Share

Kesempatan

Aku mengusap peluh yang membahasi kening dengan punggung tanganku. Sudah hampir tengah hari, namun belum juga ada satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi hanya dengan ijazah SMA tanpa embel-embel sertifikat ketrampilan.

Aku duduk di samping taman, salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan ini adalah perusahaan ke-10 yang aku datangi. Aku meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang keliling saat di halte tadi. Dinginnya air mineral mampu menyiram tenggorokanku yang kering. Sekering harapanku saat ini. Ternyata memang tak mudah hidup jauh dari orang tua.

Aku kembali beranjak. Kembali menulusuri trotoar mencoba mencari keberuntungan pada  setiap jengkal yang kulalui. Mataku menyapu setiap gedung yang kulalui berharap ada harapan yang bisa kugantungkan di sana. Aku menoleh kearah restoran Jepang di depanku. Dulu tempat ini bisa saja dengan mudah kukunjungi hampir tiap malam. Tapi, sekarang ... Ah, rasanya mustahil. Jangankan untuk duduk sambil makan di sana membayangkannya saja rasanya mustahil.

“Auch...” pekik seorang wanita yang tanpa sengaja menabrakku. Aku tersadar dari lamunanku setelah dengan jelas mendengar pekikannya.

“Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja,” ucapku memohon. Kulihat dia mengibas-kibaskan roknya yang basah karena es yang ia pegang tumpah ke roknya.

“Duh, basah. Enggak apa-apa, aku juga salah kok,” balasnya tanpa melihat ke arahku.

“Sekali lagi maaf ya, Mbak.” Aku jadi semakin tidak enak padanya, melihat pakaian dan aksesoris yang ia pakai. Ia terlihat seperti wanita berkelas. Dia mengusap rok mininya dengan tisu, lalu menoleh ke arahku. Ia terkesiap sesaat begitu pandangan kami bertemu . Begitu juga denganku.

“Hey, Mey ‘kan?” Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang tersenyum lebar padaku.

“Chris!” tawa kami pecah seketika. “Kamu ngapain di sini?” tanyaku.

“Ya, makanlah,” jawabnya. Bodoh banget, sudah jelas dia keluar dari restoran, malah aku menanyakan hal itu.

“Lo sediri ngapain?” Dia menatap penampilanku yang tak seperti biasanya. Celana panjang dengan atasan hem. Dan rambut yang kuikat kuda. Sangat jauh dari style  yang biasa aku gunakan.

Belum juga kujawab, dia menarik tanganku masuk ke dalam restoran. “Kita ngobrol di dalam saja. Sudah lama kan tidak ngobril bareng?”

“Tapi, Chris?” Aku ingin mencegahnya. Tapi, langkahnya terlalu cepat. Hingga langkah kami lebih dulu sampai di dalam restoran sebelum ucapanku selesai. Apalagi perutku dengan tak tahu malunya berbunyi di depan Christy. Membuat pipiku memerah karenanya. Asupan tenaga dari mie instan tadi pagi sepertinya sudah hilang dari tubuhku.

“Tu ‘kan? Lo lapar,” ujar Christy semakin membuatku malu.

Aku melihat menu makanan yang tertera di sana. Kuteguk saliva dengan susah payah melihat harga menu yang tak sampai untuk ukuran dompetku saat ini.

“Saya lemon tea aja ya, Mas, esnya dikit aja,” ujar Christy. Ia menutup buku menunya dan mengembalikanya kepada waitress. “Lo mau pesen apa, Mey?” tanya Christy menatapku yang hanya membolak-balikan buku.

“Enggak usah sungkan. Gue udah makan tadi, makanya pesen minuman aja, biar bisa ngobrol sama Lo,” ucapnya.

Aku tersenyum mendapat perhatian kecil darinya. Chris adalah salah satu teman dekatku selain Angel waktu masih bekerja di Club. Berbeda denganku yang masih hidup dengan kasih sayang orang tua lengkap. Chris hidup sebatang kara sejak umur belasan tahun. Kerasnya kehidupan di ibu kota memaksanya untuk bekerja dengan cara yang mudah tak cepat. Ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya hidup hingga biaya SMA pun ia dapat dari pekerjaan ini. Aku pernah ditertawakan karena alasanku bergabung dengan mereka. Tapi, meskipun begitu dia tetap menerimaku dengan tangan  terbuka. Membimbingku hingga aku pernah menjadi primadona di sana. Mengingat semua itu benar-benar ingin mengutuk diriku sendiri. Bodoh!

“Aku lemon tea aja deh. Masa aku makan kamu enggak,” elakku. Padahal aku hanya menghindar agar tidak mempermalukan diriku sendiri lebih jauh lagi. Untunglah Chris tidak protes.

“Ke mana saja sih? Ngilang gitu aja,” cercanya.

Aku tersenyum canggung. Mau jelasin mulai dari mana, terlalu banyak keruwetan yang ingin kuurai. “Iya, kamu apa kabar? Makin glowing aja sekarang ya?”

Dia mengibaskan rambut bergelombang yang ia urai. “Semua itu bisa asal ada duit, Mey,” bisiknya di dekat wajahku. Hingga aroma vanilla dari parfum yang ia gunakan menusuk indra penciumku.

“Eh Mey, gue mau cerita,” bisiknya.

“Apa? Ngomong saja,” ucapku. Aku pun memajukan kursi yang kududuki,  berusaha menyeimbangi posisi duduknya agar jarak kami lebih dekat.

“Mey, gue nikah sama mas Rudy.” Aku tercengang mendengar ucapannya.

“Mas Rudy?” Aku mengeryitkan dahi.

“Iya, Mas Rudy,” jawabnya.

“Yang sering sama kamu itu?” tanyaku memastikan.

“Iyalah. Siapa lagi,” ujarnya.

“Terus istrinya?” tanyaku.

Chris mengangkat bahunya. “Itukan urusan Mas Rudy sama istrinya. Yang penting dia mencukupi kebutuhan gue, enggak masalah harus berbagi,” jawabnya.

Wanita di depanku masih saja seperti dulu. Menganggap uang adalah kunci dari kebahagiaan. Padahal ia hanya menuruti kepuasannya.

“Oh ya, Lo ingat mas Rizwan?” Aku mengangguk, mengingat laki-laki yang pernah bersamaku.

“Dia sering nanyain Lo,” sambungnya.

“Udah, biarlah. Aku enggak mau berurusan dengan dunia itu lagi. Aku takut Chris...” ucapku lirih.

Chris berdecak. Meskipun kami sempat dekat tapi dalam hal ini kami memang tak sepaham. Tujuanku masuk didunia itu hanya memuaskan keingin tahuanku bukan semata-mata untuk materi. “Padahal dia oke juga Lo.”

“Biarlah. Mau apa lagi. Jadi, kamu udah enggak kerja di sana?” tanyaku.

Chris menggeleng, “Mas Rudi enggak mengizinkan gue untuk bekerja di sana lagi.”

“Wah, jadi ratunya mas Rudi dong  sekarang?”

Dia mengedikan bahu dengan senyum dibibirnya, “Ya begitulah.”

Obrolan kami terhenti ketika waitress mengantarkan pesanan kami kemeja. Aku mengambil segelas lemon tea dan meneguknya. Kesegaran lemonnya memberi ketenangan pada syaraf-syaraf otakku.

“Eh Lo belum cerita lho. Ngapain lo? dan penampilan Lo-“ ucapnya sembari memindai penampilanku.

“Aku mau cari kerja,” jawabku singkat.

“Duh, Mey. Cari kerja yang gimana? mending balik aja deh, lebih menjanjikan,” bujuknya.

Benar juga kata Chris, tak genap satu tahun aku di sana. Tapi, aku sudah berhasil mengantongi uang yang lumayan banyak. Bahkan aku membayar kuliah tanpa meminta kiriman dari orang di rumah untuk beberapa bulan. Bisa hidup sesuai apa yang kumau. Sesuai tren yang aku anggap kekinian kala itu.

Aku menggelengkan kepala. Lalu membuang napas berat. “Aku mau cari kerja yang lain, Chris...”

“Ya sudah lah, terserah Lo aja. Semangat!” ucapnya. Kami kembali menikmati sensasi segar dari lemon tea.  Sambil bercerita tentang banyak hal. Termasuk kisah cinta Chris dengan suaminya. Dari apa yang dikatakan Chris, aku tahu dia sebenarnya tak ingin di posisinya saat ini. Menjadi yang kedua, menjadi bahan nyinyiran, dan rasa bersalah jika bertemu dengan anak mas Rudi dari istri pertamanya. Tapi, ya begitulah atas nama cinta yang tulus dan menggebu. Chris tetap melanjutkannya. Untung saja istri pertama dari suaminya cukup baik padanya ia rela berbagi yang penting suaminya tak berbuat zina. Hal yang sangat diharamkan oleh Tuhan.

Pembicaraan kami berakhir kala ponselnya berdering. Siapa lagi kalau bukan mas Rudi-nya itu yang memintanya untuk segera pulang. Chris langsung beranjak pergi, sekalipun apa yang dilakukan Chris itu salah, tapi Chris tetap bertanggung jawab dengan pilihannya, ia patuh pada suaminya, menghormati istri pertama dari suaminya dan juga ia sangat menyayangi anak dari suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status