Share

Bab 8

Pagi ini  aku bangun lebih awal, semalam aku mendapat sebuah bisikan aneh agar pagi ini aku saja menyiapkan sarapan bagi penghuni rumah. Ya gimana pun aku tetaplah orang baru di kelurga ini, tak sopan rasanya jika aku terlihat malas dimata mertua. Memang pernikahan yang aku jalani bukanlah pernikahan impianku, tapi setidaknya orang tuaku menjunjung tinggi sopan santun dan itu yang sekarang coba aku terapkan pada keluarga baruku.

"Pagi-pagi enaknya buat sarapan apa ya?" Gumamku pada diri sendiri. Kubuka pintu kulkas, meneliti kiranya apa yang bisa kubuat dengan bahan-bahan yang masih tersedia disana. 

"Ck, sepertinya Alfan belum belanja bulanan." Ucapku karena hanya melihat beberapa Snak kemasan ringan yang biasa jadi camilannya dan Kania. Sedangkan untuk membuat sarapan hanya ada telur dan jamur. Aku tanpa menggigit kuku jariku kebiasaan jika aku sedang berpikir.

"Buat nasi goreng aja kali ya." Gumamku seraya mengambil beberapa telur dari almari pendingin. Memasangkan apron ke tubuhku.

"Ehh tapi mereka suka makanan yang berat-berat tidak ya buat sarapan?" Gumamku bermonolog pada diri sendiri. Tanpa sadar aku memijat kepalaku, begini ternyata rasanya jadi seorang istri yang harus berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Baru dua hari tugas ini kujalankan tapi rasanya sudah terasa sangat melelahkan. Kalau seperti ini aku akan lebih memilih bekerja di luar saja. Dalam situasi begini aku seketika teringat mama yang lebih memilih mengurus suami dan anak-anaknya dibanding bekerja diluar. Pasti rasanya sangat melelahkan atau bahkan mungkin lama-lama akan terasa membosankan. 

"Nasi goreng sepertinya lebih banyak kalori, bagaimana kalau pagi ini kita sarapan Sandwich saja." Ucapku bermonolog dengan diri sendiri.

"Oke, saatnya beraksi." Kataku seraya mengambil beberapa bahan yang diperlukan. Seperti roti tawar, telur, keju, mayones, susu kental manis, daging, serta tak lupa beberapa sayuran sebagai pelengkap.

" Oke langkah pertama mari kita menggoreng smoke beef terlebih dahulu." Kuambil margarin untuk menggoreng. Suasana memang masih pagi, sehingga mungkin orang tua Alfan masih tidur setelah menunaikan kewajiban Shalat subuh tadi. Mereka sepertinya kelelahan, terbukti dengan tak adanya orang yang datang ke dapur meski suara dari aktivitasku yang mungkin sedikit berisik. 

Sambil menunggu daging matang, aku memutuskan untuk membuat campuran yang lain. Seperti mengiris sayuran dan bumbu yang lainnya. Aku juga menambahkan jeruk nipis agar terasa lebih segar rasanya. 

Tak terasa masakan yang tadi aku buat sudah selesai. “Tinggal menghidangkan ke meja makan deh.” Ucapku antusias seraya bertepuk tangan untuk diriku sendiri. Dari pihak keluargaku mereka menginap di salah satu paviliun yang dimiliki keluarga Alfan yang hanya berbeda beberapa rumah dari tempatku saat ini. Sesuai rencana mereka akan pulang hari ini alasannya kedua orang tuaku lebih nyaman hidup di desa di banding di pusat kota seperti Jakarta ini. Terlalu banyak polusi, ditambah orang-orang yang tak saling kenal, sangat berbeda dengan perkampungan yang mereka tempati. Lagi pula setelah akad kemarin kami tak akan menggelar resepsi seperti pernikahan umumnya Karena memang pernikahan ini hanya untuk kalangan sendiri. Barangkali hanya keluargaku, keluarga Alfan, beserta beberapa sahabat kami yang menghadiri pernikahan kemarin. Selain karena pernikahan tersebut yang hanya tercatat secara  agama. Awalnya keluargaku keberatan dengan pernikahan ini, tapi ucapan dan janji Alfan berhasil meyakinkan kedua orang tuaku agar memberikan restunya kepada kita berdua. 

“Loh, kamu ngapain, Ra?” suara seseorang berhasil membuyarkan lamunanku. 

“Ini lagi buat sarapan, Ma.” Jawabku kepada sosok yang barusan menyapaku. Seorang wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah menginjak kepala lima itu. Wajah yang menurutku tak berubah meski sudah sekitar lima tahunan saat aku mengenalnya pertama kali. Tutur kata yang halus semakin menambah kesan awet mudanya.

“Kenapa tidak nanti saja, kan mama bisa bantuin kamu. Kalau begini kan kamu jadi capek sendiri Ra.” Ucap mama mertuaku seraya menyiapkan piring untuk di tata di meja makan. Tak lupa mama juga membuat susu yang kuperkirakan susu tersebut untuk Kania. Aku segera memindahkan makanan-makanan tersebut ke meja makan sebelum anggota yang lain tiba di ruang makan.

“Pagi mama, pagi Dara.” Ucap Alfan seraya turun dari tangga dengan Kania yang berada di gendongannya. Anak tersebut terlihat manja meski lebih sering bersikap dewasa mungkin karena keadaanlah yang menuntutnya agar lebih dewasa dibanding anak seusianya yang lain. 

Aku hanya tersenyum sekilas ke arahnya sementara tanganku masih sibuk dengan piring-piring yang sudah berisi Sandwich, tak lupa aku juga menyiapkan secangkir kopi untuk Alfan. Tadi saat di dapur mama memberi tahuku jika pagi-pagi Alfan harus meminum kopi, kebiasaan sang papa mertua yang turun kepada suamiku. Aku hanya membuat satu untuk Alfan sementara papa, mama bilang beliau sendiri yang akan membuatkan untuk suaminya. “Papa nggak suka minum kopi kalau bukan buatan mama, pernah sekali mama minta bibi yang membuatkan, tapi kata papa rasanya berbeda. Semenjak hari itu mama sendiri yang selalu membuatkan kopi untuk papa.” Begitu kata mama saat aku hendak membuatkan kopi untuk papa. Mungkin memang benar apapun yang di buat dengan kasih sayang pasti rasanya akan berbeda. Lebih sedap-sedap nikmat gimana gitu kalau kata bundaku.

“Mama hari ini antar Kania ke sekolah lagi?” tanya Kania yang sudah duduk di kursi yang berada tepat di sampingku begitu pun Alfan yang berada di sampingnya. Atau bisa juga di bilang Kania berada di tengah-tengahku dan Alfan. Mungkin kalau kita makan seperti ini di luar rumah pasti orang-orang akan melihat kami sebagai pasangan yang harmonis. Namun jika mereka semakin dekat dengan arah kami maka mungkin juga mereka akan melihat lubang yang mengangga diantara kita. Namun bagaimanapun ini adalah pilihan yang sudah kupilih. 

“Hari ini Kania ke sekolahnya di antar papi dulu ya. Emm Mama Dara harus mengantar ayah dan bundanya ke bandara sayang. Kan hari ini nenek dan kakek pulang.” Ucap Alfan terdengar  terbata-bata seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Oh jadi nenek dan kakek akan pulang hari ini ya, ma? Kenapa tidak tinggal di rumah ini saja bareng kita?, kan lebih seru kalau ada banyak orang.” Tanya Kania beruntun.

“Iya, nenek sama kakek kan sudah punya rumah sendiri di Yogyakarta sayang. Kalau mereka tinggal disini terus rumah yang di Jogja nggak ada yang menempati dong.” Jawabku seraya menjawil pipinya yang bulat sebulat tahu bulat itu.

“Oh... Papi Yogyakarta itu mana?, jauh tidak?, Kania mau ke rumah kakek dan nenek.” Dia berkata seraya mengedip- ngedipkan matanya lucu, sedangkan mulutnya masih mengunyah makanan. 

“Nggak jauh kok sayang, kapan-kapan kita akan ke rumah nenek dan kakek tapi kalau Kania libur sekolahnya jadi kita bisa sekalian berlibur disana deh.” Ucapku seraya mengusap pucuk kepalanya penuh kasih sayang. 

“Nanti aku antar Kania ke sekolah dulu habis itu aku temani kamu mengantar ayah dan bunda. Kamu tunggu sampai aku pulang.” Kata Alfan yang mengalihkan pandanganku dari gadis kecil tersebut.

“Tidak usah, Al. Nanti aku yang akan antar ayah dan bunda ke bandara sendiri saja. Aku nggak mau terlalu merepotkanmu.” 

“Merepotkan apanya?, ayah bunda kamu berarti mertua aku yang dalam artian mereka berdua juga orang tuaku.” Mertua?, Alfan menganggap ayah dan bunda mertuanya?, berarti dia juga menganggap aku istrinya begitu?, mataku mendelik kearahnya tapi sepertinya dia tak menghiraukannya. Bukankah dia harusnya sadar bahwa pernikahan yang kita jalani bukan pernikahan normal seperti yang lainnya. 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status