Mata kami saling bersitatap sebentar, sebelum akhirnya Mas Alvin memutuskan tatapan itu karena jalan menuju meja makan.
Saat jalan di hadapan gue, Mas Alvin gak nyapa apa gitu. Basa-basi gitu, paling nggak senyum tipis, bukan ngelewatin begitu saja. Padahal gue aja rela senyum merekah, walau hati kesal padanya.
Dah gitu, saat dia jalan gak ngadep ke wajah gue. Jalan lurus gitu dan gue yakin, Mas Alvin gak liat kalau gue senyum padanya.
Sia-sia buang tenaga dikit untuk senyum yang tidak dianggap dan tidak dihargai. Gue menghembuskan napas dengan berlalunya Mas Alvin, lalu teriak manggil mbak.
"Iya, Kak, bentar," sahut mbak yang terdengarnya suara itu dari samping.
Gue langsung nyamperin suara mbak yang mungkin sedang njemur pakain di halaman samping. Jalan ngelewatin Mas Alvin tanpa menyapa dan melihatnya. Berlalu begitu saja sampai di belakangnya lalu belok ke samping menuju halaman.
"Emang dia doang yang bisa, gue gak bisa? Gue juga bisa. Gampang urusan itu ma! Jadi orang songong banget, pantesan gak punya pacar sampai sekarang. Lah, sifatnya aja seperti itu." Gue nggrundel dalam hati sambil mulut bergerak melitat-melitut sengit.
Eh, tunggu! Bukankah Mas Alvin sifatnya seperti itu, tuh, cuma sama gue?
Otak gue tiba-tiba ngingetin. Iya yah, dia 'kan kaya gitu cuma sama gue. Kalau sama yang lain, bhah! Ramah dan baiknya gak ketulung.
Kenapa Mas Alvin sampai sekarang belum punya pacar hingga akhirnya masalah ini terjadi. Perjodohan gue dan dia?
Gue yakin, andai Mas Alvin sudah punya pasangan, perjodohan ini kagak bakal terjadi. Andai perjodohan ini tuh, misal Mas David belum punya pasangan, gue juga yakin, pasti Mas David yang dijodohin sama gue.
Secara 'kan, umur Mas David lebih tua dari pada Mas Alvin. Jadi, yang seharusnya buru-buru nikah itu Mas David, bukan dia, si es batu.
Arghhh, nyebelin!
Benar 'kan, mbak lagi di samping. Kami berdua bertemu pas di pintu menuju halaman samping.
"Eh, Kak." Mbak Sumi tersenyum. "Mau disamperin malah dah ke sini," lanjut mba, sama, masih tersenyum sambil elap-elap tangan ke baju yang sedang dipakai.
Gue bales senyum tipis, "Salsa pamit berangkat kampus dulu, Mbak," pamit gue sambil raih tangan mbak untuk disalim cium.
"Oh, dah mau berangkat toh? Yaudah hati-hati di jalan, sekolah yang benar," jawab Mbak Sumi memperingatkan.
"Iya, siap, Mba," jawabku tegas dengan diringi tersenyum ketawa. "Sebelum Ibu pergi kantor, pesen sesuatu gak, Mbak, untuk Salsa?" tanya gue berharap ibu nitipin sesuatu atau berpesan sesuatu.
"Nggak, Kak. Ibu cuma pesen nanti dimasakin rawon," jawab Mbak Sumi yang bikin gue kecewa atas jawabannya.
"Oh, Salsa kira pesan sesuatu buat Salsa."
Bibi ketawa kecil, "Kakak sudah sarapan?"
"Belum, ntar aja sarapannya bisa di kantin. Oh iya Mbak Indah mana?" tanya gue mempertanyakan mbak yang satu.
Mbak yang kerja di rumah gue ada dua. Mbak Indah dan Mbak Sumi. Kalau Mbak Sumi, Mbak yang sudah lama ikut orang tua gue. Kata nyokap sih, Mbak Sumi mulai kerja saat nyokap baru hamil gue dan sampai sekarang.
Sementara Mbak Indah, baru 2 tahunan, kayaknya si. Gantiin mbak yang sebelumnya yang ke luar karena nikah. Dan usia Mbak Sumi lebih tua dari nyokap gue. Makanya gue sudah nganggep beliau kayak nyokap kedua gue. Kalau Mbak Indah hanya selisih 4 tahun sama gue. Gue 18 tahun, Mbak Indah 22 tahun.
Katanya sih masih single, Pemirsa. Kayak gue masih single. Jadi, nyokap kayak punya anak gadis dua. Gue dan Mbak Indah.
"Mbak Indah lagi ke luar sebentar, tadi Mbak suruh buat beli bahan masakan yang kurang," jawab Mbak Sumi menjelaskan.
"Ohh." Gue ngaguk-ngagukan kepala. Gue cari Mbak Indah juga sama, mau gue pamit tin. Walau dia baru dua tahunan masuk keluarga ini, tapi gue dah nganggep dia kayak kakak gue sendiri.
Hal seperti ini tuh dah kebiasaan, ya. Maksud gue izin pamit mau pergi. Karena nyokap gue ngajarin gue kayak gitu. Kata nyokap, mbak itu dah seperti keluarga. Karena mereka ikut dan serumah, maka harus dianggap keluarga dan diperlakukan seperti keluarga. Kalau mau pergi izin ke mereka, supaya mereka tidak nyariin gue.
Nyokap pun sama, kalau mau pergi selalu pamit sama mereka, tapi nyokap gak pake cium tangan segala. Cuma lewat ucapan. Ya, kali cium tangan juga.
Kata nyokap, kagak boleh meremehkan dan kagak boleh tidak menghargai mereka. Harus dihargai dan dihormati. Apa lagi, mereka lebih tua dari pada gue. Gitu, pemirsa.
Itu bukan berlaku cuma sama mbak-mbak saja, itu pun berlaku sama Pak Jijat—supir pribadi dan Pak Mamat—bagian bersih-bersih kebun panggilan.
Pokoknya, meski nyokap ibarat kata bosnya dan gue anaknya, gak boleh sombong dan besar kepala. Gak boleh bossy terhadap mereka. Itu si didikan nyokap ke gue. Makanya gue sama mereka akrab dan kaya gak ada benteng yang menghalangi obrolan.
"Kalau gitu, Salsa pamit dulu. Dah, bye."
Sebelum berlalu gue melambai perpisahan.
"Iya hati-hati di jalan, jangan lupa nanti makan," peringat Mbak Sumi teriak.
"Siap!" Gue jawab dengan sama teriak sembari mengacungkan jari jempol lalu lanjut jalan.
Pas di belakang tubuh Mas Alvin, gue berhenti melangkah. Sebenarnya gue males untuk izin pamit ke dia, penginnya berlalu begitu saja lalu ke luar rumah.
Namun, kalau gue gak izin, bisa mati gue dimarahin sama nyokap. Misal nanti Mas Alvin lapor ke nyokap. Nggak nggak, gue masih sayang nyawa gue.
"Salsa berangkat dulu, Mas," kata gue sambil mengulurkan tangan ingin meraih tangan Mas Alvin untuk gue salimin yang sedang sibuk main hape,
Sayangnya tangan Mas Alvin berat, tidak mau bergerak mengangkat membuat gue sulit mencium punggung tangannya.
Otomatis gue milih mengalah dengan membungkukan tubuh supaya bisa menyium punggung tangannya. Taunya Mas Alvin malah dorong tubuh gue untuk menjauh dan membuat gue kagak bisa raih tangan dia yang emas itu yang gak boleh dicium.
Rasa amarah dalam tubuh gue tiba-tiba memuncak. Rasanya sudah cukup gue diperlakukan seperti ini sama dia.
"A*j*ng!" Satu kata yang berhasil meluncur dari mulut gue di depan dia sangking dugalnya. Setelah itu gue langsung berlalu ke luar rumah meninggalkan dia.
Masa bodo kalau dia mau marah dan masa bodo dia mau lapor ke nyokap. Gue bodo amat! Gue akui, kali ini gue salah besar karena berkata sangat kasar di depan dia.
Namun, menurut gue, ini lebih baik dari pada prilaku dia ke gue. Andai, gue nanti diusir sama nyokap gara-gara ini. Gue gak peduli. Diusir, tinggal pergi.
Gue terus yang harus ngalah? Sementara dia selalu semena-mena?
Kata orang bijak, sabar itu tidak ada batasannya. Tapi kata orang tidak bijak kek gue, sabar ada batasnya.
Gue jalan sambil mati-matian nahan air mata. Coba bayangin aja, orang yang katanya kakak sendiri gak mau disentuh sama gue, jijik sama gue. Emang gue seburuk itu? Gue bukan bangkai atau kotoran. Gue manusia! Kalau gak boleh, bilang! Gak perlu cara nolak seperti itu. Sudah buang tenaga dan sudah nginjak harga diri gue. Kalau jijik sama gue, bilang! Gue gak bakal susah-susah berusaha hanya untuk cium tangannya. "Sialan!" umpat gue marah dalam hati. Sudah hilang rasa sabar gue selama ini, gue diam bukan berarti gue terima atas perlakuan dia selama ini. Dia baik, tapi dia songong. Kalau benci ke gue, ngomong! Gue gak masalah. Dan gue gak harus berpura-pura baik di depan dia.
Mas Alvin turun dari mobil setelah sampai di area parkir kampus. Sebelumnya sudah gue larang nganter sampai sini. Tapi dia tidak mau menggubris. Gue siap-siap turun, tidak mau keburu dia mengitari mobil terus bukain pintu untuk gue. "Haa," gumam dia saat gue baru ke luar dari mobil. Entah apa maksud gumaman dia. "Makasih sudah nganter Salsa," kata gue. "Belajar yang bener," sahut Mas Alvin. Gue ngangguk-ngangguk terus salim ke dia, izin pamit. Dia ngusap-ngusap pala gue, pemirsa. Dede lemes. "Alvin ...." Tiba-tiba ada yang manggil nama Mas Alvin. Gue langsung noleh ke arah suara.
PoV Meysha Aku tersenyum tipis dan melambai kecil ke arah pintu kafe yang baru saja dibuka oleh sosok pria gagah rupawan, bertumbuh tinggi, tegap, berpakaian kemeja hitam berlengan panjang yang dipadukan dengan celana pants warna abu-abu tua, dan sepatu pantofel berwarna hitam. Pria itu membalas senyumanku, senyuman dia mengembang, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membuat matanya mengecil membentuk seperti bulan sabit, dan tangannya juga melambai ke arahku. Dia melangkah cepat mendekat ke mejaku. Pria itu kekasihku—namanya Alvin Sanjaya—kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun lebih. Pertemuan kali ini berbeda dari pertemuan biasanya. Biasanya kami bertemu untuk temu kangen, menumpahkan rasa rindu. Tapi kali ini, ka
PoV Salsa Malam ini nih gue lagi clubbing bareng temen geng dan juga Bagas. Awalnya kami duduk di satu meja mesen cocktail. Tapi karena Clarin sama Maya udah turun ke dance floor, udah joget-joget binal gak karuan. Akhirnya gue ngajak Amel ikut turun. Awalnya si Bagas nglarang gue, nyuruh gue duduk ngobrol aja sambil ngerokok. Tapi gimana ya, gue gak kuat lihat Maya sama Clarin. Jiwa joget gue minta diluapkan. Gue joget-joget di antara beberapa laki-laki. Sengaja gue goyangnya yang nakal. Asyiknya tuh ada cowok nanggepin gue dan tangan dia melingkar di pinggang gue. Udah deh gue lupa semuanya, dunia malam memang asik buat ngilangin stress. Tapi tiba-tiba orang yang joget ama gue ditarik seseorang terus dipukuli. Gue kira ya
Malam ini nyokap kelihatan seneng banget. Raut wajahnya terpancar kebahagiaan, buat hati gue menghangat. Sudah lama banget gak makan bersama bertiga yang di mana salah satunya pria. Dulu, waktu bokap masih ada, makan bersama seperti sekarang, sering dilakukan bahkan hampir tiap hari. Setelah bokap gak ada, makan bersama di meja makan hanya gue dan nyokap. Berduan saja. Makan malam ini spesial menurut gue. Liat Mas Alvin, gue kaya liat bokap. Memori kebersamaan bokap jadi berputar di otak gue. Jadi kangen bokap. Tuh kan gue sedih. "Lho, kok, Salsa nangis?" Mas Alvin bertanya sambil natap gue. "Makanannya pedas, ya, tapi menurut Mas nggak kok. Menurut Tante pedas gak?" "Nggak, bukan makanannya, tapi Mas yang bikin Salsa nangis." Yang awalnya hanya air mata yang keluar, kini diiringi dengan isakan kenceng. "Mas? Maaf, memang apa yang Mas lakukan sampai buat kamu nangis?" "Mas bik
Sebagai anak satu-satunya, nyokap tidak mau acara lamaran gue hanya biasa aja. Sesuai permintaan gue yang hanya minta di rumah lalu makan-makan aja. Tapi nyokap dan Tante Wanda malah nyewa ballroom untuk acara lamaran gue dan Mas Alvin. Sebenarnya gue sedikit ragu dengan lamaran ini. Gue masih bingung dengan perasaan gue sendiri. Gue belum yakin kalau gue sudah ada rasa suka sama Mas Alvin, tapi rasanya kalau gue di dekat Mas Alvin, merasa nyaman apalagi setelah kejadian gue ketauan di club, perilaku Mas Alvin sama gue jadi gak dingin lagi. Buat gue gak takut berada di dekat dia. Gue milih maju, mengiakan adanya lamaran ini yang terkesan mendadak, persiapan hanya beberapa hari saja. Itu karena nyokap. Jujur gue gak tega mematahkan kebahagiaan nyokap yang begitu bahagia mengetahui Mas Alvin mau lamar gue. Nyokap aja sampe ngasih gue tas yang sudah dia janjiin beberapa minggu lalu. Yang tiap kali gue mau berangkat kampus terus tanya ke m
"Cantik banget kamu, Sa." Clarin berkomentar. "Kayak bukan Salsa deh, ya ampun pangling sekali kakak gue." Amel ikut berkomentar. "Duh, ini calon istri Bang Vin." Sekarang Maya yang berkomentar. Baru saja gue selesai dimake up oleh MUA yang dipesan nyokap. Gue sangat berterima kasih dengan orang yang rias, mata bengkak gue jejak habis menangis bisa tertutupi dengan make up. "Sudah siap, sayang?" Nyokap masuk ke kamar menghampiri. Gue ngangguk. "Anak Ibu cantik banget." Nyokap mengusap lengan baru kemudian beliau ngajak untuk ke tempat acara. Sedari tadi gue udah deg-degan banget, sumpah. Padahal waktu ketemu Mas Alvin mengantar ke makam, gue biasa aja. Tapi sekarang jantung gue memompa tidak semestinya, bahkan lebih dari saat gue di make up. Susunan acara sudah mulai hingga akan di waktu intinya, yaitu menemukan gue dengan Mas Alvin. Saat sang MC wanita mengintro agar gue masuk ke dalam r
Sesampainya di kamar hotel, kami berempat sama-sama membersihkan make up bersama sambil ngobrol dan bercanda. Tidak ada yang mandi, semuanya termasuk kategori orang malas. Selesai membersihkan make up kami cuma ganti baju terus tiduran di atas king bed. Sebelum hari ini, teman-teman gue sudah boking ke nyokap kalau pesan kamar jangan yang double bed tapi yang king bed saja. Kata mereka biar puas waktu kebersamaannya sama gue yang sebentar lagi akan nikah dan akan sulit untuk tidur bersama lagi. Mustahil kalau orang empat kumpul terus bisa tidur cepat, yang ada kami malah lanjut ngobrol dan bercanda. Seperti saat ini, sudah tidurannya tak beraturan, ada yang kakinya ke atas kepala ranjang, ada juga yang tiduran tepat di samping pantat, kayak gue tidur tepat di samping pantat Clarin. "Guys, ini 'kan kita tidur bersama nih, nanti kalau Salsa habis nikah, kita ikut tidur bareng aja, ya, lihat malam pertamanya Salsa sama Bang Alvin, s