Share

Pulang

Aku menatap gedung mencakar langit di hadapanku penuh haru. Syukur, masih ada kesempatan bagiku untuk menikmati keMaha baikan-Nya. Dua bulan tinggal di sini, sudah cukup membuatku tersiksa. Gedung megah namun mencekam. Tak ada tawa bahagia di dalamnya.

Aku menengadahkan kepala, kupejamkan mata sembari menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya berulang-ulang. Meski udara panas dan sudah bercampur dengan polusi, namun ini lebih melegakan dari pada harus di dalam gedung itu. Setelah aku cukup puas, aku membalikkan badan, beranjak menjauh dari tempat itu. Langkahku terhenti kala seseorang memanggil namaku.

“Kak Dini...” sapaku melihat gadis berkerudung merah muda berlari dari dalam gedung mendekatiku. “Ada apa?”

Senyum mengembang dibibirnya, menunjukkan dua lekukan di pipi. “Aku antar ya, kebetulan aku istirahat,” tawarnya.

“Tidak usah, Kak. Aku naik bus saja nanti,” tolakku. Sudah banyak aku merepotkannya selama satu bulan ini. Rasanya aku tak enak hati jika terus saja bergantung padanya.

“Sudah.” Ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Lalu menarik tanganku ke parkiran khusus pegawai rumah sakit.”Aku antar saja, masih cukup kok waktunya.”

Aku hanya terdiam. Sembari mengikutinya yang masih saja menarikku. “Maaf ya, selalu merepotkanmu,” ucapku. Setelah sampai di parkiran.

Ia menyodorkan helm untukku. “Aku sudah bilang. Kamu sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tidak usah sungkan.”

Mendengar kata adik, hatiku menghangat, Aku teringat dengan Teh Anggi. Seseorang yang sangat menyayangiku tanpa syarat, namun seringkali kuabaikan. Apa masih ada rasa sayang untukku jika dia tahu kondisiku sekarang? Aku saja merasa malu untuk sekedar mengucap salam untuk mereka. Berulangkali panggilan dari kampung kuabaikan, aku hanya membalas pesan singkat sesekali. Karena aku tak ingin mereka tahu kondisiku saat ini.

Motor bebek yang kami kenderai perlahan melaju meninggalkan area parkir rumah sakit tempat ku di rawat dua bulan ini, Kak Dini- dia salah satu tenaga medis di sana. Ia baru saja menyelesaikan koas sebagai dokter anak, karena wabah yang menyerang hampir seluruh wilayah negeri ini, kak Dini menyerahkan dirinya untuk menjadi salah satu relawan, dan disangka kak Dini ditugaskan di rumah sakit tempat aku menjalani perawatan.

“Kamu mau mampir beli makan dulu?” lagi-lagi ia menawarkan kebaikan yang semakin membuatku tak enak hati.

“Tidak usah, Kak. Nanti aku beli di warung dekat kos saja,” jawabku setengah berteriak. Berusaha mengimbangkan suaraku dengan embusan angin serta suara kendaraan yang berlalu lalang.

Kak Dini tak menjawab lagi, sepertinya ia menyetujui ucapanku. Lima belas menit berlalu, sampailah kami di rumah yang aku tempati sejak pertama kali pindah di ibu kota. Rumah tiga lantai yang membetuk lorong panjang dengan banyak pintu itu terlihat sepi. Mungkin penghuninya masih di luar menjalankan aktivitas mereka.

Setelah mengantarkanku, kak Dini langsung pamit, karena waktu istirahatnya yang terbatas. Satu hal yang aku suka dari tempat ini adalah udaranya yang sejuk. Lahan kosong di belakang kos tumbuh berbagai macam tumbuhan rindang yang membuat tempat ini menjadi asri. Selalu dapat mengobati rasa rinduku dengan kampung halaman.

Kamarku ada di lantai satu, di ujung lorong yang dekat taman bunga milik Bu Luluk- pemilik kos Nirwana ini. Aku merogoh kunci dari saku celanaku. Lalu, memasukkannya dalam lubang kunci.

“Mey ...” panggil seseorang dari belakang, menghentikan tanganku yang hendak memutar handle pintu.

Aku memutar tubuh mengikuti sumber suara, “Bu...” balasku begitu menemukan sosok Bu Luluk di belakangku.

“Nanti ke rumah Ibu sebentar ya, ada titipan untukmu,” ujarnya, wajahnya datar. Namun masih tersirat rasa iba di wajahnya. Aku tak tahu gosib apa yang menyebar setelah aku menghilang satu bulan ini. Aku harap masih tak mempersulit hidupku ke depannya. Cukup beasiswaku di cabut dari kampus dan aku akan tetap melanjutkan hidupku di sini. Bu Luluk pergi setelah mendapat persetujuan dariku.

***

“Ini ada titipan untukmu,” ujar bu Luluk sambil menyerahkan amplop coklat untukku. Ia kembali ke dalam, lalu kembali lagi dengan dua gelas minuman dingin.

“Minum dulu,” ucapnya sambil meletakkan dua gelas minuman di meja. Lalu duduk di kursi kayu tepat di hadapanku.

“Terima kasih, Bu,” jawabku. Kebetulan tenggorokanku memang terasa kering, beruntung sekali, bu Luluk cukup mengerti. Aku meneguk es lemon yang ada di depanku.

Aku menatap amplop itu lekat, lalu membuka segelnya. “Seorang wanita mengantarkan ini beberapa hari yang lalu, ia mencoba menghubungimu, namun tidak bisa,”ujar bu Luluk.

Hatiku berdebar, apalagi melihat tulisan tangan yang tercantum dalam amplop coklat itu. Perlahan aku mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalam. Hatiku berdenyut, rasa khawatir  tiba-tiba menyergap mengusik isi kepalaku. Apa mungkin Teh Anggi mengetahui semuanya?

“Kenapa Mey? Kamu terlihat gelisah,” tanya bu Luluk.

“Tidak ada apa-apa, Bu. Ini dari Teteh,” jawabku gugup.

Bu Luluk mengangguk, pertanda ia paham dan tidak perlu lagi bertanya lebih banyak. “Memang kamu ke mana saja?” tanya bu Luluk. Beliau jarang sekali di rumah, karena selain kontrakan, bu Luluk juga mengelola restoran peninggalan suaminya.

“Oh ya, kamu tahu. Angel sudah tiada? Kemarin keluarganya mengambil barang-barangnya di sini,” ujar bu Luluk. Mengingatkanku kembali pada sosok Angel, bahkan melihat wajahnya di akhir hayatpun tak ada kesempatan untuk melihatnya terakhir kali.

“Kasian sekali dia Mey, keluarganya sangat terpukul mendengarnya kepergiannya yang tiba-tiba,” ujar bu Luluk. Bukan cuma Angel yang berjuang keras melawan penyakit mengerikan itu tapi juga aku.

Aku dan Angel tertangkap di club, sebenarnya waktu itu sudah ada peringatan untuk tutup, tapi diam-diam Angel dan dua teman lainnya membuka layanan panggilan, yang mana akan bersedia datang ketika ada orderan dari pelanggan. Aku termasuk dalam bagian mereka. Sampai akhirnya ada penggrebekan tiba-tiba dan kami semua tertangkap. Awalnya aku biasa saja selama beberapa hari di sana tak ada tanda-tanda yang menunjukkan pertumbuhan virus itu di tubuhku. Namun aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku takut. Sampai akhirnya, pemeriksaan menyatakan bahwa aku positif dan harus isolasi sementara di rumah sakit.

Beberapan bulan kenal dengan Angel, akhirnya aku baru tahu pekerjaan sampingan yang ia jalani di tengah kesibukannnya sebagai mahasiswa. Sampai sekarang aku enggak habis pikir kenapa aku sampai tergiur dengan kehidupan malam itu. Padahal uang dari kampung yang selalu Teh Anggi kirim untukku itu lebih dari cukup. Belum lagi ada lima puluh persen beasiswa untukku dari kampus.

“Kamu pengen terlihat gaul ‘kan? udah ikut aja. Kamu enggak jual  diri juga, cuma nyanyi sama nemenin minum,” bujuk Angel waktu itu.

Aku tak langsung menerimanya. Hingga satu kalimat keluar dari mulut Angel. “Kamu bisa lihat-lihat dulu di sana, kalau tidak suka tidak usah lanjut,” ucapnya. Akhirnya aku tergiur, bermula dari coba-coba, akhirnya aku benar-benar masuk bagian dari mereka. Empat bulan aku melaksanakan kegiatan itu, aku semakin mengenal dunia fashion dari teman-teman seprofesi, hingga beredar sebuah foto dan di ketahui oleh rektor.

Aku memang salah. Tapi haruskah aku di keluarkan begitu saja tanpa harus mendengarkan pembelaan  dariku? Meskipun memang satu pembelaan dariku itupun bukan alasan yang mungkin saja bisa di terima. Bukan taubat, aku semakin menjadi, kecewa, tapi aku tidak tahu harus memperbaikinya mulai dari mana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status