Share

6. Marah

Mata kami saling bersitatap sebentar, sebelum akhirnya Mas Alvin memutuskan tatapan itu karena jalan menuju meja makan.

Saat jalan di hadapan gue, Mas Alvin gak nyapa apa gitu. Basa-basi gitu, paling nggak senyum tipis, bukan ngelewatin begitu saja. Padahal gue aja rela senyum merekah, walau hati kesal padanya. 

Dah gitu, saat dia jalan gak ngadep ke wajah gue. Jalan lurus gitu dan gue yakin, Mas Alvin gak liat kalau gue senyum padanya.

Sia-sia buang tenaga dikit untuk senyum yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Gue menghembuskan napas dengan berlalunya Mas Alvin, lalu teriak manggil mbak.

"Iya, Kak, bentar," sahut mbak yang terdengarnya suara itu dari samping.

Gue langsung nyamperin suara mbak yang mungkin sedang njemur pakain di halaman samping. Jalan ngelewatin Mas Alvin tanpa menyapa dan melihatnya. Berlalu begitu saja sampai di belakangnya lalu belok ke samping menuju halaman.

"Emang dia doang yang bisa, gue gak bisa? Gue juga bisa. Gampang urusan itu ma! Jadi orang songong banget, pantesan gak punya pacar sampai sekarang. Lah, sifatnya aja seperti itu." Gue nggrundel dalam hati sambil mulut bergerak melitat-melitut sengit.

Eh, tunggu! Bukankah Mas Alvin sifatnya seperti itu, tuh, cuma sama gue?

Otak gue tiba-tiba ngingetin. Iya yah, dia 'kan kaya gitu cuma sama gue. Kalau sama yang lain, bhah! Ramah dan baiknya gak ketulung.

Kenapa Mas Alvin sampai sekarang belum punya pacar hingga akhirnya masalah ini terjadi. Perjodohan gue dan dia?

Gue yakin, andai Mas Alvin sudah punya pasangan, perjodohan ini kagak bakal terjadi. Andai perjodohan ini tuh, misal Mas David belum punya pasangan, gue juga yakin, pasti Mas David yang dijodohin sama gue.

Secara 'kan, umur Mas David lebih tua dari pada Mas Alvin. Jadi, yang seharusnya buru-buru nikah itu Mas David, bukan dia, si es batu.

Arghhh, nyebelin!

Benar 'kan, mbak lagi di samping. Kami berdua bertemu pas di pintu menuju halaman samping.

"Eh, Kak." Mbak Sumi tersenyum. "Mau disamperin malah dah ke sini," lanjut mba, sama, masih tersenyum sambil elap-elap tangan ke baju yang sedang dipakai.

Gue bales senyum tipis, "Salsa pamit berangkat kampus dulu, Mbak," pamit gue sambil raih tangan mbak untuk disalim cium.

"Oh, dah mau berangkat toh? Yaudah hati-hati di jalan, sekolah yang benar," jawab Mbak Sumi memperingatkan.

"Iya, siap, Mba," jawabku tegas dengan diringi tersenyum ketawa. "Sebelum Ibu pergi kantor, pesen sesuatu gak, Mbak, untuk Salsa?" tanya gue berharap ibu nitipin sesuatu atau berpesan sesuatu.

"Nggak, Kak. Ibu cuma pesen nanti dimasakin rawon," jawab Mbak Sumi yang bikin gue kecewa atas jawabannya.

"Oh, Salsa kira pesan sesuatu buat Salsa."

Bibi ketawa kecil, "Kakak sudah sarapan?"

"Belum, ntar aja sarapannya bisa di kantin. Oh iya Mbak Indah mana?" tanya gue mempertanyakan mbak yang satu.

Mbak yang kerja di rumah gue ada dua. Mbak Indah dan Mbak Sumi. Kalau Mbak Sumi, Mbak yang sudah lama ikut orang tua gue. Kata nyokap sih, Mbak Sumi mulai kerja saat nyokap baru hamil gue dan sampai sekarang.

Sementara Mbak Indah, baru 2 tahunan, kayaknya si. Gantiin mbak yang sebelumnya yang ke luar karena nikah. Dan usia Mbak Sumi lebih tua dari nyokap gue. Makanya gue sudah nganggep beliau kayak nyokap kedua gue. Kalau Mbak Indah hanya selisih 4 tahun sama gue. Gue 18 tahun, Mbak Indah 22 tahun.

Katanya sih masih single, Pemirsa. Kayak gue masih single. Jadi, nyokap kayak punya anak gadis dua. Gue dan Mbak Indah.

"Mbak Indah lagi ke luar sebentar, tadi Mbak suruh buat beli bahan masakan yang kurang," jawab Mbak Sumi menjelaskan.

"Ohh." Gue ngaguk-ngagukan kepala. Gue cari Mbak Indah juga sama, mau gue pamit tin. Walau dia baru dua tahunan masuk keluarga ini, tapi gue dah nganggep dia kayak kakak gue sendiri.

Hal seperti ini tuh dah kebiasaan, ya. Maksud gue izin pamit mau pergi. Karena nyokap gue ngajarin gue kayak gitu. Kata nyokap, mbak itu dah seperti keluarga. Karena mereka ikut dan serumah, maka harus dianggap keluarga dan diperlakukan seperti keluarga. Kalau mau pergi izin ke mereka, supaya mereka tidak nyariin gue.

Nyokap pun sama, kalau mau pergi selalu pamit sama mereka, tapi nyokap gak pake cium tangan segala. Cuma lewat ucapan. Ya, kali cium tangan juga.

Kata nyokap, kagak boleh meremehkan dan kagak boleh tidak menghargai mereka. Harus dihargai dan dihormati. Apa lagi, mereka lebih tua dari pada gue. Gitu, pemirsa.

Itu bukan berlaku cuma sama mbak-mbak saja, itu pun berlaku sama Pak Jijat—supir pribadi dan Pak Mamat—bagian bersih-bersih kebun panggilan.

Pokoknya, meski nyokap ibarat kata bosnya dan gue anaknya, gak boleh sombong dan besar kepala. Gak boleh bossy terhadap mereka. Itu si didikan nyokap ke gue. Makanya gue sama mereka akrab dan kaya gak ada benteng yang menghalangi obrolan.

"Kalau gitu, Salsa pamit dulu. Dah, bye."

Sebelum berlalu gue melambai perpisahan.

"Iya hati-hati di jalan, jangan lupa nanti makan," peringat Mbak Sumi teriak.

"Siap!" Gue jawab dengan sama teriak sembari mengacungkan jari jempol lalu lanjut jalan.

Pas di belakang tubuh Mas Alvin, gue berhenti melangkah. Sebenarnya gue males untuk izin pamit ke dia, penginnya berlalu begitu saja lalu ke luar rumah.

Namun, kalau gue gak izin, bisa mati gue dimarahin sama nyokap. Misal nanti Mas Alvin lapor ke nyokap. Nggak nggak, gue masih sayang nyawa gue.

"Salsa berangkat dulu, Mas," kata gue sambil mengulurkan tangan ingin meraih tangan Mas Alvin untuk gue salimin yang sedang sibuk main hape, 

Sayangnya tangan Mas Alvin berat, tidak mau bergerak mengangkat membuat gue sulit mencium punggung tangannya.

Otomatis gue milih mengalah dengan membungkukan tubuh supaya bisa menyium punggung tangannya. Taunya Mas Alvin malah dorong tubuh gue untuk menjauh dan membuat gue kagak bisa raih tangan dia yang emas itu yang gak boleh dicium.

Rasa amarah dalam tubuh gue tiba-tiba memuncak. Rasanya sudah cukup gue diperlakukan seperti ini sama dia.

"A*j*ng!" Satu kata yang berhasil meluncur dari mulut gue di depan dia sangking dugalnya. Setelah itu gue langsung berlalu ke luar rumah meninggalkan dia.

Masa bodo kalau dia mau marah dan masa bodo dia mau lapor ke nyokap. Gue bodo amat! Gue akui, kali ini gue salah besar karena berkata sangat kasar di depan dia. 

Namun, menurut gue, ini lebih baik dari pada prilaku dia ke gue. Andai, gue nanti diusir sama nyokap gara-gara ini. Gue gak peduli. Diusir, tinggal pergi. 

Gue terus yang harus ngalah? Sementara dia selalu semena-mena?

Kata orang bijak, sabar itu tidak ada batasannya. Tapi kata orang tidak bijak kek gue, sabar ada batasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status