Share

Laki-laki itu

Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut. Sudah beberapa hari menunggu, namun tak ada satupun jawaban dari teman-teman terdekatku tentang lowongan pekerjaan yang aku cari. Jangankan menjawab ada juga yang hanya me-read pesan dariku. Kuletakkan kembali dompet yang hanya tersisa dua lembaran hijau di dalamnya. “Duh, gimana? mana cukup untuk satu bulan ke depan,” gerutunya dalam hati, padahal hilal pekerjaan pun belum juga tampak. Sedangkan uang kiriman dari kampung, ia hendak menggunakannya untuk mendaftar kuliah bulan agustus nanti.

“Sepertinya harus benar-benar berhemat, sebelum punya pekerjaan pasti,” ucapku. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan uang di rekeningnya. Tapi, bimbang, khawatir saat nanti benar-benar butuh tapi uangnya belum ada.

Aku membuka almari plastik yang ada di samping meja belajar. Biasanya aku selalu menyimpan makanan-makanan instan atau snack di sana. Untunglah masih ada beberapa bungkus mie instan yang bisa mengganjal perutku siang ini dan beberapa hari ke depan. Aku ambil satu bungkus mie instan, kemudian kuletakkan dalam mangkuk, lalu menambahkan sedikit air dari dispenser. Meskipun aku tahu ini tak sehat, mau bagaimana lagi. Uang mepet dan hanya ini yang bisa kulakukan saat ini untuk bertahan hidup.  “Tak apalah sekali-kali makan seperti ini.”

Cukup menunggu beberapa menit. Mie sudah mengembang. Aku memasukkan beberapa bumbu instan, mengaduknya rata hingga tercium perpaduan saus dan bumbu mie. Aku makan mie instan dengan lahapnya. Sudut bibirku tiba-tiba saja terangkat. Mie instan adalah makanan yang sangat aku hindari dulu. Abah dan ambu tak mengizinkanku makan mie instan. Sekalipun boleh itupun satu bulan sekali. Tak heran, hanya makan mie instan saja itu merupakan hal yang kurindukan dulu.

Sangat berbanding terbalik dengan keadaanku saat ini, mie menjadi makanan wajib saat terdesak. Semoga saja lambung aman. Layar ponsel di sampingku berkedip. Aku menggeser kunci layar, kemudian membuka pesan.

“Alhamdulillah...” satu pesan dari kak Dini mampu memperbaiki moodku siang ini. Akhirnya yang hal yang kutunggu terwujud. Mulai besok pagi aku bisa memulai  hidupku lagi.

“Terima kasih, Kak. Oh ya, kalau ada lowongan kerja untukku, kabari ya,” pintaku dengan tak tahu malunya. Ah, sudahlah. Sekalian saja, lagi pula sudah terlalu sering juga minta bantuan pada kak Dini.

“Oke,” jawab kak Dini singkat.

“Dasar orang sibuk,” ucapku. Membalas pesannya yang singkat. Aku segera menghabiskan mie instan yang tinggal beberapa sendok lagi. Nafsu makanku membaik setelah mengetahui hasil tesku yang menyatakan aku sudah terbebas dari virus yang entah kapan akan segera enyah dari muka bumi ini.

Tak hanya menghambat perekonomian warga. Namun, kehadiran virus ini juga memicu gangguan mental akibat kecemasan yang berlebih atas apa yang terjadi di sekitarnya. Apalagi pemberitaan di media yang semakin hari makin meresahkan. Banyaknya korban yang berjatuhan di mana-mana, rumah sakit yang sampai kuwalahan, ditambah lagi respon dari masyarakat yang melihat penderita seperti najis. Tak ada yang berani mendekat takut tertular. Padahal mereka penderita itu butuh dukungan dan hiburan.

Virus ini memang ada dan memang membahayakan. Waspada boleh tapi panik jangan. Karena itu justru akan memicu penyakit yang lain.

****

Aku mengeluarkan isi almari pakaian yang sudah tak rapi lagi. Kelamaan nganggur membuatku malas merapikan almari pakaian. Hingga pakaian tak tersusun rapi. Membuatku terkadang merasa kesulitan sendiri saat memilih baju. Aku menata ulang isi lemari. Memisahkan pakaian rumahan, busana muslim, baju untuk keluar rumah dan baju-baju dinasku di dunia malam yang aku masukkan dalam kantong plastik. Semua kupisahkan sesuai kebututuhan. Melipatnya dan menyetrikanya dengan rapi sebelum kumasukkan kembali dalam almari.

Aku juga menyiapkan beberapa pakaian formal. Rencananya aku mau mengirim lamaran ke beberapa perusahaan yang menginfokan beberapa lowongan pekerjaan. Semoga saja masih ada  yangi bisa menerimaku. Aku ingin berubah menjadi lebih baik lagi. Menggunakan kebebasan yang aku inginkan untuk hal-hal yang positif, bukan hanya sekedar terbebas dari aturan abah dan ambu. Tapi, bebas untuk mengekplor kemampuan pada diriku.

Aku mulai bisa menerima dengan apa yang kualami beberapa bulan ke belakang, mungkin saja jika aku tak mengalami hal yang menakutkan itu aku masih bergelut di kubangan dosa itu dan aku akan semakin jauh dengan Sang pencipta. Bersyukur Tuhan masih memberi cintanya untukku, masih membiarkanku hidup dan menghirup udara ini dengan gratis untuk memperbaiki hidup.

Jam menunjukkan pukul 10.00 malam, kamar kos sudah sepi. Hanya deru kendaraan yang terdengar masih lalu lalang di jalan depan kos. Untung saja, kos yang aku tempati masih memiliki halaman yang cukup luar jadi tak terlalu berisik. Karena masih ada jarak pemisah antara jalan raya dan kos yang aku tempati.

“Akhirnya beres juga.” Aku meregangkan kedua tanganku. Kutatap susunan pakaian dalam almari dengan puas. Puas melihat seisi kamar yang tertata rapi, membuat benang kusut di kepalaku sedikit terurai.

Aku menutup almari. Kemudian berjalan ke tempat tidur. Aku mengecek ponsel sejenak. Sesaat aku teringat pada Teh Anggi. Aku membuka aplikasi hijauku. Mencari kontak Teh Anggi lalu mengirim pesan singkat untuknya.

“Assalamualaikum, Teh. Bagaimana kabarnya? Neng, harap Teteh sudah tidak marah lagi sama Neng.” Pesan singkat kukirim pada Teh Anggi. Kulihat dua centang biru, pertanda pesan sudah dibaca oleh Teh Anggi. Sudah kutunggu beberapa saat, tapi tak juga ada balasan. ”Apa Teteh masih marah?”gumamku dalam hati.

“Teh, maafin Neng, ya... Besok, Neng mau coba cari kerja. Minta doanya ya, Teh. Semoga lancar. Semoga Teteh, abah dan ambu sehat selalu. Selamat malam. Wassalamualaiakum.” Aku menutup chat-ku malam ini. Wajar saja jika Teh Anggi kecewa padaku. Pribadi Teh Anggi yang tidak enakan pastinya membuatnya serba salah, disisi lain ingin marah padaku, namun disisi lain pastinya dia akan menyalahkan dirinya sendiri atas semua ini. Karena telah membantuku membujuk abah, agar mengizinkanku pergi merantau. Jika pun boleh mengandai, kalau aku tidak jadi pergi ke ibu kota, mungkin aku akan menjadi santri di pondok pesantren modern di Bandung. Sambil kursus menjahit seperti yang abah tawarkan agar aku tidak terlalu jauh dari mereka.

Tapi, tidak ada jalan yang mulus untuk menggapai impian. Tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi satu jam, satu menit bahkan satu detik ke depan. Makanya butuh benteng diri yang kuat agar tidak terkejut dengan perubahan lingkungan yang tiba-tiba.

***

“Mau ke mana, Mey?” tanya tetangga kamarku- Silvi, Gadis asli serambi Makkah, mahasiswa fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 11:12 lah jika disandingkan dengan Kak Dini. Tapi, yang ini lebih parah lagi, tak cuma jilbab panjang yang menjuntai, tapi juga memakai niqab. Awalnya waswas juga sih, waktu pertama kali tetanggan sama dia. Aku pikir dia penganut aliran-aliran tertentu. Membuatku lebih sering menghindar jika ada dia. Takut imanku yang masih lemah ini tergoyahkan. Sampai akhirnya, untung mulutku yang kadang lemes tak mengungkapkannya. Dan untungnya ada kak Dini yang memberi penjelasan kepadaku, meng-cover pemikiran sesat yang bersarang diotakku.

“Eh, iya nih. Mau pergi sebentar cari angin,” dustaku. Gadis itu hanya mengangguk. Dari sorot kedua matanya ada senyum dibalik niqab hitamnya. Aku membalas senyuman itu meski sedikit canggung. Soalnya selama ini aku jarang sekali pertemu dengannya. Ia sama seperti kak Dini, sibuk kegiatan kampus juga rajin mengikuti ceramah-ceramah di komplek kos kami.

“Rapi, banget, Mau bareng? Aku sudah pesan taxi,” tawarnya.

Aku berpikir sejenak dengan jaimnya aku tolak tawarannya. Berharap dia menahanku dan memaksa untuk ikut bersamanya. Kan lumayan buat irit ongkos.

“Ya sudah deh kalau gitu aku duluan ya.” Aku terpaku menatap punggungnya yang beranjak pergi. Sial! Aku pikir dia berusaha menahanku, tapi ternyata aku termakan gengsiku sendiri.

Aku mengembuskan napas berat. Ya sudahlah, belum rezeki. Aku berjalan menelusi trotoar menuju halte. Ini pertama kalinya aku naik angkot setelah lama menjadi ‘sok cinderella’ hidup glamor dengan pemberian orang tua. Memalukan!

Tak lama angkot yang kutunggu datang. Baru ada dua orang di dalamnya. Untunglah, sejak adanya covid pemerintahpun mengatur pengoperasian angkutan umum, agar tetap berpegang pada protokol kesehatan.

Pandanganku tertuju pada laki-laki yang duduk di jok belakang. Aku mulai mengingat-ingat. Wajah yang tertutup masker itu seolah tak asing. Lama menebak-nebak namun tak juga dapat jawaban. Ya, sudahlah buat apa juga, pikirku.

Laki-laki itu turun lebih dulu, ia melewatiku tanpa menoleh atau menyapaku terlebih dulu. Dia berhenti di depan rumah sakit tempatku pernah di rawat. Setelah membayar ongkos, laki-laki itu berbalik, lalu meneriakkan sebuah nama  sambil melambaikan tangan. Aku turut mengintip dari kaca angkutan. Mulutku menganga, “Kak Dini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status