Mata ini masih menatap komputer di depan namun pikiranku berkelana entah ke dunia mana. Sedari tadi aku hanya memandangi layar tersebut tanpa melakukan tugas-tugasku. Kubiarkan saja tugas-tugas tersebut tergeletak di atas meja, barangkali nanti mungkin akan ada orang baik hati yang membantu mengerjakan tugas tersebut.
Sudah seminggu ini aku tak fokus pada pekerjaan, hingga mengakibatkan diriku yang mendapat teguran langsung dari atasan yang tak lain adalah Alfan, ya dan kalian tahu karena pria itu pula yang membuatku tak fokus pada pekerjaanku akhir-akhir ini.
Kupikir dia hanya bercanda saat memintaku menjadi mami Kania, tapi ternyata aku salah. Karena pada malam dia mengantarku pulang Alfan kembali berbicara seperti itu.
"Aku serius Ra, sama ucapan aku tadi. Dan aku harap kamu bisa mempertimbangkannya. Aku akan menerima apapun keputusan kamu."
Ya seperti itulah yang Alfan ucapkan malam itu saat kami berada di dalam mobil dengan Kania yang sudah tertidur pulas di kursi belakang. Kania mungkin kelelahan setelah dari sekolah ditambah acara makan di kafe yang membuatnya tidak bisa tidur siang. Dirinya bahkan langsung terlelap sesaat setelah kami masuk ke dalam mobil.
Aku sama sekali tak meragukan keseriusan akan ucapannya, karena aku tahu Alfan termasuk sosok pria yang bertanggung jawab dengan kata-katanya. Tapi bukan itu masalahnya, namun hatiku yang masih ragu akan perasaanku terhadapnya. Ya memang aku menyayangi Kania bahkan kalau boleh jujur aku sangat menyayanginya. Tapi haruskah karena aku sayang terhadap Kania berarti aku harus menikah dengan papanya. Haruskah aku mengorban kebahagiaanku demi kebahagiaan Kania, ah kurasa tidak. Memangnya siapa aku?, aku bukan mamanya Kania. Lagian Alfan sendiri bilang akan menerima segala keputusanku. Arghhh..... memikirkannya membuat kepalaku pusing saja, bila terus begini ingin rasanya kuganti kepalaku dengan Kacang Hijau saja agar lebih ringan saat aku membawanya.
"Dara, mana laporan yang kamu buat kemarin?" Suara seorang pria yang sangat aku kenal yang tak lain Mas Arga berhasil membuyarkan lamunanku tadi. Aku segera bangun dari kursi, membungkukkan sedikit tubuhku sebagai bentuk penyesalan karena lagi-lagi aku terpergok olehnya sedang melamun disaat jam kerja.
Mas Arga membalas dengan sedikit mengangkat bibir ke atas hingga berhasil menciptakan senyum menawan di bibirnya.
Aku dengan cekatan mengambil stop map warna merah yang tertata di atas meja kerjaku untuk kemudian kuserahkan kepada Mas Arga.
Namun karena pergerakanku yang terburu-buru malah mengakibatkan map tersebut jatuh ke lantai dengan kertas yang sudah berhamburan ke sana kemari."it’s oke Dara. Tapi lain kali kamu jangan ceroboh seperti ini lagi ya." Ucap Mas Arga saat aku meminta maaf kepadanya tadi.
Bukan semakin cepat malah aku semakin menghambat pekerjaannya tadi karena kami berdua harus menata ulang nomor halaman yang sudah berantakan itu. Setelahnya kembali kuserahkan stop map tersebut kepada Mas Arga.
"Ya sudah, kamu lanjutkan saja pekerjaan kamu."
"Ingat Dara, jangan banyak melamun, aku cukup banyak menerima komplain atasan karena sikapmu. Hahaha..." Ucapnya saat sudah berada di tengah pintu hendak keluar ruangan. Jangan tanya bagaimana perasaanku, tentu aku merasa sangat bersalah dengan Mas Arga atas sikapku yang mengakibatkan dia menerima komplain atas sikap divisi bawahannya.
Mas Arga sendiri menjabat sebagai Manager Pemasaran, sedangkan aku salah satu orang yang berada di divisi yang sama dengannya, tentu tingkat jabatan dibawah-Nya. Jadi jangan tanya kenapa aku bisa dekat dengan Mas Arga karena memang kita satu ruangan kerja.
*********
"Halo... assalamualaikum, mbak bagaimana kabarnya?" Ucap seorang di seberang sana."Alhamdulillah baik bunda, bunda gimana kabarnya? Sehat? Ayah dan yang lain sehatkan?" Tanyaku kepada orang yang jauh disana yang tak lain adalah bundaku. Wanita yang telah melahirkanku tersebut adalah wanita terhebat yang pernah kutemui.
"Alhamdulillah bunda dan yang lainnya baik mbak. Mbak di tanya in kapan bisa pulang kampung? Bunda kangen banget sama mbak Dara, ayah dan Gladis juga kangen sama mbak." Aku hanya diam mendengarkan apapun yang akan di katakan bunda, aku memang sudah cukup lama tidak pulang ke kampung halaman karena kesibukan kerja dan juga karena aku bosan ditanya in oleh kedua orang tua ku apakah sudah punya calon suami atau belum.
"Keluarga Yahya mau bertamu ke rumah kita mbak, enggak enak kalau mbaknya nggak pulang." Yahya adalah calon suami dari adikku Gladis, maklum, aku dan Gladis memang hanya berjarak dua tahunan lebih jadi wajar rasanya jika kedua orang tuaku selalu mempertanyakan pasangan hidup, yang diriku tahu mereka tak ingin menyakiti hati anak-anaknya. Jadi mereka merasa khawatir jika aku akan di langkahi Gladis, mereka masih mempercayai jika sang kakak di langkahi adiknya dalam pernikahan, maka yang di langkahi akan kesulitan dalam mendapatkan jodoh. Tapi menurutku semua memang sudah takdirnya. Bukankah hidup, mati, serta rezeki sudah di tetapkan bahkan sebelum kita lahir ke dunia ini.
"Mbak Dara bisa kan pulang dulu?, ambil cuti?" Tanya bunda penuh permohonan. Meskipun aku tidak bersitatap dengan beliau tapi aku tahu pasti dari nada beliau yang penuh harap kepadaku.
"Insya Allah mbak bakal usaha in pulang bun, doa in aja semoga mbak di kasih izin cuti dari perusahaan." Kataku kemudian. Bukan perusahaan yang tidak mengizinkanku pulang, tapi karena memang aku yang malas pulang. Ya alasannya masih sama seperti yang aku ungkapkan tadi. Namun sepertinya aku memang harus pulang karena sebenarnya aku sudah sangat merindukan keluargaku.
"Alhamdulillah, bunda tunggu kepulangan mbak loh. Jangan buat bunda kecewa ya mbak." Ucapnya kemudian
"Insya Allah bunda, ya sudah ini mbak masih jam kerja, nanti mbak telefon kalau sudah pulang kerja ya bun." Kusenderkan kepalaku ke meja karena merasa kepalaku tiba-tiba pusing.
"Ya sudah, kamu jaga kesehatan, jangan lupa makan yang banyak, terakhir kamu pulang badan kamu kurus banget mbak." Aku menganggukkan kepala dan tersenyum seolah orang di seberang sana bisa melihatnya aksiku.
"Iya bunda sayang, mbak sayang bunda muachhh muachhh muachhh. Assalamualaikum." Kututup benda canggih setelah mendapat jawaban salam dari bunda dengan di sertai sebuah tawa ringan dari seberang. Hatiku tiba-tiba memanas memikirkan bagaimana nasibku selanjutnya.
“Mikirin apa sih?, mau cerita?, aku bisa jadi teman yang baik buat cerita kalau kamu mau.” Kepalaku mendongak, menatap kearah seorang yang baru saja datang. Bagaikan jelangkung yang datang tak di jemput dan pulang tak diantar. “Kamu ngapain disini?, bukannya kamu lagi ada meeting dengan karyawan yang lain?” tanyaku mencecar.“Atau kamu cari mas Arga?, dia sudah ke ruangan meeting tadi.” Dia bukannya menjawab pertanyaanku tetapi malah asyik menatapku. “Alfan aku....” ucapku terpotong saat pintu ruangan di ketuk dari luar.Pagi ini aku bangun lebih awal, semalam aku mendapat sebuah bisikan aneh agar pagi ini aku saja menyiapkan sarapan bagi penghuni rumah. Ya gimana pun aku tetaplah orang baru di kelurga ini, tak sopan rasanya jika aku terlihat malas dimata mertua. Memang pernikahan yang aku jalani bukanlah pernikahan impianku, tapi setidaknya orang tuaku menjunjung tinggi sopan santun dan itu yang sekarang coba aku terapkan pada keluarga baruku."Pagi-pagi enaknya buat sarapan apa ya?" Gumamku pada diri sendiri. Kubuka pintu kulkas, meneliti kiranya apa yang bisa kubuat dengan bahan-bahan yang masih tersedia disana."Ck, sepertinya Alfan belum belanja bulanan." Ucapku karena hanya melihat beberapa Snak kemasan ringan yang biasa jadi camilannya dan Kania. Sedangkan untuk membuat sarapan hanya ada telur dan jamur. Aku tanpa menggigit kuku jariku kebiasaan jika aku sedang berpikir."Buat nasi goreng aja kali ya." Gumamku seraya mengambil beberapa telur dari almari pendin
Suasana di dalam mobil terasa canggung, tak ada yang memulai pembicaraan antara aku dan Dara hanya terdengar suara musik dari radio yang kebetulan sedang kuputar. Sesekali aku menoleh ke arahnya, atau Dara menoleh ke arahku atau kadang juga tatapan kami saling bertabrak sebelum salah satu dari kita akan segera memutuskan pandangan tersebut.Sebelumnya kami memang tak begitu akrab, hanya sesekali saja kita pergi itu pun tak pernah hanya berdua jadi wajar saja jika saat ini kita terlibat kecanggungan saat hanya berdua begini.“Kamu biasa melakukan hal seperti itu?” tanyanya yang tak kumengerti.“Maksud kamu gimana?” tanyaku balik seraya menoleh kearahnya.“Biasa ngasih orang seperti tadi?” Jawabnya. Aku kembali menoleh kearahnya. Sebelum kembali melajukan mobil karena lampu yang sudah kembali hijau.“Tidak sering juga, hanya kadang saat kebetulan terjebak situasi sep
“Aku mencintaimu.” Dipeluknya tubuhku erat, bahkan kepalanya menempel sempurna di dada bidangku.“Dara kamu....” Lidahku terlalu kelu untuk berbicara, bahkan mataku pun yakin sudah melotot sempurna.“Aku mencintaimu, suamiku.” Ucapnya lagi dengan tersenyum. Bahkan genggaman tangannya terasa hangat menyentuh kulitku. Dara memperpendek jarak antara kita, matanya lekat menatap ke arahku hingga dapat kurasakan embusan nafasnya yang hangat. Mata kami saling pandang pada satu garis lurus yang sama hingga tanpa kusadari jarak antara kita semakin terkikis. Aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya, kupejamkan kedua mataku yang juga di ikuti oleh Dara, bibir kami hampir saja bersentuhan jika saja tak kurasakan sebuah tepukan di wajahku.“Papi bangun.” Mataku seketika membeliak setelah mendengar suara Kania. Kutoleh sekitar ruangan dan aku baru menyadari rupanya aku telah tertidur di sofa ruang tamu. Ja
“Ini gulingnya nggak bisa di singkirkan, Ra?, barangkali kali butuh kehangatan dari tubuhku.” Ucap Alfan berbisik di dekat telinga Dara. Tengkuk leher Dara meremang merasakan nafas Alfan yang terasa sangat dekat dengan dengannya, Dara seketika berbalik, keduanya bertatap pada satu garis pandang yang sama. Alfan menyangga kepalanya dengan salah satu tangannya, tersenyum yang menampilkan barisan gigi rapi dan putihnya. Melihat reaksi spontan dari Dara yang melotot ke arahnya semakin memperlebar senyum di wajah Alfan.“Aduh sakit, Ra.” Memang pukulan dari tangan Dara tak begitu keras tapi Alfan hanya ingin menjahili istrinya. Bahkan pukulan tersebut tak ubahnya pukulan manja dari sang istri. Tak puas hanya dengan pukulan, Dara mengambil guling yang berada di tengah- tengah keduanya. Tak puas hanya dengan guling Dara kembali mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Alfan hingga bantal yang menjadi alas kepalanya di bekapkan ke wajah Alfan.
Waktu jam istirahat sudah terlewat beberapa menit yang lalu, tapi Dara sepertinya masih asyik berkutat dengan pekerjaannya. Dara mengalihkan pandangan dari komputer setelah mendengar gawai pintarnya berdering pertanda ada telepon masuk. Nita menjadi nama yang tertera di layar utama.“Hal...”“Kenapa belum turun ke bawah?, sengaja mau di jemput suami?” bahkan Dara belum sempat menyelesaikan ucapannya namun Nita sudah memutus kata – katanya.“Sorry, pekerjaan gue banyak banget. Jadi kayaknya nanti titip mas Arga saja buat bawakan camilan saja.”“Sibuk banget sih sepertinya, Ra. Alfan yang pekerjaannya seabrek saja bisa meluangkan waktunya buat istirahat. Lagian aku nggak kasih ijin Arga buat bawain kamu makanan, enak aja minta di bawakan camilan sama pacar gue.” Cerocos Nita yang membuat makhluk lain yang berada satu meja dengannya geleng – geleng kepala.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan. Seperti itulah siklus waktu hingga tak ku sadari pernikahan yang ku jalani dengan Dara sudah memasuki bulan ketiga. hubungan kami pun semakin hari semakin menunjukkan kemajuan. Kania menjadi satu dari orang terpenting yang membuat hubungan kami semakin dekat. Jika dulu setiap akhir pekan mama selalu datang ke rumah untuk mengajak Kania sekedar jalan – jalan ke taman atau pusat perbelanjaan, kini sudah beberapa minggu rutinitas itu aku dan Dara yang menjalankan. Lebih sering kita bertiga pergi ke taman sekedar mencari udara sejuk atau jalan- jalan seraya bergandeng tangan layaknya keluarga yang sempurna.Seperti pagi ini kami akan mengunjungi sebuah taman yang berada tak jauh dari perumahan dekat rumahku. Kania sibuk bersenda gurau dengan Dara saat kami berjalan menuju taman. “Pagi Kania, duh cantiknya.” Sapa seorang perempuan yang ku ketahui bernama Raisa, dia
Membuka pintu mobil, aku menatap pemandangan sekeliling. Tak banyak yang berubah rupanya, pohon mangga masih berdiri tegak dengan beberapa daun yang mulai menguning jatuh ke tanah.Sambil berjalan, kualihkan pandangan ke arah sebuah rumah yang memiliki pelataran tak begitu luas, namun karena rumah di bangun dengan gaya minimalis hingga menghasilkan kesan yang lebih luas dari aslinya.Anak-anak sibuk berlarian dengan teman yang lainnya. Mereka terlihat bahagia meskipun hanya bermain sepakbola yang bahkan tempat bermainnya hanya di sebuah halaman rumah salah satu orang tua mereka yang kebetulan memiliki luas pekarangan yang lebih luas, sangat berbeda dengan tempat bermukimku selam beberapa tahun belakangan.Mereka sibuk berlarian seraya tertawa bahagia. Sudah berapa lama aku tak melihat pemandangan seperti ini, pemandangan yang sangat langka untuk ku temukan di ibukota.Kualihkan pandang dari sekelompok anak yang asyik bermain, menikmati u
Cahaya matahari yang masuk melalui celah- celah tirai jendela kamar tak membuat sepasang manusia yang masih sibuk bergelut dengan selimut untuk membuka kedua matanya. Bahkan sang wanita semakin menempelkan tubuhnya ke dada pria yang juga semakin erat memeluk tubuh sang wanita. Hawa dingin di daerah Yogya seakan menahan keduanya agar tak beranjak dari tempat tidur setelah mereka menuaikan ibadah subuhnya. Alarm dari ponsel Dara bagaikan sebuah lagu penghantar tidur bagi keduanya. Mungkin karena perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta mereka tidak menggunakan jasa sopir hingga Alfan sendiri sebagai sopirnya hingga rasa lelah seakan baru dirasakan pagi ini, apalagi tadi malam keduanya juga tidur larut malam. Jika Alfan hanya menemani sang ayah mertua berbincang – bincang santai dengan kerabat yang lain di temani secangkir kopi dan sekotak martabak yang kebetulan dibawakan oleh salah satu kerabat sang mertua yang juga baru sampai sekitar jam delapan malam karena me