Share

Perbaiki Hidup Mama!
Perbaiki Hidup Mama!
Author: kotak kuning

Prolog

“MAA! UDAH DONG MAA! AKU NGGAK BISA LIAT MAMA KAYAK GINI TERUS!”

Wanita itu berteriak kacau.

Suaranya terdengar serak dan tak mengenakkan. Boleh jadi karena tadi di tempat kerjanya, dia habis adu mulut dengan koleganya yang bebal dan tak mau diatur. Tapi apa boleh buat, kerabat dekat pimpinan punya kelas yang jelas berbeda darinya.

Biasanya wanita itu tidak sering memperlihatkan emosi, tetapi mungkin hari ini adalah puncak kesialannya.

Keputusasaan dan kekecewaan tergambar jelas dari teriakan menyedihkan itu.

Wanita itu bernama Rani Anggraini, kepala keluarga, dua puluh delapan tahun. Dia tinggal bersama Mamanya di sebuah rumah setelah suami kedua, Papanya kabur meinggalkan mereka dengan kesan yang begitu menjijikkan. Rani sendiri tak habis pikir bagaimana pria busuk nan kasar itu bisa menarik perhatian Mamanya delapan belas tahun lalu.

Rani benar-benar sedang sial hari ini.

Wanita berlari ke kamar, membanting pintu, lalu menangis dengan keras, dia tidak tahan dengan pemandangan yang terus saja harus disaksikan setiap harinya. Semua karena Papa, lelaki brengsek yang sudah menghancurkan keluarga mereka— membuat Mamanya terkena stroke kemudian pergi dengan meninggalkan hutang yang tak terkira. Belum lagi Papanya masih sempat membawa lari perhiasan Mama. Bahkan kalau dibandingkan dengan rentenir yang selalu datang ke rumah mereka tiap bulannya, Rani jelas-jelas beranggapan kalau Papanya jauh lebih tidak punya adab.

Rani mengacak-acak lemari, melempari pakaiannya, kemudian menguarkan secari kertas berisi pesan-pesan terakhir dan catatan untuk orang yang akan merawat Mamanya nanti— Surat Wasiat. Surat itu sudah Rani simpan sejak beberapa bulan terakhir untuk ‘keadaan darurat’. Tetapi karena rasa sayangnya terhadap Mama sangat lah tinggi, Rani terus saja menahan diri. Hanya saja, sepertinya kekang yang menahan perasaan di hati Rani sudah hancur.

Rani keluar kamar dan berjalan ke dapur, ia meletakkan surat wasiat yang ia ambil tadi di atas meja makan. Sebelumnya setelah pulang kerja, Rani sudah merapikan kamar dan memasak makanan untuk makan siang. Tetapi Mamanya menolak makan, Mama Rani hanya ingin makan kalau mantan suaminya yang brengsek itu kembali dan mendekapnya dulu. Rani bertanya-tanya dalam hati, entah apa yang sudah ditawarkan bajingan itu saat melamar Mamanya dulu.

“Omong kosong.” Dengusnya kecil.

Air matanya mengalir perlahan, jatuh membasahi pipinya yang membulat. Rani teringat saat Mamanya mengatakan kalau dia sangat suka wajahnya yang tersenyum, menggemaskan puji Mamanya. Rani benci mengakui fakta bahwa Mamanya sangat bodoh, tetapi ia menyayanginya lebih dari apapun yang dia punya.

“OMONG KOSOOOONGG!!!”

Rani menyayat pergelangan tangannya dengan pisau, membuat darahnya keluar bercucuran. Beberapa detik berlalu, perlahan Rani mulai merasa mengantuk dan kemudian tumbang.

Untuk sekejap Rani penasaran entah karena hormon di otak, atau pengaruh emosi yang membuatnya tidak terlalu merasakan sakitnya kematian. Rani pun membatin dalam hati.

“Eh, apa adrenalin ya namanya?”

“Ah sudah lah.”

“Lagi pula aku akan mati.”’

“Tapi siapa yang akan merawat Mama nanti, ya?”

“Semoga ada orang baik yang mau mengurusnya.”

“Maaf, Ma. Aku bukannya ingin jadi anak durhaka.”

“Aku cuma, capek.”

“Nah iya, cuma capek.”

“Ahh, Mama!”

“Masih saja mau pakai gaun itu? Memangnya tidak sayang kalau pemberian Ayah nanti rusak?”

“Ah, aku baru saja berhalusinasi, ya?”

“Hahaha.”

“Padahal aku ingin—“

“Maafkan aku, Mama”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status