Share

Bab 7

Mata ini masih menatap komputer di depan namun pikiranku berkelana entah ke dunia mana. Sedari tadi aku hanya memandangi layar tersebut tanpa melakukan tugas-tugasku. Kubiarkan saja tugas-tugas tersebut tergeletak di atas meja, barangkali nanti mungkin akan ada orang baik hati yang membantu mengerjakan tugas tersebut.

Sudah seminggu ini aku tak fokus pada pekerjaan, hingga mengakibatkan diriku yang mendapat teguran langsung dari atasan yang tak lain adalah Alfan, ya dan kalian tahu karena pria itu pula yang membuatku tak fokus pada pekerjaanku akhir-akhir ini. 

Kupikir dia hanya bercanda saat memintaku menjadi mami Kania, tapi ternyata aku salah. Karena pada malam dia mengantarku pulang Alfan kembali berbicara seperti itu.

"Aku serius Ra, sama ucapan aku tadi. Dan aku harap kamu bisa mempertimbangkannya. Aku akan  menerima apapun keputusan kamu." 

Ya seperti itulah yang Alfan ucapkan malam itu saat kami berada di dalam mobil dengan Kania yang sudah tertidur pulas di kursi belakang. Kania mungkin kelelahan setelah dari sekolah ditambah acara makan di kafe yang membuatnya tidak bisa tidur siang. Dirinya bahkan langsung terlelap sesaat setelah kami masuk ke dalam mobil.

Aku sama sekali tak meragukan keseriusan akan ucapannya, karena aku tahu Alfan termasuk sosok pria yang bertanggung jawab dengan kata-katanya. Tapi bukan itu masalahnya, namun hatiku yang masih ragu akan perasaanku terhadapnya. Ya memang aku menyayangi Kania bahkan kalau boleh jujur aku sangat menyayanginya. Tapi haruskah karena aku sayang terhadap Kania berarti aku harus menikah dengan papanya. Haruskah aku mengorban kebahagiaanku demi kebahagiaan Kania, ah kurasa tidak. Memangnya siapa aku?, aku bukan mamanya Kania. Lagian Alfan sendiri bilang akan menerima segala keputusanku. Arghhh..... memikirkannya membuat kepalaku pusing saja, bila terus begini ingin rasanya kuganti kepalaku dengan Kacang Hijau saja agar lebih ringan saat aku membawanya.

"Dara, mana laporan yang kamu buat kemarin?" Suara seorang pria yang sangat aku kenal yang tak lain Mas Arga berhasil membuyarkan lamunanku tadi. Aku segera bangun dari kursi, membungkukkan sedikit tubuhku sebagai bentuk penyesalan karena lagi-lagi aku terpergok olehnya sedang melamun disaat jam kerja.

Mas Arga membalas dengan sedikit mengangkat bibir ke atas hingga berhasil menciptakan senyum menawan di bibirnya.

Aku dengan cekatan mengambil stop map warna merah yang tertata di atas meja kerjaku untuk kemudian kuserahkan kepada Mas Arga. 

Namun karena pergerakanku yang terburu-buru malah mengakibatkan map tersebut jatuh ke lantai dengan kertas yang sudah berhamburan ke sana kemari. 

"it’s oke Dara. Tapi lain kali kamu jangan ceroboh seperti ini lagi ya." Ucap Mas Arga saat aku meminta maaf kepadanya tadi. 

Bukan semakin cepat malah aku semakin menghambat pekerjaannya tadi karena kami berdua harus menata ulang nomor halaman yang sudah berantakan itu. Setelahnya kembali kuserahkan stop map tersebut kepada Mas Arga.

"Ya sudah, kamu lanjutkan saja  pekerjaan kamu." 

"Ingat Dara, jangan banyak melamun, aku cukup banyak menerima komplain atasan karena sikapmu. Hahaha..." Ucapnya saat sudah berada di tengah pintu hendak keluar ruangan. Jangan tanya bagaimana perasaanku, tentu aku merasa sangat bersalah dengan Mas Arga atas sikapku yang mengakibatkan dia menerima komplain atas sikap divisi bawahannya.

Mas Arga sendiri menjabat sebagai Manager Pemasaran, sedangkan aku salah satu orang yang berada di divisi yang sama dengannya, tentu tingkat jabatan dibawah-Nya. Jadi jangan tanya kenapa aku bisa dekat dengan Mas Arga karena memang kita satu ruangan kerja.

*********

"Halo... assalamualaikum, mbak bagaimana kabarnya?" Ucap seorang di seberang sana.

"Alhamdulillah baik bunda, bunda gimana kabarnya? Sehat? Ayah dan yang lain sehatkan?" Tanyaku kepada orang yang jauh disana yang tak lain adalah bundaku. Wanita yang telah melahirkanku tersebut adalah wanita terhebat yang pernah kutemui. 

"Alhamdulillah bunda dan yang lainnya baik mbak. Mbak di tanya in kapan bisa pulang kampung? Bunda kangen banget sama mbak Dara, ayah dan Gladis juga kangen sama mbak." Aku hanya diam mendengarkan apapun yang akan di katakan bunda, aku memang sudah cukup lama tidak pulang ke kampung halaman karena kesibukan kerja dan juga karena aku bosan ditanya in oleh kedua orang tua ku apakah sudah punya calon suami atau belum. 

"Keluarga Yahya mau bertamu ke rumah kita mbak, enggak enak kalau mbaknya nggak pulang." Yahya adalah calon suami dari adikku Gladis, maklum, aku dan Gladis memang hanya berjarak dua tahunan lebih jadi wajar rasanya jika kedua orang tuaku selalu mempertanyakan pasangan hidup, yang diriku tahu mereka tak ingin menyakiti hati anak-anaknya. Jadi mereka merasa khawatir jika aku akan di langkahi Gladis, mereka masih mempercayai jika sang kakak di langkahi adiknya dalam pernikahan, maka yang di langkahi akan kesulitan dalam mendapatkan jodoh. Tapi menurutku semua memang sudah takdirnya. Bukankah hidup, mati, serta rezeki sudah di tetapkan bahkan sebelum kita lahir ke dunia ini. 

"Mbak Dara bisa kan pulang dulu?, ambil cuti?" Tanya bunda penuh permohonan. Meskipun aku tidak bersitatap dengan beliau tapi aku tahu pasti dari nada beliau yang penuh harap kepadaku. 

"Insya Allah mbak bakal usaha in pulang bun, doa in aja semoga mbak di kasih izin cuti dari perusahaan." Kataku kemudian. Bukan perusahaan yang tidak mengizinkanku pulang, tapi karena memang aku yang malas pulang. Ya alasannya masih sama  seperti yang aku ungkapkan tadi. Namun sepertinya aku memang harus pulang karena sebenarnya aku sudah sangat merindukan keluargaku.

"Alhamdulillah, bunda tunggu kepulangan mbak loh. Jangan buat bunda kecewa ya mbak." Ucapnya kemudian

"Insya Allah bunda, ya sudah ini mbak masih jam kerja, nanti mbak telefon kalau sudah pulang kerja ya bun." Kusenderkan kepalaku ke meja karena merasa kepalaku tiba-tiba pusing.

"Ya sudah, kamu jaga kesehatan, jangan lupa makan yang banyak, terakhir kamu pulang badan kamu kurus banget mbak." Aku menganggukkan kepala dan tersenyum seolah orang di seberang sana bisa melihatnya aksiku. 

"Iya bunda sayang, mbak sayang bunda muachhh muachhh muachhh. Assalamualaikum." Kututup benda canggih setelah mendapat jawaban salam dari bunda dengan di sertai sebuah tawa ringan dari seberang. Hatiku tiba-tiba memanas memikirkan bagaimana nasibku selanjutnya.

“Mikirin apa sih?, mau cerita?, aku bisa jadi teman yang baik buat cerita kalau kamu mau.” Kepalaku mendongak, menatap kearah seorang yang baru saja datang. Bagaikan jelangkung yang datang tak di jemput dan pulang tak diantar. 

“Kamu ngapain disini?, bukannya kamu lagi ada meeting dengan karyawan yang lain?” tanyaku mencecar.

“Atau kamu cari mas Arga?, dia sudah ke ruangan meeting tadi.” Dia bukannya menjawab pertanyaanku tetapi malah asyik menatapku.  

“Alfan aku....” ucapku terpotong saat pintu ruangan di ketuk dari luar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status