Hari kian menua. Berulang kali aku melihat jam tua yang terpampang di dinding. Namun, tak ada tanda-tanda bagi segera datang. Ingin rasanya aku terpejam beberapa saat tapi pikiranku melayang entah kemana. Bayangan pesan singkat juga foto yang masuk dalam ponselku siang tadi sukses mengusik pikiranku. Kenapa harus datang lagi? Aku benar-benar ingin bertaubat. Tak ingin berurusan dengan dunia malam itu lagi.
Kesal tak kunjung bisa terlelap, aku memutuskan untuk keluar kamar berbekal senter ponsel. Sengaja aku tidak menghidupkan lampu karena masih terlalu larut untuk bangun. Aku menunju dapur yang berada di lantai satu belakang ruang tamu. Bingung tidak ada yang bisa kukerjakan, aku memutuskan untuk membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh.“Kenapa aku harus khawatir? Ini masa lalu, kan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah kan?” ucapku lirih. Mencoba mengusir kerisauan yang merasuk isi kepala.Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar gemerincingAku terlahir sempurna. Cantik dan lumayan pintar. Namun bukan berarti tanpa kekurangan. Baik buruk kita di masa lalu tetaplah masa lalu yang hanya bisa dikenang sebagai evaluasi diri agar menjadi manusia yang lebih baik.Arini, begitu orang memanggilku. Nama indah yang disematkan Abah sembilan belas tahun yang lalu. Aku mempunyai keluarga yang harmonis Teh Anggi yang lembut, polos dan mudah sekali kubohongi. Ambu yang lembut dan Abah yang dingin namun perhatian. Kami hidup bahagia sekali. Tapi itu dulu sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan tinggal di ibu kota yang keras ini.“Selamat pagi, Mey,” seorang perempuan dengan pakaian APD masuk ruanganku, dan 'Mey' nama panggilanku di Jakarta.“Pagi..." balasku.“Saya periksa dulu ya," pinta Dini. Dokter yang merawatku dua pekan ini. Aku mengangguk membiarkannya memeriksa kondisiku saat ini."Mey... Apa enggak sebaiknya kamu hubungi kelua
Aku masih bergeming. Menatap foto keluarga yang tersimpan di galeri ponsel. "Buat apa sih Teh foto bersama?" Protesku. Hari itu Teh Anggi memaksaku pergi ke studio foto. Untuk foto keluarga katanya. Padahal menurutku foto pakai kamera ponsel dengan kecanggihannya saat ini, itu sudah cukup."Neng, kamu bakal kangen kita nanti." Aku ingat betul kata-katanya. Dan sekarang- aku benar-benar rindu akan kebersamaan itu. Aku tersenyum, mengingatnya menjadikanku teringat kembali perjuanganku untuk memperoleh kebebasan. Kebebasan yang kukira baik, namun justru menyesatkan."Ayolah, Teh... bantuin Neng," rengekku pada Teh Anggi, saudara perempuanku satu-satunya. Anak kebanggaan abah dan ambu. Teh Anggi tak merespon, ia masih saja fokus dengan tumpukan berkas dan laptop di depannya. Kesal - aku menggoyang-goyang tangan Teh Anggi. Dia mulai terganggu. "Teteh sibuk, Neng ..." protesnya. Namun, aku enggak peduli. Teh Anggi harapanku satu-satunya untuk dapat meyakinkan abah dan ambu.
Aku menatap gedung mencakar langit di hadapanku penuh haru. Syukur, masih ada kesempatan bagiku untuk menikmati keMaha baikan-Nya. Dua bulan tinggal di sini, sudah cukup membuatku tersiksa. Gedung megah namun mencekam. Tak ada tawa bahagia di dalamnya.Aku menengadahkan kepala, kupejamkan mata sembari menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya berulang-ulang. Meski udara panas dan sudah bercampur dengan polusi, namun ini lebih melegakan dari pada harus di dalam gedung itu. Setelah aku cukup puas, aku membalikkan badan, beranjak menjauh dari tempat itu. Langkahku terhenti kala seseorang memanggil namaku.“Kak Dini...” sapaku melihat gadis berkerudung merah muda berlari dari dalam gedung mendekatiku. “Ada apa?”Senyum mengembang dibibirnya, menunjukkan dua lekukan di pipi. “Aku antar ya, kebetulan aku istirahat,” tawarnya.“Tidak usah, Kak. Aku naik bus saja nanti,” tolakku. Sudah banyak aku merepotkannya s
Aku memutar-mutar ponsel di genggamanku. Sambil berusaha menerawang kata apa yang pantas untuk kukatakan ketika berbicara dengan Teh Anggi. Dari pesan singkat yang ia titipkan pada bu Luluk, sudah pasti Teh Anggi sudah mengetahui semuanya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa marahnya Teh Anggi. Sembilan belas tahun hidup bersama dengannya, tak pernah ia marah padaku. Selalu saja mengalah dengan sikapku yang suka seenaknya. Namun kesalahanku kali ini beda, bukan hanya menyangkut diriku tapi juga hati abah dan ambu. Membayangkan bagaimana kecewanya mereka saja aku tak mampu. Aku takut hal itu terjadi.Aku mengganti sim card yang sengaja satu bulan ini aku abaikan. Selain untuk menghindar dari abah dan ambu, rasanya sudah tidak ada hubungan penting lagi di nomor itu. Palingan teman-teman kampus yang menanyakan keberadaanku, atau sengaja julid atas gosib tentangku yang beredar di kampus.Setelah sim card terpasang aku instal ke
Aku melempar kaleng minum bekas minumku ke dalam tempat sampah di sudut kamarku. Tempat sampah berbahan plastik itu hampir penuh dengan plastik-plastik bekas snack. Sudah tiga hari kubiarkan menumpuk di sudut ruang. Jika kak Dini melihatnya sudah pasti dia akan mengelus dada. Sebenarnya aku bukan orang sejorok itu. Aku hanya malas saja.Aku masih di tempat tidur dengan selimut yang menggulung di tubuhku. Sambil melihat stand up comedy dari Ytube. Ah, heran aku. Apa coba yang lucu sampai mereka tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Yah, meskipun memang ada sebagian ucapan sarkas mereka yang menggelitik.Ketukan pintu menghentikan aktifitasku. Aku bergegas bangun. Berjalan mendekati pintu kamar kos. “Pagi banget sih, Kak,” rengekku.“Assalamualaikum,” sapanya. Saking tidak bersemangatnya, aku lupa belum mengucapkan salam.“Waalaikum salam,” jawabku.Tak terpikir, kak Dini akan tiba sepagi ini. Dia tak sendi
Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut. Sudah beberapa hari menunggu, namun tak ada satupun jawaban dari teman-teman terdekatku tentang lowongan pekerjaan yang aku cari. Jangankan menjawab ada juga yang hanya me-read pesan dariku. Kuletakkan kembali dompet yang hanya tersisa dua lembaran hijau di dalamnya. “Duh, gimana? mana cukup untuk satu bulan ke depan,” gerutunya dalam hati, padahal hilal pekerjaan pun belum juga tampak. Sedangkan uang kiriman dari kampung, ia hendak menggunakannya untuk mendaftar kuliah bulan agustus nanti.“Sepertinya harus benar-benar berhemat, sebelum punya pekerjaan pasti,” ucapku. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan uang di rekeningnya. Tapi, bimbang, khawatir saat nanti benar-benar butuh tapi uangnya belum ada.Aku membuka almari plastik yang ada di samping meja belajar. Biasanya aku selalu menyimpan makanan-makanan instan atau snack di sana. Untunglah masih ada beberapa bungkus mie instan yang bisa meng
Aku mengusap peluh yang membahasi kening dengan punggung tanganku. Sudah hampir tengah hari, namun belum juga ada satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi hanya dengan ijazah SMA tanpa embel-embel sertifikat ketrampilan.Aku duduk di samping taman, salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan ini adalah perusahaan ke-10 yang aku datangi. Aku meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang keliling saat di halte tadi. Dinginnya air mineral mampu menyiram tenggorokanku yang kering. Sekering harapanku saat ini. Ternyata memang tak mudah hidup jauh dari orang tua.Aku kembali beranjak. Kembali menulusuri trotoar mencoba mencari keberuntungan pada setiap jengkal yang kulalui. Mataku menyapu setiap gedung yang kulalui berharap ada harapan yang bisa kugantungkan di sana. Aku menoleh kearah restoran Jepang di depanku. Dulu tempat ini bisa saja dengan mudah kukunjungi hampir tiap malam. Tapi, sekarang ... Ah, rasanya mustahil. Jangankan untuk duduk sambil makan
Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum lagi lecet di kaki karena terhimpit flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlis