong di rumah sambil nunggu Tante pulang, lebih baik jalan-jalan, bukan?" kata dia dengan mematikan mesin mobil karena mobil sudah terparkir di tempat parkiran.

Lebih baik apaan? Mending pulang lah!

Kecewa dengan jawaban dia yang tidak sesuai keinginan. Gue ngadep ke depan lagi lalu dengan sedikit memoyongkan bibir karena kesal.

"Ayo turun," ajak Mas Alvin yang langsung turun dari mobil.

Karena tidak ada alasan untuk menolak gue nurut aja. Meski dalam hati gak mau.

***

Ini bukan kencan, ya. Yang namanya kencan 'kan jalan bareng pasangan. Nah, ini bukan termasuk. Secara gue dan dia bukan pasangan.

Di mana- mana tuh, kalau orang sedang kencan, jalan bareng pasti bergandengan tangan.

Lha ini, bukannya bergandengan sama tangan dia, gue malah gandengan sama tas. Dah gitu jalan gue dan dia berjarak. Dia jalan di depan, gue di belakang. Fix, jadi ini bukan kencan.

Sebenarnya gedeg sumpah, pengin pulang aja. Tapi gak berani bilang. Untuk apa coba jalan seperti ini. Menikmati nggak, membosankan jelas.

"Apa kamu tidak ingin beli sesuatu?" Tiba-tiba Mas Alvin tanya dengan berhenti jalan dan saat itu gue sedang memanyunkan bibir. Gue kaget dong, dah gitu dia nagdep lagi ke arah gue. 

Jelas gue malu dan salah tingkah.

"Haa ...." Gue langsung pasang wajah ceria deh. 

"Ada." Gue tersenyum. Sebenarnya gue mau jawab nggak, tapi tiba-tiba otak gue nyuruh berkata ada. 

Dalam hati berkata, "mumpung lagi jalan sama kaka sendiri, kenapa nggak ambil kesempatan?"

Haha, ketawa jahat. Kali-kali lha, siapa suruh ngajak ke sini?

Setelah itu langsung ajak Mas Alvin masuk ke salah satu store ternama untuk kalangan menengah. Mas Alvin nurut aja gitu, gak komen apa-apa.

Ngikutin gue dibelakang semabari gue milih apa aja yang gue mau, dari baju, tas, dan juga sepatu. Namanya cewe 'kan kalau belanja ribet. Milihnya lama gitu dan Mas Alvin gak komentar. 

Akhirnya setelah lama memilih gue beli tas dan sepatu cuma beli 1, sementara baju beli 3 potong. 

Pas di kasir gue gak minta dibayarin sama Mas Alvin, gengsi dong. Main cantik aja. Pura-pura mau bayar sendiri dengan menyodorkan kartu ATM milik gue setelah Mba Kasir nyebutin totalan.

Nah, 'kan langsung dilarang sama Mas Alvin. Dia langsung ikut menyodorkan kartu ATM miliknya dan langsung menjauhkan kartu gue dari hadapan mba kasir.

"Biar Mas aja yang bayar," kata Mas Alvin dan gue pura-pura gak mau.

"Jangan, Mas. Inikan belanjaan Salsa, biar Salsa saja yang bayar," tolak Gue, padahal dalam hati bersorak bahagia, gak nolak. Dan padahal uang di kartu juga belum tentu cukup untuk bayar. Bhakakak.

"Dah, nurut sama Mas. Mas yang ngajak kamu ke sini!" kata Mas Alvin tegas.

Hore, dipertegas. Sempat harap-harap cemas Mas Alvin gak menegaskan, lalu berakhir gue yang bayar. Gak kebayang, deh, kalau itu terjadi, bisa mati karena malu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status