Share

Ini Inginku

Aku masih bergeming. Menatap foto keluarga yang tersimpan di galeri ponsel. "Buat apa sih Teh foto bersama?" Protesku. Hari itu Teh Anggi memaksaku pergi ke studio foto. Untuk foto keluarga katanya. Padahal menurutku foto pakai kamera ponsel dengan kecanggihannya saat ini, itu sudah cukup.

"Neng, kamu bakal kangen kita nanti." Aku ingat betul kata-katanya. Dan sekarang- aku benar-benar rindu akan kebersamaan itu. Aku tersenyum, mengingatnya menjadikanku teringat kembali perjuanganku untuk memperoleh kebebasan. Kebebasan yang kukira baik, namun justru menyesatkan.

"Ayolah, Teh... bantuin Neng," rengekku pada Teh Anggi, saudara perempuanku satu-satunya. Anak kebanggaan abah dan ambu. Teh Anggi tak merespon, ia masih saja fokus dengan tumpukan berkas dan laptop di depannya. Kesal - aku menggoyang-goyang tangan Teh Anggi. Dia mulai terganggu. "Teteh sibuk, Neng ..." protesnya. Namun, aku enggak peduli. Teh Anggi harapanku satu-satunya untuk dapat meyakinkan abah dan ambu.

Aku menekuk kepala. Mengerucutkan bibir hampir seperti bebek tetangga yang biasa di giring ke sawah. Aku silangkan kaki dan menyedekapkan tangan di depan dada. Keinginanku sudah bulat. Aku ingin kuliah di Jakarta. "Teh, aku bukan Teteh yang hanya bisa nurut dengan titah abah. Aku punya cita-cita. Aku juga ingin mengejar cita-citaku," protesku. Berharap hati Teh Anggi luluh dan menuruti mauku seperti hari-hari biasanya. Mana tega sih Teh Anggi membuatku sedih.

"Neng-" panggilnya. Benarkan dia enggak akan tega. "Tadi kamu denger sendiri 'kan? Gimana kata abah?" ternyata belum berhasil juga. Kukira akan cepet luluh. Nyatanya malah ngirim siraman rohani  untukku.

"Teh... Teteh enggak pengen kalau Neng bisa mewujudkan cita-cita Neng? Duniaku bukan di pondok pesantren, Teh. Neng punya cita-cita sendiri." Aku tak ingin menyerah segala alasan aku ungkapkan di depan Teh Anggi. "Ayo dong, Teh."

"Bukannya teteh enggak mau. Tapi, coba deh Neng pikir-pikir lagi. Apa yang dikatakan orang tua pasti benar. Enggak ada orang tua yang ingin menyesatkan anaknya." Teh Anggi kembali fokus pada tumpukan berkasnya. Gagal. Aku pikir bisa dengan mudah mempengaruhi teteh tapi hasilnya masih nihil. Aku beranjak meninggalkan teh Anggi. Lalu masuk ke kamar. Aku hempaskan tubuhku diatas kasur yang sudah mulai kempes. Saking lamanya belum ganti. Paling hanya dijemur di bawah terik matahari untuk menghilangkan tungau atau debu yang menempel.

Lama hanya bergelut dengan pikiran yang tak kunjung menemui jawabannya. Aku menoleh ke arah nakas. Kuraih pamflet salah satu universitas yang aku dapat dari .guru kelasku. "Kamu adalah impianku," tegasku.

Tekadku sudah bulat. Bagaimanapun nanti hasilnya aku harus mencoba bicara lagi dengan abah. Aku ingin mengembangkan hobi menggambarku. Menjadi seorang desainer sudah menjadi cita-citaku dari dulu. Universitas impianku itu adalah universitas terbaik di Indonesia, memiliki banyak kerja sama dengan banyak perusahaan luar negeri. Termasuk Paris, kota yang dikenal dengan menara Eiffel-nya yang juga  memiliki julukan  la Ville des Lumières atau kota cahaya.

Hari berganti hari. Setelah mencoba memohon namun gagal. Berbagai cara aku lakukan, mulai dari tak mau makan malam bersama yang mana menjadi ritual yang menyatukan kami sekeluarga sampai sama sekali tak ingin keluar kamar. Hingga tiba akhirnya kata ajaib yang aku inginkan itu lolos dari dua bibir abah, "Ya kuizinkan."

Bukan main senangnya hatiku waktu itu. Aku segera mengurus semuanya. Pastinya dibantu oleh teh Anggi kakak perempuanku yang sabarnya tiada obat. Dengan kemampuanku yang memang di bidang itu tentu saja aku bisa lulus seleksi. Akupun pindah ke ibu kota setelah pengumuman kelulusan, tentunya dengan mengantongi restu ambu dan abah. Berkat temannya teh Anggi, aku bisa mendapatkan kos-kosan yang enggak terlalu jauh dari kampus. Tidak terlalu ketat, pas sesuai keinginanku.

Siang itu, tepat dua hari aku tinggal di Jakarta. Tempat yang penuh dengan beraneka ragam gemerlap dunia. Aku belum begitu dapat teman. Kos ini cukup ramai beberapa mahasiswa. Namun, semuanya sudah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Aku merasa sendiri di sini. Orang pertama yang kutemui adalah Dini. Mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Dia cukup perhatian padaku, menawari makan atau jajanan. Kamar kami bersebelahan. Entah kenapa Aku malah enggak begitu tertarik dengan kehadirannya. Tahu sendiri kan apa yang aku inginkan selain kuliah fashion designer di Jakarta? Aku ingin kebebasan. Dunia Dini terlalu monoton, hanya sebatas kuliah, ngajar privat dan kamar kos.

"Nanti habis maghrib, aku ada pengajian bareng ibu-ibu di mushola. Deket kok dari sini. Kalau mau kamu boleh ikut," ujarnya setelah menawariku ketoprak yang dia beli dari abang keliling. Kebetulan aku memang belum makan. Karena masih belum tahu mau makan di mana. Aku mengeryitkan dahi. Ya kali ikut majlisan. Di kampung aja males-malesan. Paling berangkat sebulan sekali kalau lagi piket RT.

"Enggak dulu deh, Kak. Aku mau cari keperluan buat PKKMB besok," tolakku. Padahal enggak ada yang perlu kusiapin buat kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru. Untungnya ia percaya, jadi enggak perlu cari alasan lagi.

Cukup lama kita berbincang sekedar sharring pengalaman. Juga tentang pengalamannya di fakultas kedokteran yang sama sekali enggak menarik menurutku. Kuakui dia memang cerdas, rajin dan rendah hati. Idaman lah buat akhi yang mencari ukhti. Perbincangan kami pun harus berakhir karena Dini yang harus mengisi kegiatan di mushola. Aku masih termangu seorang diri di atas bangku bambu di bawah pohon mangga menikmati senja kota Jakarta.

"Hidup itu sekali, buat happy aja kenapa." Seorang gadis berambut coklat datang menghampiriku. Penampilannya sangat jauh dariku yang terkesan kampungan. Aku hampir tercengang dibuat olehnya. Kulitnya yang putih mulus dan semua yang menempel ditubuhnya bukan barang grosiran yang biasa aku dan teman-temanku dapatkan di pasar tradisional. Maklum, hidup sederhana diterapkan oleh abah sejakku kecil.

Sejak pertama kali berkenalan, aku sudah tertarik untuk berteman dengannya. Penampilannya yang gaul dan yang paling membuatku suka, dia menyenangkan untuk sharing tentang dunia fashion. Kedekatan kamipun berlanjut. Tak sebatas hanya kos, tapi kita sering menghabiskan waktu bersama di sela kesibukan di kampus. Semakin jauh mengenalnya aku semakin kagum. Di tengah kesibukannya di semester akhir dia masih bisa membagi waktu untuk bekerja parttime. Aku enggak tahu pasti apa kerjaannya, yang jelas aku bangga bisa dekat dengannya. Membuatku insecure. Bagaimana tidak, aku selama ini hanya menjadi cewek sok kuat, sok ingin hidup mandiri jauh dari orang tua, namun belum ada keinginan untuk benar-benar mandiri. Keinginan jauh dari orang tua hanya sebatas agar kebebasanku tidak terkekang.

***

"Neng, jangan lupa salat ya. Jaga kesehatan dan belajar yang bener," pesan ambu mengakhiri video call malam ini. Sepertinya mereka tetap menganggapku putri kecil mereka. Hampir setiap saat mereka kirim pesan, telefon, bahkan video call untuk mengecek keadaanku.

Lama-lama aku enggak nyaman dengan perhatian yang terkesan berlebihan. Jiwa berontak yang selama ini kupendam kembali meletup. Aku mulai jarang merespon panggilan dari kampung. Bahkan pesan-pesan yang dikirim untuk, hanya kubalas sebisanya. Gemerlap dunia di sekitarku benar-benar memberi pengaruh besar padaku. Membuatku yang manja, menjadi benar-benar pembangkang. Bukan cuma lewat perkataan seperti dulu. Tapi aku sudah satu tingkat lebih berani dengan mewujudkannya lewat perbuatan.

Tak ada rasa sesal di hatiku. Aku menikmati semua kemewahan dunia ini. Merajut sejarah baru bersama orang-orang yang kuanggap benar-benar sefrekuensi denganku. Bukan keluarga yang katanya sayang, namun tak membiarkanku bergerak bebas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status