Share

Bab 6

Bagaimana acaranya tadi Princess?" Tanyaku kepada gadis kecil yang saat ini duduk di sampingku.

"Bagus banget pi, tadi ada yang bernyanyi, menari, baca puisi, pokoknya tadi aku suka banget pi." Ceritanya kepada sosok lelaki yang saat ini berada di samping sang putri dengan senyum yang tak lepas dari kedua sudut bibirnya.

"Princess sendiri tadi dapat bagian apa, sayang?" Masih dengan tatapan yang fokus kepada gadis kecil berbando pink dengan gaun warna putih yang menambah kesan cantik di wajah sang gadis belia tersebut.

"Kelas aku menampilkan drama Pih, jadi tadi aku sama teman-temanku jadi artis. Kalau sudah besar nanti Kania mau jadi artis beneran yah pi, biar terkenal dan membanggakan buat papi. Pokoknya tadi Kania seneng banget, pi." Gadis kecil yang bernama Kania tersebut menjawab pertanyaan ayahnya yang tak lain adalah  Alfan seraya mulutnya memakan makanan, sedangkan sang ayah yang melihat bagaimana Kania bercerita ikut tersenyum. Kadang Alfan juga ingin kembali seperti sang putri, seperti anak kecil lagi, dimana dirinya tidak harus memikirkan tentang sekelumit masalah. Tapi dirinya sadar jika waktu tidak bisa di putar kembali, dan yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani kehidupan kita dengan sebaik mungkin, agar kelak tak ada yang namanya penyesalan dalam hidup. Cukup hanya sekali saja dirinya merasa menyesal, tapi bukankah dibalik semua cobaan akan ada hikmah yang diperoleh. Bagaikan pelangi yang hanya akan terlihat setelah adanya hujan.

"Oya, aku juga senang banget tadi tante Dara datang ke sekolah aku." Kania menoleh hingga mata Kania dan Dara menatap pada satu arah pandang yang sama. Dara tersenyum seraya mengelus pipi Kania dengan sayang. Diamatinya gadis kecil yang memiliki mata bulat serta hidung mancung yang dia yakini adalah warisan dari pria yang berada di depan Kania yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara dirinya dan sang anak, pandangan yang terkesan mengintimidasi hingga membuat dirinya seakan dibekukan oleh pandangan matanya. 

Dara berdehem sebelum menjawabnya mencoba menghalau rasa gugup yang timbul secara mendadak karena menyadari bagaimana mata Alfan yang memandang tajam kearah dirinya. Dara merasa tak nyaman atas tatapan yang diarahkan kepadanya tersebut.

"Tante juga senang bisa lihat pertunjukan kamu tadi, sayang." Kataku sambil tersenyum kearah Kania.Ya aku memang menyayangi gadis kecilku itu, gadis yang menurutku sangat menggemaskan apalagi saat dia sedang tertawa yang akan menampakkan kedua lesung pipi nya, dan ditambah dengan gigi yang ompong yang berada ditengah-tengahnya yang semakin membuatku gemas saja. Ingin rasanya kuculik saja dia, lalu kumasukkan ke dalam dompet hingga dapat kubawa kemanapun, setidaknya itu bisa menjadi penghiburku saat mood ku sedang tidak baik. Batinku tertawa dalam hati.

"Tante Dara bisa datang ke sekolah aku, kenapa papi gak bisa?" Tanyanya sambil masih tetap melahap makanan di piringnya.

"Papi kan tadi ada rapat penting sayang, jadi papi gak bisa datang. Ini setelah rapat papi juga langsung nyusulin Kania kan.Tante Dara kebetulan tadi pulang lebih awal dan tante Dara tahu kalau di sekolah Kania ada pertunjukan siswa, makanya tadi tante minta ijin papi buat nemenin Kania." Jawabnya dengan rasa kasih sayang.

"Tadi kan, Kania juga ditemani oma, sayang."

"Iya tapi kan tadi teman-teman Kania pada ditemani mama sama papanya, sedangkan Kania hanya ditemani oma sama tante Dara." Jelas terlihat raut kecewa di wajah ayunya, wajah yang berhasil membuat diriku jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Namun kini di sorot mata tersebut tidak terlihat berbinar seperti yang biasa aku lihat.

"Kania sayang, Kania bisa kok anggap tante Dara juga mamanya Kania". Ucapku coba menenangkannya. Tak tega rasanya jika gadis sekecil Kania harus kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya. Walaupun aku tahu Alfan bekerja juga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya ditambah dengan sang anak.

"Memangnya tidak apa - apa? tante Dara gak marah kalau Kania anggap tante Dara mama Kania?" Kulirik papinya berharap mendapat balasan, tapi apa yang kudapat, dia hanya diam sambil menikmati minumannya. Dia bahkan hanya melirik sekilas kearah kami berdua. 

" Kenapa tante harus marah? tante kan sayang sama Kania, Kania juga sayang sama tante kan?" Gadis tersebut mengangguk-anggukan kepalanya cepat bahkan terlihat sangat bersemangat. Ya aku tentu tahu bagaimana dirinya merindukan sosok ibu di hidupnya, apalagi di usia yang terbilang sangat belia. 

" Kalau begitu Kania mau tidur di temani sama tante Dara, mau  di bacakan cerita sebelum Kania tidur, tante Dara mau kan?" Bagaimana bisa aku mewujudkan keinginannya, sementara aku juga tidak mungkin tidur serumah dengannya, kecuali....

ah tidak mungkin. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin efek dari pikiranku yang sedang berkecamuk hingga membuat pikiranku berkeliaran tak jelas.

"Gak bisa sayang, kan tante Dara tinggal di rumahnya sendiri, sedangkan Kania tinggalnya bareng papi, oma, dan opa". Aku bersyukur karena Alfan sudah menjawab pertanyaan Kania, jadi aku tidak perlu lagi menjawab pertanyaan Kania. Anak tersebut cemberut karena tak mendapat jawaban memuaskan dari sang ayah. Dalam situasi tersebut Alfan hanya bisa bersabar dalam menghadapi sikap putrinya. Dia sama sekali tak merasa tersinggung dengan keinginan Kania karena dirinya sadar jika dirinya tak bisa sempurna dalam merangkap peran sebagai papi sekaligus mami bagi putrinya. Ada kalanya Alfan merasa lelah dengan kesehariannya, tak ada lagi tempat baginya bersandar. Menangis pun dirinya tak mampu. Telah banyak air mata yang keluar secara diam-diam saat dirinya hanya seorang diri.

"Kenapa gak bisa pi? padahal oma, opa,  Kania, sama papi bisa tinggal dalam satu rumah?" Tanyanya lagi dan kali ini kuharap Alfan bisa menjawabnya lagi. Kania sungguh anak yang kritis, dirinya akan terus bertanya jika dirinya mendapat jawaban yang tidak memuaskan. 

"Karena tante Dara bukan mama sebenarnya Kania, bukan saudara kita juga. Kecuali kalau tante Dara mau jadi istri papi, maka tante Dara akan jadi maminya Kania yang benar."

Dan jawaban apa yang diucapkan olehnya itu?, bagaimana mungkin Alfan bisa menjawab dengan enteng dan tanpa canggung. 

"Jadi tante Dara gak bisa tinggal bareng kita pi?" Dia sedikit menundukkan kepalanya, terlihat ekspresi kecewa di raut wajahnya.

"Coba Kania tanya ke tante Dara, mau gak menikah sama papi, menjadi istrinya papi, dan menjadi mami yang sebenarnya buat Kania. Tanya gih sama tante." Detik itu pula, ingin rasanya aku melempar papi dari Kania dengan apapun yang ada di kafe ini.

Aku terpaku mendengar kata-katanya, apakah Alfan secara tidak langsung sedang melamarku?, batinku bertanya dalam hari. Namun tak sengaja pandanganku bersibobrok dengan pandangan seorang wanita yang duduk di pojok ruangan.  

                                   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status