Share

Nasi Kotak Pengantar Rindu

Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras  kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum  lagi lecet di kaki karena terhimpit  flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.

“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlisan seperti yang diikuti kak Dini. Katanya sih, selain mendapat ilmu juga bisa dapet makan gratis di sana. Alasan macam apa itu? lihat saja apa yang dia bawa. Bahkan dia sampai membawa pulang dua kotak nasi.

“Ini buat kamu!” ucapnya sambil menyodorkan satu kotak nasi ke hadapanku.

Aku tersenyum canggung. Masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang aku dengar. Jelas-jelas aku tadi berpikiran buruk tentangnya.

“Ambil.” Silvi menarik tangan kananku. Lalu, meletakkan kotak nasi di tangan kananku. “Enggak boleh nolak rizki. Tadi Kebetulan ada banyak donatur makanan. Ya udah, aku bawa pulang, kamu belum makan ‘kan?”

Aku tersenyum menatapnya. Tuhan benar-benar Maha Baik, sudah mempertemukanku dengan orang-orang baik seperti mereka. Memberiku kesempatan untuk tinggal di bumi ini, menghirup udara gratis. Semoga saja aku bisa menjadi manusia yang lebih baik.

“Terima kasih ya, Sil,” seruku sembari penatap punggungnya yang perlahan menghilang dari pandanganku. Ia langsung bergegas masuk tanpa menunggu ucapan terima kasih dariku.

Cukup menghirup udara bebas di teras kos. Aku beranjak dari tempat dudukku. Lalu masuk dengan tas yang masih melekat di punggungku juga sekotak nasi yang di tangan kananku. Aku langsung masuk ke kamar, melempar tas ke atas ranjang lalu meletakkan nasi kotak di atas meja belajar. Setelah ini, berendam air hangat sepertinya mengasyikkan. Ah... aku lupa, aku sekarang kan miskin. Masih untung ada kamar mandi dalam kamar dengan air yang tetap mengalir tanpa mampet.

Aku bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri setelah banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Kebersihan diri memang harus digalakkan. Aku yang dulu langsung rebahan alih-alih kecapekan sekalipun habis dari luar rumah. Kini mencoba membenahi pola hidup, mulai dari kebersihan diri sendiri. Kalau soal kamar kos sih, jangan ditanya lagi. Kamar kosku selalu bersih dan rapi karena aku suka kerapihan dan kebersihan.

****

Aku menikmati nasi kotak dari Silvi. Nasi putih dipadu dengan ayam bakar, sambal goreng, serta lalap kemangi. Syukurlah, malam ini enggak makan mie instan lagi. Melihat menu di dalam kotak jadi mengingatkanku pada keluargaku di kampung. Setiap pulang dari hajatan abah biasanya akan membawa nasi kotak dan pastinya aku sebagai anak bontotnya yang pertama kali membuka kotaknya. Sedangkan Teh Anggi- dia bagian setelah aku. Sebenarnya aku enggak setega itu. Teh Anggi saja yang terlalu mengalah, dia enggak mau mengambil sebelum aku duluan yang ambil.

“Jadi rindu,” gumamku. Aku beranjak dari karpet sejenak. Lalu mengambil ponsel yang masih kusimpan dalam tas. Aku membuka aplikasi chat berlambang hijau. Ternyata pesanku semalam cuma di-read saja. Aku mendengus, antara jengkel dan juga merasa bersalah. Aku mencari nomor Teh Anggi. Kemudian mengambil foto makanan dengan view secantik mungkin.

“Makan nasi kotak check.”  Kutulis pada chaption gambar. Terserah mau dibalas atau tidak. Aku hanya ingin menyampaikan kerinduanku. Memandam rindu itu enggak sehat untuk hati.

Kuletakkan ponselku di lantai. Kemudian aku melanjutkan menikmati makan malamku. Beberapa hari makan mie instan membuat nasi kotak ini begitu istimewa di lidahku. Sungguh, nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Getar ponsel di sampingku mengalihkan perhatianku. Kuintip dari pop-up yang terlihat di layar. Mataku berbinar melihat sekilas pesan yang masuk. Sekalipun masih saja jutek dan pelit kata. Tapi, tak apalah. Masih mending dibalas, dari pada Cuma di-read.

“Jaga kesehatan.” Bunyi pesan dari Teh Anggi. Ingin rasanya aku segera membalas pesan itu. Tapi, nikmat makan yang sedang kurasakan saat ini juga sayang untuk ditinggalkan saat ini.

Aku bergegas melahap makan malamku yang tinggal beberapa suap lagi. Aku benar-benar bahagia mendapat pesan dari Teh Anggi. Pasalnya sejak dia tahu apa yang terjadi padaku, dia seakan memberi jarak antara aku dan dia. Mendapat pesan darinya seperti memupuk semangatku kembali. Aku sadar, aku mungkin bukan adik yang baik untuk Teh Anggi. Tapi, aku juga yakin, ada rasa sayang yang bersarang di hatiku. Hanya saja aku salah memahaminya. Hingga aku malah sering mengabaikan kebaikan-kebaikannya. Yang kukira itu hal kecil tapi justru memberi pengaruh besar untukku. Kecrewetannya tiap pagi misalnya. Itu melatihku untuk disiplin.

Selesai makan dan cuci tangan, aku membuka ponselku. Hal pertama yang aku buka adalah pesan singkat dari Teh Anggi. Aku tersenyum girang.

Nuhun, Teh... Jaga kesehatan juga ya, salam ambu dan abah di rumah. Semoga sehat selalu,” balasku.

Dua centang biru terlihat di layar ponsel. Yang mengejutkan tertulis ’typing’ di bawah nama Teh Anggi, semoga saja benar-benar di balas.

“Sudah dapat kerjaan?” Ingin rasanya aku loncat, mengekpresikan bahagianya aku malam ini. Dengan begini Teh Anggi sudah memaafkanku bukan? Dia tidak lagi marah padaku ‘kan? semoga saja.

“Belum, Teh. Tadi sudah keliling kota Jakarta. Tapi, belum ada yang sesuai dengan kualifikasiku,” balasku yang kututup dengan emot mewek di akhir pesan. Biar lebih mendramatisir perjuanganku hari ini.

Teh Anggi tidak langsung membalas pesanku. Bahkan di layar ponsel hanya terlihat satu centang. Ya, sudahlah mungkin dia langsung istirahat. Aku tahu bagaimana kerja kerasnya Teh Anggi. Pagi mengajar di SD sorenya mengajar di Taman Pendidikan Al-Qur’an bahkan sabtu dan minggu saat sekolah pagi libur, ia tetap membuka privat untuk anak-anak sekitar. Belum lagi tugasnya sebagai operator sekolah yang tidak kenal waktu. Aku pernah protes, saat aku mengajaknya keluar melihat pasar malam dan dia menolaknya. Setiap kali aku protes jawabannya selalu sama. “Sebaik-baik manusia itu yang bisa bermanfaat untu orang lain, Neng.” Aku saja sampai hafal dengan kata-kata itu. Ia sih? tapi apa beramal harus seperti itu, sampai tak memperhatikan kebahagiaan dirinya sendiri. Namun meskipun seperti itu, aku bangga pada Teh Anggi. Ia tak pernah sekalipun mengeluh tentang apa yang dijalaninya. Baginya apa yang ia lakukan itu merupakan pilihan hidupnya dan pilihan itu harus dipertanggung jawabkan. Itulah yang kucoba terapkan dalam perjalanan hidupku kali ini. Berani memilih, berani bertanggung jawab tanpa mengeluh.

***

Aku terbangun cukup pagi. Sepertinya hidayah benar-benar menghampiriku. Hingga aku bisa terbangun di sepertiga malam yang kata Teh Anggi sangat mustajab untuk meminta pada Tuhan. Padahal aku benar-benar lelah, sampai semalampun aku tertidur saat melihat podcast dari youtuber ternama indonesia. Yang sering menyebarkan motivasi untuk kalangan muda dengan gaya bahasanya yang ringan. Aku belum lama mengikutinya, baru saja sejak pandemi melanda dan kesibukanku berkurang.

Hari ini, aku ingin melanjutkan pencarianku kembali. Aku sudah berdandan rapi. Celana denim dengan helm peach dan sepatu senada. Kali ini aku memakai sepatu tali dan kaos kaki. Kapok pakai flatshoes. Lecet yang kemarin saja belum sembuh.

Aku memakai tas slempang dengan map coklat berisi lamaran kerja yang aku panggul di tangan kiriku. Dengan rambut yang ku ikat kuda. Biar terlihat lebih rapi dan sederhana. Setelah sarapan dengan roti seribuan yang masih tersisa di almari dan segelas air putih. Aku bergegas keluar kamar. Lalu, bergegas menuju halte yang tak jauh dari kos-ku.

Kali ini aku kurang beruntung. Sudah lebih setengah jam menunggu, tapi angkutan yang kuharapkan belum juga terlihat. “Apa aku terlalu pagi?” gumamku.

Aku duduk di kursi tunggu halte, dari yang sebelumnya hanya ada aku, mulai bertambah satu demi satu hingga kursi tunggu penuh. Akupun mengalah, memilih berdiri saat melihat seorang nenek berdiri sambil sesekali memijit punggungnya. Nenek itu tersenyum padaku. “Terima kasih,” ujanya.

“Sama-sama, Nek,” jawabku.

Aku sedikit menjauh dari kerumunan. Lalu berdiri sambil bersender di tiang halte. Aku  menggerak-gerakkan pergelangan kakiku. Lelah.

Setelah lama menunggu, akhirnya angkot yang kutunggu datang juga. Aku bergegas masuk sebelum di serobot oleh pengguna lain. Mataku mengitari isi angkutan. Lagi-lagi aku bertemu dengan laki-laki itu. Aku memang tak mengenalnya. Tapi, aku suka melihat matanya, yang terasa teduh jika dipandang. Duh, sadar Mey kamu siapa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status