“Ibu juga minta maaf, selama kamu tinggal di sini baik perkataan ataupun perbuatan ibu sengaja atau itu menyakiti perasaanmu. Ibu doakan semoga harapanmu tercapai ya,” ucap Bu Luluk saat aku berpamitan dengannya.
“Sama-sama, Bu. Saya yang terima kasih, Ibu sudah bersedia menampung Mey selama ini. Saya permisi dulu. Ini kuncinya.” Aku menyerahkan kunci kamar pada Bu Luluk. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah lantai dua yang terletak di samping kos yang aku tempati.
Langkahku terhenti begitu sampai di samping pagar. Aku membalikkan badan, menatap kembali bangunan bercat abu-abu yang sudah menjadi rumah bagiku selama lebih dari satu tahun ini. Meskipun singkat, tapi di sinilah aku belajar tentang hidup. Bahwa hidup tak hanya berpusat dengan duniaku. Bukan hanya aku yang menderita selama ini, bukan hanya aku yang merasa terikat selama ini. Semua orang punya beban hidup yang berbeda-beda. Dan di sini aku melihat banyak orang de
"Oh ya, Mas. Soal pengasuh buat ibu, alhadulillah sudah dapet." Anita mengambil jas dan tas dari tangan laki-laki di depannya yang baru memasuki rumah dengan koper di tangan kirinya."Oh, baguslah. Terima kasih ya," jawab laki-laki itu."Iya, sama-sama. Sudah seharusnya, Pa.""Icha sudah tidur?""Sudah. Dia keliatannya seneng banget dengan pengasuhnya ibu. Dari sore tadi sejak dia datang, Icha main di rumah ibu.""Oh, ya? Tumben, biasanya Icha kan enggak mudah akrab sama sembarang orang," ujar Erik. Ia sedikit heran."Iya, itu. Anaknya menyenangkan kelihatannya. Semoga saja ibu cocok sama dia."Erik mwnganggukkan kepala. "Amin, oh ya anak Papa satu ini rewel tidak?" Erik beralih menatap istrinya. Dieluanya perut Anita yang sudah membuncit."Enggak, Pa. Dede cuma lagi kangen sama Papa. Papa kapan punya waktu buat kita?" ucap Anita dengan menirukan suara anak kecil.Erik masih mengelus perut Anita. Ia membungkukkan tubuhnya, hingga wa
"Bagus, kamu jago juga merangkai bunga," puji Bu Wini setelah perdebatan panjang pagi ini. Satu vas dengan rangkaian bunga segar sudah tertata indah dan siap untuk mengisi ruang. Kini mereka melanjutkan vas berikutnya. Selain hobi mengoleksi lukisan, bu Wini juga menyukai bunga. Tiga minggu sekali biasanya ada kurir yang mengantar bunga untuk bu Wini. Wanita itu juga hobi berkebun. Memanfaatkan sebagian kecil pekarangan rumah untuk menanam berbagai macam jenis bunga. "Terima kasih, Bu." Satu minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama, membuatku bisa melihat sisi hangat bu Wini. Ternyata bu Wini tak segalak yang kubayangkan waktu pertama kali bertemu. Bu Wini yang awalnya begitu menutup diri dari jangkauanku, perlahan menunjukkan kepedulian terhadapku. "Kapan mulai kuliah?" tanya Bu Wini. "Mulai minggu depan, Bu." Ekor mataku menangkap anggukan kepala Bu Wini. Tangannya masih terampil menata bunga di vas yang lain. Sedang matanya fokus dengan
Hari kian menua. Berulang kali aku melihat jam tua yang terpampang di dinding. Namun, tak ada tanda-tanda bagi segera datang. Ingin rasanya aku terpejam beberapa saat tapi pikiranku melayang entah kemana. Bayangan pesan singkat juga foto yang masuk dalam ponselku siang tadi sukses mengusik pikiranku. Kenapa harus datang lagi? Aku benar-benar ingin bertaubat. Tak ingin berurusan dengan dunia malam itu lagi.Kesal tak kunjung bisa terlelap, aku memutuskan untuk keluar kamar berbekal senter ponsel. Sengaja aku tidak menghidupkan lampu karena masih terlalu larut untuk bangun. Aku menunju dapur yang berada di lantai satu belakang ruang tamu. Bingung tidak ada yang bisa kukerjakan, aku memutuskan untuk membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh.“Kenapa aku harus khawatir? Ini masa lalu, kan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah kan?” ucapku lirih. Mencoba mengusir kerisauan yang merasuk isi kepala.Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar gemerincing
Aku terlahir sempurna. Cantik dan lumayan pintar. Namun bukan berarti tanpa kekurangan. Baik buruk kita di masa lalu tetaplah masa lalu yang hanya bisa dikenang sebagai evaluasi diri agar menjadi manusia yang lebih baik.Arini, begitu orang memanggilku. Nama indah yang disematkan Abah sembilan belas tahun yang lalu. Aku mempunyai keluarga yang harmonis Teh Anggi yang lembut, polos dan mudah sekali kubohongi. Ambu yang lembut dan Abah yang dingin namun perhatian. Kami hidup bahagia sekali. Tapi itu dulu sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan tinggal di ibu kota yang keras ini.“Selamat pagi, Mey,” seorang perempuan dengan pakaian APD masuk ruanganku, dan 'Mey' nama panggilanku di Jakarta.“Pagi..." balasku.“Saya periksa dulu ya," pinta Dini. Dokter yang merawatku dua pekan ini. Aku mengangguk membiarkannya memeriksa kondisiku saat ini."Mey... Apa enggak sebaiknya kamu hubungi kelua
Aku masih bergeming. Menatap foto keluarga yang tersimpan di galeri ponsel. "Buat apa sih Teh foto bersama?" Protesku. Hari itu Teh Anggi memaksaku pergi ke studio foto. Untuk foto keluarga katanya. Padahal menurutku foto pakai kamera ponsel dengan kecanggihannya saat ini, itu sudah cukup."Neng, kamu bakal kangen kita nanti." Aku ingat betul kata-katanya. Dan sekarang- aku benar-benar rindu akan kebersamaan itu. Aku tersenyum, mengingatnya menjadikanku teringat kembali perjuanganku untuk memperoleh kebebasan. Kebebasan yang kukira baik, namun justru menyesatkan."Ayolah, Teh... bantuin Neng," rengekku pada Teh Anggi, saudara perempuanku satu-satunya. Anak kebanggaan abah dan ambu. Teh Anggi tak merespon, ia masih saja fokus dengan tumpukan berkas dan laptop di depannya. Kesal - aku menggoyang-goyang tangan Teh Anggi. Dia mulai terganggu. "Teteh sibuk, Neng ..." protesnya. Namun, aku enggak peduli. Teh Anggi harapanku satu-satunya untuk dapat meyakinkan abah dan ambu.
Aku menatap gedung mencakar langit di hadapanku penuh haru. Syukur, masih ada kesempatan bagiku untuk menikmati keMaha baikan-Nya. Dua bulan tinggal di sini, sudah cukup membuatku tersiksa. Gedung megah namun mencekam. Tak ada tawa bahagia di dalamnya.Aku menengadahkan kepala, kupejamkan mata sembari menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya berulang-ulang. Meski udara panas dan sudah bercampur dengan polusi, namun ini lebih melegakan dari pada harus di dalam gedung itu. Setelah aku cukup puas, aku membalikkan badan, beranjak menjauh dari tempat itu. Langkahku terhenti kala seseorang memanggil namaku.“Kak Dini...” sapaku melihat gadis berkerudung merah muda berlari dari dalam gedung mendekatiku. “Ada apa?”Senyum mengembang dibibirnya, menunjukkan dua lekukan di pipi. “Aku antar ya, kebetulan aku istirahat,” tawarnya.“Tidak usah, Kak. Aku naik bus saja nanti,” tolakku. Sudah banyak aku merepotkannya s
Aku memutar-mutar ponsel di genggamanku. Sambil berusaha menerawang kata apa yang pantas untuk kukatakan ketika berbicara dengan Teh Anggi. Dari pesan singkat yang ia titipkan pada bu Luluk, sudah pasti Teh Anggi sudah mengetahui semuanya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa marahnya Teh Anggi. Sembilan belas tahun hidup bersama dengannya, tak pernah ia marah padaku. Selalu saja mengalah dengan sikapku yang suka seenaknya. Namun kesalahanku kali ini beda, bukan hanya menyangkut diriku tapi juga hati abah dan ambu. Membayangkan bagaimana kecewanya mereka saja aku tak mampu. Aku takut hal itu terjadi.Aku mengganti sim card yang sengaja satu bulan ini aku abaikan. Selain untuk menghindar dari abah dan ambu, rasanya sudah tidak ada hubungan penting lagi di nomor itu. Palingan teman-teman kampus yang menanyakan keberadaanku, atau sengaja julid atas gosib tentangku yang beredar di kampus.Setelah sim card terpasang aku instal ke
Aku melempar kaleng minum bekas minumku ke dalam tempat sampah di sudut kamarku. Tempat sampah berbahan plastik itu hampir penuh dengan plastik-plastik bekas snack. Sudah tiga hari kubiarkan menumpuk di sudut ruang. Jika kak Dini melihatnya sudah pasti dia akan mengelus dada. Sebenarnya aku bukan orang sejorok itu. Aku hanya malas saja.Aku masih di tempat tidur dengan selimut yang menggulung di tubuhku. Sambil melihat stand up comedy dari Ytube. Ah, heran aku. Apa coba yang lucu sampai mereka tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Yah, meskipun memang ada sebagian ucapan sarkas mereka yang menggelitik.Ketukan pintu menghentikan aktifitasku. Aku bergegas bangun. Berjalan mendekati pintu kamar kos. “Pagi banget sih, Kak,” rengekku.“Assalamualaikum,” sapanya. Saking tidak bersemangatnya, aku lupa belum mengucapkan salam.“Waalaikum salam,” jawabku.Tak terpikir, kak Dini akan tiba sepagi ini. Dia tak sendi